Korban Pinjol Kena Mental, Diteror 60 Telepon Sehari dan Anak Terancam Megapolitan 4 Desember 2025

Korban Pinjol Kena Mental, Diteror 60 Telepon Sehari dan Anak Terancam
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        4 Desember 2025

Korban Pinjol Kena Mental, Diteror 60 Telepon Sehari dan Anak Terancam
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Ponsel milik Siska (bukan nama sebenarnya) tidak pernah benar-benar hening.
Bunyi dering dan notifikasi pesan berdentang siang dan malam, seperti alarm yang menandai ketakutan yang tak kunjung reda.
Setiap telepon, entah dari nomor lokal maupun luar negeri, membawa satu pesan yang sama, menagih utang.
Bagi Siska, ibu tunggal berusia 32 tahun yang berjuang menghidupi anaknya dengan penghasilan dari membantu warung tetangga, telepon itu bukan sekadar pengingat.
Bunyi deringnya berubah menjadi ancaman yang menekan secara psikologis.
Dua bulan terakhir, setiap langkah Siska di rumah kontrakannya terasa diawasi. Setiap ketukan pintu membuat dadanya berdebar.
Ia selalu melihat kanan-kiri sebelum keluar rumah, bahkan untuk sekadar membeli sembako.
Intensitas panggilan meningkat seiring waktu. Dalam sehari, Siska bisa menerima puluhan panggilan dan pesan WhatsApp.
Ada yang berbicara halus, tetapi tak jarang yang langsung membentak atau mengancam.
Bahkan foto KTP Siska sempat diedit dan digunakan untuk menakut-nakuti. Bagi Siska, ancaman itu bukan sekadar kata-kata di layar, melainkan tekanan nyata yang merusak rasa aman dan ketenangan hidupnya.
“Nelepon sampai 60 kali sehari pernah. Kadang dari nomor luar negeri. WA juga
spam,”
kata Siska.
Dari telepon yang terus berdering inilah, cerita tentang teror
pinjaman online
ilegal bermula.
Sebuah lingkaran menakutkan yang membuat korban seperti Siska sulit bernapas dan terus terjebak dalam ketakutan.
Tekanan tidak berhenti pada jumlah panggilan. Nada bicara
debt collector
berubah-ubah, mulai dari berpura-pura sopan hingga langsung kasar.
Siska mengingat bagaimana beberapa penagih memulai percakapan dengan halus seolah peduli, kemudian tiba-tiba meninggikan suara ketika ia mencoba memberi penjelasan.
“Pernah tuh mereka kirim foto KTP saya yang mereka edit-edit, bilang saya mau ditangkap polisi,” kata Siska.
Ancaman seperti itu bukan hal asing dalam modus penagihan
pinjol
ilegal.
Mereka memanfaatkan data pribadi korban, termasuk foto KTP dan kontak telepon, sebagai senjata untuk menekan psikologis.
Bagi Siska, ancaman bahwa dirinya akan “dicari polisi” atau “dijemput paksa” adalah bentuk teror yang paling memukul mentalnya.
Ia tahu dirinya tidak melakukan kejahatan, tetapi intensitas penyampaian para penagih membuat informasi palsu itu terasa nyata.
Ia mulai takut membuka pesan. Namun, tidak membuka pesan pun bukan solusi, karena telepon akan terus berdatangan. Setiap pilihan terasa salah.
“Saya enggak tahu harus gimana,” ujar dia.
Setiap kali Siska menolak angkat telepon, intensitas panggilan justru meningkat. Dari belasan menjadi puluhan.
Ketika pinjaman dari aplikasi yang ia gunakan jatuh tempo,
debt collector
mengirim pesan beruntun tanpa henti, seolah ingin memastikan korban tidak sempat berpikir jernih.
Panggilan itu datang bergantian, seakan dioper dari satu penagih ke penagih lain. Nomor yang berbeda-beda membuat Siska tak bisa memblokir semuanya.
“Kalau HP saya bunyi, perut langsung mules,” ujar dia.
Sejak teror telepon dimulai, ruang hidup Siska semakin menyempit. Kontrakan yang ia tempati bersama anaknya bukan lagi tempat yang aman seperti dulu.
Setiap ketukan pintu, bahkan yang berasal dari tetangga, membuatnya terlonjak ketakutan.
“Kalau ada suara motor berhenti di depan rumah, saya langsung mikir itu mereka,” ucap dia.
Setiap kali melangkah keluar rumah untuk sekadar membeli sembako atau mengantar anaknya ke sekolah, ia selalu melihat sekeliling, memastikan tidak ada orang mencurigakan.
Selama dua bulan penuh, Siska mematikan ponselnya pada siang dan malam hari.
Hanya saat kebutuhan mendesak ia berani menyalakannya sebentar, lalu segera mematikannya kembali. Hidupnya seperti berada dalam mode bertahan.
“Saya sampai takut liat HP. Bunyi notif apa pun bikin deg-degan,” ujar dia.
Jika tekanan melalui pesan pribadi belum cukup, penagih mulai menyerang hal yang lebih sensitif, hubungan sosial dengan keluarga dan lingkungan sekitar.
“Mereka juga sebar berita ke tetangga, bilang saya kabur bawa uang,” tutur Siska.
Bagi banyak korban, inilah fase yang paling memalukan. Bukan hanya dituduh sebagai pencuri, tetapi informasi pribadi mereka disebarkan secara sengaja untuk mempermalukan.
Beberapa tetangga mulai bertanya-tanya, sebagian percaya, sebagian lainnya hanya diam tak memperdulikan.
Dampak sosial ini membuatnya semakin terpuruk.
“Saya malu sama tetangga,” ucap dia.
Perlakuan kasar kepada dirinya sudah cukup membuat Siska stres berat.
Namun, ancaman yang melibatkan keselamatan anaknya menjadi titik terendah dari seluruh perjalanan ini.
Ia mengaku tidak akan pernah melupakan momen ketika seorang penagih menyebut anaknya.
“Waktu mereka ngomong mau ngejemput paksa anak saya. Padahal anak saya masih SD. Saya langsung nangis kejer,” kata dia.
Ancaman itu datang melalui pesan yang dikirim pada malam hari. Siska membacanya berkali-kali sebelum akhirnya mematikan ponsel dan menangis hingga tertidur.
Sebagai seorang ibu tunggal, ancaman itu menusuk langsung ke pusat ketakutannya.
Sejak itu, ia melarang anaknya bermain di luar rumah sendirian. Bahkan ketika hendak ke sekolah, ia memastikan selalu mengantar.
Kondisi panik ini menyebabkan Siska mengalami gangguan kesehatan.
Menurut Pengacara Publik LBH Jakarta, Alif Fauzi, selama beberapa tahun terakhir, LBH melihat semakin banyak korban yang meminjam bukan untuk konsumsi, tetapi untuk menutup hutang dari aplikasi sebelumnya.
Proses ini mirip sekali dengan pola korban judi online berupa lingkaran yang tak ada ujungnya. Namun dalam konteks pinjol, eksploitasi lebih sistematis.
“Ini menguatkan adanya praktik yang eksploitatif dalam penyelenggaraan pinjaman online. Secara posisi hukum, ini juga menunjukkan ketiadaan perlindungan hukum bagi warga negara yang menghadapi masalah pinjaman online,” ujar dia.
Di mata Alif, para peminjam ini bukanlah “debitur nakal” seperti stigma yang sering beredar. Mereka tak bisa dianggap pihak yang lalai, tetapi korban.
“Bisa (disebut korban), sejauh ini praktik pengambilan data berbasis pada aplikasi yang terinstal (medium ICT/ITE), dan secara sistematis dipindahtangankan kepada pihak
debt collector
atau pihak aplikasi yang tidak terdaftar,” jelas Alif.
Dengan kata lain, mereka adalah korban perdagangan data, korban eksploitasi sistem digital, dan korban kebijakan yang tidak protektif.
Menurut Alif, alasan korban enggan melapor sangat jelas karena takut dipermalukan, takut dikriminalisasi, dan takut data pribadi mereka makin tersebar.
“Seringkali korban juga takut data pribadi dan nomor kontak di gawainya disalin dan disebarkan yang menyebabkan malu karena masalah pinjaman online yang dihadapinya,” kata dia.
Bagi korban, teror sosial jauh lebih mematikan daripada teror tagihan.
Alasan seseorang pertama kali meminjam melalui aplikasi pinjol cenderung seragam.
Tekanan ekonomi menjadi faktor utama, seperti kebutuhan untuk makan, membayar kontrakan, biaya sekolah anak, modal usaha yang terhambat, atau sekadar menutupi tagihan sehari-hari.
“Selain itu, ada juga karena data pribadinya digunakan untuk mengajukan aplikasi pinjaman online,” ujar Alif.
Dalam banyak kasus, korban awalnya mencari solusi cepat untuk kebutuhan mendesak.
Namun, alih-alih mendapatkan bantuan, mereka justru terjebak dalam mekanisme penagihan yang menekan mulai dari bunga yang tidak wajar, biaya administrasi tersembunyi, hingga penyebaran data pribadi.
LBH mencatat bahwa sebagian besar orang pertama kali terjerat pinjol karena promosi melalui telepon tanpa diminta.
“Belakangan banyak aplikasi pinjaman online yang menawarkan pinjaman online melalui telepon dengan nomor yang tidak dikenal,” jelas Alif.
Siklus terjerat ini kemudian diperkuat oleh tekanan verbal dari debt collector.
Di samping itu, besaran bunga dan biaya tambahan yang tidak sesuai aturan menjadi pemicu utama utang semakin membengkak.
“Bunga, admin, denda, dan penetapan bunga tidak sesuai standar/regulasi yang ada,” kata Alif.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.