TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kepala Biro Informasi Pertahanan (Karo Infohan) sekaligus Juru Bicara Kementerian Pertahanan Brigjen TNI Frega Wenas menegaskan pertahanan siber yang dilakukan TNI dalam rangka Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sebagaimana termuat dalam Undang-Undang TNI baru, bukan untuk memata-matai masyarakat sipil.
Ia meyakinkan tugas baru TNI tersebut tidak akan mengancam kebebasan berpendapat sebagaimana dikhawatirkan sebagian kelompok masyarakat sipil.
Frega memastikan tugas TNI tersebut akan dilakukan sesuai amanah konstitusi yang berfokus pada penegakan kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.
Dia menjelaskan saat ini siber telah menjadi sebuah domain penting dalam operasi militer.
Ia mencontohkan di lingkungan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, siber menjadi sebuah korps tersendiri sejak tahun 2014.
Bahkan, lanjut dia, doktrin multidomain operations dan multidomain battle yang berkembang sejak tahun 2017 telah mengintegrasikan siber bersama ruang angkasa dengan darat, maritim, dan udara, serta diadopsi oleh banyak negara termasuk negara-negara NATO.
Salah satu negara di kawasan seperti Singapura, kata dia, juga telah membentuk Angkatan Siber yang dinamai Digital and Intelligence Service.
Ia menjelaskan perkembangan dan dinamika ancaman tersebut yang menjadi urgensi bagi TNI untuk berperan menanggulangi ancaman siber karena hal itu bersinggungan dengan kedaulatan negara.
Karena itu, menurut Frega, mencantumkan pertahanan siber sebagai bagian dari salah satu cara melaksanakan tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP) adalah sebuah urgensi.
“Masyarakat tidak perlu khawatir dengan disahkannya revisi UU Nomor 34/2004 tentang TNI yang mencantumkan tugas pertahanan siber sebagai tugas dalam OMSP, karena merupakan penguatan profesionalisme TNI sehingga mampu menjalankan tugasnya dengan baik selaras dengan kepentingan dan keamanan nasional,” kata Frega dalam keterangan persnya pada Kamis (27/3/2025).
“Bila ada yang menyuarakan narasi bahwa operasi militer di ruang siber akan memberangus demokrasi karena membatasi kebebasan berpendapat adalah tidak benar. Sebagai negara demokrasi tentunya kebebasan berpendapat, termasuk menyampaikan kritik menjadi sebuah hal yang wajar,” lanjut dia.
Ia menjelaskan ancaman siber yang dihadapi oleh TNI nantinya bisa berupa serangan-serangan terhadap sistem pertahanan dan komando militer seperti peretasan, sabotase digital, atau pencurian data strategis.
Selain itu ancaman tersebut juga dapat berupa ancaman terhadap infrastruktur kritis nasional seperti serangan terhadap jaringan listrik, telekomunikasi, transportasi dan beberapa lainnya yang dapat berdampak pada stabilitas negara.
Bahkan, kata dia, pertahanan siber nantinya juga akan menghadapi operasi informasi dan disinformasi dari pihak-pihak tertentu yang mengancam kedaulatan negara, termasuk yang memiliki motif untuk melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi pertahanan dan pemerintah, hingga yang berpotensi memecah belah bangsa.
Di samping itu, sambungnya, ancaman serangan siber dari aktor negara atau non-negara yang dapat berdampak pada keamanan nasional, baik dalam bentuk spionase maupun cyber warfare.
“Tentunya, dalam operasionalisasinya TNI akan bersinergi dan berkolaborasi dengan Kementerian dan Lembaga lain yang memiliki tugas yang beririsan dengan siber seperti Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN), Kementerian Kominfodigi, dan Polri,” ungkapnya.
“Karena peran TNI dalam domain siber bersifat defensif dan strategis untuk mendukung pertahanan negara sehingga tidak akan terjadi tumpang tindih kewenangan,” sambung Frega.
Ia juga menegaskan dengan penguatan pertahanan siber, TNI tidak akan mengambil alih tugas lembaga lain tetapi akan beroperasi dalam lingkup pertahanan negara dan pada konteks keamanan nasional yang beririsan dengan kedaulatan negara.
Kominfodigi tetap bertanggung jawab atas regulasi dan pengelolaan infrastruktur digital nasional, sementara BSSN berfokus pada pengamanan siber secara nasional, dan Polri menangani aspek penegakan hukum.
Koordinasi lintas lembaga, lanjut dia, akan diperkuat agar tugas masing-masing tetap berjalan optimal tanpa tumpang tindih.
“Semua tindakan yang dilakukan TNI nantinya akan tetap berada dalam kerangka hukum dan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap operasi pertahanan siber yang dilakukan akan dikoordinasikan dengan instansi terkait agar tetap transparan dan tidak melanggar hak masyarakat dalam mengakses informasi,” ungkap dia.
“Pada prinsipnya pelibatan TNI dalam ranah pertahanan siber adalah sejalan dengan amanah konstitusi untuk menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa Indonesia,” pungkasnya.
Sebagai catatan, revisi Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI (revisi UU TNI) memberikan tugas baru untuk TNI dalam menangani ancaman siber melalui Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Hal tersebut termuat pada Pasal 7 ayat (2) angka 15 tentang tugas pokok TNI yang dilakukan dengan operasi militer selain perang (OMSP) sebagaimana termuat draf revisi UU TNI baru, yang diterima.
Dalam draf UU TNI baru khususnya pada bagian penjelasan angka 15 juga disebutkan yang dimaksud dengan “membantu dalam upaya menanggulangi ancaman siber” adalah TNI berperan serta dalam upaya menanggulangi ancaman siber pada sektor pertahanan (cyber defense).
Tugas pokok baru dalam revisi UU TNI tersebut pun menimbulkan kekhawatiran sebagian kelompok masyarakat khususnya para pegiat demokrasi dan juga mereka yang menaruh perhatian pada isu-isu kebebasan berekspresi di media sosial.