Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kubu terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga timah, Harvey Moeis cs mengkritisi angka kerugian lingkungan Rp 271 triliun yang dihitung ahli dari jaksa penuntut umum.
Pasalnya ahli yang menghitung adalah ahli bidang kehutanan.
Padahal menurut penasihat hukum para terdakwa, Junaedi Saibih, penghitungan kerusakan lingkungan semestinya dilakukan oleh ahli geologi.
“Interpretasi citra satelit atas bukaan tambang seharusnya dilakukan oleh ahli geologi, bukan ahli kehutanan,” kata Junaedi dalam keterangannya, Senin (23/12/2024).
Ia mempertanyakan akurasi angka atas penghitungan dari ahli di Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo.
Sebab dalam hitungannya, ia menyatakan total bukaan tambang pada 2019-2020 mencapai 170.363 hektare.
Menurut Junaedi, data justru menunjukkan mayoritas area terbuka akibat aktivitas tambang PT Timah telah terjadi sebelum Januari 2015.
Pada periode 2015-2022, luasan bukaan hanya 5.658,30 hektare atau 10,86 persen dari total area.
“Ini membantah tuduhan jaksa bahwa kegiatan tambang masif terjadi pada 2015-2022,” jelasnya.
Junaedi pun menyinggung metode penghitungan kerugian lingkungan tidak relevan.
Menurutnya ada kecenderungan campur aduk keilmuan, yang dapat menimbulkan keraguan terhadap objektivitas proses hukum.
Ia mengatakan, penghitungan kerugian lingkungan sudah seharusnya menjadi domain Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang memiliki tupoksi dalam studi kelayakan tambang.
“Menugaskan ahli kehutanan untuk menghitung kerugian di wilayah pertambangan adalah praktik yang mengabaikan prinsip keilmuan,” ujar Junaedi.
Menurutnya jika aspek keilmuan diabaikan, maka ia mempertanyakan apakah yang berproses saat ini benar-benar penegakan hukum atau ada ambisi tertentu di belakangnya.
“Jika aspek keilmuan diabaikan, proses hukum bisa terkesan hanya mengejar ambisi tertentu dan mencederai prinsip keilmuan yang diwariskan secara turun-temurun,” katanya.
Ia pun berharap majelis hakim dapat berhati-hati dan bijaksana dalam mengambil keputusan, mengingat adanya perbedaan pendapat antara ahli geologi dan ahli kehutanan dalam proses persidangan.
“Ini bukan sekadar soal angka, tetapi soal memastikan bahwa penilaian dilakukan oleh pihak yang kompeten di bidangnya,” pungkasnya.