Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Kisah Penyintas Kanker Bangun Usaha di Banjarnegara, Tetap Berbagi meski Warung Sepi

Kisah Penyintas Kanker Bangun Usaha di Banjarnegara, Tetap Berbagi meski Warung Sepi

TRIBUNJATENG.COM, BANJARNEGARA – Bulan puasa menjadi masa paceklik bagi sebagian penjaja makanan. Tidak kecuali bagi Sukirman, pedagang nasi goreng di Desa Linggasari, Wanadadi, Banjarnegara. 

Banyak warga yang lebih memilih makan atau berbuka di rumah di banding jajan. Selepas buka, juga jarang warga yang keluar untuk makan. 

Menjelang Isya, Sukirman duduk termangu di sudut warung, menanti pelanggan. Jarum jam terus berputar. 

Dua batang rokok sudah habis ia bakar. Kopi panas di gelas yang ia seruput sudah dangkal. 

Tapi belum juga ada pelanggan datang. Hampir saja ia menyulut batang rokok yang ketiga. 

Deru sepeda motor berhenti di depan warungnya.  Wajah Sukirman yang sempat layu kembali bercahaya. 

Ia langsung beranjak menghampiri pelanggan. Satu orang pelanggan seakan memberinya sejuta harapan. 

Meski akhirnya hanya satu porsi bungkus nasi goreng yang dipesan. 

“Kalau bulan puasa ya seperti ini. Yang penting berangkat (dagang), ” katanya

Sukirman tak galau meski warungnya sepi. Ia percaya rizki sudah ada yang membagi. 

Ia yang sudah bertahun-tahun berjualan, tak kaget dengan fenomena seperti ini. Di awal merintis usaha dulu, ia bahkan sering merugi. 

 

Beratnya Merintis

GORENG NASI: Sukirman menggoreng nasi di warungnya Desa Linggasari, Kecamatan Wanadadi, Banjarnegara, Senin malam (24/3/2025). Sukirman telah melewati banyak rintangan untuk sampai di titik sekarang ini. (TRIBUN JATENG/KHOIRUL MUZAKI)

Tidak ada proses instan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Sukirman telah melewati banyak rintangan untuk sampai di titik sekarang ini. 

Awal membuka warung nasi goreng, tahun 2017 lalu, Sukirman sudah diuji. 

Ia yang membuka warung tenda di depan Samsat Banjarnegara, nyaris tak punya pembeli.

Keramaian orang lalu lalang di jalan kota berbanding terbalik dengan warungnya yang sepi. 

“Saya semalam hanya laku 3 porsi,” katanya

Ia kemudian memutuskan pindah lokasi di Desa Linggasari, Kecamatan Wanadadi. 

Ia menyewa emper toko untuk mendirikan warung tenda. Sayang hasil jualannya tak jauh beda dengan di tempat sebelumnya. 

Harusnya ia berangkat membawa dagangan, lalu pulang membawa uang. 

Tapi yang terjadi, ia kerap membawa dagangannya kembali pulang. Terutama nasi karena tak terbeli.  Perasaan nelangsa menyelimuti. 

Alih-alih untung, Sukirman kerap tombok dan merugi. Padahal anak dan istrinya di rumah sudah menanti rizki. 

“Sering nasi sisa terus basi, terpaksa dibuang, ” katanya

Dengan hanya mengandalkan hasil dagangan yang tak pasti, tak mungkin ia bisa menghidupi anak istri. 

Untung Sukirman punya kebun salak yang bisa menyambung hidup keluarganya saat warung sepi. 

Untuk menutup kebutuhan, istrinya membantu mencari nafkah ke ibu kota.  Sementara Sukirman terus berjuang merawat usahanya. 

Ia yakin, kesusahannya tidak akan berlaku selamanya. Selalu ada asa di balik setiap perjuangan dan do’anya. 

Setelah 3 tahun berjuang dengan situasi sulit, jalan rizkinya akhirnya terbuka. Warungnya mulai bergeliat. Omzet penjualannya terus meningkat. 

Pelanggannya terus bertambah. Kesabaran dan ketelatenannya selama ini berbuah. 

“3 tahun itu sering tombok, yang beli hanya segelintir. Alhamdulillah sekarang sudah stabil, ada hasil,” katanya

Saat penghasilannya mulai stabil, Sukirman percaya diri untuk mengajukan pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) ke Bank Rakyat Indonesia (BRI).

Sebagaimana umumnya pelaku usaha, ia mengumpulkan syarat dan melalui berbagai tahapan. 

Ia disurvei mantri BRI Unit Banjarmangu untuk memastikan kelayakannya menerima program tersebut. 

Tidak sulit baginya mengajukan pinjaman, karena usahanya bukan abal-abal. 

Ia memilih KUR bukan tanpa alasan. Di samping sebagai pelaku UMKM yang memang layak menerima program itu, Sukirman menyebut bunga KUR tidak memberatkan. 

“Prosesnya mudah karena saya punya usaha, ” katanya.

 

Derita Penyakit Langka

Bagi Sukirman, berjuang mendapatkan pelanggan belum seberapa di banding ujian sakit yang ia rasakan. 

Sukirman menderita penyakit langka. Seorang dokter memvonisnya kanker tulang. Tubuhnya kering. Hanya tangan kirinya yang membesar.  

Saat penyakitnya kambuh, tangannya serasa dihujani ribuan jarum. Benda yang menyentuh kulitnya terasa menyengat. 

Selama 4 tahun, tubuh ringkihnya hanya bisa tergolek di pembaringan. Jangankan bekerja, bergerak saja ia kesulitan. 

Ia sudah menempuh berbagai cara pengobatan. Dari medis hingga supranatural. Tanah berharga pun terpaksa ia jual.  

Sampai hampir seluruh harta bendanya habis, sembuh tak kunjung didapatkan.

Hingga di batas kesabarannya, Sukirman nekat membedah sendiri benjolan di tangannya menggunakan pisau. 

“Saya nekat operasi sendiri pakai pisau. Orang lihat saja gak kuat, ” katanya

Di titik inilah Sukirman merasakan sakit tak tertahankan. Jangankan dilukai senjata tajam, tersentuh benda saja tangannya sudah kesakitan. 

Tanpa dibius, ia mencabut sendiri tulang-tulang tumbuh di lapisan kulitnya yang dalam. 

Setelah tindakan mengerikan itu, kondisi Sukirman perlahan membaik. Ia bisa kembali beraktivitas normal. Ia berhasil sembuh, meski belum total. 

Sukirman kembali bertani dan berdagang. Meski kondisinya jauh lebih baik, Sukirman masih menjalani pengobatan hingga sekarang. 

Ia masih suka kambuhan. Saat penyakit itu kembali menyerang, Sukirman terpaksa libur berdagang. 

“Kemarin saya sempat libur 2 bulan karena sakit, ” katanya

 

Selalu Berbagi

NASI GORENG: Nasi Goreng bumbu rempah dengan taburan sayur, sosis, bakso dan ayam siap disantap pelanggan di warung Nasi Goreng Mas Amin Desa Linggasari, Kecamatan Wanadadi, Banjarnegara, Senin malam (24/3/2025). Setiap hari, Sukirman menyisihkan beberapa porsi nasi goreng untuk berdonasi. (TRIBUN JATENG/KHOIRUL MUZAKI)

Sukirman diam-diam berhati suci. Ia punya amalan yang tak pernah putus sampai kini. 

Dalam kondisi apapun, baik penjualan ramai maupun sepi, ia mewajibkan diri untuk berbagi. 

Setiap hari ia menyisihkan beberapa porsi nasi goreng untuk berdonasi. Ini sudah menjadi tradisi. 

 

“Alhamdulillah setiap hari saya sisihkan beberapa porsi untuk donasi, ” katanya

Sukirman pun tak pandang bulu dalam berdonasi. Ia tak memperhatikan penampilan seorang yang akan ia beri. 

Ia juga tak takut penghasilannya berkurang atau rugi karena berbagi.  Padahal dalam usaha, ada kalanya ramai maupun sepi. 

Bahkan saat baru dasaran, pelanggan belum datang, Sukirman sudah berbagi nasi goreng ke orang lain. 

Tidak ada motif duniawi baginya untuk bersedekah. Ia hanya ingin mendapatkan berkah.  

Keberkahan itu yang ia rasakan selama ini. Tidak melulu mewujud keuntungan materi. 

“Saya diberi kesehatan bisa dagang itu berkah. Anak istri sehat, hidup rukun tenang tenteram itu juga berkah,” katanya

Teman yang juga penikmat nasi goreng Sukirman, Yanto mengakui keuletan temannya itu dalam bekerja. 

Ia mengetahui betul perjalanan hidup Sukirman yang diwarnai banyak ujian. Khususnya sakit yang sampai sekarang belum sepenuhnya hilang. 

Ia bahkan tak tega melihat temannya itu saat mengoperasi sendiri tangannya dengan senjata tajam. 

Yang ia salut, di tengah kondisi fisiknya yang ringkih, temannya itu masih semangat mencari nafkah. 

“Ujiannya berat, tapi kuat, ” katanya

Yanto selalu sigap mengantar Sukirman ke rumah sakit saat penyakitnya kambuh. 

Ia berharap temannya itu mendapat kesembuhan total. Sukirman telah mewariskan keteladanan dan inspirasi bagi orang di sekitarnya. (aqy)

Merangkum Semua Peristiwa