Kisah Warga Pamulang Beli Lahan Makam Sebelum Waktu Berpulang Tiba Megapolitan 20 Oktober 2025

Kisah Warga Pamulang Beli Lahan Makam Sebelum Waktu Berpulang Tiba
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        20 Oktober 2025

Kisah Warga Pamulang Beli Lahan Makam Sebelum Waktu Berpulang Tiba
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Keputusan untuk membeli lahan makam biasanya dilakukan seseorang saat ada anggota keluarga yang meninggal dunia atau memasuki usia senja.
Namun, bagi Sakina (35), warga Pamulang, Tangerang Selatan, keputusan itu justru dibuatnya jauh sebelum waktunya tiba.
Ia masih mengingat jelas momen saat keluarga besarnya membahas rencana membeli lahan makam pada akhir 2013, menjelang masa pensiun sang ayah pada tahun berikutnya.
“Waktu itu orangtua tuh, bokap tuh mau pensiun di 2014. Ya dia ngobrol lah sama anak-anaknya nih, kan dapet duit, mau diapain ya itu uang (pensiun). Aku bilang sama orangtuaku mendingan cari lahan makam deh,” kata Sakina kepada
Kompas.com
, Senin (20/10/2025).
Sakina bercerita, keluarganya memang sudah menjadi anggota rukun kematian di masjid lingkungan rumahnya.
Namun, ia merasa belum tenang jika belum memiliki lahan makam sendiri. Ia pun menilai membeli lahan makam lebih menenangkan karena tak perlu panik jika waktu kematian datang tiba-tiba.
“Aku bilang sama orangtua kan kalau misalnya kita itu kan dimandiin, dikafanin, disolatin tuh insyaAllah kan udah ada yang ngurus lah ya. Cuman
concern
-nya itu kan mau dikubur di mana. Karena waktu itu kan lahan makam tuh udah mulai terbatas lah,” ujarnya.
Ide tersebut diterima dengan baik oleh orangtuanya. Bahkan, sang ibu langsung bergerak mencari lokasi makam yang cocok untuk dimiliki keluarga.
“Ya akhirnya jadi pas orangtua, bokap itu pensiun, dapet uang pensiun, dari uang itu ibuku tuh nyari lah lahan makam di mana,” ujarnya.
Setelah berdiskusi dan meninjau beberapa lokasi, keluarga Sakina akhirnya memutuskan membeli lahan di sebuah taman pemakaman bernama TPBU Taman Giritama Parung, Kabupaten Bogor.
“Waktu itu kan udah ada San Diego Hills kan, cuman kan jauh banget rumah di Pamulang, terus itu (San Diego Hills) di Karawang jauh lah. Intinya enggak bisa nyekar sesering itu kan pasti,” ujar Sakina.
“Akhirnya memutuskan untuk di TPBU di taman (Giritama) itu karena dia (ibu) mikirnya lokasinya enggak terlalu jauh dari rumah dan dia udah ngerti yang ada di pikiran dia rutenya aku udah tau, ibuku udah tau,” tambahnya.
Namun, menurut Sakina, lahan di TPBU itu tidak bisa dibeli sembarang orang karena diperuntukkan bagi pensiunan TNI-Polri.
“Jadi dulu kalau beli di situ Itu kan karena pengelolaan yang didirikan sama Purnawirawan Polri. Jadi yang bisa daftar itu Purnawirawan TNI Polri sama pensiunan PNS,” ungkap dia.
“Nah karena ibu bapakku itu bukan PNS dan bukan anggota TNI-Polri, ibuku minjem SK PNS-nya nenekku,” imbuh dia.
Sakina mengatakan, suasana di taman pemakaman tersebut membuat ibunya langsung merasa cocok dan tenang meski belum digunakan.
“Tempatnya tuh dia langsung ngerasa nyaman, padahal belum tinggal disitu dia udah ngerasa kayak asik nih tempatnya, adem, teduh, rindang banyak pohon-pohon buah,” ujarnya.
Sakina mengungkapkan, harga lahan yang ditawarkan saat itu masih tergolong terjangkau jika dibandingkan dengan kondisi saat ini yang sudah naik cukup signifikan.
“Jadi waktu itu tuh kalau gak salah ya harganya ya pokoknya antara Rp 8 juta atau Rp 10 juta, pokoknya enggak nyampe Rp 10 juta per lubang. Ibuku beli tiga, terus dia bilang udahlah pokoknya murah 15 atau 16 juta (untuk tiga lobang makam) sekitar itu,” kata Sakina.
Lahan yang dibeli pun langsung dikavling dan diberi nama agar jelas kepemilikannya. Menurut Sakina, hal itu memberikan rasa lega bagi keluarganya.
“Jadi begitu waktu itu, aku beli cuma satu lubang aja udah nanti dikasih kan disemenin tuh, nanti dibawahnya ada nama kita. Jadi ibuku beli tiga, ada tiga masing-masing liang itu ada nama ibuku. Enaknya sih gitu, dikavlingin, kayak di bawah nih tanda udah ada yang punya,” katanya.
Kini, dua liang makam sudah digunakan untuk kedua orangtuanya yang telah berpulang. Sakina mengaku bersyukur telah mengambil keputusan membeli lahan makam sejak dini.
“Kalau menurutku itu malah justru keputusan yang sangat bijak karena bapakku meninggal mendadak, ibuku meninggal karena sakit. Dan mereka  ibuku meninggal malam. Jadi kita udah bener-bener tenang ga mikir mau dimakamin di mana,” tutur Sakina.
Ia juga menilai pengelolaan TPBU Giritama cukup profesional. Area makam rutin dirawat meski belum digunakan, dengan iuran perawatan sekitar Rp 300.000 per liang setiap tahun.
“Tahunan, tahunan itu walaupun gak dipakai tetep dirawat. Sekarang aja udah dihuni sama bokap nyokap, satu lobang tuh Rp 300.000an setahun. Jadi aku bayar tiga itu per tahun kira-kira Rp 900.000-an,” katanya.
Selain itu, pihak pengelola juga menyediakan berbagai fasilitas tambahan berupa penyiapan tenda, pengeras suara, hingga petugas pengiring doa, termasuk layanan darurat selama 24 jam.
“Jadi mereka menyediakan
hotline
WA 24 jam. Kan orang meninggal bisa kapan aja ya. Jadi kita langsung lapor. Karena kan itu udah ada nomornya nih, misal di taman apa gitu, jadi nanti kayak pas bokap nyokap aku meninggal langsung WA, nanti mereka akan langsung jawab tuh. Itu bener-bener
fast response
banget tuh WA 24 jam, nanti dia siapin,” ujarnya.
Menurut Sakina, keputusan membeli lahan makam sejak dini bukanlah bentuk pesimisme, melainkan cara keluarga untuk mempersiapkan diri dengan tenang menghadapi waktu kematian yang pasti datang.
“Jadi orangtua sebenernya takutnya itu karena kan kayak kalau mereka belinya TPU takutnya udah penuh. Akhirnya
random
. Jadi mendingan persiapkan diri dulu, mau ditanam di mana,” katanya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.