TRIBUNNEWS.COM – Sepuluh warga negara Inggris digugat atas kejahatan perang setelah nekat bergabung dengan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) di tengah berkobarnya perang di Jalur Gaza.
Public Interest Law Center (PILC) pada hari Senin, (7/4/2025), melaporkan gugatan itu dilayangkan oleh tujuh pengacara Inggris, salah satunya bernama Michael Mansfield.
Gugatan tersebut atas nama atau kepentingan PILC dan Palestine Centre for Human Rights.
Dalam berkas gugatan setebal 240 halaman, sejumlah orang yang memiliki kewarganegaraan ganda dituding telah terlibat dalam kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di tiga tempat di Gaza.
The Jerusalem Post melaporkan PILC juga meminta Tim Penanganan Kejahatan Perang di Markas Perlawanan Terorisme Kepolisian Metropolitan untuk menyelidiki dugaan kejahatan itu.
Saat ini identitas tergugat dan laporan lengkap tentang gugatan itu belum bisa dirilis secara terbuka agar tidak mengganggu penyelidikan.
Akan tetapi, disebutkan bahwa beberapa tergugat adalah opsir dan direkrut lewat Mahal, sebuah program sukarelawan asing.
TENTARA ISRAEL – Foto ini diambil pada Minggu (9/2/2025) dari publikasi resmi Pasukan Pertahanan Israel (IDF) pada Sabtu (8/2/2025) memperlihatkan tentara Israel dari Pasukan Komando Selatan dikerahkan ke beberapa titik di Jalur Gaza. (Telegram IDF)
Dituding targetkan warga sipil
Para tergugat dituding terlibat dalam serangan yang menargetkan warga sipil dan pekerja bantuan kemanusiaan.
Mereka disebut menyerang dengan senapan dan menyerang area-area warga sipil dan rumah sakit tanpa pandang bulu.
Di samping itu, mereka dituding terlibat dalam pemindahan paksa atau pengusiran warga sipil dan berkoordinasi dalam seranagn terhadap tempat keagamaan dan situs bersejarah.
Satu saksi mata berujar di salah satu tempat kejadian perkara (TKP) terdapat jasad-jasad yang berserakan. Warga Harus mencari jenazah anggota keluarganya di antara jasad-jasad itu.
Saksi mata kedua mengatakan anggota keluarganya, termasuk anak-anak, dipukuli dengan kabel dan tongkat biliar.
Adapun saksi mata ketiga mengaku melihat jasad-jasad di dalam liang kubur massal. Ada pula satu jasad yang dilindas oleh buldoser Israel.
Para saksi mata juga mengungkapkan bagaimana satu buldoser menghancurkan rumah sakit. Kesaksian-kesaksian itu tidak menjelaskan apakah para pelaku merupakan sepuluh warga Inggris itu.
Tim hukum meminta Kepolisian Metropolitan menyelidiki kasus itu dengan berdasar pada undang-undang yang dikeluarkan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) tahun 2001 dan Konvensi Jenewa tahun 1957.
Kedua aturan itu bisa diterapkan pada warga Inggris yang diduga melakukan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan.
UU ICC akan menjerat pelaku genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang, sedangkan Konvensi Jenewa 1957 akan menjerat orang yang melanggar Konvensi 1949.
“Ketimbang meneruskan memberikan bantuan militer, politik, dan ekonomi kepada Israel, yang lebih mendesak untuk dilakukan adalah menggunakan mekanisme hukum yang tersedia untuk menjerat pelaku yang bertanggung jawa atas kejahatan internasional,” kata PILC dalam pernyataannya.
Seorang anggota parlemen Inggris bernama Ellie Chowns berkata laporan itu menegaskan pentingnya surat dari Menteri Luar Negeri Inggris David Lammy. Lammy dalam suratnya meminta pemerintah menyelidiki apakah ada warga Inggris yang terlibat dalam dugaan kejahatan di Gaza.
Di sisi lain, seorang pensiunan Angkatan Darat Inggris bernama Richard Kemp mengkritik pedas gugatan itu. Dia mengklaimnya sebagai “kampanye perang politik pro-Hamas”.
(*)