Korban Pemerasan VCS Kakak Beradik Bayar Puluhan Juta agar Video Pribadi Tak Disebar Megapolitan 6 Mei 2025

Korban Pemerasan VCS Kakak Beradik Bayar Puluhan Juta agar Video Pribadi Tak Disebar
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        6 Mei 2025

Korban Pemerasan VCS Kakak Beradik Bayar Puluhan Juta agar Video Pribadi Tak Disebar
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Korban
sextortion
atau tindak pidana
pemerasan
disertai ancaman penyebaran konten seksual oleh kakak beradik asal Palembang, Sumatera Selatan, MD (25) dan I (27), terpaksa membayar puluhan juta rupiah agar video pribadi mereka tidak disebarluaskan.
“Untuk kerugian itu bervariasi, itu ada korban transfer jutaan sampai puluhan juta,” kata Kasubdit IV Direktorat Reserse Siber Polda Metro Jaya AKBP Herman saat ditemui di Polda Metro Jaya, Selasa (6/5/2025).
“Jadi mereka (korban) takut informasi tersebut tersebar ke keluarga, atau yang sudah berkeluarga takut video itu diketahui istri atau suaminya,” lanjutnya.
Dalam kasus ini, puluhan pria menjadi korban I dan MD. Namun, Herman tidak menampik bahwa ada juga perempuan yang turut menjadi korban.
Dari puluhan korban, baru satu yang membuat laporan polisi (LP) di Polda Metro Jaya. Sebagian besar korban lainnya memilih untuk tidak melapor karena khawatir identitas mereka terungkap.
“Terhadap kejahatan dengan modus operandi ini sangat sering terjadi, namun tidak banyak korban yang mau melaporkan tindak pidana tersebut, karena sangat sensitif terdapat konten intim atau privasi pribadi,” ujar Herman.
Herman menjelaskan, awalnya MD membuat akun palsu di aplikasi Bigo dengan menggunakan foto seorang perempuan yang diambil tanpa izin.
Setelah itu, ia mengunggah video-video seorang perempuan yang bersifat erotis untuk menarik perhatian korban.
“Jadi dia (pelaku) berpura-pura seolah-olah menjadi sosok seorang perempuan yang cantik, sehingga nanti akan ada korban yang tertarik untuk berkomunikasi dan melakukan pertemanan,” kata Herman.
Sejumlah korban yang tertarik berkomunikasi kepada pelaku melalui
Direct Message
Bigo. Percakapan antara pelaku dan korban pun berlanjut ke Telegram.
Setelah berkomunikasi lebih lanjut di Telegram, pelaku membujuk dan merayu korban untuk melakukan VCS.
“(Saat VCS, kamera)
handphone
tersebut diarahkan ke video yang diputar dengan
handphone
lain, yang video tersebut memutar sosok seorang perempuan yang bersifat vulgar,” ujar Herman.
“Mengajak korbannya untuk melakukan
video call
yang sifatnya pribadi atau intim, sehingga menunjukkan organ-organ intim pada si korban,” tambah dia.
Herman berujar, korban tidak sadar bahwa perempuan dalam
video call
tersebut hanyalah sebuah video.
Selain itu, korban tidak sadar bahwa aktivitas VCS tersebut direkam oleh pelaku. Rekaman pribadi itu kemudian digunakan oleh MD untuk memeras korban.
“Jika korban tidak menuruti apa yang diminta oleh pelaku, maka pelaku akan mengancam menyebarkan video tersebut kepada keluarga ataupun rekan-rekan terdekat korban,” ungkap Herman.
Sebelum melakukan pemerasan, pelaku terlebih dahulu mengumpulkan informasi pribadi tentang korban untuk memperlancar aksinya.
“Terhadap laporan (BP) yang kami tangani, kerugian yang dialami korban kurang lebih Rp 2,5 juta,” ucap dia.
Herman mengungkapkan, aksi pemerasan ini telah dilakukan oleh MD dan I sejak pertengahan 2024, dengan keuntungan yang diperkirakan mencapai ratusan juta rupiah.
Kini, MD sudah ditangkap Subdit IV Direktorat Reserse Siber Polda Metro Jaya. Sementara, I masih diburu oleh penyidik.
MD dijerat dengan Pasal 45 ayat (10) jo. Pasal 27B ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Ia terancam pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.