Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani…
Penulis
JEMBER, KOMPAS.com
– Sebuah gubuk di ujung bukit Dusun Baban Timur, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember, menjadi saksi bisu atas cinta sepasang lansia, Saniman (65) dan istrinya, Gira (68).
Sabtu (29/11/2025) pagi nan tenang, tim Ekspedisi Nusaraya Kompas.com merasakan secara langsung bentuk cinta di tengah keterpurukan ekonomi itu.
Meski tidak sama, wujud cinta mereka mengingatkan kita pada kisah Habibie-Ainun yang setia di usia senja.
Bangunan semipermanen tempat Saniman dan Gira tinggal, berdinding gedhek, beratap seng, dan berlantai tanah.
Letaknya persis di atas salah satu bukit di mana lahannya milik Perum Perhutani. Di kiri dan kanannya terdapat lembah sedalam sekitar 300 meter.
Atap dan dinding dipenuhi lubang. Cahaya seolah dipersilakan masuk menerangi seisi rumah yang hanya memiliki dua lampu LED redup.
Saat itu pagi baru menampakkan sinarnya. Matahari perlahan menyibak awan yang masih menggantung di Gunung Raung, menciptakan cahaya lembut menembus sela-sela pepohonan.
Keheningan pecah saat Saniman mulai menceritakan kisah hidupnya bersama Gira.
“Kami tinggal di sini sudah sejak 1997,” kata Saniman.
Di sampingnya, Gira sedang terbaring. Kedua kakinya tak lagi mampu digerakkan setelah penyakit stroke merenggut kesehatannya.
“Dua tahun lalu, kedua kakinya sakit, enggak bisa digerakkan,” kata Saniman.
Sejak hari itu pula, Saniman menjadi segalanya bagi Gira: Suami, perawat, sekaligus penopang hidup. Di situlah cinta semakin menemukan wujudnya.
Pertemuan Saniman dan Gira
Saniman dan Gira sebenarnya lupa kapan pertama kali bertemu. Sepertinya sekitar empat dekade lalu. Hal yang mereka ingat saat itu keduanya bekerja sebagai buruh lepas perkebunan PTPN.
Gira kala itu baru berpisah dengan suami pertamanya.
“Begitu tahu dia sudah berpisah, di situlah kami dekat,” kenang Saniman.
Gira memiliki dua anak dari pernikahan sebelumnya, yakni Nur yang telah meninggal dan Saleh yang kini hidup di Desa Pace, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember.
Tak butuh waktu lama, keduanya pun menikah. Keduanya dikaruniai seorang anak bernama Mustofa yang kini tinggal di Kecamatan Mayang, Kabupaten Jember.
“Orangnya baik sekali. Makanya saya mau (menikah),” ujar Gira.
Awalnya, mereka tinggal di Dusun Silosanen. Tetapi sekitar 1997, keduanya memutuskan berhenti bekerja sebagai buruh lepas dan pergi ke atas bukit tempat ia tinggal sekarang.
Rencananya, mereka mau mengubah nasib dengan menggarap lahan warga. Tetapi, takdir berkata lain. Kemiskinan terus menjerat keduanya hingga saat ini.
Karena Gira sakit dan tidak bisa beraktivitas, Saniman lah yang jadi penopangnya sehari-hari. Setiap pagi, Saniman bangun pukul 04.00 WIB.
Membersihkan rumah adalah rutinitas pertamanya. Setelah itu, ia berjalan kaki menuruni jalan setapak sejauh 200 meter menuju mata air.
Rasa cintanya ke Gira membuat kekuatannya berkali lipat menempuh kontur berbukit selama sekitar 15 menit. Air itu Saniman gunakan untuk memasak hingga membersihkan tubuh Gira.
Kemudian, Saniman memasak di dapur terbuka berdinding seng hijau tua dan bambu, dengan tungku batu bata dan kayu bakar yang bersandar tak rapi.
Jika ada minyak, Saniman menggoreng tahu, tempe, atau ikan tongkol. Tetapi jika tidak, tempe dibakar, dan tahu dimakan mentah.
“Biasanya jam 06.00 WIB sudah saya suapkan,” ujar Saniman sembari menoleh ke istrinya. Gira membalas tatapan Saniman dengan senyum.
Persediaan beras di rumahnya sangat terbatas, hanya cukup untuk beberapa hari.
Biasanya, ia membeli beras untuk empat hari ke depan, dan itu harus disisihkan dari pendapatan harian yang tidak menentu.
“Beras ada biasanya cukup sampai empat atau lima hari,” kata Saniman.
Saat Saniman harus bekerja sebagai buruh serabutan, membersihkan lahan orang dengan upah Rp 50.000 sehari, Gira terpaksa ditinggal seorang diri di rumah.
Saniman membelikan radio sebagai hiburan sang istri.
Bila tidak ada pekerjaan, ia mencari rumput untuk dijual, dibayar Rp 35.000 untuk dua karung penuh.
“Jadi satu karung itu dibayar Rp 15.000,” kata Saniman.
Anak-anak Saniman jarang datang, karena hidup mereka juga tak berkecukupan.
Saniman sendiri hanya menerima bantuan pemerintah satu kali, yakni Rp 500.000 dari BLT Kesra. Namun ia tak ingat tahun pastinya bantuan itu diterima.
Sebagian dari uang tersebut digunakan untuk pengobatan sang istri. Setiap kali berobat, Saniman harus membayar ojek Rp 50.000 pulang-pergi, ditambah biaya dokter Rp 50.000.
Meski hidup miskin, Saniman bertekad terus merawat sang istri. Ia menyebut, sang istri adalah satu-satunya orang yang ia miliki dan cintai di usia senja ini.
“Kita saling menghibur saja,” ujar Saniman.
Gira pun merasa bersyukur memiliki pasangan hidup seperti Saniman yang pekerja keras dan setia. Ia rela menghabiskan sisa usia bersama Saniman.
Dari Baban Timur ke kenangan Habibie–Ainun
Di tengah segala keterbatasan ekonomi, cinta Saniman dan Gira tetap tumbuh dan bertahan, nyaris dengan cara yang sama seperti kisah legendaris Habibie dan Ainun.
Cinta yang sejatinya tidak lahir dari kemewahan, melainkan dari kesediaan untuk saling menjaga dalam suka maupun duka. Kesetiaan menjadi benang merah di antara kedua kisah itu.
Bila Habibie menemukan kebahagiaan dalam setiap secangkir kopi buatan Ainun, sebagaimana kisah yang diutarakan banyak orang dekatnya, maka di bukit sunyi Baban Timur, cinta itu hadir dalam bentuk segelas air yang dibawa Saniman setiap pagi.
Tidak ada aroma kopi hangat, tidak ada meja makan megah, hanya air dari mata air bukit yang ditempuh dengan langkah renta, tetapi ketulusannya sama besar.
Tak ada gemerlap kamera, tak ada penghargaan, dan tak ada sejarah besar yang menuliskan nama mereka.
Tetapi di gubuk yang hampir roboh itu, cinta Saniman dan Gira menjadi sekuat cinta Habibie dan Ainun, cinta yang bertahan bukan karena keadaan mudah, melainkan karena keadaan sulit.
Artikel ini merupakan bagian dari perjalanan tim Ekspedisi Nusaraya Kompas.com di Kabupaten Jember, mulai dari 27 November hingga 2 Desember. Klik ini untuk mengikuti seluruh rangkaian perjalanan kami.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani… Regional 5 Desember 2025
/data/photo/2025/12/03/6930508fd34f0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)