Soal 4 Pulau Masuk Sumut, Erni Ariyanti Minta Patuhi Mendagri
Tim Redaksi
MEDAN, KOMPAS.com
– Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara,
Erni Ariyanti
, meminta semua pihak mematuhi keputusan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, terkait penetapan empat pulau yang kini menjadi bagian dari Sumatera Utara.
Kementerian Dalam Negeri juga menyatakan, jika ada gugatan, dipersilakan untuk mengajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Pak Mendagri sudah buka suara jika memang ada gugatan, ke PTUN mempersilahkan Provinsi Aceh,” ujar Erni Ariyanti di kantor
DPRD Sumut
, Kamis (12/6/2025).
Erni menambahkan, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution telah berkunjung ke Aceh. Tindakan tersebut perlu diapresiasi sebagai upaya untuk meredakan ketegangan di masyarakat Aceh.
Meskipun demikian, Erni menegaskan, Sumatera Utara harus mempertahankan keempat pulau tersebut agar tetap menjadi bagian dari provinsi ini.
“Ya kita harus mempertahankan juga ya. Ya kita tunggulah hasil diskusi dari pemerintah,” tuturnya.
Politisi Golkar ini juga menyampaikan, Bobby Nasution telah menawarkan pengelolaan bersama jika terdapat potensi di daerah tersebut.
Pada kesempatan itu, Erni menekankan bahwa penetapan empat pulau tersebut didasarkan pada kajian yang mendalam dan bukan keputusan yang diambil secara sembarangan.
“Ya tidak tiba-tiba, ini ada kajian ilmiahnya,” pungkas Erni.
Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri telah menetapkan empat pulau yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Aceh kini masuk ke dalam administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Keputusan ini tercantum dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025.
Keempat pulau yang dimaksud adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: PTUN
-
/data/photo/2025/06/12/684ad751dac69.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
6 Soal 4 Pulau Masuk Sumut, Erni Ariyanti Minta Patuhi Mendagri Medan
-
/data/photo/2025/05/06/68198da0655af.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
7 Kemendagri soal 4 Pulau Aceh Masuk Sumut: Kronologi, Siap Digugat dan Pertemukan 2 Gubernur Nasional
Kemendagri soal 4 Pulau Aceh Masuk Sumut: Kronologi, Siap Digugat dan Pertemukan 2 Gubernur
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kementerian Dalam Negeri (
Kemendagri
) menjelaskan perihal keputusan pemerintah pusat menetapkan empat pulau wilayah Provinsi
Aceh
masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi
Sumatera Utara
.
Penetapan itu berdasarkan Keputusan Mendagri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025.
Keempat pulau yang statusnya dialihkan ke wilayah
Sumut
tersebut adalah Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang.
Kemendagri memberikan penjelasan karena keputusan tersebut direspons beragam kedua daerah. Sebab, konflik perebutan wilayah ini sudah berlangsung puluhan tahun.
Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, menjelaskan bahwa polemik status kewilayahan empat pulau tersebut berawal pada 2008.
Saat itu, Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi yang terdiri dari sejumlah kementerian dan instansi pemerintah melakukan verifikasi terhadap pulau-pulau yang ada di Indonesia.
“Di Banda Aceh, tahun 2008, Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi, kemudian memverifikasi dan membakukan sebanyak 260 pulau di Aceh, namun tidak terdapat empat pulau, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, Pulau Panjang,” kata Safrizal di Kantor Kemendagri, Rabu (11/6/2025), dikutip dari
Antaranews
.
Hasil verifikasi tersebut, pada 4 November 2009, mendapatkan konfirmasi dari Gubernur Aceh saat itu, yang menyampaikan bahwa Provinsi Aceh terdiri dari 260 pulau.
Pada lampiran surat tersebut, tercantum perubahan nama pulau, yaitu Pulau Mangkir Besar, semula bernama Pulau Rangit Besar; Pulau Mangkir Kecil yang semula Pulau Rangit Kecil; Pulau Lipan sebelumnya Pulau Malelo. Lampiran tersebut juga menyertakan perubahan koordinat untuk keempat pulau tersebut.
“Jadi setelah konfirmasi 2008, di 2009 dikonfirmasi terjadi perubahan nama dan perpindahan koordinat,” ujar Safrizal.
Selanjutnya, saat melakukan identifikasi dan verifikasi di Sumatera Utara pada 2008, Pemerintah Daerah Sumatera Utara melaporkan sebanyak 213 pulau, termasuk empat pulau yang saat ini menjadi sengketa.
“Pemda Sumatera Utara memverifikasi, membakukan sebanyak 213 pulau di Sumatera Utara, termasuk empat pulau, yaitu Pulau Mangkir Besar, koordinat sekian; Pulau Mangkir Kecil, koordinat sekian; Pulau Lipan, koordinat sekian; dan Pulau Panjang, koordinat di sekian,” kata Syafrizal.
Pada 2009, hasil verifikasi Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi di Sumut mendapat konfirmasi dari Gubernur Sumatera Utara saat itu, yang menyatakan bahwa provinsi Sumatera terdiri di 213 pulau, termasuk empat pulau yang kini disengketakan.
Namun, setelah Kemendagri melakukan konfirmasi koordinat, keempat pulau yang diusulkan dengan titik koordinat masing-masing tidak menunjukkan posisi yang dimaksud.
Koordinat yang berada dalam surat gubernur Aceh berada di wilayah Kecamatan Pulau Banyak, bukan di wilayah Kecamatan Singkil Utara.
Kemendagri melihat ada kejanggalan nama pulau dengan titik koordinat yang berbeda. Karena empat pulau yang dimaksud berjarak 78 kilometer dari titik koordinat yang diberikan Aceh.
Kemendagri kemudian melakukan rapat pembahasan melakukan analisa spasial terhadap empat pulau yang menjadi konflik, dan hasilnya pada 8 November 2017, Dirjen Bina Adwil Nomor Nomor 125/8177/BAK menegaskan empat pulau masuk dalam cakupan Provinsi Sumatera Utara.
Aceh kemudian kembali mengeluarkan surat merevisi koordinat empat pulau tersebut yang semula titiknya berada di Pulau Banyak berpindah ke Singkil Utara.
Dalam surat itu juga dijelaskan bahwa koordinat yang semula dicantumkan adalah milik pulau Rangit Besar, Rangit Kecil, Malelo dan Panjang yang berada di Pulau Banyak.
Namun, setelah rapat bersama Kementerian Koordinator Bidang Maritime dan Investasi (Kemenkomarves) , KKP, dan berbagai lembaga/kementerian pada 2020 disepakati empat pulau itu masuk wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Pada 13 Februari 2022, kembali dibahas empat pulau tersebut bersama dengan Pemda Aceh dan Pemda Sumut, namun tidak terjadi kesepakatan.
Sehingga pada 14 Februari 2022, Kemendagri menerbitkan Keputusan Nomor 050-145 tentang pemutakhiran kode, data wilayah administrasi yang memasukkan empat pulau tersebut masuk ke wilayah Sumut.
Keputusan ini disomasi Gubernur Aceh yang akhirnya kembali difasilitasi survei faktual ke empat wilayah pada 31 Mei-4 Juni 2022.
Dari hasil survei dijelaskan, empat pulau tidak berpenduduk, ditemukan tugu yang dibangun pemerintah
aceh
dan makam aulia yang sering dikunjungi masyarakat unutk berziarah.
Pulau Lipan hanya ada pasir putih dan dalam kondisi tenggelam. Kemduian beberapa dokumen baru disampaikan pemerintah Aceh yang menjadi pertimbangan lanjutan.
Konflik ini terus berlanjut hingga akhirnya pada 16 Juli 2022 Pemda Sumut menyampaikan empat pulau tersebut sebagai bagian dari mereka.
Konflik yang berkepanjangan ini membuat Pemerintah Pusat mengambil tindakan.
Dari hasil konfirmasi kepada Gubernur Aceh beserta hasil konfirmasi Gubernur Sumatera Utara saat itu beserta hasil pelaporan pada PBB tahun 2012 dan pemerintah pusat kemudian menetapkan status empat pulau menjadi wilayah Sumatera Utara.
Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi tersebut terdiri dari antara lain Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Informasi Geospasial, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang saat ini menjadi bagian dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Pusat Hidrografi dan Oseanologi TNI AL, Direktorat Topografi TNI AD, serta pemerintah provinsi dan kabupaten.
Safrizal mengatakan, empat pulau itu dialihkan karena lokasinya lebih dekat ke Sumut.
Dia menyebut, jarak geografis antara empat pulau dengan dua provinsi yang sedang berebut wilayah ini menjadi dasar keputusan Kemendagri.
“Empat pulaunya persis di hadapan pantai Tapanuli Tengah,” kata Safrizal
Menurut Safrizal, batas wilayah darat menjadi patokan pengambilan keputusan karena wilayah laut antara Aceh dan Sumut belum ditentukan hingga saat ini.
“Jadi kalau batas ini sudah disepakati bersama antara pemerintah Aceh dan pemerintah Sumatera Utara, batas laut masih belum ditegaskan atau diputuskan oleh Mendagri karena masih komplain soal empat pulau ini,” ujarnya.
Dalam kesempatan berbeda, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjelaskan, penetapan empat pulau di Aceh yang kini masuk wilayah Sumut telah melewati proses yang panjang dan melibatkan banyak instansi.
“Ada delapan instansi tingkat pusat yang terlibat, selain Pemprov Aceh, Sumut, dan kabupaten-kabupatennya. Ada juga Badan Informasi Geospasial, Pus Hidros TNI AL untuk laut, dan Topografi TNI AD untuk darat,” ujar Tito saat ditemui di Kompleks Istana Negara pada 10 Juni 2025.
Dia juga menyebut, batas wilayah darat sudah disepakati oleh pemerintah daerah Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah.
Namun, untuk batas wilayah laut, kedua pemerintah daerah belum menyepakati hal tersebut. Oleh karenanya, keputusan mengenai status empat pulau diambil oleh pemerintah pusat.
“Tidak terjadi kesepakatan, aturannya diserahkan kepada pemerintah nasional, pemerintah pusat di tingkat atas,” kata Tito Karnavian.
Lebih lanjut, Safrizal mengatakan, Kemendagri siap menghadapi gugatan Pemprov Daerah Istimewa Aceh jika tidak menerima keputusan yang menyatakan empat pulau dialihkan statusnya ke wilayah Sumatera Utara.
“Bisa diajukan kepada pengadilan negeri pusat, tetapi jika lama bersidangnya misalnya karena banyak sekali diajukan ke pengadilan, maka dapat diajukan lewat pengadilan PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara),” kata Safrizal.
Selain PTUN, Pemprov Aceh juga bisa menggugat melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, ada beberapa sengketa terkait batas wilayah pemerintah daerah juga telah disidangkan oleh MK.
“Beberapa (sengketa) batas daerah juga mengajukan ke Mahkamah Konstitusi, ada yang ditolak karena di luar kewenangan, ada juga dibahas (bahkan diputus) oleh MK,” ujarnya.
Namun, Safrizal juga mengatakan, Kemendagri juga bakal menempuh upaya dialog dengan Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Bobby Nasution dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf.
Bahkan, menurut dia, Kemendagri dan Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Kemenko Polkam) bakal memfasilitasi pertemuan Gubernur Aceh dan Sumut terkait peralihan empat pulau di wilayah Tapanuli Tengah.
“Terbuka sekali kemungkinan gubernur difasilitasi oleh Kemenko (Polkam) dan Menteri Dalam Negeri (Tito Karnavian) untuk bertemu dengan kedua gubernur dan Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi untuk memperoleh penjelasan,” kata Safrizal.
Namun, dia belum bisa memberikan keterangan lebih lanjut terkait waktu pertemuan tersebut akan dilaksanakan. Sebab, masih menunggu arahan dari Mendagri.
“Jadi, kapan? Tunggu kami laporkan, kemarin pihak Kemenko Polkam sudah melaporkan kepada Pak Menko, saya melaporkan kepada Pak Mendagri. Kita tunggu nanti waktunya,” ujarnya.
Safrizal hanya mengatakan, pertemuan terebut juga menjadi ajang bagi Kemendagri menjelaskan pertimbangan memutuskan empat pulau masuk wilayah Sumut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/11/68493a0abbc79.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
10 Duduk Perkara Polemik 4 Pulau Aceh Masuk Sumut, dari Kondisi hingga Mendagri Regional
Duduk Perkara Polemik 4 Pulau Aceh Masuk Sumut, dari Kondisi hingga Mendagri
Tim Redaksi
BANDA ACEH, KOMPAS.com
– Sebanyak empat
pulau
milik
Aceh
yang berada di Kabupaten Aceh Singkil kini ditetapkan sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
Perubahan status administratif itu tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025.
Keempat pulau tersebut ialah
Pulau
Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil,
Pulau Lipan
, dan
Pulau Panjang
.
Proses perubahan status ini telah berlangsung lama sebelum Muzakir Manaf dan Fadhlullah menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh.
Status perpindahan wilayah tersebut kini mulai menuai polemik dan ramai di tengah masyarakat.
Pemerintah Aceh bersikukuh keempat pulau itu masih miliknya, sementara Pemerintah
Sumut
menganggap hal tersebut adalah keputusan pemerintah pusat.
Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh, Syakir, mengatakan, Pemerintah Aceh berkomitmen untuk memperjuangkan peninjauan ulang keputusan tersebut.
“Sesuai dengan komitmen Pak Gubernur dan Pak Wakil Gubernur, Pemerintah Aceh akan terus memperjuangkan agar keempat pulau itu dikembalikan sebagai bagian dari wilayah Aceh,” kata Syakir kepada awak media di Banda Aceh, Senin (26/5/2025).
Syakir mengungkapkan, saat proses verifikasi dilakukan, Pemerintah Aceh bersama tim dari Kementerian Dalam Negeri telah turun langsung ke lokasi untuk melakukan peninjauan keempat pulau tersebut.
Dalam verifikasi itu, Pemerintah Aceh menunjukkan berbagai bukti otentik, termasuk infrastruktur fisik, dokumen kepemilikan, serta foto-foto pendukung.
Verifikasi ini juga melibatkan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil.
Di Pulau Panjang, misalnya, Pemerintah Aceh memperlihatkan sejumlah infrastruktur yang dibangun oleh Pemerintah Aceh dan Pemkab Aceh Singkil.
Seperti tugu selamat datang, tugu koordinat dibangun oleh Dinas Cipta Karya dan Bina Marga pada tahun 2012, rumah singgah dan mushala (2012), serta dermaga dibangun pada tahun 2015.
“Dokumen-dokumen pendukung juga telah kami serahkan, baik dari Pemerintah Aceh maupun dari Pemkab Aceh Singkil. Di antaranya terdapat peta kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara yang disaksikan oleh Mendagri pada 1992,” tuturnya.
Peta tersebut menunjukkan garis batas laut yang mengindikasikan bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah Aceh.
“Sebenarnya, dengan adanya kesepakatan kedua gubernur yang disaksikan oleh Mendagri pada 1992, secara substansi sudah jelas bahwa keempat pulau tersebut adalah bagian dari Aceh,” ungkap Syakir.
Bukti lainnya, sebut Syakir, termasuk dokumen administrasi kepemilikan dermaga, surat kepemilikan tanah tahun 1965, serta dokumen pendukung lainnya.
Di Pulau Mangkir Ketek, tim juga menemukan sebuah prasasti bertuliskan bahwa pulau tersebut merupakan bagian dari Aceh.
Prasasti ini dibangun pada Agustus 2018, mendampingi tugu sebelumnya yang dibangun oleh Pemkab Aceh Singkil pada tahun 2008 dengan tulisan “Selamat Datang di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.”
Pada tahun 2022, Kemenko Polhukam juga telah memfasilitasi rapat koordinasi lintas kementerian/lembaga yang pada umumnya peserta rapat menyampaikan bahwa berdasarkan dokumen dan hasil survei, keempat pulau tersebut masuk dalam cakupan wilayah Aceh.
Hal ini dibuktikan melalui aspek hukum, administrasi, pemetaan, pengelolaan pulau, serta layanan publik yang telah dibangun oleh Pemerintah Aceh dan Pemkab Aceh Singkil.
Anggota Komite I DPD RI asal Aceh, H. Sudirman atau Haji Uma, sejak 2017 telah menyurati Kemendagri untuk menyampaikan aspirasi dan fakta historis serta administratif bahwa pulau-pulau tersebut merupakan bagian dari Aceh.
“Ini aspirasi daerah yang saya sampaikan berkali-kali, baik secara langsung maupun tertulis. Namun, tidak ada tindak lanjut yang jelas. Saya sudah surati Kemendagri sejak 2017, tetapi tidak digubris,” kata Haji Uma saat dihubungi kompas.com via telepon, Rabu (28/5/2025).
“Bahkan, saat Aceh diminta membawa data pendukung, itu pun tidak diindahkan dan akhirnya tetap menetapkan pulau tersebut masuk wilayah Sumut,” ucapnya.
Menurut Haji Uma, keputusan Mendagri sangat mencederai fakta sejarah dan data faktual di lapangan.
Dia mengungkapkan, sejak 17 Juni 1965, keempat pulau tersebut sudah berada dalam wilayah Aceh dan dihuni oleh masyarakat Aceh. Bahkan, beberapa warga yang pernah tinggal di sana kini menetap di Bakongan, Aceh Selatan.
“Secara historis dan faktual, itu wilayah Aceh. Pemerintah Aceh juga sudah mengucurkan anggaran untuk membangun tugu dan rumah singgah nelayan di sana pada tahun 2012. Kok bisa tiba-tiba diambil alih begitu saja,” katanya.
Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Bobby Nasution, bersama Bupati Tapanuli Tengah, Masinton Pasaribu, berkunjung ke Aceh menemui Gubernur Muzakir Manaf untuk membahas status kepemilikan empat pulau tersebut.
Pertemuan antar-kepala daerah itu berlangsung pada Rabu (4/6/2025), di Pendopo Gubernur Aceh. Tidak berlangsung lama, Muzakir Manaf lebih dulu meninggalkan lokasi karena ada agenda pertemuan dengan masyarakat.
Bobby dan rombongan melanjutkan pertemuan (silaturahmi) dengan Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh, Syakir, beserta beberapa unsur pejabat lainnya.
Bobby mengatakan, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) tidak pernah mengusulkan keempat pulau itu masuk ke wilayahnya. Semua itu merupakan keputusan Kemendagri atau pemerintah pusat.
“Kalau dari kami, bahasa kami, bukan semata-mata usulan dari pihak Provinsi Sumatera Utara. Tentu ada mekanisme yang berjalan, tetapi di luar itu apa pun potensi di dalamnya, kami tadi sepakat dan saya sampaikan harus bisa kita kelola sama-sama, baik Provinsi Sumatera Utara dan Aceh,” katanya.
Menurut Bobby, semua mekanisme terkait status keempat pulau tersebut ada di Kemendagri. Sama sekali tidak ada intervensi dari Pemerintah Sumut.
“Ini kan mekanismenya bukan serta-merta kalau kami bilang kami kembalikan, bisa kembali pulaunya, bukan seperti itu juga. Yang hari ini kami pikirkan bagaimana potensi yang ada di dalamnya bisa dikelola sama-sama,” ujarnya.
Kepada Gubernur Aceh, sebut Bobby, dirinya turut menyampaikan soal kolaborasi menyangkut potensi yang ada di keempat pulau tersebut.
“Saya tidak bicara ini akan dikembalikan atau tidak, ini akan punya siapa, tidak,” ungkapnya.
Kendati demikian, jika ke depannya ada pembahasan lanjutan terkait permasalahan empat pulau ini, Bobby akan terbuka untuk berdiskusi mencari jalan terbaik.
“Kalau nanti ada pembahasan lagi ini harus masuk ke Aceh kembali atau tetap Sumut, ini kami terbuka. Tapi, kita bicara jangan ke situnya terus. Tadi saya dengan Pak Gubernur Aceh bicara ketika itu ada di Sumut atau akan kembali ke Aceh, kita ingin sama-sama potensinya di kolaborasikan,” tuturnya.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjelaskan alasan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil ditetapkan masuk menjadi bagian dari Sumatera Utara.
Tito mengatakan, penetapan ini sudah melalui proses panjang serta melibatkan banyak instansi terkait.
“Sudah difasilitasi rapat berkali-kali, zaman lebih jauh sebelum saya, rapat berkali-kali, melibatkan banyak pihak,” kata Tito saat ditemui di Kompleks Istana Negara, Selasa (10/6/2025).
“Ada delapan instansi tingkat pusat yang terlibat, selain Pemprov Aceh, Sumut, dan kabupaten-kabupatennya. Ada juga Badan Informasi Geospasial, Pus Hidros TNI AL untuk laut, dan Topografi TNI AD untuk darat,” lanjutnya.
Tito mengatakan, batas wilayah darat antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Sementara itu, batas laut dua wilayah itu belum mencapai kesepakatan.
Maka itu, lanjut Tito, penentuan perbatasan wilayah laut ini diserahkan ke pemerintah pusat.
Namun, penentuan batas laut ini tidak pernah sepakat sehingga membuat sengketa terkait empat pulau terus bergulir.
“Nah tidak terjadi kesepakatan, aturannya diserahkan kepada pemerintah nasional, pemerintah pusat di tingkat atas,” kata Tito.
Menurut Tito, pemerintah pusat memutuskan bahwa empat pulau ini masuk ke wilayah administrasi Sumatera Utara berdasarkan tarikan batas wilayah darat.
“Nah, dari rapat tingkat pusat itu, melihat letak geografisnya, itu ada di wilayah Sumatera Utara, berdasarkan batas darat yang sudah disepakati oleh empat pemda, Aceh maupun Sumatera Utara,” tuturnya.
Lebih lanjut, Tito menegaskan pemerintah pusat terbuka terhadap evaluasi atas keputusan yang ada.
Bahkan, kata dia, pemerintah terbuka jika ada gugatan hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) soal penetapan empat pulau terkait.
“Kami terbuka juga untuk mendapatkan evaluasi, atau mungkin, kalau ada yang mau digugat secara hukum, ke PTUN misalnya, kami juga tidak keberatan. Kami juga tidak ada kepentingan personal, selain menyelesaikan batas wilayah,” ucapnya.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan mempertemukan Gubernur Aceh Muzakir Manaf dengan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution untuk membahas perubahan administratif empat pulau yang semula masuk wilayah Aceh ke Sumatera Utara.
Direktur Jenderal Bina Administrasi Wilayah Safrizal Zakaria Ali mengatakan, pertemuan kedua pemimpin daerah itu menjadi salah satu opsi untuk mencari titik temu peralihan status administrasi empat pulau tersebut.
“Apakah kemudian nanti berikutnya Menteri Dalam Negeri (dan) Kemenko Polkam akan mempertemukan kedua gubernur, salah satu opsinya,” kata Safrizal.
Safrizal Zakaria Ali mengatakan bahwa keempat pulau yang diperebutkan ini tidak berpenduduk.
“Karena ini statusnya dalam Permendagri sebagai pulau kosong, tidak berpenghuni, tak berpenduduk namanya,” ujarnya.
Hal ini diketahui setelah melakukan survei lokasi secara langsung pada Juni 2022. Pulau Panjang, misalnya, dengan luas 47,8 hektar, tidak memiliki penduduk yang bermukim di pulau tersebut.
Hanya ditemukan dermaga yang dibangun pada 2015 dan tugu batas wilayah oleh Pemerintah Provinsi Aceh pada 2007.
Terdapat juga rumah singgah dan mushala yang dibangun sekitar 2012 oleh Pemda Aceh Singkil serta makam aulia.
Pulau yang paling nahas nasibnya adalah Pulau Lipan. Pulau ini hampir bisa dikatakan hilang karena kenaikan muka air laut. Temuan Kemendagri menyebut luasnya hanya 0,38 hektar berupa daratan pasir dan tidak berpenghuni.
“Dari hasil pemantauan tim di Pulau Lipan ditemukan data dan fakta bahwa Pulau Lipan berupa daratan pasir, dan saat pasang tertinggi pukul 9.25 WIB, pulau dalam kondisi tenggelam,” kata Safrizal.
Menurut Safrizal, konflik ini bermula dari verifikasi data Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang disusun oleh Kemendagri, Kementerian Kelautan, Bakosurtanal, pakar toponimi, dan Pemerintah Aceh pada 2008.
Saat itu, Provinsi Aceh telah memverifikasi dan membakukan 260 pulau. Namun, tidak terdapat empat pulau, yaitu Mangkir Gadang (Besar), Mangkir Ketek (Kecil), Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.
Pada November 2009, Gubernur Aceh menyampaikan surat konfirmasi untuk 260 pulau dengan perubahan nama Pulau Rangit Besar menjadi Mangkir Besar, Rangit Kecil menjadi Mangkir Kecil, Pulau Malelo menjadi Pulau Lipan, dan Pulau Panjang tetap dengan nama yang sama dengan masing-masing koordinatnya.
Namun, setelah Kemendagri melakukan konfirmasi koordinat, keempat pulau yang diusulkan dengan titik koordinat masing-masing tidak menunjukkan posisi yang dimaksud.
Koordinat yang berada dalam surat Gubernur Aceh berada di wilayah Kecamatan Pulau Banyak, bukan di wilayah Kecamatan Singkil Utara.
Kemendagri melihat ada kejanggalan nama pulau dengan titik koordinat yang berbeda karena empat pulau yang dimaksud berjarak 78 kilometer dari titik koordinat yang diberikan Aceh.
Kemendagri kemudian melakukan rapat pembahasan untuk melakukan analisis spasial terhadap empat pulau yang menjadi konflik dan hasilnya pada 8 November 2017, Dirjen Bina Adwil Nomor 125/8177/BAK menegaskan bahwa empat pulau tersebut masuk dalam cakupan Provinsi Sumatera Utara.
Aceh kemudian kembali mengeluarkan surat untuk merevisi koordinat empat pulau tersebut yang semula titiknya berada di Pulau Banyak berpindah ke Singkil Utara.
Dalam surat itu juga dijelaskan bahwa koordinat yang semula dicantumkan adalah milik Pulau Rangit Besar, Rangit Kecil, Malelo, dan Panjang yang berada di Pulau Banyak.
Namun, setelah rapat bersama Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenkomarves), KKP, dan berbagai lembaga/kementerian pada 2020, disepakati bahwa empat pulau itu masuk wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Pada 13 Februari 2022, kembali dibahas empat pulau tersebut bersama dengan Pemda Aceh dan Pemda Sumut, tetapi tidak terjadi kesepakatan.
Karena itu, pada 14 Februari 2022, Kemendagri menerbitkan Keputusan Nomor 050-145 tentang pemutakhiran kode, data wilayah administrasi yang memasukkan empat pulau tersebut ke dalam wilayah Sumut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Kemendagri Panggil Bobby Nasution dan Muzakir Manaf Soal Polemik Pemindahan Wilayah 4 Pulau
Bisnis.com, Jakarta — Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan memanggil Gubernur Sumatra Utara Bobby Nasution dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf dalam waktu dekat.
Direktur Jenderal Bina Administrasi Wilayah pada Kementerian Dalam Negeri, Safrizal Zakaria Ali mengatakan upaya pertemuan kedua gubernur itu dilakukan dalam rangka mendiskusikan tentang batas administratif empat pulau yang sebelumnya diakui oleh Kabupaten Aceh Singkil, kini masuk ke wilayah Tapanuli Tengah, Sumatra Utara sesuai dengan Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025 kemarin.
“Jadi nanti akan kita pertemukan keduanya seperti tahun 1992 dulu Pak Ibrahim Hasan dan Pak Raja Inal Siregar,” tutur Safrizal di Kantor Kemendagri Jakarta, Rabu (11/6/2025).
Safrizal sendiri mengaku tidak keberatan jika pemerintah daerah Aceh melayangkan gugatan atas Keputusan Mendagri tersebut ke PTUN karena keempat pulaunya telah diberikan ke pemerintah Sumatra Utara, meskipun pemerintah Aceh memiliki Surat Kesepakatan Bersama (SKB) 1992 yang menyatakan keempat pulau itu masuk ke wilayah Aceh.
Keempat pulau di Aceh yang kini masuk ke wilayah Sumatera Utara yakni Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil yang sebelumnya terletak di Kabupaten Aceh Singkil.
“Jadi bisa diajukan lewat pengadilan PTUN daerah setempat atau PTUN Jakarta sesuai domisili Kemendagri,” katanya.
Safrizal menjelaskan bahwa masalah soal batas wilayah keempat pulau tersebut juga sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi. Namun, dari beberapa gugatan yang telah diajukan, kata Safrizal sebagian ada yang ditolak.
“Beberapa masalah soal batas daerah ini juga ada tang mengajukan ke MK. Ada yang ditolak karena di luar kewenangan dan ada yang dibahas MK. Intinya, kami patuh dan taat, apabila masuk jalur hukum kita akan ikuti,” ujarnya.
-

Pemakzulan Gibran, Pakar: Harus Dibuktikan Secara Hukum, Bukan Sekadar Tekanan Politik
Yance menjelaskan, secara teoretis hal tersebut bisa dikaitkan ke dalam impeachment clauses, terutama jika terbukti terdapat intervensi kekuasaan dalam proses pencalonan. Aspek ini membutuhkan penyelidikan hukum yang cermat untuk membuktikan adanya pelanggaran yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela atau penghilangan syarat konstitusional.
“Kalau memang Gibran atau orang tuanya, mantan Presiden Jokowi, terlibat dalam manipulasi proses persidangan MK atau di KPU, itu bisa dijadikan dasar untuk melihat ada manipulasi yang sudah terjadi dan sebenarnya Gibran tidak memenuhi syarat sebagai calon Wakil Presiden,” paparnya.
Ia juga menekankan bahwa batas usia calon Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam UUD 1945 adalah 40 tahun. Dalam kasus Gibran, persoalan usia menjadi titik krusial, mengingat ia dilantik sebagai Wakil Presiden saat usianya belum mencapai batas minimal tersebut.
Hal ini membuka ruang bagi interpretasi konstitusional yang lebih luas, terutama jika proses hukum membuktikan bahwa syarat tersebut memang dilanggar secara sistematis dan disengaja.
Menurutnya, wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tidak dapat dipisahkan dari pertimbangan konstitusional yang ketat.
Menurut Yance, pendekatan hukum yang sahih justru harus dimulai dari DPR melalui pembentukan panitia angket atau lewat gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas dasar pencalonan yang dianggap tidak sah. Kedua jalur ini memungkinkan terbukanya ruang pembuktian atas dugaan manipulasi dan pelanggaran syarat usia dalam pencalonan Gibran.
-
/data/photo/2025/06/10/6848233058ec9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
3 Penjelasan Mendagri Soal 4 Pulau di Aceh Ditetapkan Masuk Sumut Nasional
Penjelasan Mendagri Soal 4 Pulau di Aceh Ditetapkan Masuk Sumut
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Menteri Dalam Negeri (Mendagri)
Tito Karnavian
menjelaskan alasan empat pulau di Kabupaten
Aceh Singkil
ditetapkan masuk menjadi bagian dari
Sumatera Utara
.
Tito menjelaskan penetapan ini sudah melalui proses panjang serta melibatkan banyak instansi terkait.
“Sudah difasilitasi rapat berkali-kali, zaman lebih jauh sebelum saya, rapat berkali-kali, melibatkan banyak pihak,” kata Tito saat ditemui di Kompleks Istana Negara, Selasa (10/6/2025).
“Ada delapan instansi tingkat pusat yang terlibat, selain Pemprov Aceh, Sumut, dan kabupaten-kabupatennya. Ada juga Badan Informasi Geospasial, Pus Hidros TNI AL untuk laut, dan Topografi TNI AD untuk darat,” lanjutnya.
Tito mengatakan, batas wilayah darat antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah sudah disepakati oleh kedua belah pihak.
Sementara itu, batas laut dua wilayah itu belum mencapai kesepakatan.
Maka itu, lanjut Tito, penentuan
perbatasan wilayah
laut ini diserahkan ke pemerintah pusat. Namun, penentuan batas laut ini tidak pernah sepakat, sehingga membuat sengketa terkait empat pulau terus bergulir.
“Nah tidak terjadi kesepakatan, aturannya diserahkan kepada pemerintah nasional, pemerintah pusat di tingkat atas,” kata Tito.
Menurut Tito, pemerintah pusat memutuskan bahwa empat pulau ini masuk ke wilayah administrasi Sumatera Utara berdasarkan tarikan batas wilayah darat.
“Nah, dari rapat tingkat pusat itu, melihat letak geografisnya, itu ada di wilayah Sumatera Utara, berdasarkan batas darat yang sudah disepakati oleh 4 pemda, Aceh maupun Sumatera Utara,” tuturnya.
Lebih lanjut, Tito menegaskan pemerintah pusat terbuka terhadap evaluasi atas keputusan yang ada. Bahkan, kata dia, pemerintah terbuka jika ada gugatan hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) soal penetapan empat pulau terkait.
“Kita terbuka juga untuk mendapatkan evaluasi, atau mungkin, kalau ada yang mau digugat secara hukum, ke PTUN misalnya, kita juga tidak keberatan. Kita juga tidak ada kepentingan personal, selain menyelesaikan batas wilayah,” jelasnya.
Sebelumnya, pemerintah pusat melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025, menyatakan bahwa empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
Adapun keempat pulau yang dimaksud adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/05/20/682c76b7897d3.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Menjaga Marwah Kolegium: Antara Independensi Akademik dan Reformasi Sistemik Nasional 7 Juni 2025
Menjaga Marwah Kolegium: Antara Independensi Akademik dan Reformasi Sistemik
Dosen hukum kedokteran dan kebijakan kesehatan, dokter spesialis kedokteran keluarga layanan primer, advokat hukum kesehatan
SEJAK
disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, satu diskursus yang tak kunjung surut ialah keberadaan dan status kolegium.
Sejumlah guru besar menyatakan keberatan, bahkan melayangkan gugatan ke PTUN, atas pembentukan kolegium versi pemerintah yang dianggap mereduksi independensinya.
Sebagai dokter spesialis, pendidik akademik, dan pembantu penasihat presiden bidang kesehatan, saya menghargai kegelisahan itu.
Namun, saya juga percaya bahwa kita sedang menyaksikan pergeseran sistemik yang perlu dimaknai secara jernih—bahwa kolegium perlu dibebaskan bukan hanya dari intervensi negara, tetapi juga dari dominasi organisasi profesi yang selama ini terlalu terpusat.
Selama lebih dari dua dekade, kolegium di Indonesia berada dalam ranah organisasi profesi. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa fungsi kolegium sering tumpang tindih dengan fungsi organisasi.
Penetapan standar kompetensi, kurikulum, dan uji kompetensi acap kali tak lepas dari kepentingan kelompok tertentu.
Hal ini menyulitkan regenerasi, menutup ruang evaluasi independen, dan menempatkan kolegium dalam posisi dilematis: antara menjaga objektivitas akademik atau tunduk pada keputusan struktural profesi.
Dalam sistem baru, kolegium diposisikan sebagai organ ilmiah di bawah naungan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), dengan mandat langsung dari presiden.
Kemenkes
bukan pemiliknya, tetapi fasilitatornya. Status ini memberikan dasar hukum yang kokoh, sekaligus menjaga akuntabilitasnya terhadap publik, bukan terhadap satu golongan.
Mekanisme pemilihan anggota kolegium dilakukan secara demokratis melalui seleksi terbuka dan voting oleh tenaga medis—berbeda dengan sistem lama yang cenderung tertutup dan elitis.
Adakah jaminan bahwa sistem baru ini sempurna? Tentu tidak. Namun, seperti halnya semua proses reformasi, perbaikan mesti dilakukan terus-menerus, bukan dengan menolak perubahan.
Kekhawatiran bahwa kolegium kehilangan independensi justru bisa dijawab dengan mendorong mekanisme akuntabilitas baru yang partisipatif: publikasi dokumen kerja kolegium, transparansi anggaran, audit berkala, dan keterlibatan akademisi lintas kampus dalam pembentukan standar.
Kritik yang belakangan mengemuka—terutama mengenai biaya uji kompetensi (UKMPPD dan UKMPPG)—perlu dilihat secara proporsional.
Sistem lama pun tidak pernah sepenuhnya gratis. Justru yang kini dibutuhkan adalah pemetaan biaya nyata dan penyusunan skema subsidi oleh negara atau beasiswa institusional agar tidak memberatkan peserta.
Isu bukan pada nominal semata, melainkan pada kejelasan penggunaan, efektivitas penyelenggaraan, dan keadilan akses.
Saya percaya, perubahan ini akan membangun kolegium yang lebih profesional, terbuka, dan otonom secara keilmuan.
Kolegium seharusnya menjadi lembaga akademik yang berdiri di atas integritas ilmu, bukan dikooptasi oleh organisasi profesi maupun dikendalikan birokrasi.
Ia adalah “penjaga gerbang mutu” tenaga medis—yang harus bebas dari kepentingan sempit dan berdiri tegak atas dasar evidence dan etika keilmuan.
Reformasi sistem kesehatan tak akan bisa sempurna jika hanya mengutak-atik regulasi tanpa membenahi fondasi akademiknya.
UU 17/2023 memberikan peluang itu—bukan untuk menghapus kolegium, melainkan menata ulang dalam sistem yang lebih adil, transparan, dan egaliter.
Bila ruang ini dikelola dengan benar, kita bisa mendorong pendidikan kedokteran yang lebih mutakhir, adaptif, dan terhubung dengan kebutuhan nyata masyarakat.
Akhirnya, sebagai bagian dari komunitas medis, akademisi, dan juga pelayan negara, saya ingin mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk tidak terjebak dalam ketegangan struktural, melainkan kembali ke semangat substantif: mencetak tenaga kesehatan unggul demi kemaslahatan bangsa.
Kolegium bukan milik satu kelompok. Kolegium adalah milik Indonesia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

PSHT Tegas Tolak Ajakan Nyawiji dari Kelompok Muhamad Taufiq
Madiun (beritajatim.com) – Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) menyatakan penolakan tegas terhadap ajakan nyawiji atau penyatuan kembali yang diinisiasi oleh kelompok Muhamad Taufiq. Pernyataan resmi ini disampaikan oleh Juru Bicara Humas PSHT, Nailil Ghufron di Krida Satria Tama, Padepokan Pusat PSHT, Nambangan Kidul, Kecamatan Taman, Kota Madiun, Minggu (18/5/2025).
Berdasarkan berbagai tayangan di media sosial, kelompok Muhamad Taufiq menyampaikan keinginan untuk menyatu kembali dengan organisasi PSHT yang berpusat di Jalan Merak Nomor 10 dan 17, Kota Madiun, di bawah kepemimpinan Ketua Umum PSHT Moerdjoko dan Ketua Dewan Pusat Kangmas H. Issoebijantoro,
Dalam keterangan tertulis tersebut, PSHT menegaskan bahwa secara de jure, legalitas badan hukum PSHT telah sah dan tuntas sejak 14 Februari 2022 berdasarkan pendaftaran resmi di Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) Kementerian Hukum dan HAM RI dengan nomor AHU-001626.AH.01.07 Tahun 2022. Selain itu, Kementerian Hukum dan HAM juga telah mencabut badan hukum PSHT milik kelompok Dr. Taufiq yang sebelumnya terdaftar pada 26 September 2019.
Pernyataan hukum tersebut diperkuat dengan surat dari Kantor Wilayah Hukum Provinsi Jawa Timur dan penolakan pemulihan eksekusi melalui putusan PTUN yang dinyatakan telah kadaluwarsa. Mahkamah Agung melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 50 PK/TUN/2022 juga telah menetapkan Kangmas H. Issoebijantoro sebagai pemegang hak merek PSHT dan Setia Hati Terate untuk kelas 41.
Secara de facto, PSHT juga menjelaskan bahwa sejak Parapatan Luhur 2017, organisasi terus melaksanakan kegiatan secara aktif di Padepokan Agung Madiun. Dalam Parapatan Luhur Tahun 2021, Dr. Taufiq telah diberhentikan secara permanen dari keanggotaan PSHT, keputusan yang diperkuat oleh Keputusan Dewan Pusat PSHT Nomor: 003/SK/DP-PSHT-000/IV/2021 tanggal 19 April 2021.
PSHT menyayangkan klaim dan aktivitas kelompok Dr. Taufiq yang masih mengatasnamakan organisasi, termasuk pengajaran yang tidak sesuai dengan ajaran, adat, dan tatanan PSHT. Menanggapi hal tersebut, PSHT menolak ajakan nyawiji, dan menyatakan bahwa pihak luar, termasuk kelompok Muhamad Taufiq, tidak boleh merusak keutuhan organisasi.
“Kami tidak ingin adanya nyawiji dengan Sdr. Dr. Ir. Muhamad Taufiq, S.H., MSc., beserta kelompoknya,” kata Ghufron. Organisasi juga membuka kemungkinan kembalinya individu secara pribadi, selama mematuhi ketentuan internal yang berlaku.
Dengan telah dilaksanakannya Parapatan Luhur 2021, PSHT menegaskan bahwa seluruh permasalahan kepengurusan telah selesai. Warga yang tidak lagi tunduk pada aturan organisasi dipersilakan mendirikan entitas sendiri sesuai ketentuan hukum.
Penolakan terhadap ajakan nyawiji ini diambil demi menjaga ajaran dan keutuhan organisasi. PSHT meyakini bahwa upaya penyatuan paksa justru berpotensi menimbulkan konflik internal di masa mendatang.
Terkait aset PSHT yang dikuasai oleh kelompok Muhamad Taufiq, pihaknya bakal segera melakukan pengamanan aset. “Kami segera lakukan upaya hukum untuk memperjelas kepemilikan aset ini,” pungkasnya.
Pernyataan sikap terkait penolakan nyawiji ini sudah dilakukan pengurus bersama pamter salam Apel Pamter di Padepokan Pusat PSHT Masiun, Minggu (18/5/2025) pagi. [fiq/aje]
-

Sosok Muhammad Taufiq, Advokat Senior Penggugat Ijazah Jokowi akan Laporkan Mahfud MD ke Polisi – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM – Polemik mengenai kasus dugaan ijazah palsu yang melibatkan Presiden RI ke-7 Joko Widodo kian memanas.
Baru-baru ini, seorang advokat senior asal Kota Surakarta, Muhammad Taufiq berencana melaporkan mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD ke polisi.
Taufiq melaporkan Mahfud MD karena dinilai telah menghina pengadilan atau contempt of court.
Lantas, siapakah sosok Muhammad Taufiq tersebut ?
Muhammad Taufiq seorang advokat senior asal Kota Surakarta.
Ia merupakan lulusan Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Sepak terjang Taufiq di bidang hukum pun cukup mengesankan.
Ia tercatat pernah memimpin DPC PERADI Surakarta periode 2007–2011.
Kiprahnya di dunia hukum diperkuat dengan pengalaman internasional.
Seperti mengikuti program Corporate Governance di Jepang pada 2008 dan kursus hukum lingkungan di Beijing dan Shanghai pada 2009.
Taufiq juga aktif dalam advokasi kasus-kasus struktural dan pernah tampil dalam program Kick Andy pada Februari 2010 dengan topik “Peradilan Sesat”.
Di samping itu, ia juga dikenal sebagai penulis sejumlah buku kritis tentang hukum, di antaranya Terorisme Dalam Demokrasi (2004), Moralitas Penegak Hukum dan Advokat Profesi “Sampah” (2007), hingga Small Claim Court: Berperkara di Pengadilan Tanpa Pengacara (2021).
Taufiq sendiri juga menjadi salah satu penggugat ijazah Jokowi.
Taufiq resmi mendaftarkan gugatan dugaan ijazah palsu Jokowi di Pengadilan Negeri Surakarta pada Senin (14/4/2025).
Laporkan Mahfud MD ke Polisi
Muhammad Taufiq dikabarkan akan melaporkan mantan Menkopolhukam Mahfud MD ke pihak berwajib.
Hal itu didasari karena Mahfud MD berupaya untuk memengaruhi kerja pengadilan terkait proses hukum kasus ijazah Jokowi.
Adapun pelaporan tersebut rencananya akan dilakukan Taufiq pada Jumat (9/5/2025) ke Polresta Surakarta atau Polda Jawa Tengah.
Taufiq mengkhawatirkan keterkenalan Mahfud MD di publik juga mampu memengaruhi putusan hakim terkait gugatan ijazah Jokowi yang dilayangkannya ke PN Solo.
Sebelumnya, mantan Menkopolhukam itu percaya bahwa gugatan terkait ijazah Jokowi akan ditolak Pengadilan Negeri (PN) maupun Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Mulanya Mahfud menjelaskan soal gugatan perdata terkait ijazah Jokowi ke PN.
Namun, ia meyakini gugatan tersebut akan langsung ditolak karena bukan wewenang PN.
“Yang gugat ijazahnya Jokowi ini, pertama masuk ke gugatan peradilan perdata. Lah, saudara keabsahan ijazah kok digugat perdata, pengadilan bilang ‘itu bukan wewenang saya’.”
“Jadi, benar pengadilan itu bilang NO (Niet Ontvankelijke Verklaard/tidak dapat diterima) karena bukan wewenang,” katanya dalam video yang diunggah di akun YouTube pribadinya, Minggu (4/5/2025).
Mahfud juga menjelaskan bahwa suatu pihak bisa menggugat pihak lain secara perdata ketika memang ada perjanjian kontrak antara keduanya, tetapi salah satunya tidak memenuhi syarat.
Lalu, ketika disangkutkan dengan gugatan ijazah Jokowi secara perdata, maka Mahfud menegaskan hal tersebut tidak masuk akal.
Pasalnya, Jokowi tidak pernah membuat perjanjian kontrak dengan pihak penggugat terkait ijazahnya.
Sehingga, dengan aturan di atas, Mahfud mengungkapkan ketika pengadilan justru menerima dan memutus gugatan tersebut, maka hal tersebut melanggar aturan peradilan.
Sebagian artikel ini telah tayang di TribunSolo.com dengan judul Dianggap Menghina Peradilan, Penggugat Dugaan Ijazah Palsu Jokowi di Solo Akan Laporkan Mahfud MD
(Tribunnews.com/David Adi) (TribunSolo.com/Ahmad Syarifudin)
-

Mahfud MD Yakin Pengadilan Negeri dan PTUN Bakal Tolak Gugatan soal Kasus Ijazah Jokowi
GELORA.CO – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD meyakini Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tata Usaha Negara Negara (PTUN) bakal menolak gugatan terkait tudingan bahwa ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) palsu.
Mulanya Mahfud menjelaskan soal gugatan perdata terkait ijazah Jokowi ke PN.
Namun, dia meyakini gugatan tersebut akan langsung ditolak karena bukan wewenangnya.
“Yang gugat ijazahnya Jokowi ini, pertama masuk ke gugatan peradilan perdata. Lah, saudara keabsahan ijazah kok digugat perdata, pengadilan bilang ‘itu bukan wewenang saya’.”
“Jadi, benar pengadilan itu bilang NO (Niet Ontvankelijke Verklaard/tidak dapat diterima) karena bukan wewenang,” katanya dikutip dari video yang diunggah di akun YouTube pribadinya, Minggu (4/5/2025).
Mahfud juga menjelaskan bahwa suatu pihak bisa menggugat pihak lain secara perdata ketika memang ada perjanjian kontrak antara keduanya, tetapi salah satunya tidak memenuhi syarat.
Lalu, ketika disangkutkan dengan gugatan ijazah Jokowi secara perdata, maka Mahfud menegaskan hal tersebut tidak masuk akal.
Pasalnya, Jokowi tidak pernah membuat perjanjian kontrak dengan pihak penggugat terkait ijazahnya.
Sehingga, dengan aturan di atas, Mahfud mengungkapkan ketika pengadilan justru menerima dan memutus gugatan tersebut, maka hal tersebut melanggar aturan peradilan.
“Kapan Pak Jokowi melakukan kontrak dengan yang menggugat itu? Mewakili siapa dia? Saya tidak membela Pak Jokowi dan juga pengadilan.”
“Benar dia (pengadilan negeri), justru kalau dia memutus salah,” jelas Mahfud.
Lalu, Mahfud mengilustrasikan jika penggugat melayangkan gugatan ijazah Jokowi ke PTUN, maka hasilnya akan sama yaitu ditolak.
Dia meyakini PTUN bakal menolak gugatan tersebut karena tidak ada kerugian yang dialami penggugat secara ketatusahanegaraan.
Sehingga, dia mengungkapkan gugatan yang paling benar untuk dilayangkan penggugat adalah langsung ke Universitas Gadjah Mada (UGM) selaku pihak yang menerbitkan ijazah Jokowi.
“Seharusnya Anda minta, kalau mencabut ijazah itu, minta ke UGM karena UGM yang menerbitkan, masa PTUN. Dan lagipula, apa rugimu secara ketatausahanegaraan?” jelasnya.
Di sisi lain, Mahfud juga mengungkapkan bahwa individu maupun kelompok tidak bisa memaksa UGM untuk memperlihatkan dokumen seperti ijazah milik Jokowi.
Jika hal tersebut terjadi, maka dikhawatirkan, setiap orang bisa seenaknya meminta dokumen milik orang lain tanpa izin dari yang bersangkutan.
“Lembaga hukum perdata, privat, sekelompok orang, datang ke UGM memaksa, saya mau lihat ijazahnya Pak Jokowi, itu nggak bisa.”
“Kalau begitu, setiap orang nanti bisa minta, bisa lihat kayak ijazahnya Pak Mahfud seperti apa,” kata Mahfud.
Jokowi Tetap Sah sebagai Presiden jika Ijazahnya Palsu, tapi Bisa Dipidana
Pada kesempatan yang sama, Mahfud juga mengungkapkan jika ijazah Joko Widodo (Jokowi) terbukti palsu, maka tetap sah menjadi Presiden ke-7 RI.
Mahfud juga mengungkapkan, seluruh kebijakan yang dibuat oleh Jokowi selama menjadi presiden tetap sah secara ketatanegaraan, meski ijazahnya terbukti palsu.
“Taruhlah, betul tuh ijazah Pak Jokowi palsu misalnya, lalu ada yang mengatakan begini ‘kalau betul ijazah Pak Jokowi palsu, maka seluruh keputusan-keputusannya selama menjadi Presiden batal atau tidak sah’.”
“Saya bilang ndak lah. Apa hubungannya? Itu kan hukum tata negaranya,”
Mahfud juga menuturkan, jika pengadilan memutuskan ijazah Jokowi palsu dan menyatakan segala kebijakannya batal, maka negara akan bubar.
Dia mencontohkan terkait gelaran Pemilu 2024 yang lalu di mana seluruh aturan hingga mekanisme diteken oleh Jokowi.
Lalu, jika ada putusan dari pengadilan, ijazah Jokowi palsu dan semua kebijakannya dinyatakan tidak sah, maka hasil Pemilu 2024, otomatis juga tidak sah dan perlu diulang.
Terkait hal tersebut, Mahfud menegaskan hakim tidak mungkin untuk mengetok palu putusan tersebut.
“Kalau pendekatan hukum tata negara dan hukum administrasi negara, itu dalilnya keputusan yang sudah dibuat secara sah oleh kedua belah pihak, itu harus dijamin kepastian hukumnya,” katanya.
Namun, Mahfud menuturkan Jokowi tetap akan disanksi pidana jika memang ijazahnya terbukti palsu.
“Kalau pidana bisa ya, karena itu personal dan bukan terkait keputusan ketatanegaraannya,” jelas mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).