Kisah Katwadi, Penjaga Makam 16 Tahun Hidup Bersama Kematian: Saya Lebih Takut Anak dan Istri Tak Makan
Tim Redaksi
PEKANBARU, KOMPAS.com
– Suatu sore, Katwadi (39) tengah mengerjakan sebuah batu nisan Tempat Pemakaman Umum (TPU) Uka, Jalan Uka, Kelurahan Air Putih, Kecamatan Tuah Madani, Pekanbaru, Riau, Jumat (21/11/2025).
Katwadi satu dari enam orang pekerja di TPU Uka. Ia berstatus tenaga harian lepas (THL). Pria ini memakai setelan baju kaus lengan panjang, celana pendek, dan topi.
Sebuah batu nisan untuk makam sudah hampir selesai ia kerjakan di depan sebuah ruangan tempat istirahat.
Tinggal memoles dan merapikan sudut-sudutnya menggunakan sendok semen, pekerjaannya tampak sangat rapi dan bersih.
Itu adalah batu nisan terakhir yang dibuatnya sebelum waktu pulang, seperti biasanya, jam pulang kerja 16.00 WIB.
“Saya selesaikan batu nisan ini dulu baru pulang,” ujar Katwadi saat berbincang dengan Kompas.com sembari bekerja.
Raut wajahnya tampak sudah lelah seharian kerja. Keringat punggung membasahi bajunya.
Di sampingnya ada seorang pekerja lainnya, Aswali Rahmat (60), yang sedang istirahat. Sesekali mereka tampak bercengkrama.
Di tengah dia bekerja, warga tampak ramai silih berganti untuk ziarah.
Di dalam kawasan
pemakaman
, ada juga yang terlihat berjualan minuman, sedangkan di luar pagar, berjejer meja jual bunga dan sesajen.
Katwadi sendiri mengaku sudah 16 tahun bekerja di tempat peristirahatan terakhir itu.
Sehari-hari, ia dan lima orang pekerja lainnya, bekerja menggali kubur, merawat makam, membuat batu nisan, dan membuat papan kuburan. Satu orang ditunjuk sebagai koordinator.
TPU Uka memiliki luas lahan 10 hektare, dikelola oleh Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Perkim) Kota
Pekanbaru
.
Waktu awal bekerja, statusnya masih lajang. Sekarang ia sudah berumah tangga dan memiliki tiga orang anak.
Katwadi bercerita, waktu ia tidak memiliki pekerjaan tetap, kadang bekerja sebagai tukang bangunan.
“Waktu itu ada kawan yang mengajak kerja tukang gali kubur karena waktu itu susah cari orang kerja menguburkan jenazah,” ujarnya.
Tanpa pikir panjang, Katwadi memutuskan untuk bekerja di pemakaman itu. Ia masuk dengan syarat KTP dan ijazah terakhir.
Pilihan kerja lain dan gaji yang sesuai sulit untuk dia dapat kala itu.
“Saya cuma tamat SD (sekolah dasar). Dulu kerja tukang bangunan, kadang ada kadang tidak. Makanya, saya mau kerja di sini, yang penting halal,” kata Katwadi seraya tertawa kecil.
Katwadi bekerja sebagai honorer kontrak per tahun. Dari segi gaji, ia digaji per hari dan terima sekali sebulan. Namun, gaji yang diterima jumlahnya tak menentu atau tidak tetap.
Sebab, hari libur tidak hitung gaji sehingga semakin banyak tanggal merah, gajinya semakin kecil.
“Gaji kami Rp 80.000 sehari. Sebulan kami terima rata-rata Rp 2 juta. Dulu penah juga ada Rp 1,6 juta karena hari libur tidak masuk hitungan,” kata Katwadi.
Padahal, kata dia, hari libur tetap bekerja, termasuk Lebaran Idul Fitri dan Idul Adha.
“Lebaran kami juga kerja,” akuinya.
Kendati demikian, Katwadi tetap menikmati hasil keringatnya. Ia juga bersyukur saat ini pembayaran gaji sudah normal setiap bulannya.
Sebelumnya, pembayaran gaji pekerja sempat terlambat.
Dengan penghasilan yang relatif kecil, ia masih bisa bayar cicilan rumah, motor, dan biaya anak sekolah.
“Anak saya ketiganya SD. Biaya anak-anak ini yang lumayan besar. Belum lagi kebutuhan pokok. Kalau dihitung-hitung enggak cukup gaji segitu,” ungkapnya.
Namun, imbuh dia, kadang ada dapat penghasilan tambahan dari jasa pembuatan batu nisan dan papan kuburan.
Untuk jasa pembuatan batu nisan, Katwadi tidaklah mematok tarif. Ia terima secara sukarela.
Untuk papan kuburan, untuk jenazah bayi seharga Rp 500.000 dan jenazah dewasa Rp 900.000.
“Untuk buat papan makam, kami kan beli kayu dan paku. Itu hasilnya kami bagi rata. Alhamdulillah, cukup buat beli sarapan sama minyak motor,” kata dia.
Ia dan pekerja lainnya hanya berharap mendapatkan kenaikan gaji dari pemerintah.
“Kami hanya bisa berharap. Kalau ada insentif tentu kami sangat senang. Kalau kartu BPJS ada kami dikasih sama pemerintah,” ungkapnya.
Selama belasan tahun bekerja, Katwadi pernah sekali merasa momen yang paling mengharukan. Seorang rekan kerjanya meninggal dunia sekitar dua bulan yang lalu.
Pekerja yang meninggal itu bernama Boyadi (55), selaku koordinator TPU Uka.
“Dia meninggal dunia setelah kami makamkan jenazah. Setelah makamkan jenazah, dia pergi buang air. Tiba-tiba tumbang dan meninggal. Sebelum meninggal, dia sering merenung di kuburan dan ruangan istirahat. Ini momen yang mengharukan bagi kami,” ujarnya.
Momen haru lainnya, tambah dia, melihat keluarga dari jenazah yang menangis dan meratap saat pemakaman.
Katwadi pernah beberapa memakamkan jenazah pada malam hari. Meski tempat tinggalnya cukup jauh dari TPU, di Kecamatan Rumbai, Pekanbaru, ia tetap datang memenuhi panggilan jiwa itu.
“Sudah tak terhitung gali kubur malam hari. Ada yang jam 10 atau 11 malam. Karena kami dapat telepon dari keluarganya, jenazah minta dikuburkan, ya kami langsung datang. Tak pernah kami tolak,” sebutnya.
Jenazah yang dimakamkan malam hari, ada bayi dan orang dewasa.
Tak pernah mengalami kejadian aneh
Bercerita tentang kuburan, kerap dikaitkan dengan kejadian-kejadian mistis.
Namun, Katwadi sendiri sudah belasan tahun bekerja di pemakaman, belum pernah mengalami kejadian aneh atau misterius.
“Kalau saya sendiri belum pernah melihat atau mengalami kejadian yang aneh-aneh,” akuinya.
Ia juga mengaku tak ada lagi rasa takut bekerja di pemakaman.
Tapi, waktu awal-awal bekerja, Katwadi pernah merasa takut berhadapan dengan kuburan dan menguburkan jasad.
“Waktu awal dulu iya ada rasa takut. Kalau sekarang biasa saja. Saya lebih takut anak istri tak makan,” ungkapnya.
Katwadi juga tidak ada melakukan ritual khusus sebelum memulai pekerjaan di pemakaman.
Selama bekerja, belum pernah juga ada permintaan yang aneh dari ahli waris atau peziarah.
“Baca bismillah saja. Kalau permintaan yang aneh-aneh tidak ada. Justru kadang kami dikasih nasi sama buah-buahan sama peziarah,” sebutnya.
TPU Uka, terbagi dua. Sebagian makam umat Islam dan sebagian non-muslim.
Selama bekerja, Katwadi pernah melakukan bongkar makam atas permintaan keluarga.
Pihak keluarga meminta makam dibongkar untuk dipindahkan ke kampung halamannya.
“Seingat saya ada 10 makam yang saya bongkar. Itu makam yang non-muslim saja. Dipindahkan ke Medan, Sumatera Utara,” ucap Katwadi.
Katwadi bercerita, dalam sehari pernah memakamkan belasan jenazah. Kejadian itu belum lama, tepat pada Selasa (18/11/2025) kemarin.
“Hari Selasa kemarin yang banyak, ada 11 orang yang kami makamkan. Hari ini ada dua orang, kemarin lima orang,” sebutnya.
Bekerja di kuburan, terkadang dipandang sebelah mata. Tak sembarang orang yang mau bekerja di tempat ini.
Namun, Katwadi tidak peduli dengan stigma sosial itu. Baginya, yang terpenting adalah kebutuhan keluarganya bisa terpenuhi.
Ia mengaku, sejauh ini belum pernah mendengar secara langsung suara orang yang menyepelekan pekerjaannya.
“Kalau secara langsung belum pernah. Karena bagi saya, apa pun pekerjaan yang penting halal. Saya tidak malu, tidak akan minder. Keluarga mendukung. Saya hanya malu pekerjaan mencuri,” kata dia.
Namun, ia mengaku anaknya pernah diejek oleh teman sekolahnya.
“Anak saya pernah diejek teman sekolahnya. Temannya bilang ‘bapaknya tukang gali kubur’. Tapi, anak saya jawab ‘tak apa-apa, yang penting halal’,” sebut Katwadi.
Hampir setiap hari, Katwadi melihat jasad masuk ke liang lahat. Terkadang, usai pemakaman ia merenungkan diri sejak sambil berkata dalam hati bahwa kematian itu nyata. Tak akan bisa lagi kembali ke dunia.
“Saya melihat kematian itu memang nyata adanya. Jadi, saya berpikir, saya harus rajin beribadah. Jangan sampai saya ‘pulang kosong’. Alhamdulillah, sejak bekerja di sini ibadah jadi meningkat, meski ada juga kadang bolong-bolong shalatnya,” aku Katwadi.
Salah seorang rekan kerja Katwadi, Aswali Rahmat (60), bercerita bahwa pernah melihat orang datang ke kuburan untuk berobat.
“TPU ini tak ada yang tinggal jaga di sini. Kami cuma datang bekerja ke sini. Kadang kami cek makam malam hari,” kata Aswali kepada Kompas.com.
Suatu malam, Aswali melihat ada dua unit mobil sedan masuk ke pemakaman. Ia langsung mengejar dengan sepeda motornya untuk menanyakan maksud kedatangan orang tersebut.
“Waktu jam 12 malam, saya lihat ada dua mobil masuk mutar-mutar. Terus berhenti dan menggali di samping makam. Mereka bawa beras kunyit dan lilin,” tuturnya.
“Saya pikir orang mau kubur bayi. Pas saya tanya, mereka bilang mau berobat karena disuruh orang pintar. Terus saya bilang kalau mau berobat ke rumah sakit saja, lalu mereka pergi,” cerita Aswali.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kisah Katwadi, Penjaga Makam 16 Tahun Hidup Bersama Kematian: Saya Lebih Takut Anak dan Istri Tak Makan Regional 21 November 2025
/data/photo/2025/11/21/69206ba900d9e.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)