Kabut masih menyelimuti desa pagi itu. Jam sudah menunjukan pukul 07.00, namun sinar matahari belum merambat ke permukiman desa. Jarak pandang samar-samar tak sampai satu kilometer.
Setelah sarapan kami bergegas pergi ke salah satu kebun kratom milik warga Jongkong. Saya diantar Budi untuk ke sana. Kami kembali menyusuri Sungai Kapuas dengan speed boat.
Menurut Budi, lokasi kebunnya tak jauh, hanya sekitar 10 menit dari desanya. Speed boat bergerak melawan arus ke arah timur. Kebun kratomnya berada di sisi selatan bantaran sungai.
Dari kejauhan, sejumlah perempuan sibuk memetik daun kratom di sebuah ladang di tepian sungai Kapuas. Mereka masing-masing memanen satu pohon yang sudah rimbun daunnya.
Para pemetik daun ini bekerja di kebun milik Suryati alias Ati (56). Ati memiliki 15 ribu pohon di atas lahan seluas 10 hektare. Pohon-pohon ini dipanen dua sampai tiga bulan sekali.
Kebunnya membentang dari timur ke barat di sisi selatan aliran sungai. Di lahan tersebut, Ati juga membangun rumah Walet untuk bersarang serta kolam-kolam Ikan Arwana. Selain itu terdapat tempat pengolahan daun kratom (green house) dengan model panggung.
Saat sungai pasang, air membanjiri perkebunannya. Pohon-pohon kratomnya tetap hidup meskipun terendam air berhari-hari. Ketika saya datang air belum sampai membanjir kebun tersebut.
Siti Huzaimah (49) duduk tak jauh dari bibir sungai. Tangannya lihai mencabut daun-daun kratom dari dahan yang tergeletak di depannya. Daun tersebut lalu ditempatkan ke dalam sebuah keranjang.
Huzaimah sudah lima tahun menjadi pemetik daun kratom di kebun Ati. Ia mendapat upah Rp2.000 per kg daun. Dalam satu hari, perempuan tiga anak ini bisa memanen 10 pohon kratom.
“Sehari bisa 50 kg daun, kadang enggak tentu, kadang daun baik bisa 60, 70 kg,” katanya.
Sebelum menjadi pemetik daun kratom, Huzaimah bertani karet. Ia dan suami memiliki kebun karet di Jongkong. Namun harga karet anjlok dalam enam tahun terakhir. Saat ini harganya hanya sekitar Rp6.300 per kg.
Huzaimah mengaku senang menjadi pemetik daun kratom karena bisa langsung mendapat uang pada sore harinya. Jika dalam sehari memetik 50 kg daun kratom, ia bisa membawa uang Rp100 ribu.
“Karet tuh lama jadi duitnya, satu bulan, kalau purik (kratom) hari itu juga langsung dapat uang. Kita terima untuk belanja (sehari-hari),” ujarnya.
Di antara pemetik perempuan, ada seorang laki-laki yang ikut memanen daun kratom di kebun Ati. Namanya adalah Supawi (53), suami Huzaimah.
Supawi mengaku diajak oleh sang istri untuk ikut memetik daun. Ia baru satu bulan terakhir bekerja. Menurutnya, kebun karet sudah tak bisa diandalkan agar dapurnya tetap ngebul.
Supawi dan istri juga memiliki kebun kratom di Jongkong. Mereka menanam sekitar 1.200 batang pohon kratom pada 2020 lalu. Sejak itu, mereka berhasil sembilan kali memanen daun. Panen kratom rata-rata dua sampai tiga kali dalam setahun.
Dalam setiap panen, Supawi dan istrinya bisa memetik daun basah hingga 100 kg.
Namun, kebunnya itu sudah tiga bulan tak dipanen karena sepi pembeli daun basah. Harga daun basah kini sekitar Rp3.000 per kg. Ia kesulitan untuk menjual daun basah ke pengepul.
“Pokoknya 2023 ini memang macet pembeli,” ujarnya sambil memetik daun kratom.
Oleh karena itu, Supawi ikut istrinya menjadi pemetik daun kratom. Mereka bekerja dari pukul 08.00 sampai 16.00. Para pemetik ini datang dijemput dan pulang diantar menggunakan sampan bermesin oleh karyawan Ati.
Menurut Supawi, penghasilan dari memetik cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari.
Supawi dan istrinya Huzaimah setidaknya bisa membawa pulang uang Rp200 ribu dalam satu hari memetik daun di kebun kratom Ati tersebut.