Pontianak, yang lahir pada 23 Oktober 1771, terus menata dirinya. Pemerintah setempat kini berdialog dengan TNI AD untuk memperluas area Tugu Khatulistiwa agar menjadi destinasi wisata unggulan dunia.
Data kunjungan mencatat lebih dari 50 ribu orang memasuki kawasan itu hingga Agustus 2025, dan angka itu terus merangkak naik.
Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Kota Pontianak, Rizal Almutaha menegaskan kulminasi adalah sarana edukasi.
“Bukan hanya festival, tetapi pusat pembelajaran,” katanya.
Ia percaya Tugu Khatulistiwa bisa menjadi landmark global, menandingi menara-menara ikonik dunia.
Simfoni Tanpa Bayangan
Kala sore merayap, musik tradisi berpadu dengan tawa anak-anak yang baru saja menegakkan telur di lantai marmer. Matahari turun perlahan, bayangan kembali hadir, namun kesan tak memudar.
Kulminasi telah menulis kisah lain tentang Pontianak, kota yang berdiri di garis imajiner bumi, kota yang menolak dilupakan.
Di antara riuh tepuk tangan, wisatawan mancanegara menggenggam sertifikat digital kunjungan Tugu Khatulistiwa simbol bahwa mereka pernah berada di titik nol dunia.
Sebuah tanda bahwa Pontianak bukan hanya persinggahan, tetapi rumah singkat bagi jiwa-jiwa yang mencari keajaiban.
Dan ketika malam menutup tirai, langit kembali bersinar penuh bintang. Bayangan kembali setia, tapi kenangan tentang siang tanpa bayangan tinggal abadi.Pontianak menari dalam ingatan, memantulkan cahaya matahari yang pernah tegak lurus, menghadirkan kekaguman yang tak pudar.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5359461/original/003168200_1758674557-DSC_14212_Kulminasi_Matahari.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)