La Koma, 46 Tahun Menggali Kubur di Samarinda: “Kalau Seminggu Tidak ke Kuburan, Rasanya Rindu”
Tim Redaksi
SAMARINDA, KOMPAS.com
– Di sebuah gang sempit di Jalan Rumbia, Samarinda Ilir, hidup seorang lelaki tua yang nyaris tak pernah absen dari pemakaman selama hampir setengah abad.
Warga mengenalnya sebagai Pak Kumis. Nama aslinya La Koma, penggali kubur yang telah menjaga sunyi sejak 1979.
Usianya kini hampir 70 tahun, namun ia masih memanggul cangkul menuju tanah yang sudah menjadi bagian hidupnya lebih lama daripada tempat mana pun yang pernah ia singgahi.
“Aku lahir tahun 1956 di kampung, di hutan. Pindah ke
Samarinda
tahun 71,” katanya, duduk di kursi kayu pada Minggu (23/11/2025).
La Koma tidak pernah merencanakan menjadi penggali kubur. Awalnya ia diminta membantu pemakaman oleh tetua kampung. Sejak itu ia terus memegang linggis.
Pada 1979, ia mulai rutin menggali kubur di Samarinda. “Selain itu saya petani, bangunan, serabutan. Apa saja yang penting bisa buat dapur,” ujarnya.
Hampir seluruh pemakaman di Samarinda pernah ia tangani: Lok Bahu, Lambung Mangkurat, Harapan Baru, hingga pemakaman pesantren di pegunungan.
Namun kini fisiknya tak lagi sekuat dulu. “Sekarang agak jarang. Kuburannya juga penuh. Kecuali kalau ada yang minta ‘gali’,” katanya tersenyum.
Selama 46 tahun, ratusan jenazah pernah ia makamkan—dari bayi hingga lansia.
“Semua ada. Dari usia dua tahun sampai bayi juga,” ucapnya lirih.
Kadang ia tidak dibayar. “Kadang cuma dikasih garam,” ujarnya tertawa kecil.
“Anak-anak itu 50 ribu, orang tua 200 ribu. Tergantung keikhlasan. Kalau TPU lain 1 juta, ada juga yang 3 juta.”
Sejak rekannya meninggal pada 2001, sebagian besar pekerjaan ia lakukan seorang diri.
Meski berat, ia tak pernah menolak panggilan. Ada sesuatu yang terus membuatnya kembali ke pemakaman.
“Kadang seminggu tidak ke kuburan itu rasanya rindu,” katanya.
Dulu ia bahkan merawat seluruh area pemakaman tanpa upah: memotong rumput, membersihkan semak, hingga mengurus pohon tumbang.
“Orang bilang saya tanggung jawab. Kalau dimarahi itu sering. Saya pakai uang pribadi kadang. Yang penting kuburan bersih,” tuturnya.
Bagaimana dengan bantuan pemerintah? Ia tertawa kecil. “Ada… satu linggis, dua cangkul saja.”
Tak selalu mulus. Pernah ia dimarahi keluarga jenazah karena tanah yang menggembung dianggap salah gali.
“Padahal kuburan itu umum. Harusnya sadar,” katanya.
Ia juga pernah mengalami peristiwa yang membekas. Suatu siang ia membersihkan rumput dengan membakar semak. Malamnya ia bermimpi seseorang mengucapkan terima kasih.
Keesokan harinya, ia kembali ke lokasi. “Tidak ada apa-apa, hanya beberapa uang koin,” ceritanya.
Ada pula kejadian saat ia menggali makam di depan panti asuhan, lalu tanpa sengaja mengenai makam anak aparat. Meski sudah berhati-hati, ia tetap dimarahi.
“Saya ini cuma masyarakat biasa. Tapi saya sabar.”
La Koma hidup bersama enam anak dan 16 cucu. Pendidikan formalnya hanya sampai SD, itu pun tidak tamat.
“Tidak bisa baca tulis dulu. Mau daftar polisi tidak bisa,” katanya tersenyum.
Saat tidak ada pekerjaan menggali kubur, ia bekerja serabutan: tukang bangunan, angkut kayu, memperbaiki rumah bocor.
“Lima ribu pun dulu saya ambil. Demi kehidupan,” katanya.
Dari enam anaknya, hanya satu yang kadang membantu. Tidak ada yang benar-benar ingin melanjutkan profesi ini.
“Saya tidak rendah diri. Ini panggilan hati.”
Ketika ditanya tentang harapan untuk pemerintah, ia terdiam lama.
“Sebenarnya… kalau saya kasih pesan, nanti takutnya salah,” ucapnya perlahan.
“Pemerintah itu manusia juga. Mungkin mereka tahu kebutuhan kami. Tapi saya takut bicara.”
Ia tidak pernah menuntut, tidak pernah meminta penghargaan.
“Yang penting itu niat orang masing-masing.”
La Koma tidak pernah tahu berapa lama lagi ia mampu bekerja. Namun selama tubuhnya masih bisa berdiri, ia akan tetap kembali ke pemakaman.
Bagi La Koma, tanah bukan hanya bumi.
Tanah adalah tempat pengabdian.
Tempat sunyi yang ia jaga selama 46 tahun.
Tempat ia merasa paling berguna.
Dan selama tenaganya tersisa, ia akan tetap datang—menggali, menimbun, membersihkan, menjaga.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
La Koma, 46 Tahun Menggali Kubur di Samarinda: “Kalau Seminggu Tidak ke Kuburan, Rasanya Rindu” Regional 23 November 2025
/data/photo/2025/11/23/6922e09b287f0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)