Kisah Siti Aisyah, Ibu 5 Anak Berprofesi Penambal Ban Truk di Surabaya Surabaya 1 Desember 2025

Kisah Siti Aisyah, Ibu 5 Anak Berprofesi Penambal Ban Truk di Surabaya 
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        1 Desember 2025

Kisah Siti Aisyah, Ibu 5 Anak Berprofesi Penambal Ban Truk di Surabaya
Tim Redaksi
SURABAYA, KOMPAS.com
– Siti Aisyah (35), memakai wearpack tambang berwarna orange, tampak lusuh karena bekas oli yang menempel di semua sisinya.
Ia duduk di bahu jalan menunggu sopir truk yang menepikan kendaraannya.
Setiap hari Minggu, Aisyah dan suaminya, Aspriyanto (45) membuka lapak tambal ban di pinggir jalan kawasan Jalan Kalianak, salah satu jalan utama yang menghubungkan Gresik dan
Surabaya
.
Mereka baru saja tiba membuka lapak yang jarak tempuh dari kontrakannya memakan waktu tempuh hanya sekitar 5 menit menggunakan kendaraan roda empat.
Mobil pickup tua jadi andalan yang mengantarkan mereka mencari uang setiap hari. Banyak bagian mobilnya yang sudah berkarat termakan usia dan jarak tempuh.
Namun, hanya mobil tua itulah yang menjadi kendaraan utama mereka karena bisa memuat diesel pengisi angin untuk melayani penambalan ban truk.
“Kalau hari Minggu gini buka lapak karena kondisi jalan gak begitu ramai dan macet. Untuk hari biasa sesuai panggilan aja kami ke lokasi yang dituju,” kata Aisyah saat ditemui Kompas.com, Minggu (30/11/2025).
Setelah beberapa saat duduk di bahu jalan, seorang sopir truk berwarna biru menepikan kendaraannya di lapak Aisyah.
Sopir itu tak banyak bicara, ia keluar dari pintu truk dan mengatakan ke Aisyah, “bocor (bannya),” kata si sopir.
Tanpa basa-basi, Aisyah dan suaminya mengeluarkan alat tempur dari bak mobil. Beberapa komponen berbahan besi dan tajam diurai begitu saja.
Tak lupa ia juga memasang trypod untuk memulai live TikTok. “Iya saya kerja sambil live TikTok,” ujarnya singkat.
Impact wrench (kunci impak) dengan berat sekitar 20 kilogram diangkat dengan mudah oleh Aisyah, sudah terbiasa, batinnya.
Lalu cekatan mencungkil pelek dengan pukulan paku besi, membongkar bagian dalam.
“Saya spesialisasi ban truk brigestone 1100,” tegas Aisyah dengan penuh keyakinan.
Ban yang berat itu diangkat dan dibalik olehnya seorang diri dengan tangan kosong.
Aisyah merupakan perempuan asal Karawang, Jawa Barat yang sudah menetap dan menjadi warga Kota Surabaya, Jawa Timur sejak 15 tahun belakangan usai menikah dengan suaminya.
Ibu lima anak
ini, setiap hari menghadapi teriknya panas dan hujan Kota Surabaya, bergelut dengan debu kawasan Pantura. Tangan kasarnya menjadi “juru selamat ban”.
“Anak saya lima, tiga anak saya di kontrakan saya tinggal. Yang keempat ikut saya kerja ini, kalau yang bungsu saya pulangkan ke Karawang, dirawat orang tua,” tuturnya.
Faktor ekonomi dan waktu terbatas membuatnya harus rela menitipkan si bungsu ke kampung halaman sejak usianya baru dua bulan. Sudah tak terhitung untaian rindu yang ingin ia segera peluk.
Meski begitu, ia merasa bangga menjalani profesi sebagai tukang tambal ban. Ia tidak hanya menjadi mandiri tetapi juga bersyukur bisa menghidupi dan merawat anak-anaknya.
“Karena profesi ini saya bisa menjadi seorang ibu, bisa menjadi seorang istri, dan bisa cari uang juga,” ungkapnya dengan bangga.
Sebelum menjadi tukang tambal ban truk, Aisyah pernah bekerja sebagai buruh pabrik plastik dan sparepart dengan gaji Rp 40.000 hingga Rp 70.000 per hari delapan jam kerja.
Namun, saat ia bekerja sebagai buruh pabrik, ia tak tega meninggalkan anak-anaknya mengurus diri di rumah sehingga memutuskan resign.
“Gini pun kalau sebelum berangkat nambal, saya pastikan dulu anak-anak sarapan dan berangkat sekolah, baru saya berangkat kerja,” tuturnya.
Suaminya juga bekerja serabutan sebagai pegawai tambal ban dan kuli bangunan.
Suatu hari, mereka memutuskan untuk mengambil pinjaman ke bank dengan nominal Rp 15.000.000 untuk modal membuka bengkel tambal ban.
Tak berjalan mulus, Rp 15.000.000 tak cukup karena harga alat-alat yang mahal. Berjalan seadanya, tak banyak pelanggan yang mampir dan usaha mereka perlahan merosot.
Sempat putus asa, Aisyah dan suaminya pulang kampung ke Karawang untuk meminta doa orang tua.
Setelahnya, mereka kembali ke Surabaya dan memberanikan diri mengambil pinjaman lagi Rp 50.000.000 untuk melengkapi alat dan membeli mobil pick up bekas.
“Sekarang pun masih ada utangnya. Kurang satu tahun lagi lumas, semoga,” ujarnya dengan perasaan sedikit lega.
Dari pinjaman tersebut, Aisyah juga membuka usaha warung nasi kecil-kecilan.
Pada saat ia mulai memiliki banyak pelanggan, ujian kembali datang.
Suaminya, mengalami kecelakaan kerja dan patah tulang hingga melemah. Aspriyanto tak mampu mengangkat beban berat. Ia tak menjalani operasi, hanya berobat secara tradisional.
“Kami punya BPJS, tapi kami pernah kecewa ke rumah sakit, suami saya dikata ODGJ karena kecelakaan kerja sebelumnya pas jadi kuli.”
“Dokternya gak percaya kalau indra penciuman hidungnya gak berfungsi gara-gara jatuh terus giginya nancap. Di sisi lain, kalau operasi kami tidak bisa bekerja,” tuturnya.
Akhirnya, Aisyah memutuskan berhenti berjualan nasi dan membantu suaminya mencari uang dengan menambal ban truk.
Aisyah bagian kerja berat, sementara suaminya membantu menyiapkan peralatan, menambal dan mengisi angin.
“Saya memilih tambal ban daripada warung. Awalnya suami melarang tetapi saya melihat dia capek jadi saya mau bantu.
“Saya belajar sendiri. Saya bilang ke suami bagian nyupir saja, saya yang kerja, suami duduk sambil nangis,” terangnya.
Bekerja sebagai tukang tambal ban truk tentu tak mudah bagi Aisyah. Ia mengalami keram di sebagian anggota tubuhnya. Kaki dan pahanya sudah pernah tertimpa pelek dan mesin diesel hingga terasa sakit.
“Saya gak ke dokter, cuma pijat-pijat saja. Kerja ini harus teliti, salah langkah bisa meledak bannya, tangan suami saya patah itu karena ban meledak,” tuturnya.
Memiliki penghasilan tak tentu sekitar Rp 50.000 hingga Rp 100.000 per hari, ia bertahan untuk biaya hidup dan membayar sisa-sisa cicilan.
Sebagian lagi, ia kirim ke kampung halaman.
“Anak-anak juga pengertian sekali. Mereka gak pernah merengek minta apa-apa dan bilang, ‘ibu itu sudah capek bekerja’,” ia mengingat perkataan si sulung yang berusia 15 tahun.
Berawal dari iseng dan sekadar ingin berbagi cerita, Aisyah bersyukur mendapat sedikit tambahan pendapatan dari aktivitasnya di media sosial.
“Saya live itu awalnya gak tahu kalau ada uangnya. Karena saya cuma pengin cerita, saling berbagi semangat ke orang-orang, tapi buat saya bersyukur lagi,” katanya.
Baginya, senyum anak-anaknya yang menyambut saat pulang bekerja membuatnya lebih kuat menghadapi tantangan hidup.
“Saya tidak minta dibahagiakan anak atau suami, saya bisa membahagiakan diri sendiri dengan cara bersyukur dengan apa yang Tuhan kasih ke saya,” ujarnya.
Senyumnya tak pernah turun dari garis bibirnya meski setiap hari puluhan kilo besi yang ia angkat.
Berinteraksi dengan penonton di media sosial justru membuatnya lebih semangat dalam bekerja.
Mimpinya, ia ingin membelikan sebuah rumah yang layak untuk orang tuanya di kampung. Tidak lagi kayu tipis dan atap seng yang menyelimuti mereka dalam suhu dingin.
“Saya ingin ibu-ibu di luar sana juga semangat. Sayangi orang tua terutama ibu selagi masih ada. Saya pun bekerja seperti ini untuk orang tua saya.”
“Saya juga pengin anak-anak saya sekolah dengan baik,” ungkap perempuan lulusan sekolah dasar (SD) tersebut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.