Presiden Prabowo Subianto saat mengumumkan kenaikan upah minimum 2025 sebesar 6,5 persen di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (29/11/2024). (ANTARA/Andi Firdaus/am.)
Kenaikan UMP 2025 dan efektivitasnya melawan kemiskinan
Dalam Negeri
Editor: Novelia Tri Ananda
Kamis, 26 Desember 2024 – 09:07 WIB
Elshinta.com – Pemerintah telah secara resmi menaikkan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen untuk tahun 2025. Presiden Prabowo Subianto menyampaikan bahwa kenaikan ini lebih tinggi dari usulan awal Menteri Ketenagakerjaan yang merekomendasikan kenaikan sebesar 6 persen.
Garis kemiskinan merupakan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan maupun non-makanan. Sementara itu, garis kemiskinan per rumah tangga adalah gambaran besarnya nilai rata-rata rupiah minimum yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga untuk memenuhi kebutuhannya agar tidak dikategorikan sebagai rumah tangga miskin.
Garis kemiskinan per rumah tangga (rupiah per rumah tangga per bulan) ini dihitung dari garis kemiskinan (rupiah per kapita per bulan) yang dikalikan dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga miskin. Seperti halnya garis kemiskinan, garis kemiskinan per rumah tangga juga berbeda antardaerah.
Jika dibandingkan dengan garis kemiskinan per rumah tangga kondisi Maret 2024 yang dirilis BPS, besaran UMP 2025 di beberapa provinsi memang lebih tinggi dari garis kemiskinan per rumah tangga.
Namun, pada sebagian besar provinsi seperti Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan lainnya, UMP 2025 masih lebih rendah dibandingkan garis kemiskinan per rumah tangga di provinsi tersebut. Sebagai contoh, UMP 2025 di Maluku hanya mencapai Rp3.141.700, sementara garis kemiskinan per rumah tangga di sana pada Maret 2024 sudah mencapai Rp4.602.094.
Sementara itu, di provinsi lain seperti Jawa Timur, di mana proporsi penduduk miskin mencapai 15,79 persen dari total penduduk miskin, UMP 2025 hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan garis kemiskinan per rumah tangga. Garis kemiskinan per rumah tangga pada Maret 2024 di Jawa Timur mencapai Rp2.273.157, sedangkan UMP 2025 yang ditetapkan hanya sebesar Rp2.305.985.
Kondisi-kondisi ini menyoroti fakta bahwa penetapan UMP belum sepenuhnya mencerminkan kebutuhan rupiah yang diperlukan rumah tangga untuk mencukupi kebutuhan dasar di beberapa daerah. Jika upah yang didapat oleh pekerja tidak lebih besar dari garis kemiskinan, dalam hal ini pekerja tersebut menanggung untuk satu rumah tangga, maka tentu rumah tangga tersebut sulit lepas dari status rumah tangga miskin.
Begitu juga dengan UMP yang hanya sedikit di atas garis kemiskinan. Sebuah guncangan kecil seperti kenaikan harga kebutuhan pokok misalnya, tentu dapat dengan cepat menjerumuskan rumah tangga pekerja tersebut ke dalam kemiskinan.
Dari sinilah, penentuan UMP dengan mempertimbangkan garis kemiskinan menjadi penting. Artinya, penyesuaian UMP tidak lagi hanya soal bagaimana meningkatkan pendapatan pekerja, tetapi bagaimana UMP juga bisa menjadi benteng pertahanan masyarakat agar tidak jatuh ke dalam lingkaran kemiskinan baru.
Kenaikan UMP 2025 sebesar 6,5 persen sebenarnya cukup memberikan angin segar bagi para pekerja. Namun, tentu akan lebih baik jika garis kemiskinan per rumah tangga, yang digunakan sebagai tolok ukur minimal untuk memenuhi kebutuhan dasar, juga menjadi acuan penting dalam menentukan UMP.
Hal ini agar paling tidak, UMP tersebut sudah pasti cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga, sehingga beban mereka juga lebih ringan. Apalagi, per 1 Januari 2025 tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga telah dipastikan naik menjadi 12 persen.
Center of Economic and Law Studies (Celios) memperkirakan, kenaikan PPN pada 2025 akan memicu inflasi hingga 4,11 persen dari tingkat inflasi tahunan per November 2024 yang masih sebesar 1,55 persen.
Selain itu, banyak pakar juga menyampaikan bahwa kebijakan tersebut akan melemahkan daya beli masyarakat, apalagi kelompok menengah-bawah. Kelompok barang kebutuhan seperti makanan, minuman, dan transportasi diproyeksikan akan mengalami lonjakan harga, terutama di wilayah dengan sistem distribusi yang tidak efisien.
Kenaikan harga tersebut berpotensi menggerus daya beli masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah dan rentan, yang menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Terlebih lagi pada rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang bekerja di wilayah dengan UMP yang hanya sedikit di atas garis kemiskinan. Dampaknya akan sangat terasa bagi mereka dengan potensi untuk jatuh ke dalam kemiskinan yang semakin besar.
Setiap kenaikan harga barang berarti pengurangan konsumsi atau pengorbanan kebutuhan penting lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan. Bagi kelompok masyarakat rentan, situasi ini dapat semakin memperburuk kondisi ekonomi mereka.
Apalagi, keluarga kelompok pekerja berpenghasilan rendah sering kali tidak memiliki tabungan atau aset untuk menyerap dampak dari kenaikan biaya hidup. Ketika harga barang naik, mereka terpaksa berhutang atau mencari penghasilan tambahan di sektor informal. Kondisi ini dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi rumah tangga yang lebih besar dan berpotensi bisa meningkatkan angka kemiskinan.
Meskipun Pemerintah telah menyiapkan berbagai stimulus kebijakan untuk meredam dampak kenaikan PPN, namun efektivitasnya masih dianggap meragukan.
Pasalnya, sebagian besar rencana stimulus yang diberikan bersifat sementara, seperti misalnya insentif bantuan pangan dalam bentuk beras sebanyak 10 kilogram per bulan untuk tiap keluarga yang akan diberikan kepada 16 juta keluarga, bantuan pangan ini hanya akan diberikan selama dua bulan (Januari-Februari 2025).
Lalu, diskon listrik untuk pelanggan 450-2200 VA selama dua bulan pertama 2025, dan lain sebagainya. Guyuran insentif kebijakan yang hanya berlaku dalam hitungan bulan tersebut tentu belum cukup untuk mengatasi kenaikan biaya hidup akibat naiknya tarif PPN akan berlaku secara permanen.
Selain mereview kembali Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan yang telah disusun untuk menghadapi dampak kenaikan PPN 12 persen, ke depan, penentuan UMP juga perlu dievaluasi.
Saat ini, berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2025, formulasi yang digunakan dalam penentuan UMP 2025 adalah dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu.
Seharusnya, penentuan UMP juga perlu didasarkan pada proyeksi dampak inflasi akibat kenaikan PPN maupun kenaikan biaya hidup lainnya serta mempertimbangkan komponen kebutuhan hidup layak yang relevan dengan kondisi masing-masing daerah.
Sumber : Antara