Liputan6.com, Lampung – Dua mahasiswa yang juga anggota Senat Universitas Muhammadiyah (UM) Metro Lampung dikriminalisasi oleh Dekan Fakultas Hukum (FH) kampus setempat. Keduanya menjadi korban kriminalisasi kampus setelah mengkritik fasilitas perguruan tinggi Islam itu yang dinilainya tak memadai.
Penyampaian kritik terhadap fasilitas kampus tersebut terjadi pada akhir Agustus 2024 lalu saat masa taaruf mahasiswa atau Mastama. Alhasil, Senat mahasiswa FH UM Metro pun dibekukan pihak kampus dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) pembekuan oleh Dekan.
Bahkan, keduanya terancam dikenakan sanksi akademik. Kemudian, di dalam SK itu pula terdapat gelar perkara yang dilakukan oleh pihak perguruan tinggi bersama dengan Kepolisian Resor (Polres) Metro.
Atas tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh pihak UM Metro, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, bersama dua mahasiswa anggota Senat pun berencana melaporkannya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Hal ini disampaikan oleh Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas, dalam keterangan persnya, Selasa (19/11/2024).
Prabowo Pamungkas mengatakan, tindakan pemberangusan kebebasan berekspresi yang dilakukan oleh pihak kampus, bertentangan dengan semangat reformasi dan prinsip dasar yang dijamin oleh konstitusi.
“Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk bebas berekspresi dan mengeluarkan pendapat,” ujar Prabowo.
Menurutnya, kritikan yang disampaikan oleh mahasiswa terhadap fasilitas kampus seharusnya bukan menjadi alasan untuk mempidanakan mereka, karena hal itu merupakan kritik konstruktif yang bertujuan untuk kepentingan publik.
“Mahasiswa UM Metro hanya menyuarakan fakta bahwa fasilitas kampus yang ada saat ini tidak memadai. Tindakan kriminalisasi terhadap mereka jelas melanggar hak konstitusional mereka untuk bebas berekspresi,” tegasnya.
Prabowo juga menyoroti peran penting kampus sebagai institusi pendidikan yang seharusnya menjaga dan melindungi kebebasan akademik.
“Kampus harus menjadi tempat di mana kebebasan akademik dan ekspresi dilindungi. Seharusnya, pimpinan kampus bertanggung jawab untuk memastikan kebebasan ini, bukan malah mengekangnya. Ini jelas bertentangan dengan Pasal 8 Ayat (3) Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang menyatakan bahwa kebebasan akademik adalah tanggung jawab sivitas akademika dan harus difasilitasi oleh pimpinan perguruan tinggi,” tambahnya.