Jakarta, Beritasatu.com – Wakil Ketua Komisi VII DPR Evita Nursanty meminta pemerintah untuk mengkaji ulang pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen pada Januari 2025. Pemerintah, kata dia, perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi saat ini, meskipun PPN tersebut merupakan amanat dari UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
“Kami memahami maksud Pemerintah untuk peningkatan pendapatan, tapi sekarang gejolak ekonomi sudah banyak berdampak signifikan ke rakyat. Pikirkan juga nasib jutaan UMKM yang akan terdampak, termasuk pekerja yang hidup dari sana,” ujar Evita dalam keterangannya, Kamis (21/11/2024).
Menurut Evita, PPN yang meningkat akan membuat harga barang dan jasa juga akan naik sehingga daya beli masyarakat akan terpengaruh khususnya bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah. Padahal, kata dia, sektor UMKM akan sangat bergantung pada stabilitas daya beli masyarakat. Kalau daya beli menurun, sudah pasti produk UMKM cenderung turun seiring dengan naiknya harga jual.
“UMKM berisiko mengalami penurunan penjualan yang signifikan, mengakibatkan ketidakmampuan untuk mempertahankan arus kas dan keseimbangan keuangan usaha mereka. Jika ini dipaksakan pada waktu yang tidak tepat maka masyarakat akan makin sulit terimbas dampak ikutannya, dan pertumbuhan ekonomi tahun depan akan lebih rendah dari target semula,” jelas Evita.
Evita mengakui ada sejumlah barang yang dikecualikan dari kenaikan PPN 12 persen, seperti barang-barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, layanan kesehatan, transportasi dan lainnya. Hanya saja, kata dia, ada banyak barang yang terdampak imbasnya, termasuk produk lokal yang akan menjadi lebih mahal dari sebelumnya.
“Tentunya ini mengurangi daya saing produk UMKM di pasar. Situasi ini akan membuat konsumen memilih produk impor yang lebih murah dan mengakibatkan ketimpangan pasar serta mempersulit UMKM untuk mempertahankan pangsa pasar mereka,” jelas dia.
Evita menilai pemerintah memiliki ruang untuk kembali mengkaji ulang PPN 12 persen, meski merupakan amanat dari UU HPP. Hal ini masih dimungkinkan mengingat dalam Pasal 7 ayat (3) UU HPP disebutkan bahwa PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.
“Jadi pemerintah masih bisa punya kewenangan untuk mengubahnya, misalkan melalui penerbitan peraturan pemerintah (PP) setelah dilakukan pembahasan dengan DPR. Pemerintah harus bijaksana melihat kondisi ekonomi yang masih sulit bagi masyarakat,” tutur Evita.
Evita berharap pemerintah fokus pada pembenahan sistem administrasi pajak dan efisiensi belanja negara akan lebih bermanfaat bagi perekonomian ketimbang membebani UMKM dengan kenaikan pajak.
“Pemerintah perlu mempertimbangkan alternatif yang lebih inklusif dan berorientasi pada keberlanjutan sektor UMKM. Daripada menaikkan PPN, pemerintah dapat mengoptimalkan sumber pendapatan lain melalui perbaikan sistem perpajakan yang lebih efektif,” pungkas Evita.