Lalu kabar pecah, membawa napas panjang. Wak Daeng ditemukan. Sepuluh nautical mile dari Muara Ketapang, lelaki itu terapung bersama kapalnya. Tubuhnya lelah, tapi mata masih memegang bara hidup.
Ia pulang bukan sebagai pahlawan, melainkan sebagai bukti bahwa harapan keras kepala bisa menunda maut.
Proses evakuasi selesai, tubuhnya dibawa kembali ke rumah. Warga berkerumun, menyambut dengan campuran lega dan rasa bersalah. Bagaimana mungkin seorang ayah harus mempertaruhkan nyawa hanya untuk memenuhi dapur?
Di sudut rumahnya yang sederhana, Wak Daeng tak banyak bicara. Kata-kata tak cukup menggambarkan pertemuannya dengan gelapnya laut. Ia hanya sesekali menghela napas panjang, seakan menakar kembali keputusan-keputusannya.
Namun kisahnya bukan sekadar cerita keberanian. Ini juga potret getir yang terlalu akrab bagi banyak nelayan pesisir Kalimantan Barat. Harga ikan yang tak menentu, bahan bakar melambung, dan kebijakan yang sering hanya indah di atas kertas membuat mereka berdiri di tepi jurang setiap kali melaut.
Laut adalah ladang sekaligus lotre maut. Setiap keberangkatan adalah taruhan, setiap kepulangan adalah anugerah. Wak Daeng mungkin selamat kali ini, tapi berapa banyak nama lain yang hilang di balik ombak tanpa sempat diceritakan?
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5360127/original/030382300_1758699832-DSC_42822_Kisah_pilu_Wak_Daeng_nelayan_asal_Kabupaten_Ketapang_Kalimantan_Barat_yang_hilang_dua_hari_di_laut_demi_nafkah.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)