TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Haryadi, mengatakan bahwa skema blending dalam produksi bahan bakar minyak (BBM) diperbolehkan.
Skema tersebut tidak dilarang selama tidak menurunkan kualitasnya.
Dia menekankan skema blending merupakan praktik yang sah dan umum dilakukan dalam industri energi, termasuk dalam sektor batu bara dan BBM.
“Yang harus digarisbawahi, enggak ada itu skema oplosan. Jadi, di dalam minerba adanya skema blending. Itu sah-sah saja selama tidak menurunkan kualitas,” ujar Bambang kepada wartawan, Kamis (27/2/2025)
Dia mencontohkan skema ini dilakukan dalam industri batu bara.
Perusahaan tambang diperbolehkan mencampur batu bara dengan nilai kalor lebih tinggi dan lebih rendah untuk mencapai spesifikasi tertentu.
“Misalnya batu bara dengan GAR 5.000 dicampur dengan yang 4.000 supaya menjadi 4.500, itu bisa diblending. Aturan pemerintah membolehkan,” ujar Bambang.
Legislator Gerindra itu menegaskan bahwa istilah “oplosan” lebih identik dengan pencampuran ilegal yang menurunkan kualitas bahan bakar.
“Oplosan itu kalau misalnya bensin dicampur minyak tanah, atau cairan lain yang mengubah kualitas, itu baru namanya oplosan,” ujar Bambang.
Dia menjelaskan bahwa semua jenis BBM memang melalui proses blending, baik di tahap produksi maupun di kilang minyak.
Hal ini dilakukan untuk memastikan setiap varian BBM memiliki nilai oktan atau Research Octane Number (RON) yang sesuai standar.
“Semua jenis bensin pasti di-blending, baik di teknik produksi maupun di kilang pun akan di-blending. Kan kita ada beberapa jenis RON, ada 90, 92, 95, dan 98. Itu standar spesifikasi dunia,” kata Bambang.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung kembali menetapkan dua tersangka baru dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah di PT Pertamina periode 2018-2023 yang rugikan negara Rp 193,7 triliun.
Adapun dua orang tersangka itu yakni Maya Kusmaya selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Niaga dan Edward Corne selaku VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga.
Direktur Penyidikan pada Jampdisus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan, penetapan tersangka terhadap Maya dan Edward setelah ditemukan adanya alat bukti yang cukup terkait tindak pidana korupsi yang dilakukan keduanya.
“Penyidik telah menemukan bukti yang cukup bahwa kedua tersangka tersebut diduga melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan tujuh tersangka kemarin,” kata Qohar dalam jumpa pers, Rabu (26/2/2025).
Sebelum ditetapkan tersangka, penyidik lanjut Qohar sempat melakukan jemput paksa terhadap keduanya.
Pasalnya dua petinggi PT Pertamina Patra Niaga itu tidak hadir ketika hendak dilakukan pemeriksaan sebagai saksi atas kasus korupsi tersebut.
“Jadi kedua tersangka kita panggil dengan patut jam 10 namun demikian sampai jam 2 yang bersangkutan belum hadir sehingga kita terpaksa menjemput yang bersangkutan di kantornya,” jelas Qohar.
Usai ditetapkan sebagai tersangka, keduanya pun ditahan selama 20 hari pertama di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba Cabang Kejaksaan Agung.
Sedangkan akibat perbuatannya, Maya dan Edward pun diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo Pasal 55 Ayat 2 ke-1 KUHP.
Alhasil kini Kejagung telah menetapkan sebanyak 9 orang tersangka dalam kasus yang merugikan negara senilai Rp 193,7 triliun.
Adapun ketujuh orang tersangka yang sebelumnya telah ditetapkan itu yakni RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, SDS selaku Direktur Feedstock And Produk Optimitation PT Pertamina Internasional, ZF selaku Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shiping.
Kemudian AP selaku Vice President (VP) Feedstock, MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Katulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Katulistiwa dan DRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Akibat perbuatannya, para tersangka pun diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 Juncto Pasal 3 Juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Usai ditetapkan sebagai tersangka mereka kini ditahan selama 20 hari ke depan.