Kementrian Lembaga: TNI

  • Polres Jaksel tindak 497 pelanggar dalam Operasi Zebra Jaya 2025

    Polres Jaksel tindak 497 pelanggar dalam Operasi Zebra Jaya 2025

    Jakarta (ANTARA) – Satuan Lalu Lintas Polres Metro Jakarta Selatan (Jaksel) menindak sebanyak 497 pelanggar pada hari ke-3 pelaksanaan Operasi Zebra Jaya 2025, sejak dimulai pada 17 November.

    “Sudah 497 yang sudah divalidasi untuk pelanggaran yang tercakup di Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) Mobile wilayah Jakarta Selatan,” kata Kasat Lantas Polres Metro Jakarta Selatan Kompol Mujiyanto kepada wartawan di Jakarta, Rabu.

    Pelaksanaan operasi pada Rabu, kata dia, dipusatkan di kawasan Jalan Fatmawati dengan metode yang sama seperti hari-hari sebelumnya, yakni preemtif dan preventif.

    “Kami mengerahkan personel untuk kegiatan preemtif berupa imbauan dan kegiatan preventif melalui penjagaan di sepanjang ruas Jalan Fatmawati sejak pagi hingga sore,” ujar Mujiyanto.

    Dia menyebutkan terdapat tujuh target operasi pada Operasi Zebra Jaya 2025, dan beberapa di antaranya dapat ditindak secara konvensional, termasuk penggunaan knalpot “brong” dan kendaraan tanpa Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB).

    “Pelanggaran yang terekam ETLE mobil itu, di antaranya tidak memakai helm, melawan arus, dan tidak menggunakan sabuk keselamatan. Itu yang paling banyak,” ucap Mujiyanto.

    Nantinya, sambung dia, pelanggar diberikan teguran dan imbauan agar segera memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, salah satunya memasang plat nomor kendaraan.

    “Plat nomor itu wajib dipasang. Walaupun ETLE masih bisa merekam dari plat depan, tetap harus dipasang depan dan belakang sesuai aturan,” tegas Mujiyanto.

    Operasi Zebra Jaya 2025 digelar secara serentak di Jakarta dengan tujuan meningkatkan disiplin berlalu lintas dan menekan angka pelanggaran yang berpotensi menyebabkan kecelakaan.

    Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya membeberkan sejumlah target Operasi Zebra Jaya 2025 yang digelar selama 14 hari ke depan, mulai 17 hingga 30 November, di antaranya pelanggaran terkait penggunaan helm, pengendara kendaraan roda dua yang di bawah umur, kecepatan melebihi aturan serta penggunaan TNKB, termasuk kendaraan ataupun penggunaan pelat TNI maupun Polri yang tidak sesuai ketentuan.

    Pewarta: Luthfia Miranda Putri
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Menhan: Negara tidak boleh kalah dari praktik tambang ilegal

    Menhan: Negara tidak boleh kalah dari praktik tambang ilegal

    “Kita menemukan beberapa kegiatan penambangan bijih timah ilegal dan akan kita tindaklanjuti baik secara hukum maupun administrasi,”

    Koba, Babel, (ANTARA) – Menteri Pertahanan Republik Indonesia (Menhan RI) Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan negara tidak boleh kalah dari praktik penambangan bijih timah ilegal yang marak terjadi di Kecamatan Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

    “Kita menemukan beberapa kegiatan penambangan bijih timah ilegal dan akan kita tindaklanjuti baik secara hukum maupun administrasi,” kata Sjafrie Sjamsoeddin saat meninjau latihan terintegrasi TNI di Desa Nadi, Bangka Tengah, Rabu.

    Ia mengatakan penindakan tidak dilakukan secara sembarangan, tetapi berdasarkan data akurat yang dihimpun tim Penegakan Kedaulatan dan Hukum (PKH) yang sebelumnya telah melakukan penelusuran di wilayah tersebut.

    “Secara geografis semua kegiatan yang mengarah ke penambangan timah ilegal sudah ditutup. Namun, secara regulasi selanjutnya akan diserahkan ke Kementerian ESDM,” ujarnya.

    Sjafrie menegaskan kehadiran TNI dalam latihan gabungan di Bangka Belitung juga untuk memastikan keamanan sumber daya strategis nasional, terutama sektor pertambangan timah. Latihan ini sekaligus memperkuat kehadiran militer di daerah rawan eksploitasi ilegal dan konflik sumber daya.

    “Latihan gabungan di Bangka Belitung melibatkan 41.397 personel,” ujarnya.

    Menurut dia, Bangka Belitung dipilih sebagai lokasi latihan gabungan karena memiliki posisi strategis di jalur laut antara Sumatra dan Jawa, serta memiliki nilai geografis dan ekonomis yang signifikan.

    “Babel memiliki kekayaan sumber daya alam yang besar dan menjadi komoditas strategis nasional yang harus kita amankan,” ujarnya.

    Pewarta: Ahmadi
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kala Refly Harun dan Roy Suryo Cs Walk Out dari Audiensi Bersama Komisi Percepatan Reformasi Polri

    Kala Refly Harun dan Roy Suryo Cs Walk Out dari Audiensi Bersama Komisi Percepatan Reformasi Polri

    Liputan6.com, Jakarta – Audiensi Komisi Percepatan Reformasi Polri diwarnai aksi walk out. Sedianya, Refly Harun bersama Roy Suryo, Tifauziah Tyassuma, dan Rismon Sianipar datang untuk membahas tentang dugaan kriminalisasi dalam kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 Jokowi di PTIK, Jakarta Selatan, Rabu (19/11/2025).

    Namun, mereka menilai diskusi tak adil karena peserta berstatus tersangka hanya diminta duduk tanpa diizinkan untuk menyampaikan pendapatnya.

    Pertemuan itu diinisiasi sendiri oleh Refly Harun. Ia menghubungi Ketua Komisi, Jimly Asshiddiqie. Undangan kemudian disetujui, dan rombongan hadir sesuai waktu yang dijadwalkan.

    Namun jelang hari-H, beberapa nama disebut dicoret dari daftar hadir, antara lain Roy Suryo, Tifauziah Tyassuma, dan Rismon Sianipar.

    Refly Harun tak mengubris, dan tetap mengajak mereka untuk ikut hadir. Bukan tanpa alasan, menurut Refly ini adalah forum publik. Apalagi, yang dibahas adalah kasus yang dialami oleh mereka bertiga.

    Setiba tiba di PTIK, Roy Suryo, Tifauziah Tyassuma, dan Rismon Sianipar justru diberi dua pilihan tetap berada di dalam tanpa hak bicara atau meninggalkan forum.

    “Rupanya mereka memilih keluar. Mayoritas ya,memilih keluar. Karena mereka memilih keluar, kita sebelum masuk sudah solidaritas. Kalau RRT keluar, kita juga keluar,” ujar Refly Harun.

    Tak hanya Refly dan Roy Cs, Edy Mulyadi yang akan membicarakan kasusnya ‘tempat jin buang anak’, Said Didu yang akan bicara soal pagar laut, Aziz Yanuar yang rencannya membahas kasus pembunuhan di luar proses hukum atau unlawful killing atas enam laskar Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek, dan Habib Rizieq juga putusan untuk keluar

    “Ada beberapa yang tetap bertahan, terutama yang forum purnawirawan TNI. Sama ada teman civil society. Kira-kira dua komponen yang bertahan. Ada Habib Marathi juga tadi keluar. Jadi mayoritas keluar dengan temanya masing-masing,” ucap dia.

     

  • Wamenhan: Pengembangan teknologi pertahanan kebutuhan mutlak

    Wamenhan: Pengembangan teknologi pertahanan kebutuhan mutlak

    Berbagai bentuk ancaman tersebut menuntut kesiapan TNI yang tidak hanya bertumpu pada jumlah personel, tapi juga pada kecepatan, akurasi, dan efektivitas pemanfaatan teknologi. Karena itu, pengembangan teknologi pertahanan merupakan kebutuhan mutlak,

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan) Donny Ermawan Taufanto mengatakan pengembangan teknologi pertahanan merupakan kebutuhan mutlak sebagai kunci dalam menjaga kedaulatan dan menghadapi ancaman modern yang semakin kompleks.

    Donny saat membuka Defence Technology Forum 2025 di Jakarta, Rabu, menjelaskan, ancaman modern tidak lagi terbatas pada konflik konvensional, tetapi mencakup perang siber, serangan drone, peperangan elektronik, terorisme berbasis teknologi tinggi, serta potensi konflik di wilayah laut dan udara.

    “Berbagai bentuk ancaman tersebut menuntut kesiapan TNI yang tidak hanya bertumpu pada jumlah personel, tapi juga pada kecepatan, akurasi, dan efektivitas pemanfaatan teknologi. Karena itu, pengembangan teknologi pertahanan merupakan kebutuhan mutlak, bukan sekedar pilihan strategis,” katanya.

    Menurut Wamenhan, dengan kemampuan teknologi yang memadai, Indonesia akan mampu menegakkan kedaulatan, melindungi kepentingan nasional, dan merespons ancaman modern secara lebih efektif.

    Kementerian Pertahanan sendiri telah menetapkan kebijakan prioritas Perisai Trisula Nusantara sebagai pilar utama penguatan pertahanan nasional. Kebijakan ini mengintegrasikan matra darat, laut, dan udara untuk membentuk sistem pertahanan yang komprehensif, terkoordinasi, dan responsif.

    Tujuannya, kata Donny, adalah menjaga kedaulatan nasional sekaligus meningkatkan kapabilitas operasional TNI melalui modernisasi alutsista, organisasi yang efektif dan efisien, serta penguatan profesionalisme prajurit.

    “Dengan demikian, yang dibangun bukan hanya kekuatan pertahanan, melainkan juga sistem yang adaptif, mampu mengikuti perkembangan ancaman di masa depan, dan memberikan rasa aman bagi seluruh rakyat Indonesia,” ucapnya.

    Wamenhan lebih lanjut mengatakan fokus strategi pertahanan saat ini meliputi modernisasi alutsista, pengembangan satuan, kemandirian industri pertahanan, dan peran sentral teknologi pertahanan.

    Menurut dia, hal itu tidak dapat dilakukan oleh Kementerian Pertahanan atau TNI saja. Ia menilai perlu kolaborasi pentaheliks antara pemerintah, TNI, akademisi, industri swasta, dan mitra internasional.

    “Kerja sama ini menjadi kunci untuk menghasilkan inovasi yang relevan, mempercepat pengembangan teknologi, serta memperluas jejaring penelitian dan produksi,” ujarnya.

    Dia menyebut Defence Technology Forum 2025 yang merupakan kolaborasi Badan Teknologi Pertahanan Kementerian Pertahanan dan KNDS, produsen alutsista asal Prancis, hadir sebagai wadah membangun dialog konstruktif multipihak.

    “Defence Technology Forum 2025 hadir sebagai wadah untuk membangun dialog konstruktif di antara pemangku kepentingan, merumuskan peta jalan teknologi pertahanan yang berkelanjutan, serta menyepakati langkah-langkah strategis untuk masa depan,” katanya.

    “Saya berharap forum ini dapat menghasilkan rekomendasi strategis yang konkret, memperkuat inovasi, serta membuka peluang kerja sama yang nyata antara industri pertahanan nasional dan mitra internasional,” imbuh Donny.

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Personel KRI Bung Hatta gladi bersih simulasi penyergapan kapal

    Personel KRI Bung Hatta gladi bersih simulasi penyergapan kapal

    Morowali (ANTARA) – Personel TNI AL melalui KRI Bung Hatta menggelar gladi bersih latihan penyergapan kapal penyelundup di laut kawasan Morowali, Sulawesi Tengah, Rabu.

    Gladi bersih ini dilakukan sebagai persiapan digelarnya latihan gabungan TNI yang akan disaksikan langsung Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto dan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin di Morowali, Besok, Kamis (20/11).

    Dari pantauan ANTARA di lokasi, terlihat latihan gladi bersih ini melibatkan tim Visit Board Search and Seizure (VBSS) KRI Bung Hatta.

    Pihak KRI mengerahkan 16 personel VBSS yang dilengkapi senjata laras panjang untuk melakukan penggerebekan dan pertempuran jarak dekat.

    Dalam gladi bersih itu, disimulasikan pasukan VBSS mengendarai dua kapal kecil speed boat untuk menangkap satu kapal nelayan yang diduga menyelundupkan barang ilegal.

    Dua kapal speed boat dan para pasukan VBSS itu lalu dikeluarkan dari dalam KRI Bung Hatta untuk selanjutnya melakukan penyergapan.

    Dari pantauan di lokasi, terlihat para personel VBSS terlebih dahulu mengelilingi kapal nelayan tersebut. Setelah mengelilingi kapal, tim langsung menyerbu dari sisi kapal.

    Pasukan terlihat langsung menyisir bagian atas kapal, deck utama kapal hingga masuk ke dalam tempat penyimpanan muatan kapal.

    Para personel diberikan waktu selama 13 menit untuk menyisir seluruh sisi kapal nelayan. Proses gladi bersih itu berjalan dengan lancar dan aman. Pihak TNI Al berharap gladi bersih ini dapat memantapkan persiapan seluruh prajurit untuk tampil dalam latihan gabungan, besok.

    Pewarta: Walda Marison
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • ​Operasi Zebra Jaya 2025 Terapkan Hunting System, Apa Itu?

    ​Operasi Zebra Jaya 2025 Terapkan Hunting System, Apa Itu?

    Jakarta: Selain mengandalkan teknologi canggih seperti ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement), Polda Metro Jaya menerapkan pola penindakan baru berupa hunting system dalam Operasi Zebra Jaya 2025. Metode ini diberlakukan selama operasi berlangsung pada 17–30 November 2025 sebagai langkah memperkuat penegakan hukum di titik-titik rawan pelanggaran lalu lintas.

    Apa itu Hunting System?
    Hunting system adalah pola penindakan di mana petugas melakukan patroli bergerak untuk menyisir lokasi-lokasi yang sering terjadi pelanggaran, alih-alih melakukan razia statis di satu titik. Dengan metode ini, petugas dapat langsung menghentikan dan menindak pelanggar yang terpantau di lapangan.

    Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Komaruddin menjelaskan pola baru ini memungkinkan petugas menjangkau lebih banyak wilayah.

    “Ini untuk diketahui, tidak lagi menggunakan pola razia stasioner tapi kita lebih menggunakan hunting system. Nanti akan banyak personel gabungan, TNI, Polri, Dinas Perhubungan, akan menyisir ruas-ruas jalan yang biasanya banyak sekali terjadi pelanggaran di luar dari 127 ruas jalan yang terpantau langsung oleh kamera E-TLE,” ujar Komaruddin dikutip dari Metro TV News.
    ​Kenapa Hunting System Diterapkan?
    ​Penerapan Hunting System dalam Operasi Zebra 2025 memiliki beberapa alasan strategis, seperti masih banyaknya titik blind spot atau jalan kecil yang tidak terpasang kamera statis walaupun ETLE sudah luas. Hunting System memastikan tidak ada celah bagi pelanggar di area tersebut.

    Selain itu, metode ini dianggap lebih efektif untuk mencegah pelanggaran fatal dan menekan angka kecelakaan lalu lintas di wilayah hukum Polda Metro Jaya.
     

     

    Pola Pelaksanaan di Lapangan

    Dalam Operasi Zebra Jaya 2025, kepolisian menggunakan tiga pola penindakan:

    – 40 persen tindakan preventif, berupa penggelaran personel secara masif dan edukasi kepada masyarakat.

    – 40 persen tindakan preemtif, melalui pengaturan dan pengawasan di titik-titik rawan.

    – 20 persen penegakan hukum, baik dengan tilang elektronik (ETLE) maupun penindakan langsung melalui hunting system.

    Sebanyak 2.939 personel gabungan dikerahkan untuk mendukung pelaksanaan operasi di berbagai titik strategis.

    Dengan penerapan pola patroli bergerak ini, diharapkan Operasi Zebra Jaya 2025 dapat menciptakan kondisi lalu lintas yang lebih aman dan tertib. Disiplin pengendara dinilai menjadi kunci utama dalam menekan angka pelanggaran serta mengurangi risiko kecelakaan di jalan raya.

    (Sheva Asyraful Fali)

    Jakarta: Selain mengandalkan teknologi canggih seperti ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement), Polda Metro Jaya menerapkan pola penindakan baru berupa hunting system dalam Operasi Zebra Jaya 2025. Metode ini diberlakukan selama operasi berlangsung pada 17–30 November 2025 sebagai langkah memperkuat penegakan hukum di titik-titik rawan pelanggaran lalu lintas.

    Apa itu Hunting System?
    Hunting system adalah pola penindakan di mana petugas melakukan patroli bergerak untuk menyisir lokasi-lokasi yang sering terjadi pelanggaran, alih-alih melakukan razia statis di satu titik. Dengan metode ini, petugas dapat langsung menghentikan dan menindak pelanggar yang terpantau di lapangan.
     
    Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Komaruddin menjelaskan pola baru ini memungkinkan petugas menjangkau lebih banyak wilayah.
     
    “Ini untuk diketahui, tidak lagi menggunakan pola razia stasioner tapi kita lebih menggunakan hunting system. Nanti akan banyak personel gabungan, TNI, Polri, Dinas Perhubungan, akan menyisir ruas-ruas jalan yang biasanya banyak sekali terjadi pelanggaran di luar dari 127 ruas jalan yang terpantau langsung oleh kamera E-TLE,” ujar Komaruddin dikutip dari Metro TV News.
    ​Kenapa Hunting System Diterapkan?
    ​Penerapan Hunting System dalam Operasi Zebra 2025 memiliki beberapa alasan strategis, seperti masih banyaknya titik blind spot atau jalan kecil yang tidak terpasang kamera statis walaupun ETLE sudah luas. Hunting System memastikan tidak ada celah bagi pelanggar di area tersebut.

    Selain itu, metode ini dianggap lebih efektif untuk mencegah pelanggaran fatal dan menekan angka kecelakaan lalu lintas di wilayah hukum Polda Metro Jaya.
     

     

    Pola Pelaksanaan di Lapangan

    Dalam Operasi Zebra Jaya 2025, kepolisian menggunakan tiga pola penindakan:
     
    – 40 persen tindakan preventif, berupa penggelaran personel secara masif dan edukasi kepada masyarakat.
     
    – 40 persen tindakan preemtif, melalui pengaturan dan pengawasan di titik-titik rawan.
     
    – 20 persen penegakan hukum, baik dengan tilang elektronik (ETLE) maupun penindakan langsung melalui hunting system.
     
    Sebanyak 2.939 personel gabungan dikerahkan untuk mendukung pelaksanaan operasi di berbagai titik strategis.
     
    Dengan penerapan pola patroli bergerak ini, diharapkan Operasi Zebra Jaya 2025 dapat menciptakan kondisi lalu lintas yang lebih aman dan tertib. Disiplin pengendara dinilai menjadi kunci utama dalam menekan angka pelanggaran serta mengurangi risiko kecelakaan di jalan raya.
     
    (Sheva Asyraful Fali)

     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News


    Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id

    (RUL)

  • Menhan RI ingatkan pentingnya sinergi antara satuan kepada TNI Natuna

    Menhan RI ingatkan pentingnya sinergi antara satuan kepada TNI Natuna

    “Jadikan Lanud ini posko depan yang kokoh dan tangguh untuk pengamanan wilayah utara kedaulatan NKRI,”

    Natuna (ANTARA) – Menteri Pertahanan Republik Indonesia (Menhan RI), Jenderal TNI (Hor) Purn Sjafrie Sjamsoeddin mengingatkan pentingnya sinergi antara satuan dalam menjaga pertahanan di wilayah perbatasan kepada TNI yang bertugas di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.

    Pesan itu disampaikan Menteri Pertahanan Republik Indonesia (Menhan RI), Jenderal TNI (Hor) Purn Sjafrie Sjamsoeddin, di Lanud RSA Natuna pada Selasa (18/11) malam di depan para pemimpin TNI di Natuna.

    “Jadikan Lanud ini posko depan yang kokoh dan tangguh untuk pengamanan wilayah utara kedaulatan NKRI,” ucap Jenderal TNI (Hor) Purn Sjafrie Sjamsoeddin melalui keterangan yang diterima di Natuna, pada Rabu.

    Sementara Komandan Lanud RSA Natuna Marsekal Pertama TNI Onesmus Gede Rai Aryadi mengatakan kehadiran Menhan RI di Natuna merupakan merupakan rangkaian transit usai melaksanakan agenda kerja di Tokyo, Jepang, sehari sebelumnya.

    Menhan RI dan rombongan lanjut dia, menggunakan pesawat VIP/VVIP TNI AU Boeing 737-800 NG tail number A-7309.

    Penyambutan kedatangan Menhan RI turut dihadiri Danlanal Ranai, Dandim 0318/Natuna, Para Kepala Dinas Lanud RSA, Dansatrad 201 Ranai, Danskadron Udara 52, Dandenhanud 477 Korpasgat, serta Para Pejabat di lingkungan Lanud RSA sebagai bentuk sinergi antar instansi.

    Lanud RSA memastikan seluruh rangkaian penyambutan berlangsung tertib, aman, dan sesuai protokol, mencerminkan kesiapan satuan dalam mendukung tugas pertahanan di wilayah perbatasan.

    “Usai transit di Lanud RSA, Menhan RI dan rombongan kemudian bertolak menuju Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung,” ucap dia.

    Pewarta: Muhamad Nurman
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Patuhi Putusan MK, Hentikan Pembelokan Tafsir

    Patuhi Putusan MK, Hentikan Pembelokan Tafsir

    Patuhi Putusan MK, Hentikan Pembelokan Tafsir
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    PUTUSAN
    Mahkamah Konstitusi (MK) idealnya menjadi garis finis perdebatan, bukan garis start negosiasi politik.
    Ketika MK menghapus dasar hukum penugasan anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil, publik berharap babak baru tata kelola pemerintahan tanpa rangkap jabatan segera dimulai.
    Namun, yang terjadi justru sebaliknya: setelah putusan dibacakan, bukan kepatuhan yang mengemuka, melainkan penafsiran.
    Pemerintah menyatakan
    putusan MK
    tidak berlaku surut sehingga polisi aktif yang sudah menduduki jabatan sipil tidak perlu mundur. Tafsir ini tentu terasa nyaman bagi pejabat—tetapi jauh lebih nyaman daripada bagi konstitusi.
    Kita seperti menyaksikan negara tunduk pada hukum hanya ketika hukum tidak mengusik kenyamanan kekuasaan.
    Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 jelas dan terang: anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
    MK menutup celah “penugasan Kapolri” yang selama ini dipakai untuk menempatkan anggota Polri aktif di jabatan sipil tanpa memutus status keanggotaannya. Ini bukan sekadar urusan teknis penempatan pejabat. Ini adalah pilar demokrasi.
    Birokrasi sipil seharusnya berjalan dalam logika pelayanan publik, bukan logika komando. Ketika pejabat bersenjata aktif bertugas di pejabat sipil, maka garis pembatas antara negara koersif dan negara administratif perlahan melebur. Demokrasi tidak berubah dalam sekejap, tetapi berubah perlahan—setiap kali celah dibiarkan.
    Putusan MK mengembalikan desain dasar kelembagaan: Polri adalah penegak hukum, bukan mitra politik eksekutif dalam mengelola kekuasaan administratif. Norma ini bukan sekadar batang tubuh undang-undang, tetapi etika kekuasaan dalam negara hukum.
    Polemiknya tajam ketika pemerintah menyatakan
    putusan MK tidak berlaku surut dan hanya mengikat pengangkatan polisi aktif ke jabatan sipil setelah putusan diterapkan.
    Artinya, pejabat Polri aktif yang sudah menjabat jabatan sipil boleh tetap duduk, kecuali jika Polri menarik mereka.
    Secara retoris, tafsir ini terdengar hukumiah. Namun, secara substansi, ini melahirkan paradoks: bagaimana mungkin fondasi hukum bagi rangkap jabatan dinyatakan inkonstitusional, tetapi jabatan yang berdiri di atas fondasi inkonstitusional itu dianggap sah untuk dilanjutkan?
    Bila dasar hukumnya runtuh, konsekuensinya semestinya mengikuti.
    Illegal foundation cannot create legal consequences.
    Ya, putusan MK memang berlaku
    pro futuro
    . Namun,
    pro futuro
    tidak berarti membiarkan pelanggaran norma ketika pelanggaran itu diketahui.
    Sama seperti seseorang tidak diperbolehkan terus mengendarai mobil tanpa SIM hanya karena ia sudah telanjur mengendarainya sebelum aturan ditegakkan.
    Tafsir pemerintah yang memperlunak dampak putusan MK adalah bentuk “kepatuhan nominal”—taat pada bunyi putusan, tetapi menghindari konsekuensinya.
    Jika tafsir pemerintah dibiarkan, dampak putusan MK akan mengecil jauh di bawah bobot yang seharusnya. Birokrasi sipil akan tetap dipimpin oleh personel Polri aktif tanpa kepastian batas otoritas; garis komando akan bercampur dengan garis administrasi.
    Pejabat sipil tunduk pada UU ASN, sementara pejabat Polri tunduk pada mekanisme etik internal kepolisian.
    Situasi ini menciptakan ruang abu-abu: siapa yang sesungguhnya mengawasi siapa? Model akuntabilitas menjadi kabur, sementara sentralitas kewenangan cenderung berpindah perlahan ke institusi bersenjata.
    Lebih jauh, orientasi kebijakan publik dapat melenceng secara diam-diam dari logika pelayanan menjadi logika penegakan.
    Ketika pejabat yang berangkat dari kultur koersif menduduki lingkup administratif, perspektif keamanan berpotensi mendominasi urusan yang sejatinya bertumpu pada tata kelola sipil: ketenagakerjaan, kesejahteraan sosial, perizinan usaha, pendidikan, hingga kesehatan.
    Birokrasi akan mengelola masyarakat seolah-olah masyarakat adalah objek pengawasan, bukan subjek pelayanan.
    Sejarah menunjukkan bahwa demokrasi tidak merosot dalam satu kehancuran besar, melainkan dalam sejumlah kecil kelonggaran yang terasa biasa.
    Membiarkan anggota Polri aktif tetap memimpin jabatan sipil berarti menormalkan pengecualian, dan pengecualian yang dinormalkan perlahan berubah menjadi praktik.
    Jika pengecualian itu tidak dihentikan sekarang, kekuasaan koersif bisa menjelma kekuatan administratif yang sah secara praktik, meski tidak sah secara konstitusional.
    Dengan kata lain, konsekuensi tidak langsung dari tafsir pemerintah bukan hanya kelanjutan rangkap jabatan, melainkan pergeseran desain negara: dari tata kelola sipil yang sehat menjadi tata kelola yang bertumpu pada logika kepolisian.
    Dan pergeseran itu hampir selalu terjadi tanpa gejolak—karena berlangsung dengan cara yang tampak legal, tapi substansinya melemahkan prinsip negara hukum.
    Indonesia sudah memiliki pembelajaran penting dalam hubungan sipil–militer. UU TNI mengatur secara limitatif jabatan sipil yang boleh diduduki prajurit aktif, dan semangat desainnya adalah pengecilan ruang, bukan pembukaan peluang.
    Namun yang terjadi pada Polri justru sebaliknya: polanya bukan pembatasan, melainkan penormalan. Tafsir pemerintah terhadap putusan MK seakan menyiratkan: “Kita patuh, tetapi nanti dulu.”
    Inilah preseden yang berbahaya. Bila tafsir pemerintah ditegakkan, maka putusan MK tidak lagi memutus persoalan—ia hanya menunggu diinterpretasi sesuai kebutuhan kekuasaan.
    Padahal, prinsip
    final and binding
    justru diciptakan agar MK menjadi rem terakhir, bukan hiasan dalam sistem ketatanegaraan.
    Jika pemerintah ingin menunggu revisi UU Polri terlebih dahulu sebelum menarik anggota Polri dari jabatan sipil, maka untuk apa MK bersusah payah membatalkan frasa penugasan? Putusan MK dibiarkan hidup, tetapi tidak bekerja.
    Kepatuhan konstitusional ukurannya bukan sekadar “apakah negara menjalankan putusan MK”, tetapi “kapan negara menjalankannya”.
    Hukum seringkali mengganggu kenyamanan. Namun, itulah tujuan hukum: mengekang kekuasaan, bukan memanjakannya.
    Ketika pemerintah bertanya, “Kalau yang sudah menjabat bagaimana?”, konstitusi menjawab dengan sederhana: apakah jabatan itu berdiri di atas norma yang sah? Jika tidak, maka melanjutkannya adalah pilihan politik, bukan pilihan hukum.
    Demokrasi membutuhkan teladan. Ketika lembaga tertinggi penafsir konstitusi sudah mengeluarkan putusan, maka tugas cabang kekuasaan lain adalah mengeksekusi, bukan menyeleksi dampaknya.
    Kepatuhan setengah hati tidak pernah menghasilkan negara hukum; ia hanya menghasilkan negara yang memilih kapan hukum harus ditaati.
    Pada tahap ini, semua mata tertuju pada Presiden Prabowo Subianto. Tidak ada lembaga lain yang memiliki otoritas dan legitimasi untuk memerintahkan transisi jabatan secara sistemik.
    Penarikan anggota Polri aktif dari jabatan sipil dapat dilakukan secara bertahap, dengan tenggat yang jelas, tanpa menciptakan kevakuman pemerintahan.
    Komisi Percepatan Reformasi Polri dapat menjadi mesin penggerak, bukan sekadar forum diskusi. Transisi adalah jantung reformasi. Bila Komisi hanya terjebak pada penyusunan daftar lembaga mana yang boleh diisi Polri, maka reformasi akan berakhir hanya sebagai agenda teknokratis, bukan koreksi demokratis.
    Yang ditunggu publik bukan pidato, bukan konferensi pers—melainkan keputusan eksekusi. Supremasi konstitusi hanya berarti apabila negara memilih kewajiban hukum di atas kenyamanan politik.
    Putusan MK seharusnya dibaca sebagai peluang langka untuk memperbaiki desain demokrasi Indonesia, bukan sebagai beban yang harus ditangguhkan hingga tidak lagi terasa.
    Dengan menegaskan jabatan sipil hanya dapat diisi setelah anggota Polri mengundurkan diri atau pensiun, MK memberikan kesempatan kepada negara untuk mengembalikan batas-batas yang selama ini dilanggar secara senyap.
    Namun tafsir pemerintah yang membiarkan pejabat yang terlanjur menjabat tetap berada di kursi kekuasaan justru mengubah kesempatan koreksi menjadi perpanjangan status quo.
    Jabatan sipil yang seharusnya diisi oleh mereka yang terikat kultur pelayanan publik tetap dipimpin oleh sosok yang mengemban identitas koersif, dan publik diminta mempercayai bahwa hal itu hanyalah persoalan administratif.
    Kesempatan yang diberikan MK sebenarnya bukan sekadar kesempatan untuk mematuhi hukum, tetapi untuk mengoreksi arah negara.
    Presiden memiliki ruang legitimasi politik untuk menunjukkan keberanian: menarik anggota Polri dari jabatan sipil secara terukur, menetapkan masa transisi yang manusiawi, dan memastikan birokrasi kembali ke tangan pejabat yang tunduk pada mekanisme akuntabilitas sipil.
    Bila kesempatan ini digunakan, negara mengambil langkah maju dalam menguatkan demokrasi. Namun, jika kesempatan ini dibiarkan berlalu, sejarah akan mencatat bahwa pemerintah memilih kemudahan politik, alih-alih kedisiplinan konstitusional.
    Yang menjadi penentu bukan isi putusan MK, melainkan respons negara atas putusan itu. Demokrasi selalu diuji pada momen ketika hukum mengusik kenyamanan kekuasaan.
    Di titik seperti inilah bangsa dapat melihat siapa yang benar-benar siap menegakkan konstitusi: mereka yang bersuara keras tentang konstitusi, atau mereka yang berani mengambil tindakan ketika hukum menuntut koreksi yang tidak populer.
    Kesempatan untuk menunjukkan keteladanan ada di depan mata, dan keberanian untuk mengambilnya akan menentukan arah republik ini—apakah melangkah maju atau kembali berjalan di tempat dengan janji reformasi yang hanya menjadi wacana tanpa tindakan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pejabat negara hadiri latihan Prajurit TNI di Bangka

    Pejabat negara hadiri latihan Prajurit TNI di Bangka

    “Kehadiran menteri dan pejabat negara ini dalam rangka menyaksikan Latihan gabungan prajurit TNI,”

    Pangkalpinang (ANTARA) – Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Hidayat Arsani menyambut kedatangan para menteri dan pejabat Negara Republik Indonesia, guna menyaksikan latihan gabungan prajurit TNI di Pulau Bangka.

    “Kehadiran menteri dan pejabat negara ini dalam rangka menyaksikan Latihan gabungan prajurit TNI,” kata Hidayat Arsani di Bandara Depati Amir Pangkalpinang, Rabu.

    Ia mengatakan para Menteri Repulik Indonesia yang hadir untuk menyaksikan Latihan prajurit TNI ini diantaranya Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoedin, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto.

    Selain itu, Kepala Angkatan Darat, Kepala Angkatan Laut, Kepala Angkatan Udara dan jajaran jenderal dari Mabes TNI serta pejabat negara lainnya juga ikut hadir menyaksikan latihan dan simulasi prajurit TNI di Desa Mabat Kabupaten Bangka, Perairan Mako Lanal Bangka Belitung di Belinyu dan simulasi di kawasan Dusun Nadi Desa Perlang Kabupaten Bangka Tengah.

    “Kami mengucapkan terima kasih kepada para menteri dan pejabat negara yang hadir di Kepulauan Bangka Belitung ini,” katanya.

    Ia menyatakan kehadiran para menteri dan pejabat negara hadir di Pulau Bangka ini tentunya memiliki misi.

    “Misi ini bukan ranah saya untuk menjelaskannya,” katanya.

    Ia menegaskan Forkopimda Kepulauan Bangka Belitung siap mendampingi para menteri dan pejabat negara ini, demi kelancaran latihan gabungan prajurit TNI di Pulau Bangka ini.

    “Kami siap mendampingi sebatas kemampuan dan kewenangan pemerintah daerah ini,” katanya.

    Pewarta: Aprionis
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • 10
                    
                        DK PBB Setujui Ide Trump, Pengiriman Pasukan Perdamaian ke Gaza Tunggu Titah Prabowo
                        Nasional

    10 DK PBB Setujui Ide Trump, Pengiriman Pasukan Perdamaian ke Gaza Tunggu Titah Prabowo Nasional

    DK PBB Setujui Ide Trump, Pengiriman Pasukan Perdamaian ke Gaza Tunggu Titah Prabowo
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Kementerian Pertahanan (Kemenhan) menegaskan bahwa pengiriman pasukan perdamaian ke Gaza, Palestina, masih menunggu instruksi Presiden Prabowo Subianto.
    Hal ini disampaikan merespons Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyetujui rancangan pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengenai mekanisme keamanan dan pemerintahan di
    Gaza
    dengan pengerahan pasukan internasional.
    “Seluruh keputusan tetap berada pada arahan Presiden,” ujar Kepala Biro Informasi Pertahanan Kemenhan Kolonel TNI Arm Rico Ricardo Sirait saat dikonfirmasi, Rabu (19/11/2025).
    Hanya saja, Rico menekankan bahwa pemerintah Indonesia bersikap siap sesuai kapasitas dan pengalaman panjang dalam misi perdamaian.
    Sambil menunggu keputusan
    Prabowo
    , pemerintah kini fokus pada penyiapan internal di Kemhan dan TNI, mulai dari pemetaan kebutuhan pasukan hingga kesiapan logistik dan kemampuan yang diperlukan untuk operasi stabilisasi yang kompleks.
    “Menhan juga sudah menegaskan, Indonesia bisa terlibat apabila terpenuhi salah satu dari dua landasan, yaitu adanya mandat langsung dari PBB atau persetujuan dari Amerika Serikat sebagai pihak yang mendorong pembentukan pasukan stabilisasi internasional di bawah rencana yang saat ini sedang dibahas,” kata dia.
    Di sisi lain, Rico mengonfirmasi bahwa belum ada penetapan jadwal pemberangkatan
    pasukan perdamaian
    ke Gaza.
    “Walaupun PBB sudah mengadopsi resolusi yang membuka peluang pengerahan pasukan internasional, keputusan politik nasional tetap menjadi faktor penentu,” ucap Rico.
    Oleh karena itu, seluruh mekanisme dan rencana sementara masih dibahas secara internal di Kemenhan dan TNI sambil menunggu keputusan Prabowo terkait waktu, bentuk kontribusi, dan skema keterlibatan Indonesia.
    Dewan Keamanan PBB
    pada Senin (17/11/2025) menyetujui rancangan pemerintahan Presiden AS Donald Trump mengenai mekanisme keamanan dan pemerintahan di Gaza.
    Langkah ini dinilai krusial karena menegaskan dukungan internasional untuk menstabilkan Gaza setelah dua tahun perang.
    Resolusi yang diajukan AS mengesahkan pembentukan pasukan stabilisasi internasional untuk mengamankan Gaza, menyetujui pembentukan otoritas transisi di bawah pengawasan pemerintahan Trump, serta membuka peluang bagi terbentuknya negara Palestina merdeka di masa depan.
    Pemungutan suara ini memberi dukungan internasional bagi rencana gencatan senjata 20 poin Trump dan memperkuat momentum gencatan senjata rapuh yang sebelumnya dimediasi Washington bersama sejumlah sekutu.
    Keputusan tersebut menjadi langkah penting bagi upaya AS menguraikan masa depan Gaza setelah perang Israel-Hamas menghancurkan sebagian besar wilayah dan menewaskan puluhan ribu orang.
    Resolusi ini mengatur pembentukan Dewan Perdamaian sebagai otoritas transisi yang akan dipimpin Trump, namun struktur lengkapnya belum dibentuk.
    Mandat luas diberikan kepada pasukan stabilisasi internasional untuk mengawasi perbatasan, menjaga keamanan, dan melaksanakan demiliterisasi, dengan otorisasi yang berlaku hingga akhir 2027.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.