Liputan6.com, Yogyakarta – Kentut sering dianggap sebagai hal sepele dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, dalam dunia medis, kemampuan pasien untuk buang gas setelah operasi justru menjadi indikator penting pemulihan.
Dokter kerap memantau apakah pasien sudah bisa kentut atau belum. Hal ini sebagai tanda bahwa sistem pencernaan kembali berfungsi normal.
Setelah menjalani prosedur bedah, terutama di area perut, saluran pencernaan biasanya mengalami perlambatan sementara. Anestesi dan trauma operasi dapat menghambat gerakan peristaltik usus.
Mengutip dari Jurnal Penelitian Perawat Profesional dan dari berbagai sumber, gerakan peristaltik merupakan kontraksi alami yang mendorong makanan dan gas dalam saluran pencernaan. Jika pasien sudah bisa kentut, hal ini menunjukkan usus telah aktif kembali dan siap menerima asupan makanan.
Kondisi ini juga menjadi penanda bahwa tidak ada komplikasi pascabedah, seperti penyumbatan usus. Tanpa kemampuan buang gas, pasien berisiko mengalami kembung, mual, hingga nyeri perut yang dapat memperlambat pemulihan.
Oleh karena itu, tenaga medis kerap menanyakan apakah pasien sudah kentut sebelum memperbolehkan mereka makan atau minum. Selain dalam konteks pascabedah, frekuensi kentut yang normal juga bisa menjadi indikator kecukupan serat.
Asupan serat yang seimbang membantu proses pencernaan berjalan lancar. Sehingga, produksi gas tidak berlebihan dan mudah dikeluarkan.
Hal ini menunjukkan bahwa fungsi fisiologis tubuh bekerja sebagaimana mestinya. Meski dianggap remeh, kentut ternyata memiliki nilai medis yang tinggi.
Kemampuan buang gas setelah operasi menjadi salah satu tolak ukur kesembuhan pasien. Tanpanya, proses pemulihan bisa tertunda, bahkan memerlukan penanganan lebih lanjut.
Penulis: Ade Yofi Faidzun