PIKIRAN RAKYAT – Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyampaikan kritik terhadap sejumlah kebijakan sistem keuangan dan pembayaran digital di Indonesia, terutama yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kritik ini tertuang dalam laporan tahunan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers (NTE) yang dirilis akhir Maret 2025 oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (United States Trade Representative/USTR).
Apa Alasan QRIS Dikritik AS?
Salah satu sorotan utama dari AS adalah implementasi Quick Response Indonesian Standard (QRIS).
Menurut USTR, banyak perusahaan AS di sektor pembayaran dan perbankan merasa tidak dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan tersebut.
Mereka khawatir karena tidak diberi ruang untuk menyampaikan pandangan, terutama terkait integrasi QRIS dengan sistem pembayaran internasional yang sudah mereka gunakan.
Dengan kata lain, AS tidak mempermasalahkan konsep QRIS itu sendiri, melainkan mekanisme penyusunannya yang dianggap tertutup dan berpotensi menutup akses pasar bagi pelaku asing.
Aturan Kepemilikan Asing Dinilai Menghambat
AS juga mengkritik berbagai pembatasan kepemilikan asing di sektor sistem pembayaran dan keuangan. Contohnya:
Peraturan BI No. 22/23/PBI/2020: membatasi kepemilikan asing di perusahaan layanan pembayaran (front-end) maksimal 85 persen, tetapi hak suara hanya 49 persen. Untuk penyedia infrastruktur (back-end), kepemilikan asing dibatasi hanya 20 persen.
Kebijakan ini dinilai kurang transparan karena disusun tanpa konsultasi dengan pihak internasional.
GPN: Syarat yang Ketat
Aturan soal Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) juga menjadi sorotan. GPN mewajibkan semua transaksi kartu debit dan kredit ritel diproses oleh lembaga switching lokal berizin BI. Perusahaan asing yang ingin masuk harus memenuhi beberapa ketentuan:
Kepemilikan saham dibatasi hanya 20 persen. Wajib bermitra dengan perusahaan lokal berizin GPN. Harus mendukung transfer teknologi dan pengembangan industri dalam negeri.
Kebijakan ini dianggap bisa meminggirkan perusahaan asing, apalagi sejak Mei 2023 seluruh transaksi kartu kredit pemerintah diwajibkan diproses lewat GPN.
Kebijakan OJK Soal Kepemilikan Saham Bank
Selain BI, OJK juga dikritik karena menerapkan batas kepemilikan saham bank oleh satu pihak maksimal 40 persen, baik investor lokal maupun asing.
Meskipun masih ada ruang untuk pengecualian, kebijakan ini tetap dipandang sebagai hambatan bagi investor internasional.
Ada juga aturan lain seperti:
Surat Edaran BI No. 15/49/DPKL: kepemilikan asing di perusahaan pelaporan kredit swasta dibatasi hingga 49 persen.
Peraturan BI No. 18/40/PBI/2016: batas kepemilikan asing 20 persen di perusahaan pemrosesan transaksi pembayaran, kecuali untuk investasi lama yang sudah melebihi batas tersebut.
AS Ingin Kebijakan Lebih Inklusif
Secara keseluruhan, AS menilai berbagai kebijakan BI dan OJK dapat menyulitkan perusahaan asing, khususnya di sektor keuangan dan sistem pembayaran digital.
Yang dipermasalahkan bukanlah kebijakan seperti QRIS atau GPN itu sendiri, tapi bagaimana aturan tersebut diterapkan tanpa pelibatan pelaku usaha internasional dan dengan pembatasan kepemilikan yang ketat.
Pemerintah AS berharap agar Indonesia membuka ruang dialog dan mempertimbangkan masukan dari perusahaan asing, demi menciptakan iklim perdagangan dan investasi yang lebih inklusif dan adil. ***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News
