Kisah Penggali Kubur di Pematangsiantar: Upah Seikhlasnya, Kerja Tambahan untuk Bertahan Hidup Medan 20 November 2025

Kisah Penggali Kubur di Pematangsiantar: Upah Seikhlasnya, Kerja Tambahan untuk Bertahan Hidup
                
                    
                        
                            Medan
                        
                        20 November 2025

Kisah Penggali Kubur di Pematangsiantar: Upah Seikhlasnya, Kerja Tambahan untuk Bertahan Hidup
Tim Redaksi
PEMATANGSIANTAR, KOMPAS.com
— Di bawah rimbun pepohonan dan di antara nisan-nisan tua yang berderet, kehidupan tetap bergulir bagi para penggali kubur di Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara.
Mereka bekerja dalam senyap, memikul tugas yang kerap dipandang sebelah mata. Penghasilan yang jauh dari upah layak membuat mereka harus mencari cara lain agar dapur tetap mengepul.
Hal itulah yang dialami Budi (50),
penggali kubur
di tanah wakaf pemakaman umat Islam di Jalan Pane, Kecamatan Siantar Selatan.
Ia mulai bekerja pada 2007, setelah berhenti sebagai sales di pabrik es. Awalnya, ia hanya membantu mertuanya yang lebih dulu mengelola pekuburan yang berdiri sejak 1931.
“Mula-mula kerja penggali kubur, kondisi mental menurun. Karena orang memandangnya sebelah mata. Kayak sepele karena nggak ada penghasilan,” ucap Budi saat ditemui di Jalan Pane, Kamis (20/11/2025).
Budi mengakui tidak ada upah bulanan, baik dari pengelola maupun pemerintah. Penghasilan yang datang hanya berupa uang terima kasih dari keluarga yang berduka.
“Biasanya dikasih seratus ribu, kadang dikasih lebih. Apalagi pekerjaan menggali kubur ini kan nggak mungkin tiap hari ada orang meninggal. Jadi harus ada mata pencarian lain,” katanya.
Pekuburan seluas 18.191 meter persegi itu terbagi dalam dua hamparan. Berdasarkan data 2017, sekitar 5.000 jenazah sudah dikebumikan di sana.
Budi menuturkan terdapat dua grup penggali kubur, masing-masing terdiri dari tiga orang. Selain menggali liang lahat, mereka juga membersihkan kuburan dengan upah seikhlasnya.
“Kalau rajin, ada juga orang dari Pekanbaru atau Jakarta yang meminta tolong kuburan keluarganya dibersihkan sekaligus dijaga. Itu pun dikasih sekedarnya dan kadang ada yang bilang terima kasih saja,” ucapnya.
Menyadari bahwa penggali kubur merupakan pekerjaan sosial, Budi mencari pekerjaan tambahan seperti membuat batu nisan dan mengecor kuburan.
“Kalau gaji bulanan memang nggak ada. Jadi uang tambahan dari upah menyemen kuburan dan bikin batu nisan,” kata Budi.
“Bismillah ajalah mungkin ini digariskan dan dijalani. Yang penting dapur ngebul, anak-anak bisa sekolah. Alhamdulillah,” sambungnya.
Selama bekerja, Budi tidak jarang menghadapi kejadian ganjil dari pihak keluarga yang mengantar jenazah.
Pernah suatu ketika, jenazah tidak muat di liang lahat karena ukuran galian terlalu sempit, sehingga menimbulkan kekhawatiran para pelayat.
“Kemarin memang ada jenazah yang badannya tinggi dan nggak muat di lubang kuburnya. Terpaksa kita gali lagi supaya muat. Tapi orang sudah ribut-ribut ada yang bilang kena rahasia ilahi,” ucapnya.
Di lokasi berbeda, Halomoan Simaremare, penggali kubur di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kristen Jalan Parsoburan, juga menjalani hidup serupa.
Belasan tahun bekerja, ia hanya menerima upah dari hasil galian. Untuk menutup kebutuhan keluarga, Halomoan harus bekerja sebagai kuli bangunan.
“Kalau menggali kubur upahnya tak seberapa dan sehari kadang tidak ada. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga saya kerja jadi tukang bangunan,” tutur Halomoan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.