Pagi itu, udara lembab bercampur aroma getah karet dan tanah basah. Tim YIARI bersiap dengan senapan bius. Tak ada heroisme di sana, hanya ketelitian.
Dosis dihitung hati-hati, bukan untuk menaklukkan, tapi menenangkan. Saat peluru bius melesat, waktu seolah berhenti. Induk orang utan terjatuh lembut ke jaring, anaknya bergeming di pelukan udara yang dingin.
Proses pembiusan orang utan ini tidak bisa dilakukan sembarangan. Dihitung berdasarkan ukuran tubuh dan beratnya. Ini bukan sekadar pekerjaan, ini tanggung jawab hidup.
Setelah pemeriksaan medis, hasilnya menggembirakan keduanya sehat. Tak ada luka, hanya trauma yang tak bisa dilihat.
Dalam tiga jam perjalanan menuju kawasan Hutan Kencana Damai, mobil bak terbuka membawa mereka kembali ke rumah. Di jalan berlumpur itu, manusia menebus dosanya dengan langkah pelan.
Setibanya di lokasi, warga ikut membantu membuka jalan. Di tengah hutan yang masih tersisa, mereka disambut rimba yang sunyi.
Begitu dilepaskan, induk orang utan memeluk anaknya erat, lalu berlari menjauh. Tak ada kata perpisahan, hanya langkah kembali ke kebebasan.
“Langkah ini merupakan win-win solution yang menguntungkan semua pihak,” kata Ketua Umum YIARI, Silverius Oscar Unggul.
Translokasi ini bukan hanya menjamin keselamatan orang utan Kalimantan, tapi juga meminimalkan kerugian warga.”
Namun di balik kisah heroik itu, ada kenyataan getir. Ketua Umum YIARI, Silverius Oscar Unggul menambahkan, kawasan tersebut sudah mengalami degradasi dan fragmentasi habitat parah akibat konversi lahan ke perkebunan dan encroachment di kawasan hutan.
Sebuah kalimat sederhana, tapi menampar nurani. Artinya, rumah mereka tak lagi utuh. Hutan Kalimantan kini lebih sering diukur dengan hektare ekonomi bisnis ketimbang detak kehidupan di dalamnya.
Translokasi mungkin menyelamatkan dua individu orang utan, tapi tidak seluruh spesies. Jika akar persoalannya perusakan habitat tak disembuhkan, translokasi hanya menjadi penangguhan penderitaan.
Hutan bisa ditebang, tapi jejak kehilangan akan tumbuh kembali dalam bentuk konflik.
YIARI sendiri adalah lembaga yang bekerja di garis depan penyelamatan primata Indonesia. Tak hanya mengevakuasi, mereka juga memulihkan, melepaskan kembali, dan memantau pasca-lepas.
Pendekatan holistiknya memadukan manusia, hutan, dan satwa menjadi satu ekosistem yang seharusnya tak terpisahkan.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5403843/original/006310300_1762338831-IMG_5344_Orangutan_Kalimantan.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)