Kementrian Lembaga: TNI

  • Megawati Turunkan Baguna ke Bencana Sumatera, Siaga Dapur Umum hingga Ambulans

    Megawati Turunkan Baguna ke Bencana Sumatera, Siaga Dapur Umum hingga Ambulans

    Liputan6.com, Jakarta – Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri menyatakan, tugas Badan Penanggulangan Bencana atau Baguna adalah untuk hadir di setiap lokasi bencana untuk cepat tanggap memberikan bantuan, khususnya penyediaan makanan melalui dapur umum.

    “Jadi tidak ada perintah lagi, begitu Baguna turun, mereka harus segera buka dapur umum,” kata Megawati dalam acara ‘Mitigasi Bencana dan Pertolongan Korban’ yang digelar Baguna PDIP di Jakarta International Equestrian Park, Jakarta Timur, Jumat 19 Desember 2025.

    Ketua DPP PDIP Bidang Penanggulangan Bencana Tri Rismaharini menambahkan, Baguna bukan sebatas soal perut, namun juga kedarurat. Salah satunya adalah kesiapan fasilitas ambulans.

    Eks menteri sosial ini menjelaskan, ambulans Baguna dikemudikan oleh kelompok relawan yang bekerja tanpa mengenal waktu dan pamrih, meski saat hari libur dan dini hari.

    “Dalam praktiknya, mereka tidak hanya bertugas mengemudi, tetapi juga membantu berbagai kebutuhan darurat pasien. Kadang saat mengantar pasien mereka harus mencari darah ke PMI, mengurus obat, bahkan mengurus asuransi kalau terjadi kecelakaan. Semua itu dilakukan oleh para sopir,” ujar Risma.

    Berangkat dari kondisi tersebut, Risma bersama jajaran DPP PDIP berinisiatif untuk menjamin hidup mereka ketika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan saat menjalankan tugas mulianya.

    “Mereka ini tidak digaji oleh partai. Operasional ambulans pun mereka jalankan sendiri. Karena itu, kami berupaya mencarikan CSR agar mereka bisa mendapatkan perlindungan,” ungkapnya.

     

    Konferensi pers perkembangan penanggulangan bencana Sumatera, Jumat 19 Desember 2025. Hadir sejumlah menteri hingga Panglima TNI. Berapi-api Sekretaris Kabinet, Teddy Indra Wijaya menanggapi, anggapan pemerintah tidak tanggap bencana Sumatera.

  • WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

    WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

    GELORA.CO –  Insiden penyerangan terhadap lima prajurit TNI dari Batalyon Zeni Tempur (Yonzipur) 6/Satya Digdaya dan sejumlah karyawan perusahaan oleh Warga Negara Asing (WNA) asal China di Ketapang, Kalimantan Barat, memicu reaksi keras. 

    Peristiwa ini dinilai bukan sekadar konflik lapangan biasa, melainkan ancaman nyata terhadap otoritas negara.

    Pengamat Politik dan Keamanan Universitas Nasional (UNAS), Selamat Ginting, menyoroti adanya pelanggaran hukum ganda dalam kasus ini.

    “Fakta bahwa para pekerja asing tersebut memiliki izin kerja yang telah berakhir, namun tetap berada dan bekerja di Indonesia, sudah merupakan pelanggaran hukum. Pelanggaran itu menjadi jauh lebih serius ketika mereka melakukan kekerasan bersenjata terhadap warga sipil dan aparat negara,” kata Selamat Ginting pada Jumat, 19 Desember 2025.

    Lanjut Selamat, negara mana pun di dunia tidak akan mentolerir tindakan seperti ini. Apalagi, yang lebih memprihatinkan, penyerangan dilakukan dengan senjata tajam, soft gun, dan benda keras, sementara prajurit TNI yang berada di lokasi tidak membawa senjata dan justru harus menyelamatkan diri karena kalah jumlah. 

    Ini menunjukkan adanya tantangan langsung terhadap otoritas negara, bukan sekadar konflik industrial atau kesalahpahaman di lapangan.

    Kejadian ini juga mengungkap celah besar dalam pengawasan tenaga kerja asing, khususnya di sektor pertambangan. Perusahaan yang mempekerjakan pekerja asing tanpa izin kerja aktif patut dievaluasi secara menyeluruh. 

    Ironisnya, investasi asing seharusnya membawa manfaat ekonomi dan alih teknologi, bukan menciptakan rasa tidak aman dan potensi konflik sosial di daerah.

    Untuk itu, pemerintah perlu bersikap tegas dan jernih terhadap pelaku, dengan memproses hukum tanpa ragu dan tanpa beban politik. 

    “Hubungan diplomatik antarnegara tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan pelanggaran hukum oleh individu atau korporasi. Justru ketegasan hukum akan memperkuat posisi Indonesia sebagai negara berdaulat yang ramah investasi, tetapi tidak lemah dalam menjaga aturan. Kasus Ketapang juga menjadi pengingat bahwa ancaman terhadap keamanan nasional tidak selalu datang dalam bentuk agresi militer,” kata Selamat.

    Dikabarkan puluhan WNA asal China kini sudah diamankan di Kantor Imigrasi Ketapang usai diduga menyerang  anggota Batalyon Zeni Tempur 6/Satya Digdaya (Yonzipur 6/SD).

    “Saat ini WNA tersebut sedang dilakukan pemeriksaan oleh pihak Imigrasi. Imigrasi Pontianak dan Imigrasi pusat juga hadir langsung di Ketapang,” ujar Panglima Kodam XII/Tanjungpura, Mayjen TNI Jamalulael, kepada wartawan.

    Dari sini pun, Jamalulael mempercayakan penanganan kasus ini sepenuhnya kepada pihak imigrasi dan kepolisian. 

  • Kapolres Pamekasan Gelar Pasukan Pengamanan Nataru 2025

    Kapolres Pamekasan Gelar Pasukan Pengamanan Nataru 2025

    Pamekasan (beritajatim.com) – Kapolres Pamekasan, AKBP Hendra Eko Triyulianto mengingatkan seluruh personil agar meningkatkan solidaritas dan sinergitas dalam pengamanan Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Nataru) bertajuk Operasi Lilin Semeru 2025.

    Hal tersebut disampaikan dalam Apel Pasukan Operasi Lilin Semeru 2025, di Mapolres Pamekasan, Jl Raya Nyalaran 224 Pamekasan, Jum’at (19/12/2025).

    Khususnya menjelang operasi yang dijadwalkan digelar selama 14 hari kedepan, mulai 20 Desember 2025 hingga 2 Januari 2026.

    “Seperti diketahui bersama, perayaan Natal dan Tahun Baru merupakan salah satu agenda nasional yang rutin dilaksanakan setiap tahun. Terlebih moment ini juga dimanfaatkan masyarakat untuk beribadah dan berkumpul bersama keluarga, sehingga berdampak pada meningkatnya mobilitas dan aktivitas masyarakat,”kata AKBP Hendra Eko Triyulianto.

    Respons cepat terhadap berbagai situasi di lapangan juga menjadi bagian penting, termasuk layanan darurat Kepolisian 110 juga dapat menjadi sarana utama menerima laporan dan permintaan bantuan masyarakat, sehingga dapat segera ditindaklanjuti secara cepat dan tuntas. “Seluruh pelaksanaan tugas di lapangan tentunya harus disertai dengan strategi komunikasi publik yang tepat,” ungkapnya.

    “Pastikan masyarakat dapat mengetahui setiap informasi terkait layanan kepolisian, pesan-pesan kamtibmas, ketentuan dalam Surat Keputusan Bersama, informasi cuaca hingga penerapan pengaturan rekayasa arus lalu lintas, sehingga seluruhnya dapat terlayani dengan baik,” sambung AKBP Hendra Eko Triyulianto.

    Selain itu pihaknya juga menyampaikan apresiasi sekaligus terima kasih bagi seluruh personil yang terlibat dalam operasi gabungan, mulai dari unsur TNI-Polri, serta seluruh instansi terkait. “Maka dari itu, kami ingin tekankan kembali bahwa keberhasilan pelayanan Nataru ini merupakan tanggungjawab bersama,” tegasnya.

    “Oleh karena itu, terus tingkatkan soliditas dan sinergitas dalam pelaksanaan tugas, karena hal tersebut merupakan kunci utama kesuksesan penyelenggaraan sebuah operasi, termasuk pengamanan Nataru dengan sandi Operasi Lilin Semeru 2025,” pintanya.

    Tidak kalah penting, pihaknya juga mengimbau seluruh personil agar selalu menjaga kesehatan dan maksimal dalam melaksanakan tugas. “Jaga selalu kesehatan, jadikan pelayanan Nataru sebagai sebuah kebanggaan dan niatkan setiap pelaksanaan tugas sebagai ladang ibadah,” pungkasnya. [pin/ted]

  • Bencana Alam Menguji Kecakapan Komunikasi Negara

    Bencana Alam Menguji Kecakapan Komunikasi Negara

    Bencana Alam Menguji Kecakapan Komunikasi Negara
    Menulis adalah aktualisasi diri
    Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
    BENCANA
    alam tidak pernah memberi aba-aba. Ia datang tiba-tiba, melampaui batas administratif, dan menguji bukan hanya ketangguhan infrastruktur, tetapi juga kecakapan komunikasi negara.
    Dalam beberapa peristiwa bencana di Aceh, Sumatera Utara (Sumut) dan Sumatera Barat (Sumbar) pada akhir November 2025, satu persoalan berulang mencuat ke permukaan: impuls komunikasi pemerintah yang tersendat, tidak sinkron, dan sering kali membingungkan publik.
    Pertanyaannya kemudian sederhana, tapi jawabannya tidak sesederhana itu: salah siapa?
    Komunikasi yang terlambat sama bahayanya dengan bencana itu sendiri. Dalam situasi darurat, kecepatan dan kejelasan informasi adalah kebutuhan pokok, setara dengan logistik dan layanan medis.
    Sayangnya, pada sejumlah kasus bencana di tiga provinsi tersebut, publik kerap menerima informasi terlambat, saling bertentangan, atau bahkan nihil pada jam-jam krusial.
    Masyarakat tidak tahu harus mengungsi ke mana, jalur mana yang aman, siapa yang bertanggung jawab, dan bantuan apa yang sedang bergerak.
    Kekosongan informasi ini menciptakan kepanikan, membuka ruang spekulasi, dan memperparah trauma korban.
    Ketika negara gagal hadir secara komunikatif, ruang itu segera diisi oleh media sosial—sering kali dengan informasi yang belum terverifikasi.
    Salah satu akar persoalan terletak pada fragmentasi kelembagaan. Pemerintah pusat, pemerintah provinsi, kabupaten/kota, BNPB, BPBD, TNI-Polri, hingga relawan bergerak di medan yang sama, tapi sering berbicara dengan bahasa berbeda.
    Tidak jarang, pernyataan pejabat pusat tidak sejalan dengan kondisi faktual di lapangan yang disampaikan pemerintah daerah.
    Di Aceh, misalnya, narasi pusat terkesan menenangkan, sementara warga lokal masih berjibaku dengan dampak bencana.
    Di Sumut dan Sumbar, koordinasi lintas daerah sering tersendat oleh ego sektoral dan jalur komando yang tidak tegas.
    Masalahnya bukan pada ketiadaan lembaga, melainkan pada absennya satu suara yang dipercaya publik.
    Apakah ini murni salah pemerintah daerah?
    Menyederhanakan persoalan dengan menyalahkan pemerintah daerah adalah pendekatan yang keliru. Banyak kepala daerah dan BPBD bekerja dengan sumber daya terbatas, baik anggaran, personel, maupun infrastruktur komunikasi.
    Namun, pemerintah pusat juga tidak sepenuhnya bebas dari tanggung jawab. Sistem komunikasi kebencanaan nasional seharusnya dirancang untuk memotong hambatan birokrasi saat status darurat ditetapkan.
    Jika impuls komunikasi masih menunggu rapat koordinasi, surat resmi, atau konferensi pers seremonial, maka sistem itu gagal menjalankan fungsinya.
    Dalam kondisi darurat, komunikasi tidak boleh hierarkis; ia harus responsif.
    Kehadiran negara tidak diukur dari jumlah pejabat yang turun ke lokasi atau banyaknya baliho bantuan. Ia diukur dari seberapa cepat dan jelas negara berbicara kepada warganya—dan lebih penting lagi, mendengarkan mereka.
    Komunikasi kebencanaan seharusnya berorientasi pada korban, bukan pada citra. Bahasa yang digunakan harus lugas, empatik, dan operasional. Bukan jargon teknokratis yang justru memperlebar jarak antara pemerintah dan masyarakat terdampak.
    Jadi, salah siapa?
    Jawaban paling jujur: ini adalah kegagalan sistemik, bukan kesalahan tunggal. Kegagalan desain komunikasi kebencanaan yang belum menempatkan informasi sebagai instrumen penyelamat nyawa.
    Tanpa pembenahan serius—mulai dari satu komando komunikasi, pelatihan juru bicara kebencanaan, hingga pemanfaatan teknologi informasi yang terintegrasi—peristiwa serupa akan terus berulang. Dan setiap keterlambatan komunikasi akan selalu dibayar mahal oleh masyarakat.
    Dalam bencana, diam adalah dosa. Negara tidak boleh gagap ketika warganya paling membutuhkan suara yang menenangkan dan dapat dipercaya. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jelang Natal dan Tahun Baru, Polisi Gelar Operasi Lilin 2025

    Jelang Natal dan Tahun Baru, Polisi Gelar Operasi Lilin 2025

    JAKARTA — Kepolisian Republik Indonesia (Polri) berkomitmen memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam merayakan Natal 2025 serta pergantian Tahun Baru 2026.

    Komitmen tersebut disampaikan Asisten Kapolri Bidang Operasi (AstamaOps) Komjen Muhammad Fadil Imran usai Apel Gelar Pasukan Operasi Kepolisian “Lilin 2025” di Lapangan Silang Monas, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat, 19 Desember 2025.

    Fadil menegaskan, Operasi Lilin merupakan bentuk nyata kehadiran negara dalam menjamin keamanan spiritual dan sosial masyarakat selama perayaan hari besar keagamaan dan pergantian tahun.

    “Operasi ini adalah bentuk nyata kehadiran negara dalam menjamin kenyamanan spiritual saat beribadah, sekaligus keamanan sosial dalam momen kebersamaan dan perayaan,” kata Fadil.

    Ia menambahkan, pelaksanaan Operasi Lilin 2025 tidak hanya melibatkan Polri, tetapi juga dilakukan melalui sinergi dengan seluruh pemangku kepentingan terkait, termasuk TNI, pemerintah daerah, serta instansi lainnya.

    Menurut Fadil, kehadiran Polri dalam Operasi Lilin 2025 tidak semata-mata untuk melakukan penjagaan, melainkan hadir secara humanis di tengah masyarakat.

    “Polri hadir tidak hanya untuk berjaga. Polri hadir untuk membantu, menyapa, dan menyelesaikan masalah. Kami ingin masyarakat benar-benar merasakan kehadiran polisi yang bisa diandalkan, memanusiakan, dan siap menolong,” pungkasnya.

  • Polres Tangsel Gelar Apel Operasi Lilin, Pastikan Kesiapan Pelayanan Nataru

    Polres Tangsel Gelar Apel Operasi Lilin, Pastikan Kesiapan Pelayanan Nataru

    Jakarta

    Polres Tangerang Selatan (Tangsel) menggelar apel gelar pasukan Operasi Lilin 2025. Apel dilaksanakan sebagai bentuk pengecekan akhir kesiapan personel maupun sarana dan prasarana dalam rangka pengamanan perayaan Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Nataru).

    Apel dipimpin langsung Kapolres Tangerang Selatan AKBP Victor Inkiriwang di Lapangan Apel Polres Tangsel, Jumat (19/12/2025). Apel diikuti oleh personel gabungan yang terdiri dari Polres Tangsel, Polisi Militer, TNI, Jasa Raharja, Satpol PP, Dinas Perhubungan, Dinas Pemadam Kebakaran, Dinas Kesehatan, Pokdarkamtibmas, Saka Bhayangkara, serta unsur potensi masyarakat.

    Foto: Polres Tangsel menggelar apel Operasi Lilin 2025 dalam rangka pengamanan Nataru 2026 (dok. istimewa)

    Dalam kesempatan tersebut, AKBP Victor membacakan amanat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Dalam amanatnya, Kapolri menyampaikan pesan kamtibmas agar perayaan Nataru dapat berjalan baik dan lancar.

    “Pastikan masyarakat dapat mengetahui setiap informasi terkait layanan kepolisian, pesan-pesan kamtibmas, ketentuan dalam Surat Keputusan Bersama, informasi cuaca, hingga penerapan rekayasa arus lalu lintas, sehingga seluruhnya dapat terlayani dengan baik. Keberhasilan pelayanan Nataru merupakan tanggung jawab kita bersama. Untuk itu, terus tingkatkan soliditas dan sinergisitas dalam pelaksanaan tugas, karena hal tersebut menjadi kunci utama keberhasilan operasi,” ujar AKBP Victor.

    Foto: Polres Tangsel menggelar apel Operasi Lilin 2025 dalam rangka pengamanan Nataru 2026 (dok. istimewa)

    Usai pelaksanaan apel, Kapolres bersama Wakil Wali Kota dan para pejabat terkait melakukan pengecekan kendaraan operasional roda dua dan roda empat yang akan digunakan selama Operasi Lilin 2025. Pada kesempatan tersebut, Kapolres juga menyerahkan dua unit mobil dinas Pamapta kepada Polsek Ciputat Timur dan Polsek Kelapa Dua guna meningkatkan kegiatan patroli serta pelayanan kepada masyarakat.

    (dek/idn)

  • Jelang Nataru, Polres Ngawi Dirikan Lima Pos Strategis Operasi Lilin Semeru 2025

    Jelang Nataru, Polres Ngawi Dirikan Lima Pos Strategis Operasi Lilin Semeru 2025

    Ngawi (beritajatim.com) – Polres Ngawi menyiapkan pengamanan perayaan Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 dengan mendirikan lima pos Operasi Lilin Semeru 2025 di sejumlah lokasi strategis. Kesiapan tersebut ditandai melalui Apel Gelar Pasukan yang dipimpin Kapolres Ngawi AKBP Charles Pandapotan Tampubolon di halaman Mapolres Ngawi, Jumat (19/12/2025).

    Apel digelar untuk memastikan kesiapan personel, kelengkapan sarana dan prasarana, serta soliditas lintas sektor menjelang pengamanan libur akhir tahun. Sejumlah unsur terlibat, mulai dari Polres Ngawi, TNI, Satpol PP, Dinas Perhubungan, Dinas Kesehatan, BPBD, hingga instansi terkait lainnya.

    Kapolres Ngawi menegaskan Operasi Lilin Semeru 2025 berlangsung selama 14 hari, terhitung 20 Desember 2025 hingga 2 Januari 2026. Operasi ini bersifat kemanusiaan dengan pendekatan preventif, preemtif, dan penegakan hukum guna menjaga situasi keamanan dan ketertiban masyarakat tetap kondusif.

    “Pengamanan difokuskan pada lokasi ibadah Natal, pusat aktivitas masyarakat, jalur lalu lintas utama, serta objek vital. Selain itu, Polres Ngawi menempatkan personel di lima pos yang menjadi titik utama pengamanan dan pelayanan masyarakat,” kata Charles.

    Lima pos tersebut meliputi Pos Pengamanan Alun-Alun Ngawi sebagai pusat keramaian kota, Pos Pengamanan Jogorogo untuk wilayah selatan Ngawi, serta Pos Terpadu Mantingan yang menjadi simpul pergerakan arus lalu lintas antarwilayah. Sementara itu, pelayanan pemudik dan pengguna jalan tol diperkuat melalui Pos Pelayanan Rest Area KM 575 A dan Pos Pelayanan Rest Area KM 575 B.

    Keberadaan pos-pos ini diharapkan mampu memberikan respons cepat terhadap kebutuhan masyarakat, sekaligus mengantisipasi potensi gangguan kamtibmas dan kepadatan arus lalu lintas selama libur Natal dan Tahun Baru.

    Kapolres juga mengingatkan seluruh personel agar menjalankan tugas secara profesional dan humanis, serta mengutamakan keselamatan diri dan masyarakat. Sinergi antarinstansi disebut menjadi kunci keberhasilan Operasi Lilin Semeru 2025 di wilayah Kabupaten Ngawi.

    Dengan kesiapan personel dan sebaran pos pengamanan di titik-titik strategis, Polres Ngawi Polda Jatim menyatakan siap menjaga perayaan Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 agar berjalan aman, tertib, dan lancar. [fiq/kun]

  • PBHI Minta Prabowo Bubarkan Komisi Reformasi Polri: Kembali ke Jalur Legislasi

    PBHI Minta Prabowo Bubarkan Komisi Reformasi Polri: Kembali ke Jalur Legislasi

    Jakarta

    Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) meminta agar Presiden Prabowo Subianto membubarkan Komisi Reformasi Polri. PBHI mempertanyakan kontribusi Komisi Reformasi Polri terhadap perbaikan sistemik dan struktural Polri.

    “Sejak awal, PBHI telah menegaskan adanya potensi politisasi, gimmick belaka, bahkan hanya menciptakan keributan lewat konten viral di media sosial. Bagaimana perdebatan soal nama (delegasi) anggota Komisi Reformasi Polri justru lebih ramai dan mendahului gagasan dan fungsi komisi,” kata Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI, Julius Ibrani, dalam keterangan yang diterima, Jumat (19/12/2025).

    “Sehingga PBHI menegaskan agar forum reformasi Polri yang begitu fundamental tetap berada pada jalur konstitusional, yakni proses legislasi antara Presiden dan DPR RI, tentu berkonsultasi dengan MPR RI selaku pembentuk UUD Negara RI Tahun 1945 yang memandatkan fungsi dan tugas Kemanan dan Ketertiban pada institusi Polri melalui Pasal 30,” imbuhnya.

    Julius mengatakan Komisi Reformasi Polri diharapkan dapat menjawab persoalan sistemik dan struktural di tubuh Polri, tentu dengan basis dan linimasa yang jelas dan on target, mengingat Polri menjalankan fungsi yang berkelindan dengan kebutuhan harian masyarakat.

    “Faktanya, Komisi Reformasi Polri justru bergerak sangat lambat, minus kontribusi, bahkan justru memproduksi komentar sesat soal Putusan MK No. 114 terkait penempatan Anggota Polri pada institusi di luar Kepolisian. Perlu dipahami secara benar, bahwa Putusan MK No. 114 menyatakan frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ pada Bagian Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU No. 2/2002 tentang Polri dinyatakan inkonstitusional. Lebih lanjut, pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi juga merujuk pada Pasal 13 dan Pasal 18 UU No. 20 Tahun 2023 tentang ASN terkait jabatan. Apa makna dan dampak Putusan MK No. 114?” kata dia.

    PBHI meminta agar Presiden Prabowo memerintahkan Komisi Reformasi Polri berpegang teguh pada UUD Negara RI Tahun 1945, khususnya Pasal 30 ayat (2), (4), dan (5), di mana ada kebutuhan pengaturan lebih konkret dan detil mengenai fungsi Keamanan dan Ketertiban yang diemban Polri itu ada sangkut pautnya dengan institusi negara apa saja (Kementerian/Lembaga/Badan/Komisi Negara). Tentu, kata dia, dengan pertimbangan kapasitas dan kompetensi Anggota Polri dalam menjalankan mandat fungsional tersebut.

    “Putusan MK No. 114 memang tidak menafsirkan secara konstitusional institusi dan jabatan apa yang ada sangkut pautnya dengan fungsi Polri, melainkan hanya merujuk pada lingkup jabatan di Pasal 13 dan Pasal 18 UU ASN, dan basis serta mekanisme teknisnya yang telah diatur oleh Pasal 19 ayat (3) UU ASN, dan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS (PP 11/2017),” ucapnya.

    “Pasal 19 Ayat (2) UU ASN menyatakan bahwa jabatan ASN tertentu dapat diisi dari TNI dan Polri, dengan ketentuan lebih lanjut mengenai jabatan dan tata cara pengisian akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Lalu, Pasal 19 Ayat (3) mengatur pengisian jabatan ASN tertentu oleh prajurit TNI dan anggota Polri pada instansi pusat sesuai dengan ketentuan undang-undang masing-masing,” kata dia.

    Julius kemudian menyinggung Pasal 147 PP nomor 11 tahun 2017 yang menyatakan bahwa Jabatan ASN tertentu di lingkungan Instansi Pusat dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan kompetensi, tugas pokok, dan fungsi, serta persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

    Kemudian, Pasal 148 mengatakan bahwa Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari Prajurit TNI dan Anggota Polri yang berada pada Instansi Pusat dan sesuai dengan undang-undang mengenai TNI dan undang-undang mengenai Polri. Dan terakhir, menurutnya, Pasal 149 menjelaskan Pangkat Prajurit TNI dan pangkat Anggota Polri untuk menduduki Jabatan ASN pada Instansi Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ditetapkan oleh Panglima Tentara Nasional Indonesia atau Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Menteri, yang dimaksudkan adalah persetujuan tentang Penetapan pangkat dari Menteri PANRB.

    “Singkatnya, Anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian, yakni pada institusi yang ada sangkut pautnya dengan fungsi Polri tanpa perlu mengundurkan diri atau pensiun dari Polri, dengan persetujuan dari Menteri PANRB terkait kepangkatan. Tanpa ada tafsir dan penyebutan konkret serta detil mengenai institusi apa saja yang dimaksud sebagai ‘di luar Kepolisian’,” tutur dia.

    Julius kemudian menyinggung pertanyaan pimpinan Komisi Reformasi Kepolisian yang disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie dan Mahfud Md. Kedunya memberikan komentar terkait putusan MK soal jabatan anggota Polri di luar institusi.

    “Pernyataan Prof Jimly dan Prof Mahfud Md yang menyatakan bahwa Putusan MK No. 114 melarang total penempatan jabatan sipil di luar kepolisian oleh Anggota Polri dan harus ada penarikan mundur 4 ribuan Anggota Polri yang berada di institusi selain Polri secara mutatis mutandis, jelas adalah sebuah penyesatan publik. Komisi Reformasi Polri yang seharusnya mencari solusi dan memperbaiki sistem serta struktur Polri yang dianggap sebagai akar masalah, justru menimbulkan masalah sendiri dalam komentarnya, bahkan menjadi sumber masalah dalam agenda reformasi Polri itu sendiri,” katanya.

    “Perlunya ada tafsir dan definisi konkret serta detil mengenai institusi di luar Kepolisian yang ada sangkut pautnya dengan fungsi Polri, adalah PR terbesar dan sangat fundamental untuk diselesaikan. Hegemoni dwifungsi ABRI yang lahir kembali dan menjadi momok dalam perluasan jabatan Anggota TNI di ranah sipil via UU No. 3/2025 tentang Revisi UU TNI, tentu tidak dapat dijadikan rujukan sebagaimana komentar prof. Mahfud MD. Begitu juga ketiadaan konsiderans berupa “Putusan MK No. 114″ pada Peraturan Kepolisian (Perpol) No. 10/2025 tidak dapat dijadikan dalil oleh Prof Jimly pada situasi ini,” tuturnya.

    Julius menilai Komisi Reformasi Polri lamban dalam bekerja. Dia juga menyoroti komentar dari Komisi Reformasi Polri.

    “Lambannya Komisi Reformasi Polri dalam bekerja, ditambah komentar sesat dan menyesatkan publik, tidak mendorong langkah konstitusional Presiden Prabowo untuk memperbaiki institusi Polri. Lahirnya Putusan MK No. 114 tanpa tafsir dan penyebutan institusi apa yang dimaksud di luar Kepolisian, harusnya menjadi momentum baik dan besar bagi Komisi Reformasi Polri untuk meminta Presiden Prabowo mengambil langkah konstitusional, mengikuti alur logika berfikir Pasal 30 UUD Negara RI Tahun 1945,” sebut dia.

    Dia berharap Pemerintah, DPR hingga MK untuk menyusun tafsir terkait institusi yang ada keterkaitan dengan tugas Polri. Sehingga, kata dia, hal tersebut menjadi jelas.

    “Dengan mengundang DPR RI dan MPR RI serta MK untuk menyusun tafsir konstitusional terkait fungsi Polri dan institusi di luar Polri yang ada sangkut pautnya dengan fungsi tersebut. Tentu dengan mengkonfirmasi Menteri PANRB dalam menentukan kebutuhan kapasitas dan kompetensi apa dari Anggota Polri. Hingga kemudian dapat ditentukan institusi dan jabatan apa yang tepat untuk diatur lebih lanjut oleh UU Polri sebagaimana dimaksud oleh UU ASN dan PP 11/2017,” sebut dia.

    “Lambannya, Komisi Reformasi Polri dan Presiden Prabowo, serta minimnya inisiatif dari DPR RI meski telah membentuk Panja Reformasi Polri, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung, tentu menjadi satu celah besar dari segi linimasa yang harus direspons oleh Kapolri, Jendral Listyo Sigit Prabowo, yang menghadapi situasi di mana 4 ribuan anggotanya sedang bertugas di institusi non-Kepolisian,” ucap dia.

    Julius mengatakan alur legislasi dalam mentafsirkan mengenai institusi dan jabatan di luar kepolisian yang ada sangkut pautnya dengan Polri seharusnya direspon dengan cepat dan tepat oleh Komisi Reformasi Polri sejak pemeriksaan Perkara No. 114/PUU-XXIII/2025 berlangsung dan seketika sejak diputus MK.

    “Akan tetapi, gelagat untuk bergerak cepat dan tepat itu tidak terlihat, justru muncul wacana politisasi lewat usulan Prof Yusril terkait pembentukan Kementerian Keamanan sebagai institusi baru yang membawahi Polri dan beberapa institusi yang dianggap ada sangkut pautnya dengan fungsi Polri, sebagai replikasi dari Kementerian Pertahanan yang membawahi TNI. Tanpa menjawab pertanyaan utama: mendefinisikan fungsi dan institusi mana yang ada sangkut pautnya dengan Polri,” katanya.

    Julius menilai pembentukan Komisi Reformasi Kepolisian hanya berujung pada gimik. Dia meminta agar komisi ini tidak dijadikan ajang show off. Oleh karena itu, dia meminta Prabowo membubarkan komisi tersebut.

    “PBHI menegaskan, pembentukan komisi reformasi, tim percepatan atau apapun itu, berdasarkan catatan PBHI hanya berujung pada gimmick dan sarat politisasi kepentingan lain. Publik menuntut agar agenda reformasi Polri sebagai kebutuhan konstitusional masyarakat jangan dijadikan komoditas politik dan show off lewat pemberitaan media,” katanya.

    “PBHI menuntut Pemerintah Presiden Prabowo dan DPR RI untuk dorong tafsir konstitusional mengenai fungsi Keamanan pada Pasal 30 ayat (2), (4), dan (5) UUD Negara RI Tahun 1945 dan tuangkan dalam produk legislasi yang cepat dan tepat: UU Polri. Meski tidak ada kata terlambat, namun penting juga untuk segara membubarkan Komisi Reformasi Polri yang terlalu bermasalah karena komentar-komentar sesat,” pungkasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (lir/fjp)

  • Negara Arab Bingung, Indonesia Tolak Bantuan Asing untuk Bencana Sumatra, Padahal Krisis Masih Tejadi

    Negara Arab Bingung, Indonesia Tolak Bantuan Asing untuk Bencana Sumatra, Padahal Krisis Masih Tejadi

    GELORA.CO – Penolakan Pemerintah Indonesia terhadap bantuan asing untuk menangani bencana banjir dan longsor besar di Sumatra memicu sorotan internasional.

    Sejumlah negara Timur Tengah, termasuk Uni Emirat Arab (UEA), Qatar, hingga Arab Saudi disebut heran setelah tawaran bantuan kemanusiaan mereka tidak diterima oleh pemerintah Indonesia.

    Padahal bencana yang terjadi berdampak luas dan menimbulkan kerusakan besar.

    Bencana yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir 2025 itu menimbulkan kerusakan masif ribuan korban terdampak, ratusan ribu warga mengungsi.

    Serta infrastruktur hancur di banyak titik.

    Sejumlah negara Arab yang memiliki hubungan erat dengan Indonesia merespons cepat dengan menyatakan kesiapan mengirim bantuan pangan, logistik, hingga tenaga medis.

    Namun, pemerintah Indonesia menegaskan belum membuka pintu untuk bantuan luar negeri.

    Sikap tersebut menjadi polemik setelah muncul laporan bahwa 30 ton beras bantuan dari Pemerintah UEA yang ditujukan bagi korban banjir di Medan harus dikembalikan.

    Karena pemerintah pusat belum memberikan izin penerimaan bantuan luar negeri.

    Pemerintah kota mengikuti arahan nasional, sehingga paket bantuan yang sudah tiba di Indonesia dikirim kembali.

    Kebijakan ini menimbulkan tanda tanya dari negara-negara Arab karena bantuan yang mereka siapkan bersifat kemanusiaan dan tidak disertai syarat politik.

    Dalam konteks diplomasi, solidaritas antarnegeri Muslim biasanya diterima dengan tangan terbuka.

    Terlebih ketika Indonesia kerap menjadi negara yang vokal dalam isu-isu regional Timur Tengah.

    Di sisi lain, pemerintah Indonesia menjelaskan bahwa keputusan menolak bantuan asing diambil karena kapasitas nasional dinilai cukup untuk menangani bencana.

    Pemerintah menegaskan bahwa pengerahan sumber daya TNI, BNPB, kementerian terkait, hingga bantuan dari pemerintah daerah telah berjalan masif.

    Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa Indonesia “mampu menangani sendiri” situasi darurat tersebut.

    Alasan lain yang menjadi pertimbangan adalah belum adanya penetapan status “bencana nasional”.

    Selama status tersebut tidak diberlakukan, prosedur penerimaan bantuan asing tetap berada dalam pengawasan ketat pemerintah pusat.

    Mekanisme ini membuat bantuan luar negeri tidak bisa masuk sembarangan tanpa persetujuan resmi.

    Namun, kebijakan tersebut tidak lepas dari kritik.

    Sejumlah pengamat kebencanaan menilai bahwa dalam situasi bencana berskala besar, kerja sama internasional justru penting untuk mempercepat pemulihan.

    Dengan kerugian ekonomi mencapai puluhan triliun dan beban logistik yang besar.

    Sebagian pihak menilai bahwa menutup pintu bantuan internasional sama saja memperlambat penanganan.

    Dari sisi dunia Arab, kebingungan muncul karena Indonesia selama ini dikenal sebagai negara dengan hubungan historis, budaya, dan keagamaan yang kuat dengan kawasan tersebut.

    Tawaran bantuan yang ditolak tanpa penjelasan rinci dinilai bisa menimbulkan jarak diplomatik, meski hubungan bilateral tetap berjalan normal.

    Meski begitu, beberapa negara tetap mengirim bentuk dukungan lain yang tidak masuk kategori bantuan langsung pemerintah ke pemerintah.

    Malaysia, misalnya, mengirim obat-obatan dan tim medis ke Aceh melalui jalur kerja sama kemanusiaan regional.

    Situasi ini memunculkan diskusi lebih luas mengenai kemandirian nasional versus solidaritas global.

    Apakah Indonesia sedang ingin menunjukkan kemampuan mandiri menangani bencana besar?

    Atau apakah pemerintah ingin menghindari isu keterlibatan pihak asing di wilayah terdampak yang sensitif secara politik?

    Hingga kini, pemerintah Indonesia belum memberikan sinyal untuk mengubah kebijakan tersebut.

    Negara-negara Arab yang ingin membantu masih menunggu kepastian, sementara pemulihan di wilayah Sumatra terus berjalan dengan mengandalkan kapasitas nasional.***

  • Seskab Teddy: Akses Jalan dan Listrik 52 Daerah Banjir Sumatera Mulai Pulih

    Seskab Teddy: Akses Jalan dan Listrik 52 Daerah Banjir Sumatera Mulai Pulih

    Seskab Teddy: Akses Jalan dan Listrik 52 Daerah Banjir Sumatera Mulai Pulih
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya memastikan akses jalan dan aliran listrik yang sempat terputus di 52 kabupaten/kota terdampak bencana di tiga provinsi Sumatera mulai dipulihkan sejak 30 November 2025.
    Listrik yang awalnya mati total saat bencana melanda kini berangsur pulih.
    “Seluruh lokasi terdampak itu 52 kabupaten. Hampir 52 kabupaten itu, jalur lintas kabupatennya terputus. Listriknya hampir mati. Di tanggal 30 (November), sedikit demi sedikit tapi pasti, dari 52 kabupaten itu tersambung lah jalan. Nyala lah listrik,” ujar Teddy dalam konferensi pers di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (19/12/2025).
    Teddy juga menegaskan, BNPB, TNI, Polri, kementerian dan lembaga terkait hingga pemerintah daerah bekerja keras sejak hari pertama bencana terjadi.
    Ia menuturkan, petugas di lapangan beserta warga bahu-membahu memperbaiki jalan yang terputus.
    Sistem kelistrikan di daerah terdampak juga terus dipulihkan oleh petugas PLN.
    “Semuanya kita ini, termasuk warga setempat itu sama-sama sambungkan jalan. Petugas PLN ngangkut di tengah hujan, di atas gunung, segala macam, tanpa kamera,” imbuh Teddy.
    Selain itu, Presiden RI Prabowo Subianto terus memonitor situasi sejak awal bencana melanda.
    Bahkan, Kepala Negara sudah berkali-kali bertolak ke wilayah terdampak bencana untuk meninjau langsung
    penanganan pascabencana
    .
    “Bapak Presiden sudah ke Aceh tiga kali, ke enam kabupaten. Ke Sumatera Utara dua kali. Sumatera Barat dua kali. Masing-masing empat kabupaten,” paparnya.
    Meskipun tanpa status Bencana Nasional, menurut Teddy, pemerintah pusat mengerahkan segala daya dan upaya untuk mendukung penuh proses
    pemulihan pascabencana
    di wilayah Sumatera.
    Pemerintah pusat juga menyiapkan anggaran hingga Rp 60 triliun yang akan dikucurkan secara bertahap.
    “Disampaikan Rp 60 triliun sudah dikeluarkan secara berangsur untuk membangun kembali rumah sementara, rumah hunian tetap, fasilitas semuanya, gedung DPRD, kecamatan juga,” tegas dia.
    Oleh karena itu, Teddy berharap semua pihak terus bekerja sama dan saling mendukung.
    Jika dirasa masih ada kekurangan dalam proses pemulihan ini, pemerintah terbuka untuk menerima masukan yang membangun.
    “Sekali lagi, ayo kita saling bantu, saling jaga, saling dukung, sebarkan energi positif,” tuturnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.