Kementrian Lembaga: TNI AL

  • Mahasiswa Aceh Geruduk Gedung Kemendagri, Peringatkan Tito Jangan Memicu Konflik di Tanah Rencong

    Mahasiswa Aceh Geruduk Gedung Kemendagri, Peringatkan Tito Jangan Memicu Konflik di Tanah Rencong

    GELORA.CO – Persatuan Mahasiswa Aceh Jakarta Raya berunjuk rasa di depan gedung Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta Pusat, Jumat (13/6/2025). Mereka menolak pengalihan pengelolaan Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek ke Provinsi Sumatera Utara (Sumut).

    Dalam orasinya, salah satu orator mengingatkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian unutk tidak memicu konflik  Ia juga menyinggung terkait Memorandum of Understanding (MoU) atau Kesepakatan Helsinki adalah perjanjian damai yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.

    Perjanjian ini menandai berakhirnya konflik bersenjata yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun di Aceh. Mereka berharap kejadian serupa tak terulang kembali.

    “Agar tidak semena-mena dengan Aceh, ini gampang sekali menjadi pemicu di lapangan, pemicu di daerah, itu wilayah konflik saudara-saudaraku,” kata salah satu orator.

    Ia mengingatkan bahwa Aceh merupakan wilayah yang pernah perang untuk menuntut kemerdekaan sebelum akhirnya berdamai.

    “Kita harus sama-sama melihat bahwa persoalan amAceh itu bukan persoalan sederhana, ini yang perlu kami sampaikan kepada Mendagari jangan sampai kita rakyat Aceh yang sudah menikmati damai ini terusik lagi,” ucap orator.

    Adapun dalam aksi ini Persatuan Mahasiswa Aceh Jakarta Raya menuntut sejumlah hal, di antaranya:

    1. Mendesak Presiden Prabowo Subianto mencopot Mendagri Tito Karnavian dan Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Syafrizal 

    2. Meminta Gubernur Aceh dan DPRA segera mengambil sikap terkait empat pulau tersebut

    3. Meminta Presiden Prabowo mencabut SK Kemendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau di Aceh.

    Polemik ini bermula dari terbitnya SK Kemendagri bernomor  Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025, menyatakan bahwa empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.

    Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) menegaskan pihaknya mempunyai bukti kuat bahwa Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek memang punya Aceh sejak dulu. Ia menolak dengan tegas pengalihan empat pulau itu ke Sumatera Utara (Sumut).

    “Ya empat pulau itu sebenarnya itu kewenangan Aceh. Jadi kami punya alasan kuat, bukti kuat, data kuat, zaman dahulu kala, itu memang punya Aceh,” kata Muzakir kepada wartawan di Jakarta, Kamis (12/6/2025).

    Sementara, Mendagri Tito Karnavian bersikeras, penetapan ini sudah melalui proses panjang serta melibatkan banyak instansi terkait. Dia mengaku proses ini sudah berlangsung lama, bahkan sebelum dirinya menjadi menteri.

    “Ada delapan instansi tingkat pusat yang terlibat, selain Pemprov Aceh, Sumut, dan kabupaten-kabupatennya. Ada juga Badan Informasi Geospasial, Pus Hidros TNI AL untuk laut, dan Topografi TNI AD untuk darat,” kata dia di Kompleks Istana Negara, Jakarta, Selasa (10/6/2025).

    Tito mengatakan, batas wilayah darat antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Sementara itu, batas laut dua wilayah itu belum mencapai kesepakatan.

    Maka itu, lanjut Tito, penentuan perbatasan wilayah laut ini diserahkan ke pemerintah pusat. Namun, penentuan batas laut ini tidak pernah sepakat, sehingga membuat sengketa terkait empat pulau terus bergulir.

    “Nah, tidak terjadi kesepakatan, aturannya diserahkan kepada pemerintah nasional, pemerintah pusat di tingkat atas,” kata Tito.

    Menurut Tito, pemerintah pusat memutuskan bahwa empat pulau ini masuk ke wilayah administrasi Sumatera Utara berdasarkan tarikan batas wilayah darat.

    “Nah, dari rapat tingkat pusat itu, melihat letak geografisnya, itu ada di wilayah Sumatera Utara, berdasarkan batas darat yang sudah disepakati oleh empat pemda, Aceh maupun Sumatera Utara,” tuturnya.

  • 9
                    
                        2 Kali Dihalangi Ormas, Eksekusi Rumah Laksamana Soebroto Joedono di Surabaya Dijadwal Ulang
                        Surabaya

    9 2 Kali Dihalangi Ormas, Eksekusi Rumah Laksamana Soebroto Joedono di Surabaya Dijadwal Ulang Surabaya

    2 Kali Dihalangi Ormas, Eksekusi Rumah Laksamana Soebroto Joedono di Surabaya Dijadwal Ulang
    Tim Redaksi
    SURABAYA, KOMPAS.com
    – Juru sita Pengadilan Negeri
    Surabaya
    dijadwal kembali melakukan eksekusi rumah pensiunan TNI AL di Jalan dr Soetomo, Nomor 55, Surabaya pada 17 Juni 2025 mendatang. 
    Sebelumnya eksekusi 2 kali gagal dilakukan karena diadang oleh massa ormas, yakni pada 13 Februari dan 27 Februari 2025.
    Karena pertimbangan keamanan, eksekusi pun gagal dilaksanakan. 
    Reno Suseno, kuasa hukum pemegang hak kuasa atas rumah tersebut mengaku sudah berkoordinasi dengan juru sita Pengadilan Negeri Surabaya terkait jadwal pengosongan atau eksekusi obyek rumah dimaksud.
    “Sesuai hasil koordinasi, eksekusi kembali dilakukan pada 17 Juni 2025,” katanya kepada wartawan, Jumat (13/6/2025). 
    Dia menegaskan, eksekusi rumah ini berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya nomor 391/Pdt.G/2022/PN.Sby tanggal 5 Desember 2022. 
    Dia meminta kepada pihak yang keberatan dengan putusan pengadilan negeri Surabaya itu menempuh proses hukum sesuai aturan hukum yang berlaku. 
    “Keputusan tersebut sudah berkekuatan hukum. Bagi siapa pun yang berkeberatan bisa mengajukan proses hukum sesuai undang-undang yang berlaku,” ujarnya.
    Dia berharap, dalam eksekusi ketiga nanti, aparat penegak hukum lebih tegas menindak dan mengawal putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum. 
    “Kami minta polisi tidak kalah dengan aksi premanisme,” katanya. 
    Rumah sebagai obyek sengketa tersebut adalah milik Laksamana
    Soebroto Joedono
    , mantan Wakil Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Wapangab) era Presiden Soeharto. 
    Laksamana Soebroto Joedono menempati rumah tersebut berdasarkan izin dari TNI AL.
    Pada 28 November 1972, Laksamana Soebroto membeli rumah tersebut melalui surat pelepasan nomor K.4000.258/72. 
    Sepeninggalan Laksamana Soebroto, rumah kemudian ditempati Tri Kumala Dewi sebagai ahli waris. 
    Permasalahan hukum mulai muncul ketika terbit gugatan dari Hamzah Tedjakusuma.
    Dia mengeklaim kepemilikan berdasarkan sertifikat hak guna bangunan (SHGB). Gugatan yang berujung pada peninjauan kembali (PK) ini awalnya dimenangkan oleh Tri.
    Namun, Hamzah justru menjual SHGB tersebut kepada istrinya, Tina Hinderawati Tjoanda pada 23 September 1980. 
    Dari tangan Tina, dokumen tersebut kemudian dijual kembali kepada Rudianto Santoso. 
    Rudianto kemudian kembali menggugat Tri. Awalnya, Majelis Hakim menolak gugatan Rudianto. 
    Bahkan, Rudianto justru ditetapkan oleh Polda Jatim masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) pada 8 Juli 2013 karena melakukan pemalsuan dalam penerbitan akta jual beli. 
    Namun, Rudianto justru menjual kembali SHGB tersebut kepada Handoko Wibisono. Tri kemudian kembali mendapatkan gugatan yang kini datang dari Handoko. 
    Berbeda dari putusan sebelumnya, kali ini Tri kalah. 
    Pengadilan Negeri Surabaya memutuskan Handoko Wibisono sebagai pemilik sah dengan mendasarkan pada transaksi jual beli tanah. 
    Putusan inilah yang kemudian menjadi dasar bagi PN melakukan eksekusi. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • TNI-Polisi Terjaring Razia di Jaktim, Tak Bawa SIM dan KTA
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        13 Juni 2025

    TNI-Polisi Terjaring Razia di Jaktim, Tak Bawa SIM dan KTA Megapolitan 13 Juni 2025

    TNI-Polisi Terjaring Razia di Jaktim, Tak Bawa SIM dan KTA
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Tiga prajurit TNI, satu polisi, dan satu pegawai negeri sipil (PNS) terjaring Operasi Penegakan Ketertiban Polisi Militer TNI dan Polri 2025 di depan Masjid At-Tin, Jalan Raya Taman Mini I, Pinang Ranti, Makasar, Jakarta Timur, Kamis (12/6/2025).
    Jenis pelanggarannya, mulai dari mengendarai sepeda motor tidak dilengkapi surat kendaraan, SIM C, hingga tidak membawa kartu tanda anggota (KTA).
    “TNI AD dua, TNI AL satu, Polri satu, dan PNS satu,” ungkap Kepala Subbid Provos Bidpropam Polda Metro Jaya AKBP Safi’i dalam keterangannya, Jumat (13/6/2025).
    Safi’i menyebut, para pelanggar dikenakan sanksi berupa penahanan KTA dan SIM C.
    Adapun operasi ini menyasar kelengkapan surat diri dan kendaraan anggota Polri dan TNI.
    “Ada 60 personel gabungan TNI dan Polri terlibat dalam Opsgaktib,” ujar Safi’i.
    Menurut Safi’i, Operasi Penegakan Ketertiban lebih mengedepankan sikap humanis kepada pelanggar.
    “Tetap waspada dan berhati-hati ketika pengaturan lalu lintas dan ketika memeriksa kelengkapan anggota yang diberhentikan, koordinasikan dengan baik antar satuan agar terjadi kesalahpahaman ketika melaksanakan penindakan,” tegasnya.
    Safi’i menambahkan, sejauh ini operasi berjalan dengan lancar dan terkendali.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Industri pertahanan lokal kerja sama dengan Naval perkuat maritim NKRI

    Industri pertahanan lokal kerja sama dengan Naval perkuat maritim NKRI

    Jakarta (ANTARA) – Salah satu industri pertahanan dalam negeri, PT Hariff Dipa Persada bekerja sama dengan perusahaan industri asal Perancis, Naval Group dalam rangka memperkuat pertahanan maritim Indonesia.

    Naval adalah produsen kapal selam Scorpene yang saat ini tengah dipesan pemerintah untuk memperkuat TNI AL.

    Kerja sama ini ditandatangani oleh kedua belah pihak dalam gelaran pameran Indo Defence 2025 yang digelar di Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis.

    “Kerja sama ini mencerminkan komitmen kami terhadap pertahanan nasional dan kesiapan industri dalam negeri untuk berperan aktif dalam proyek besar seperti Scorpene,” kata Presiden Direktur Hariff Defense (PT. Hariff Dipa Persada) Adi Nugroho dalam siaran pers yang diterima ANTARA di Jakarta.

    Adi menjelaskan, penandatanganan MoU ini menjadi langkah dapat menjadi langkah awal bagi industri pertahanan lokal Indonesia untuk meningkatkan aktivitas transfer teknologi dengan perusahaan asing demi kemajuan pertahanan dalam negeri.

    Kolaborasi ini juga merupakan bagian dari tindak lanjut kerja sama strategis antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Prancis di bidang pertahanan.

    Tidak hanya itu, Adi melanjutkan kerja sama ini juga membuka peluang pengembangan kerja sama di berbagai bidang seperti komunikasi taktis, sistem kontrol, integrasi teknologi, serta peningkatan kemampuan sumber daya manusia Indonesia melalui alih teknologi dan pelatihan.

    Dengan adanya kerja sama ini, Adi berharap eksistensi industri pertahanan dalam negeri bisa semakin eksis di mata internasional.

    Sebelumnya, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan gelaran Indo Defence tahun 2025 merupakan kesempatan bagi industri pertahanan dalam negeri untuk menunjukkan eksistensinya di mata dunia.

    Karenanya, dia mendorong beragam perusahaan industri dalam negeri seperti PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia (PT DI).

    Tidak ketinggalan beberapa perusahaan produsen alutsista dari luar negeri juga memamerkan produknya seperti kendaraan tempur, pesawat tempur hingga ragam senjata.

    Sjafrie melanjutkan, kegiatan ini dihadiri oleh 1.180 peserta eksibisi dari 42 negara sahabat melalui 659 perusahaan asing dan 521 produsen di dalam negeri.

    Dengan adanya forum bertaraf internasional ini, Sjafrie berharap alutsista buatan anak bangsa bisa semakin dikenal dunia. Dia juga berharap banyak kontrak kerja sama yang terbangun antara produsen alutsista dalam negeri dan luar negeri.

    Pewarta: Walda Marison
    Editor: Riza Mulyadi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • TNI AL perkuat lanal seluruh wilayah dengan kapal buatan dalam negeri

    TNI AL perkuat lanal seluruh wilayah dengan kapal buatan dalam negeri

    “Apabila (kapal patroli) itu bisa dibangun dari dalam negeri maka akan kita maksimalkan yang dari dalam negeri sehingga kita mudah dalam meng-upgrade peralatan tersebut,”

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali mengatakan pihaknya berencana memperkuat pangkalan angkatan laut (lanal) dengan kapal patroli baru buatan dalam negeri.

    “Apabila (kapal patroli) itu bisa dibangun dari dalam negeri maka akan kita maksimalkan yang dari dalam negeri sehingga kita mudah dalam meng-upgrade peralatan tersebut,” kata Ali dalam jumpa pers pemusnahan narkoba seberat dua ton di Batam, Kamis.

    Menurut Ali, penguatan lanal-lanal di beberapa daerah perlu dilakukan guna memperkuat sistem patroli laut di kawasan perbatasan.

    Hal tersebut, menurut Ali, perlu dilakukan karena saat ini lanal-lanal kerap kali membongkar kasus penyelundupan barang ilegal hingga narkoba di kawasan laut wilayah perbatasan.

    Yang paling besar, personel lanal terlibat dalam pengungkapan kasus penyelundupan narkoba seberat dua ton di wilayah laut Kepulauan Riau.

    Ali sendiri mengakui dalam gelaran pameran Indo Defence yang saat ini sedang berlangsung di Kemayoran, banyak pihak perusahaan asing yang menawarkan TNI AL produk kapal patroli dan teknologi pengawasan baru.

    “Nah ini dengan adanya Indo Defence kita melihat banyak negara-negara yang menawarkan sistem pengawasan surveillance, maritime surveillance ini dengan baik. Namun kita lebih memprioritaskan barang-barang dari dalam negeri,” kata Ali.

    Namun demikian, Ali tidak menjelaskan dengan rinci berapa kapal patroli yang akan dibuat untuk memperkuat lanal-lanal di seluruh Indonesia.

    Dia juga tidak menjelaskan secara rinci kapan kerja sama pembuatan kapal patroli tersebut mulai berlangsung.

    Sebelumnya, pada 20 Mei 2025, kapal Sea Dragon Terawa yang dicurigai membawa narkotika berlayar dari perairan Andaman menuju perairan Kepri.

    Selanjutnya pada 22 Mei 2025 sekitar pukul 23.00 WIB, petugas BNN didukung kekuatan penuh Ditjen Bea Cukai yang mengerahkan dua kapal dan didukung Lantamal IV yang mengerahkan dua kapal perang, dan dukung Polda Kepri serta Bais TNI bersama-sama melakukan operasi penindakan terhadap kapal tersebut.

    Pada saat melewati perairan Indonesia, petugas gabungan berhasil menangkap dan membawa kapal tersebut ke Dermaga Bea Cukai di Pelabuhan Tanjung Uncang untuk dilakukan penggeledahan dan pemeriksaan awak kapal.

    Saat dilakukan penggeledahan petugas menemukan 67 kardus yang berisi 2.000 bungkus narkoba jenis sabu seberat kurang lebih dua ton atau tepatnya 2.115.130 gram yang dibungkus dengan kemasan khas yang lazim digunakan sindikat jaringan narkotika “Golden Triangle”.

    Pewarta: Walda Marison
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pimpin Perang Melawan Narkoba, Marthinus Hukom Diapresiasi Prabowo

    Pimpin Perang Melawan Narkoba, Marthinus Hukom Diapresiasi Prabowo

    Batam, Beritasatu.com — Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Marthinus Hukom, mendapat apresiasi langsung dari Presiden Prabowo Subianto atas keberhasilannya menggagalkan penyelundupan sabu seberat 2 ton. Apresiasi tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Budi Gunawan, di hadapan ribuan warga Batam yang memadati Alun-alun Kota Batam, Kamis (12/6/2025).

    “Presiden Prabowo sangat mengapresiasi prestasi yang diraih BNN di bawah kepemimpinan Marthinus Hukom dalam pengungkapan jaringan narkotika internasional,” ujar Budi Gunawan.

    Marthinus Hukom, purnawirawan Densus 88 dan doktor filsafat, sejak dilantik sebagai kepala BNN pada Desember 2023, membawa BNN aktif melawan sindikat narkoba internasional.

    “Langkah awal saya sebagai kepala BNN adalah membangun kepercayaan publik, menjalin sinergisitas dengan para pemangku kepentingan, serta memperkuat kerja sama lintas lembaga,” ujar Marthinus. Ia juga menegaskan bahwa dukungan penuh Presiden menjadi fondasi kuat dalam mengobarkan perang melawan narkoba.

    Marthinus juga menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas. Ia memastikan proses pemusnahan 2 ton sabu dilakukan secara terbuka, disaksikan masyarakat dan media, sebagai wujud komitmen terhadap prinsip good governance.

    Keberhasilan pengungkapan kasus ini, menurut Marthinus, tak lepas dari kolaborasi antarinstansi seperti Kemenko Polhukam, TNI AL, Polri, Bea Cukai, dan Kejaksaan. Tak hanya itu, kerja sama internasional, terutama dengan negara-negara ASEAN seperti Thailand, juga memegang peranan penting dalam membongkar jaringan narkoba Golden Triangle.

    Ia menyebut Asta Cita dan program prioritas Presiden Prabowo sebagai pijakan moral dalam pemberantasan narkoba. BNN kini mengedepankan strategi komprehensif, antara lain penguatan kolaborasi dan intelijen, ketahanan sosial di wilayah pesisir dan perbatasan, pendekatan tematik dan simbolik seperti pemusnahan terbuka, serta eningkatan kualitas SDM dan infrastruktur BNN.

    Marthinus juga menyoroti dampak sosial narkoba. Ia menyebut narkoba bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga ancaman terhadap kesehatan (8 juta jiwa berisiko), moral bangsa, serta kerugian ekonomi yang ditaksir mencapai Rp 5 triliun hanya dari transaksi sabu.

    “Negara bersama rakyat, bangkit melawan narkoba,” seru Marthinus, yang juga menegaskan pentingnya peran media serta masyarakat sebagai pengawas kritis.

    Ia juga menerapkan prinsip penghargaan dan sanksi yang adil. Marthinus bahkan mengusulkan promosi luar biasa bagi petugas gabungan yang sukses menggagalkan penyelundupan besar ini. Hal itu sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi dan kerja keras mereka.

  • 2
                    
                        4 Pulau Dipindah ke Sumut, Muzakir Manaf: Sejak Dulu Itu Punya Aceh
                        Nasional

    2 4 Pulau Dipindah ke Sumut, Muzakir Manaf: Sejak Dulu Itu Punya Aceh Nasional

    4 Pulau Dipindah ke Sumut, Muzakir Manaf: Sejak Dulu Itu Punya Aceh
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Gubernur Aceh
    Muzakir Manaf
    angkat bicara soal empat pulau di perairan Aceh yang dipindahkan ke Kawasan Sumatera Utara (Sumut).
    Muzakir Manaf menegaskan, empat pulau itu adalah
    kewenangan Aceh
    karena sudah sejak lama menjadi bagian Aceh.
    “Ya, empat pulau itu sebenarnya adalah kewenangan Aceh, jadi kami punya alasan kuat, punya bukti kuat, punya data kuat, sejak dahulu kala itu memang punya Aceh,” kata Manaf di JCC, Jakarta, Kamis (12/6/2025).
    Menurutnya, empat pulau itu adalah hak Aceh lantaran dari segi sejarah hingga iklim mengikuti kawasan Aceh.
    “Itu memang hak Aceh. Jadi saya rasa itu memang betul-betul Aceh, dia sudah punya segi sejarah, perbatasan iklim, jadi tidak perlu, itu saja, itu alasan yang kuat, bukti yang kuat seperti itu,” tuturnya.
    Diketahui, pemerintah pusat melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025, menyatakan bahwa empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
    Adapun keempat pulau yang dimaksud adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil.
    Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjelaskan penetapan ini sudah melalui proses panjang serta melibatkan banyak instansi terkait.
    “Sudah difasilitasi rapat berkali-kali, zaman lebih jauh sebelum saya, rapat berkali-kali, melibatkan banyak pihak,” kata Tito saat ditemui di Kompleks Istana Negara, Selasa (10/6/2025).
    “Ada delapan instansi tingkat pusat yang terlibat, selain Pemprov Aceh, Sumut, dan kabupaten-kabupatennya. Ada juga Badan Informasi Geospasial, Pus Hidros TNI AL untuk laut, dan Topografi TNI AD untuk darat,” lanjutnya.
    Tito mengatakan, batas wilayah darat antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah sudah disepakati oleh kedua belah pihak.
    Sementara itu, batas laut dua wilayah itu belum mencapai kesepakatan.
    Maka itu, lanjut Tito, penentuan perbatasan wilayah laut ini diserahkan ke pemerintah pusat. Namun, penentuan batas laut ini tidak pernah sepakat, sehingga membuat sengketa terkait empat pulau terus bergulir.
    “Nah, tidak terjadi kesepakatan, aturannya diserahkan kepada pemerintah nasional, pemerintah pusat di tingkat atas,” kata Tito.
    Menurut Tito, pemerintah pusat memutuskan bahwa empat pulau ini masuk ke wilayah administrasi Sumatera Utara berdasarkan tarikan batas wilayah darat.
    “Nah, dari rapat tingkat pusat itu, melihat letak geografisnya, itu ada di wilayah Sumatera Utara, berdasarkan batas darat yang sudah disepakati oleh empat pemda, Aceh maupun Sumatera Utara,” tuturnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 7
                    
                        Kemendagri soal 4 Pulau Aceh Masuk Sumut: Kronologi, Siap Digugat dan Pertemukan 2 Gubernur
                        Nasional

    7 Kemendagri soal 4 Pulau Aceh Masuk Sumut: Kronologi, Siap Digugat dan Pertemukan 2 Gubernur Nasional

    Kemendagri soal 4 Pulau Aceh Masuk Sumut: Kronologi, Siap Digugat dan Pertemukan 2 Gubernur
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kementerian Dalam Negeri (
    Kemendagri
    ) menjelaskan perihal keputusan pemerintah pusat menetapkan empat pulau wilayah Provinsi
    Aceh
    masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi
    Sumatera Utara
    .
    Penetapan itu berdasarkan Keputusan Mendagri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025.
    Keempat pulau yang statusnya dialihkan ke wilayah
    Sumut
    tersebut adalah Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang.
    Kemendagri memberikan penjelasan karena keputusan tersebut direspons beragam kedua daerah. Sebab, konflik perebutan wilayah ini sudah berlangsung puluhan tahun.
    Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, menjelaskan bahwa polemik status kewilayahan empat pulau tersebut berawal pada 2008.
    Saat itu, Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi yang terdiri dari sejumlah kementerian dan instansi pemerintah melakukan verifikasi terhadap pulau-pulau yang ada di Indonesia.
    “Di Banda Aceh, tahun 2008, Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi, kemudian memverifikasi dan membakukan sebanyak 260 pulau di Aceh, namun tidak terdapat empat pulau, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, Pulau Panjang,” kata Safrizal di Kantor Kemendagri, Rabu (11/6/2025), dikutip dari
    Antaranews
    .
    Hasil verifikasi tersebut, pada 4 November 2009, mendapatkan konfirmasi dari Gubernur Aceh saat itu, yang menyampaikan bahwa Provinsi Aceh terdiri dari 260 pulau.
    Pada lampiran surat tersebut, tercantum perubahan nama pulau, yaitu Pulau Mangkir Besar, semula bernama Pulau Rangit Besar; Pulau Mangkir Kecil yang semula Pulau Rangit Kecil; Pulau Lipan sebelumnya Pulau Malelo. Lampiran tersebut juga menyertakan perubahan koordinat untuk keempat pulau tersebut.
    “Jadi setelah konfirmasi 2008, di 2009 dikonfirmasi terjadi perubahan nama dan perpindahan koordinat,” ujar Safrizal.
    Selanjutnya, saat melakukan identifikasi dan verifikasi di Sumatera Utara pada 2008, Pemerintah Daerah Sumatera Utara melaporkan sebanyak 213 pulau, termasuk empat pulau yang saat ini menjadi sengketa.
    “Pemda Sumatera Utara memverifikasi, membakukan sebanyak 213 pulau di Sumatera Utara, termasuk empat pulau, yaitu Pulau Mangkir Besar, koordinat sekian; Pulau Mangkir Kecil, koordinat sekian; Pulau Lipan, koordinat sekian; dan Pulau Panjang, koordinat di sekian,” kata Syafrizal.
    Pada 2009, hasil verifikasi Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi di Sumut mendapat konfirmasi dari Gubernur Sumatera Utara saat itu, yang menyatakan bahwa provinsi Sumatera terdiri di 213 pulau, termasuk empat pulau yang kini disengketakan.
    Namun, setelah Kemendagri melakukan konfirmasi koordinat, keempat pulau yang diusulkan dengan titik koordinat masing-masing tidak menunjukkan posisi yang dimaksud.
    Koordinat yang berada dalam surat gubernur Aceh berada di wilayah Kecamatan Pulau Banyak, bukan di wilayah Kecamatan Singkil Utara.
    Kemendagri melihat ada kejanggalan nama pulau dengan titik koordinat yang berbeda. Karena empat pulau yang dimaksud berjarak 78 kilometer dari titik koordinat yang diberikan Aceh.
    Kemendagri kemudian melakukan rapat pembahasan melakukan analisa spasial terhadap empat pulau yang menjadi konflik, dan hasilnya pada 8 November 2017, Dirjen Bina Adwil Nomor Nomor 125/8177/BAK menegaskan empat pulau masuk dalam cakupan Provinsi Sumatera Utara.
    Aceh kemudian kembali mengeluarkan surat merevisi koordinat empat pulau tersebut yang semula titiknya berada di Pulau Banyak berpindah ke Singkil Utara.
    Dalam surat itu juga dijelaskan bahwa koordinat yang semula dicantumkan adalah milik pulau Rangit Besar, Rangit Kecil, Malelo dan Panjang yang berada di Pulau Banyak.
    Namun, setelah rapat bersama Kementerian Koordinator Bidang Maritime dan Investasi (Kemenkomarves) , KKP, dan berbagai lembaga/kementerian pada 2020 disepakati empat pulau itu masuk wilayah Provinsi Sumatera Utara.
    Pada 13 Februari 2022, kembali dibahas empat pulau tersebut bersama dengan Pemda Aceh dan Pemda Sumut, namun tidak terjadi kesepakatan.
    Sehingga pada 14 Februari 2022, Kemendagri menerbitkan Keputusan Nomor 050-145 tentang pemutakhiran kode, data wilayah administrasi yang memasukkan empat pulau tersebut masuk ke wilayah Sumut.
    Keputusan ini disomasi Gubernur Aceh yang akhirnya kembali difasilitasi survei faktual ke empat wilayah pada 31 Mei-4 Juni 2022.
    Dari hasil survei dijelaskan, empat pulau tidak berpenduduk, ditemukan tugu yang dibangun pemerintah
    aceh
    dan makam aulia yang sering dikunjungi masyarakat unutk berziarah.
    Pulau Lipan hanya ada pasir putih dan dalam kondisi tenggelam. Kemduian beberapa dokumen baru disampaikan pemerintah Aceh yang menjadi pertimbangan lanjutan.
    Konflik ini terus berlanjut hingga akhirnya pada 16 Juli 2022 Pemda Sumut menyampaikan empat pulau tersebut sebagai bagian dari mereka.
    Konflik yang berkepanjangan ini membuat Pemerintah Pusat mengambil tindakan.
    Dari hasil konfirmasi kepada Gubernur Aceh beserta hasil konfirmasi Gubernur Sumatera Utara saat itu beserta hasil pelaporan pada PBB tahun 2012 dan pemerintah pusat kemudian menetapkan status empat pulau menjadi wilayah Sumatera Utara.
    Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi tersebut terdiri dari antara lain Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Informasi Geospasial, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang saat ini menjadi bagian dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Pusat Hidrografi dan Oseanologi TNI AL, Direktorat Topografi TNI AD, serta pemerintah provinsi dan kabupaten.
    Safrizal mengatakan, empat pulau itu dialihkan karena lokasinya lebih dekat ke Sumut.
    Dia menyebut, jarak geografis antara empat pulau dengan dua provinsi yang sedang berebut wilayah ini menjadi dasar keputusan Kemendagri.
    “Empat pulaunya persis di hadapan pantai Tapanuli Tengah,” kata Safrizal
    Menurut Safrizal, batas wilayah darat menjadi patokan pengambilan keputusan karena wilayah laut antara Aceh dan Sumut belum ditentukan hingga saat ini.
    “Jadi kalau batas ini sudah disepakati bersama antara pemerintah Aceh dan pemerintah Sumatera Utara, batas laut masih belum ditegaskan atau diputuskan oleh Mendagri karena masih komplain soal empat pulau ini,” ujarnya.
    Dalam kesempatan berbeda, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjelaskan, penetapan empat pulau di Aceh yang kini masuk wilayah Sumut telah melewati proses yang panjang dan melibatkan banyak instansi.
    “Ada delapan instansi tingkat pusat yang terlibat, selain Pemprov Aceh, Sumut, dan kabupaten-kabupatennya. Ada juga Badan Informasi Geospasial, Pus Hidros TNI AL untuk laut, dan Topografi TNI AD untuk darat,” ujar Tito saat ditemui di Kompleks Istana Negara pada 10 Juni 2025.
    Dia juga menyebut, batas wilayah darat sudah disepakati oleh pemerintah daerah Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah.
    Namun, untuk batas wilayah laut, kedua pemerintah daerah belum menyepakati hal tersebut. Oleh karenanya, keputusan mengenai status empat pulau diambil oleh pemerintah pusat.
    “Tidak terjadi kesepakatan, aturannya diserahkan kepada pemerintah nasional, pemerintah pusat di tingkat atas,” kata Tito Karnavian.
    Lebih lanjut, Safrizal mengatakan, Kemendagri siap menghadapi gugatan Pemprov Daerah Istimewa Aceh jika tidak menerima keputusan yang menyatakan empat pulau dialihkan statusnya ke wilayah Sumatera Utara.
    “Bisa diajukan kepada pengadilan negeri pusat, tetapi jika lama bersidangnya misalnya karena banyak sekali diajukan ke pengadilan, maka dapat diajukan lewat pengadilan PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara),” kata Safrizal.
    Selain PTUN, Pemprov Aceh juga bisa menggugat melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, ada beberapa sengketa terkait batas wilayah pemerintah daerah juga telah disidangkan oleh MK.
    “Beberapa (sengketa) batas daerah juga mengajukan ke Mahkamah Konstitusi, ada yang ditolak karena di luar kewenangan, ada juga dibahas (bahkan diputus) oleh MK,” ujarnya.
    Namun, Safrizal juga mengatakan, Kemendagri juga bakal menempuh upaya dialog dengan Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Bobby Nasution dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf.
    Bahkan, menurut dia, Kemendagri dan Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Kemenko Polkam) bakal memfasilitasi pertemuan Gubernur Aceh dan Sumut terkait peralihan empat pulau di wilayah Tapanuli Tengah.
    “Terbuka sekali kemungkinan gubernur difasilitasi oleh Kemenko (Polkam) dan Menteri Dalam Negeri (Tito Karnavian) untuk bertemu dengan kedua gubernur dan Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi untuk memperoleh penjelasan,” kata Safrizal.
    Namun, dia belum bisa memberikan keterangan lebih lanjut terkait waktu pertemuan tersebut akan dilaksanakan. Sebab, masih menunggu arahan dari Mendagri.
    “Jadi, kapan? Tunggu kami laporkan, kemarin pihak Kemenko Polkam sudah melaporkan kepada Pak Menko, saya melaporkan kepada Pak Mendagri. Kita tunggu nanti waktunya,” ujarnya.
    Safrizal hanya mengatakan, pertemuan terebut juga menjadi ajang bagi Kemendagri menjelaskan pertimbangan memutuskan empat pulau masuk wilayah Sumut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Anggota DPR: Penuntasan sengketa empat pulau dengan semangat harmoni

    Anggota DPR: Penuntasan sengketa empat pulau dengan semangat harmoni

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin meminta pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri untuk menuntaskan persoalan sengketa empat pulau yang melibatkan Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara dengan semangat harmoni.

    “Kami meminta Kementerian Dalam Negeri menuntaskan persoalan sengketa empat pulau dengan cara elegan, dengan semangat harmoni,” kata Khozin dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.

    Menurut dia, persoalan tersebut dapat diselesaikan melalui mekanisme musyawarah mufakat sebagai jalan keluar dengan mempertimbangkan berbagai aspek, seperti aspek sosiologis dan faktor efektivitas pengelolaan.

    “Saya dengar informasi ada tradisi larangan mencari ikan pada hari Jumat di empat pulau tersebut. Sanksi diatur dalam qanun Aceh. Ini kan mencerminkan sosial budaya di Aceh. Ini aspek sosiologis dan budaya yang juga harus dilihat dengan bijak,” tuturnya.

    Kbozin mengatakan persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan berpijak pada aspek yuridis dan sosiologis sebagai pemandu penyelesaian persoalan sengketa wilayah.

    Dia menuturkan persoalan empat pulau itu dimulai pada tahun 2008 atas temuan Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (PNR) yang menemukan Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang masuk wilayah Sumatera Utara.

    Tim Nasional PNR terdiri dari lintas sektoral, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan Pusat Hidro Oseanografi TNI AL, dan Badan Informasi Geospasial (BIG).

    Khozin menambahkan sejak saat itu persoalan empat pulau tersebut terus berlanjut melalui mekanisme yang berlangsung di pemerintahan, seperti upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) kepada pemerintah pusat terkait keberadaan empat pulau tersebut.

    “Hingga pada tahap terbitnya Keputusan Mendagri Nomor 050-145 Tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau Tahun 2021 yang diteken pada 14 Februari 2022,” katanya.

    Dia mengatakan dalam Revisi Kepmendagri Nomor 100.1.1.6117 Tahun 2022 juga menyatakan empat pulau tersebut masuk wilayah Provinsi Sumatera Utara.

    “Termasuk yang terbaru melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang mengukuhkan empat pulau tersebut menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara,” ucap dia.

    Sebelumnya, Rabu (12/6), Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Safrizal Zakaria Ali mengatakan status administrasi Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang diputuskan Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi setelah melalui proses panjang.

    Dia menjelaskan Pemprov Aceh dan Sumatera Utara bersepakat untuk menyerahkan keputusan kepada Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi karena dua daerah itu belum menemukan titik terang atas polemik yang terjadi selama lebih 20 tahun.

    “Setelah (polemik) berulang-ulang, diajukan dan ada kesepakatannya bahwa (keputusan mengenai wilayah administrasi empat pulau) diserahkan kepada tim pusat pembakuan dengan satu klausa patuh terhadap keputusan Tim Pembakuan Nama Rupabumi, maka diputuskan,” kata Safrizal di Gedung Direktorat Jenderal Bina Adwil Kemendagri, Jakarta.

    Dia mengatakan Kemendagri siap mendukung penyelesaian polemik atas status kepemilikan empat pulau yang menjadi diskursus antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara itu.

    “Terbuka sekali kemungkinan kedua gubernur difasilitasi oleh Kemenko dan Menteri Dalam Negeri untuk bertemu, dengan kedua gubernur dan Tim Pembakuan (Nama) Rupabumi untuk memperoleh penjelasan,” katanya.

    Dia menambahkan Kemendagri membuka pula opsi untuk mempertemukan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf guna menyelesaikan persoalan status kewilayahan empat pulau di wilayah Tapanuli Tengah.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • 10
                    
                        Duduk Perkara Polemik 4 Pulau Aceh Masuk Sumut, dari Kondisi hingga Mendagri
                        Regional

    10 Duduk Perkara Polemik 4 Pulau Aceh Masuk Sumut, dari Kondisi hingga Mendagri Regional

    Duduk Perkara Polemik 4 Pulau Aceh Masuk Sumut, dari Kondisi hingga Mendagri
    Tim Redaksi
    BANDA ACEH, KOMPAS.com
    – Sebanyak empat
    pulau
    milik
    Aceh
    yang berada di Kabupaten Aceh Singkil kini ditetapkan sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
    Perubahan status administratif itu tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025.
    Keempat pulau tersebut ialah
    Pulau
    Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil,
    Pulau Lipan
    , dan
    Pulau Panjang
    .
    Proses perubahan status ini telah berlangsung lama sebelum Muzakir Manaf dan Fadhlullah menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh.
    Status perpindahan wilayah tersebut kini mulai menuai polemik dan ramai di tengah masyarakat.
    Pemerintah Aceh bersikukuh keempat pulau itu masih miliknya, sementara Pemerintah
    Sumut
    menganggap hal tersebut adalah keputusan pemerintah pusat. 
    Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh, Syakir, mengatakan, Pemerintah Aceh berkomitmen untuk memperjuangkan peninjauan ulang keputusan tersebut.
    “Sesuai dengan komitmen Pak Gubernur dan Pak Wakil Gubernur, Pemerintah Aceh akan terus memperjuangkan agar keempat pulau itu dikembalikan sebagai bagian dari wilayah Aceh,” kata Syakir kepada awak media di Banda Aceh, Senin (26/5/2025).
    Syakir mengungkapkan, saat proses verifikasi dilakukan, Pemerintah Aceh bersama tim dari Kementerian Dalam Negeri telah turun langsung ke lokasi untuk melakukan peninjauan keempat pulau tersebut.
    Dalam verifikasi itu, Pemerintah Aceh menunjukkan berbagai bukti otentik, termasuk infrastruktur fisik, dokumen kepemilikan, serta foto-foto pendukung.
    Verifikasi ini juga melibatkan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil.
    Di Pulau Panjang, misalnya, Pemerintah Aceh memperlihatkan sejumlah infrastruktur yang dibangun oleh Pemerintah Aceh dan Pemkab Aceh Singkil.
    Seperti tugu selamat datang, tugu koordinat dibangun oleh Dinas Cipta Karya dan Bina Marga pada tahun 2012, rumah singgah dan mushala (2012), serta dermaga dibangun pada tahun 2015.
    “Dokumen-dokumen pendukung juga telah kami serahkan, baik dari Pemerintah Aceh maupun dari Pemkab Aceh Singkil. Di antaranya terdapat peta kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara yang disaksikan oleh Mendagri pada 1992,” tuturnya. 
    Peta tersebut menunjukkan garis batas laut yang mengindikasikan bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah Aceh.
    “Sebenarnya, dengan adanya kesepakatan kedua gubernur yang disaksikan oleh Mendagri pada 1992, secara substansi sudah jelas bahwa keempat pulau tersebut adalah bagian dari Aceh,” ungkap Syakir.
    Bukti lainnya, sebut Syakir, termasuk dokumen administrasi kepemilikan dermaga, surat kepemilikan tanah tahun 1965, serta dokumen pendukung lainnya.
    Di Pulau Mangkir Ketek, tim juga menemukan sebuah prasasti bertuliskan bahwa pulau tersebut merupakan bagian dari Aceh.
    Prasasti ini dibangun pada Agustus 2018, mendampingi tugu sebelumnya yang dibangun oleh Pemkab Aceh Singkil pada tahun 2008 dengan tulisan “Selamat Datang di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.”
    Pada tahun 2022, Kemenko Polhukam juga telah memfasilitasi rapat koordinasi lintas kementerian/lembaga yang pada umumnya peserta rapat menyampaikan bahwa berdasarkan dokumen dan hasil survei, keempat pulau tersebut masuk dalam cakupan wilayah Aceh.
    Hal ini dibuktikan melalui aspek hukum, administrasi, pemetaan, pengelolaan pulau, serta layanan publik yang telah dibangun oleh Pemerintah Aceh dan Pemkab Aceh Singkil.
    Anggota Komite I DPD RI asal Aceh, H. Sudirman atau Haji Uma, sejak 2017 telah menyurati Kemendagri untuk menyampaikan aspirasi dan fakta historis serta administratif bahwa pulau-pulau tersebut merupakan bagian dari Aceh. 
    “Ini aspirasi daerah yang saya sampaikan berkali-kali, baik secara langsung maupun tertulis. Namun, tidak ada tindak lanjut yang jelas. Saya sudah surati Kemendagri sejak 2017, tetapi tidak digubris,” kata Haji Uma saat dihubungi kompas.com via telepon, Rabu (28/5/2025).
    “Bahkan, saat Aceh diminta membawa data pendukung, itu pun tidak diindahkan dan akhirnya tetap menetapkan pulau tersebut masuk wilayah Sumut,” ucapnya.
    Menurut Haji Uma, keputusan Mendagri sangat mencederai fakta sejarah dan data faktual di lapangan.
    Dia mengungkapkan, sejak 17 Juni 1965, keempat pulau tersebut sudah berada dalam wilayah Aceh dan dihuni oleh masyarakat Aceh. Bahkan, beberapa warga yang pernah tinggal di sana kini menetap di Bakongan, Aceh Selatan.
    “Secara historis dan faktual, itu wilayah Aceh. Pemerintah Aceh juga sudah mengucurkan anggaran untuk membangun tugu dan rumah singgah nelayan di sana pada tahun 2012. Kok bisa tiba-tiba diambil alih begitu saja,” katanya.
    Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Bobby Nasution, bersama Bupati Tapanuli Tengah, Masinton Pasaribu, berkunjung ke Aceh menemui Gubernur Muzakir Manaf untuk membahas status kepemilikan empat pulau tersebut.
    Pertemuan antar-kepala daerah itu berlangsung pada Rabu (4/6/2025), di Pendopo Gubernur Aceh. Tidak berlangsung lama, Muzakir Manaf lebih dulu meninggalkan lokasi karena ada agenda pertemuan dengan masyarakat.
    Bobby dan rombongan melanjutkan pertemuan (silaturahmi) dengan Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh, Syakir, beserta beberapa unsur pejabat lainnya.
    Bobby mengatakan, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) tidak pernah mengusulkan keempat pulau itu masuk ke wilayahnya. Semua itu merupakan keputusan Kemendagri atau pemerintah pusat.
    “Kalau dari kami, bahasa kami, bukan semata-mata usulan dari pihak Provinsi Sumatera Utara. Tentu ada mekanisme yang berjalan, tetapi di luar itu apa pun potensi di dalamnya, kami tadi sepakat dan saya sampaikan harus bisa kita kelola sama-sama, baik Provinsi Sumatera Utara dan Aceh,” katanya. 
    Menurut Bobby, semua mekanisme terkait status keempat pulau tersebut ada di Kemendagri. Sama sekali tidak ada intervensi dari Pemerintah Sumut.
    “Ini kan mekanismenya bukan serta-merta kalau kami bilang kami kembalikan, bisa kembali pulaunya, bukan seperti itu juga. Yang hari ini kami pikirkan bagaimana potensi yang ada di dalamnya bisa dikelola sama-sama,” ujarnya.
    Kepada Gubernur Aceh, sebut Bobby, dirinya turut menyampaikan soal kolaborasi menyangkut potensi yang ada di keempat pulau tersebut.
    “Saya tidak bicara ini akan dikembalikan atau tidak, ini akan punya siapa, tidak,” ungkapnya.
    Kendati demikian, jika ke depannya ada pembahasan lanjutan terkait permasalahan empat pulau ini, Bobby akan terbuka untuk berdiskusi mencari jalan terbaik.
    “Kalau nanti ada pembahasan lagi ini harus masuk ke Aceh kembali atau tetap Sumut, ini kami terbuka. Tapi, kita bicara jangan ke situnya terus. Tadi saya dengan Pak Gubernur Aceh bicara ketika itu ada di Sumut atau akan kembali ke Aceh, kita ingin sama-sama potensinya di kolaborasikan,” tuturnya.
    Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjelaskan alasan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil ditetapkan masuk menjadi bagian dari Sumatera Utara.
    Tito mengatakan, penetapan ini sudah melalui proses panjang serta melibatkan banyak instansi terkait.
    “Sudah difasilitasi rapat berkali-kali, zaman lebih jauh sebelum saya, rapat berkali-kali, melibatkan banyak pihak,” kata Tito saat ditemui di Kompleks Istana Negara, Selasa (10/6/2025).
    “Ada delapan instansi tingkat pusat yang terlibat, selain Pemprov Aceh, Sumut, dan kabupaten-kabupatennya. Ada juga Badan Informasi Geospasial, Pus Hidros TNI AL untuk laut, dan Topografi TNI AD untuk darat,” lanjutnya.
    Tito mengatakan, batas wilayah darat antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Sementara itu, batas laut dua wilayah itu belum mencapai kesepakatan.
    Maka itu, lanjut Tito, penentuan perbatasan wilayah laut ini diserahkan ke pemerintah pusat.
    Namun, penentuan batas laut ini tidak pernah sepakat sehingga membuat sengketa terkait empat pulau terus bergulir.
    “Nah tidak terjadi kesepakatan, aturannya diserahkan kepada pemerintah nasional, pemerintah pusat di tingkat atas,” kata Tito.
    Menurut Tito, pemerintah pusat memutuskan bahwa empat pulau ini masuk ke wilayah administrasi Sumatera Utara berdasarkan tarikan batas wilayah darat.
    “Nah, dari rapat tingkat pusat itu, melihat letak geografisnya, itu ada di wilayah Sumatera Utara, berdasarkan batas darat yang sudah disepakati oleh empat pemda, Aceh maupun Sumatera Utara,” tuturnya.
    Lebih lanjut, Tito menegaskan pemerintah pusat terbuka terhadap evaluasi atas keputusan yang ada.
    Bahkan, kata dia, pemerintah terbuka jika ada gugatan hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) soal penetapan empat pulau terkait.
    “Kami terbuka juga untuk mendapatkan evaluasi, atau mungkin, kalau ada yang mau digugat secara hukum, ke PTUN misalnya, kami juga tidak keberatan. Kami juga tidak ada kepentingan personal, selain menyelesaikan batas wilayah,” ucapnya.
    Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan mempertemukan Gubernur Aceh Muzakir Manaf dengan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution untuk membahas perubahan administratif empat pulau yang semula masuk wilayah Aceh ke Sumatera Utara.
    Direktur Jenderal Bina Administrasi Wilayah Safrizal Zakaria Ali mengatakan, pertemuan kedua pemimpin daerah itu menjadi salah satu opsi untuk mencari titik temu peralihan status administrasi empat pulau tersebut.
    “Apakah kemudian nanti berikutnya Menteri Dalam Negeri (dan) Kemenko Polkam akan mempertemukan kedua gubernur, salah satu opsinya,” kata Safrizal. 
    Safrizal Zakaria Ali mengatakan bahwa keempat pulau yang diperebutkan ini tidak berpenduduk.
    “Karena ini statusnya dalam Permendagri sebagai pulau kosong, tidak berpenghuni, tak berpenduduk namanya,” ujarnya.
    Hal ini diketahui setelah melakukan survei lokasi secara langsung pada Juni 2022. Pulau Panjang, misalnya, dengan luas 47,8 hektar, tidak memiliki penduduk yang bermukim di pulau tersebut.
    Hanya ditemukan dermaga yang dibangun pada 2015 dan tugu batas wilayah oleh Pemerintah Provinsi Aceh pada 2007.
    Terdapat juga rumah singgah dan mushala yang dibangun sekitar 2012 oleh Pemda Aceh Singkil serta makam aulia.
    Pulau yang paling nahas nasibnya adalah Pulau Lipan. Pulau ini hampir bisa dikatakan hilang karena kenaikan muka air laut. Temuan Kemendagri menyebut luasnya hanya 0,38 hektar berupa daratan pasir dan tidak berpenghuni.
    “Dari hasil pemantauan tim di Pulau Lipan ditemukan data dan fakta bahwa Pulau Lipan berupa daratan pasir, dan saat pasang tertinggi pukul 9.25 WIB, pulau dalam kondisi tenggelam,” kata Safrizal.
    Menurut Safrizal, konflik ini bermula dari verifikasi data Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang disusun oleh Kemendagri, Kementerian Kelautan, Bakosurtanal, pakar toponimi, dan Pemerintah Aceh pada 2008.
    Saat itu, Provinsi Aceh telah memverifikasi dan membakukan 260 pulau. Namun, tidak terdapat empat pulau, yaitu Mangkir Gadang (Besar), Mangkir Ketek (Kecil), Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.
    Pada November 2009, Gubernur Aceh menyampaikan surat konfirmasi untuk 260 pulau dengan perubahan nama Pulau Rangit Besar menjadi Mangkir Besar, Rangit Kecil menjadi Mangkir Kecil, Pulau Malelo menjadi Pulau Lipan, dan Pulau Panjang tetap dengan nama yang sama dengan masing-masing koordinatnya.
    Namun, setelah Kemendagri melakukan konfirmasi koordinat, keempat pulau yang diusulkan dengan titik koordinat masing-masing tidak menunjukkan posisi yang dimaksud.
    Koordinat yang berada dalam surat Gubernur Aceh berada di wilayah Kecamatan Pulau Banyak, bukan di wilayah Kecamatan Singkil Utara.
    Kemendagri melihat ada kejanggalan nama pulau dengan titik koordinat yang berbeda karena empat pulau yang dimaksud berjarak 78 kilometer dari titik koordinat yang diberikan Aceh.
    Kemendagri kemudian melakukan rapat pembahasan untuk melakukan analisis spasial terhadap empat pulau yang menjadi konflik dan hasilnya pada 8 November 2017, Dirjen Bina Adwil Nomor 125/8177/BAK menegaskan bahwa empat pulau tersebut masuk dalam cakupan Provinsi Sumatera Utara.
    Aceh kemudian kembali mengeluarkan surat untuk merevisi koordinat empat pulau tersebut yang semula titiknya berada di Pulau Banyak berpindah ke Singkil Utara.
    Dalam surat itu juga dijelaskan bahwa koordinat yang semula dicantumkan adalah milik Pulau Rangit Besar, Rangit Kecil, Malelo, dan Panjang yang berada di Pulau Banyak.
    Namun, setelah rapat bersama Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenkomarves), KKP, dan berbagai lembaga/kementerian pada 2020, disepakati bahwa empat pulau itu masuk wilayah Provinsi Sumatera Utara.
    Pada 13 Februari 2022, kembali dibahas empat pulau tersebut bersama dengan Pemda Aceh dan Pemda Sumut, tetapi tidak terjadi kesepakatan.
    Karena itu, pada 14 Februari 2022, Kemendagri menerbitkan Keputusan Nomor 050-145 tentang pemutakhiran kode, data wilayah administrasi yang memasukkan empat pulau tersebut ke dalam wilayah Sumut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.