PIKIRAN RAKYAT – Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) memberikan catatan kritis terhadap proses pembentukan Revisi UU TNI yang dinilai melenceng dari prinsip reformasi, ketentuan konstitusi, dan tata tertib legislasi.
Dalam laporannya pada Kamis 20 Maret 2025, PSHK menegaskan bahwa apapun hasil dari Rapat Paripurna nanti akan menjadi catatan sejarah penting bagi demokrasi Indonesia.
“Kami berharap catatan ini menjadi perenungan bagi segenap Anggota DPR yang mengemban tanggung jawab perwakilan rakyat untuk berani bersuara, dengan melihat perkembangan keresahan masyarakat luas,” ujar PSHK dalam laporannya.
Berikut tiga catatan penting dari PSHK:
Revisi UU TNI Tidak Sah Sebagai RUU Prioritas Prolegnas 2025
Revisi UU TNI tiba-tiba dimasukkan ke dalam daftar RUU prioritas dalam Prolegnas 2025 lewat Rapat Paripurna pada 18 Februari 2025. Masalahnya, pengesahan ini tidak mengikuti mekanisme sesuai Pasal 290 ayat (2) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR (Tatib DPR), yang mengharuskan perubahan agenda rapat diajukan secara tertulis dua hari sebelum rapat dilaksanakan.
Selain itu, RUU ini tidak melalui pertimbangan dari Badan Legislasi DPR, yang seharusnya menilai urgensi revisi UU TNI dibandingkan RUU lain seperti RUU Peradilan Militer, RUU Perampasan Aset, atau RUU Masyarakat Hukum Adat.
“Kelalaian pelaksanaan tugas ini seharusnya menjadi taggung jawab Badan Legislasi DPR yang bertugas memastikan tata kelola legislasi di DPR berjalan akuntabel,” ucap PSHK.
Melangkahi Tahap Penyusunan Sesuai UU 12/2011
Proses pembentukan RUU ini juga dinilai melangkahi tahap penyusunan, yang seharusnya menjadi fondasi awal pembentukan undang-undang. PSHK menyoroti terbitnya Surat Presiden (Surpres) pada 13 Februari 2025, bahkan sebelum RUU ini masuk Prolegnas pada 18 Februari 2025. Ini menandakan adanya ketidakberesan dalam prosedur.
“RUU ini bukan RUU carry over dari periode DPR sebelumnya, karena tidak pernah ada Surat Presiden dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pada periode sebelumnya,” katanya.
Menurut Pasal 71A UU 15/2019, RUU yang bukan carry over harus dimulai dari tahap perencanaan dan penyusunan. Namun, proses RUU Revisi UU TNI melompat langsung ke tahap pembahasan, yang dimulai pada 11 Maret 2025.
Proses Tidak Transparan dan Membatasi Partisipasi Publik
PSHK menyoroti ketertutupan DPR dalam membahas RUU Revisi UU TNI. Draf resmi RUU tidak pernah disebarluaskan ke publik, membuat masyarakat kehilangan kesempatan berpartisipasi secara bermakna. Bahkan, DPR sempat menyalahkan masyarakat yang mengkritik dengan dalih bahwa draf yang beredar bukanlah draf resmi.
“DPR seharusnya mempublikasikan draf sesuai Pasal 96 ayat (4) UU 13/2022 dan Pasal 7 huruf b Tatib DPR,” tuturnya.
Parahnya lagi, pembahasan RUU dilakukan di hotel dengan tingkat keamanan tinggi, sehingga ruang publik semakin tertutup. PSHK menilai, di tengah penolakan publik dan pelanggaran prosedur yang serius, Komisi I DPR tetap memaksakan pembahasan.
Peringatan bagi DPR dan Pemerintah
PSHK mengingatkan bahwa jika RUU Revisi UU TNI tetap dipaksakan di tengah pelanggaran prosedural dan penolakan publik, hal ini akan menjadi preseden buruk bagi tata kelola legislasi di Indonesia.
“Ini bukan hanya soal prosedur hukum, tapi soal komitmen kita menjaga demokrasi, keterbukaan, dan kedaulatan rakyat,” ujarnya.
Dengan catatan kritis ini, PSHK berharap seluruh anggota DPR dapat mempertimbangkan ulang keberlanjutan pembahasan RUU Revisi UU TNI demi menjaga integritas proses legislasi dan mendengarkan suara rakyat yang mereka wakili.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News