Jakarta, Beritasatu.com – Center of Economics and Law Studies (Celios) menyatakan kenaikan UMR atau upah minimum regional 2025 hingga 10% akan mendorong konsumsi nasional. Kenaikan konsumsi tersebut menunjukkan peningkatan daya beli masyarakat sebagai dampak langsung upah yang lebih tinggi.
“Konsumsi rumah tangga ini dihasilkan dari dampak berganda dari kenaikan konsumsi pekerja. Pelaku UMKM mendapatkan dampak positif dari kenaikan konsumsi pekerja yang lebih besar,” ujar Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira dalam keterangan resmi yang diterima pada Minggu (10/11/2024).
Dia mengatakan, kenaikan UMR 2025 akan menentukan apakah pertumbuhan ekonom Indonesia mampu tumbuh di atas 5% atau justru semakin mengalami tekanan dan memicu gelombang PHK. Momentum putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebaiknya dijadikan game changer dalam mendorong permintaan domestik melalui instrumen upah.
Jika dilihat setelah UU Cipta Kerja berlaku, kenaikan UMR dinilai terlalu rendah sehingga terjadi pelemahan upah riil pekerja. Dampaknya, kemampuan kelas menengah turun dalam menghadapi kenaikan harga barang kebutuhan pokok. “Ada kaitan antara rendahnya UMR dengan jumlah kelas menengah yang menurun,” kata dia.
Dia mengatakan, pemerintah dalam 10 tahun terakhir belum pernah menggunakan upah minimum sebagai kebijakan countercylical. Padahal UMR yang lebih baik akan mendorong konsumsi rumah tangga dan menguntungkan pelaku usaha serta pertumbuhan ekonomi.
Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda mengatakan, skenario kenaikan UMR 2025 sekitar 10% akan berkontribusi pada kualitas pertumbuhan ekonomi melalui penurunan angka kemiskinan ke 8,94% dibanding formula sebelumnya hanya berpengaruh sebesar 0,01%.
“Pertimbangan beberapa skenario lembaga penelitian sebaiknya dijadikan referensi pemerintah agar tidak mengambil langkah salah dan dapat memperburuk kondisi perekonomian,” kata Huda.
Dari hasil modelling menunjukkan produk domestik bruto (PDB) akan naik Rp 122,2 triliun apabila kenaikan UMR 2025 sebesar 10% atau lebih tinggi dari formulasi PP 51/2023 yang membatasi alpha.
Sebelumnya, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, pascaputusan MK terkait judicial review Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, serikat buruh meminta adanya formulasi baru dalam penetapan UMR 2025.
Sebelumnya, pemerintah menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan dalam menetapkan upah minimum. Dengan dicabutnya Pasal 88 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 27 UU Cipta Kerja, maka PP Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan tidak berlaku lagi dan tidak dapat dijadikan acuan dalam kenaikan UMR 2025.
“Kenaikan UMR 2025 diusulkan sebesar inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi, dengan usulan nilai indeks tertentu (α) sebesar 1,0 hingga 2,0,” ucap Said.