Sinkronisasi gerak dan bunyi ini menuntut latihan yang serius dan kebersamaan yang erat antar anggota kelompok. Di sinilah terletak kekuatan Didong sebagai bentuk seni kolektif, ia bukan hanya memerlukan suara dan syair yang bagus, tetapi juga kekompakan, rasa, dan penghayatan yang mendalam.
Hal ini mencerminkan filosofi hidup masyarakat Gayo yang selalu menjunjung tinggi kebersamaan dan harmoni dalam kehidupan sosial mereka. Lebih dari sekadar hiburan, Didong telah menjadi wadah pelestarian nilai-nilai adat, sejarah, dan identitas budaya Gayo.
Dalam banyak syairnya, Didong menyuarakan pesan-pesan religius, semangat perjuangan, pentingnya pendidikan, hingga pelestarian lingkungan. Bahkan dalam perkembangannya di era modern, Didong telah mengalami transformasi baik dari segi bentuk pertunjukan maupun tema yang diangkat.
Generasi muda kini mulai mengemas Didong dengan pendekatan yang lebih segar, seperti menggabungkan unsur puisi kontemporer, menyisipkan pesan-pesan sosial yang kontekstual, atau menampilkan Didong dalam festival-festival seni lintas daerah. Namun demikian, esensi dari Didong tetap terjaga sebagai media komunikasi budaya yang hidup, yang mampu beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan jati dirinya.
Melestarikan Didong di tengah arus globalisasi budaya bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan kesadaran kolektif dari masyarakat, dukungan dari lembaga kebudayaan, serta perhatian dari pemerintah daerah untuk menjadikannya sebagai bagian dari pendidikan karakter dan identitas lokal.
Kesenian ini tidak hanya penting bagi masyarakat Gayo, tetapi juga bagi kekayaan budaya Indonesia secara keseluruhan. Didong adalah contoh nyata bahwa seni tradisi dapat menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara generasi tua dan muda, antara lokalitas dan universalitas.
Ia adalah bukti bahwa dari sebuah dataran tinggi yang sunyi, dapat lahir suara-suara yang lantang menyuarakan kemanusiaan, kebijaksanaan, dan cinta akan budaya. Maka, menjaga Didong bukan sekadar melestarikan tradisi, tetapi juga merawat jiwa sebuah bangsa.
Penulis: Belvana Fasya Saad
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/723103/original/Potret-140817a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)