Krisis BBM di Selatan Gunungkidul, Masyarakat Menjerit

Krisis BBM di Selatan Gunungkidul, Masyarakat Menjerit

Yogyakarta, Beritasatu.com – Krisis bahan bakar minyak (BBM) kini tengah menghantui warga di wilayah selatan Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), terutama jenis bersubsidi, seperti Pertalite dan Solar, membuat aktivitas pertanian dan perikanan terganggu.

Akses terhadap SPBU yang sangat terbatas serta banyaknya Pertashop yang tak lagi beroperasi memperparah kondisi ini.

Meskipun pemerintah pusat baru-baru ini menurunkan harga BBM nonsubsidi, seperti Pertamax menjadi Rp 12.100 per liter, Pertamax Turbo Rp 13.050, Dexlite Rp 12.740, dan Pertamina Dex Rp 13.200, harga BBM subsidi tetap pada angka semula, yakni Pertalite Rp 10.000 dan Solar Rp 6.800 per liter.

Namun, bagi masyarakat selatan Gunungkidul, harga bukanlah masalah utama, melainkan ketiadaan akses.

Di delapan kapanewon (kecamatan) yang membentang di pesisir dan perbukitan karst selatan, tak satu pun SPBU beroperasi.

Pertashop yang semula diharapkan menjadi solusi, kini banyak yang tutup. Akibatnya, warga terpaksa bergantung pada pengecer BBM di warung-warung kecil meski dengan risiko harga lebih tinggi dan distribusi yang tidak menentu.

Suroyo, seorang petani sekaligus perangkat kalurahan di Purwodadi, Tepus, menggambarkan betapa parahnya krisis BBM di wilayah selatan Gunungkidul.

Untuk mendapatkan solar subsidi, dia harus menempuh perjalanan sejauh 24 kilometer ke pusat Kota Wonosari. Sementara itu, Pertashop terdekat di daerahnya sudah tidak aktif lagi.

Dia juga menjelaskan, beberapa kelompok nelayan di pesisir selatan sebenarnya telah memiliki surat rekomendasi agar bisa membeli BBM subsidi. Namun, distribusinya belum merata dan tak semua nelayan bisa mengaksesnya.

“Saya berharap pemerintah memikirkan kebutuhan di wilayah selatan Gunungkidul yang sangat bergantung pada BBM untuk aktivitas baik pertanian, nelayan, perkantoran, maupun untuk akses sekolah karena angkutan umum hampir tidak ada,” kata Suroyo.

Asih, seorang pengecer bensin di Kanigoro, Kapanewon Saptosari, mengeluhkan ketatnya aturan pembelian BBM menggunakan jeriken.

Padahal, dia hanya ingin membantu warga yang kesulitan transportasi akibat minimnya angkutan umum.

“Sekarang beli BBM pakai jeriken itu susah, harus ada rekomendasi. Padahal kami ini hanya membantu warga yang butuh BBM untuk motornya, untuk anak-anak sekolah dan mesin pertanian,” keluh Asih.

Regulasi yang ketat memang diterapkan Pertamina untuk mencegah penyalahgunaan BBM bersubsidi.

Area Manager Communication, Relations & CSR Pertamina Patra Niaga, Taufiq Kurniawan menjelaskan, penyaluran BBM telah diatur berdasarkan karakteristik wilayah.

Namun dia menegaskan, pihaknya terbuka untuk mencari solusi bersama jika ada kebutuhan khusus, terutama di wilayah terpencil.

Meski demikian, warga berharap pemerintah pusat dan Pertamina bisa mengambil langkah nyata.

Untuk mengatasi krisis BBM di wilayah selatan Gunungkidul, masyarakat mendesak adanya pembangunan SPBU baru, penguatan jaringan Pertashop, atau setidaknya skema distribusi khusus yang menjangkau desa-desa yang selama ini tertinggal dalam pemerataan energi.