Kementrian Lembaga: PTUN

  • Mahfud MD Dorong Koreksi Perpol Lewat Eksekutif Review

    Mahfud MD Dorong Koreksi Perpol Lewat Eksekutif Review

    Bisnis.com, JAKARTA — Pakar hukum tata negara, Mahfud MD menyarankan pemerintah menempuh mekanisme eksekutif review sebagai langkah korektif Perpol yang lebih tepat dalam menjaga ketertiban hukum.

    Dia menilai mekanisme tersebut lebih baik daripada jalur uji materi di Mahkamah Agung. “Ini bisa dilakukan eksekutif review, bukan judicial review,” ujar Mahfud MD dalam kanal youtube miliknya dikutip pada Rabu (17/12/2025).

    Dalam pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 serta UU 12/2011 dan perubahannya, eksekutif review diartikan sebagai wewenang yang dimiliki oleh lembaga eksekutif untuk melakukan pengujian terhadap produk hukum. Dalam penjelasan Mahfud MD, terdapat dua bentuk utama koreksi melalui jalur eksekutif.

    Pertama, pada level administratif kementerian, pemerintah dapat memilih untuk tidak melanjutkan pengundangan atau mencabut pengundangan peraturan tersebut dari Berita Negara. 

    Kedua, Presiden dapat mengambil alih kewenangan administratif dan membatalkan langsung aturan yang dinilai bermasalah. 

    Dia menilai, menempuh jalur judicial review, dimana Mahkamah Agung (MA) memiliki wewenang dalam menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang, justru berisiko menemui jalan buntu.

    Menurut Mantan Menkopolhukam tersebut, sengketa yang bersifat umum dan menyangkut norma peraturan, tidak tepat dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). 

    “PTUN itu kan keputusan pejabat atau lembaga pemerintah yang bersengketa melawan rakyat secara perorangan. Kalau melayak secara umum, itu namanya judicial review, bukan ke PTUN,” jelasnya.

    Dia juga menambahkan dalam perspektif hukum administrasi negara, kesalahan regulasi seharusnya diselesaikan oleh pejabat yang lebih tinggi, bukan langsung oleh hakim. 

    “Sesuatu kesalahan diselesaikan oleh pejabat di atasnya, bukan oleh hakim. Itu namanya administratif berum,” kata Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI itu. 

    Adapun jika koreksi dilakukan oleh hakim, mekanisme tersebut masuk kategori administratif represif melalui judicial review. Dia mengingatkan, membiarkan aturan yang bermasalah tetap berlaku akan menciptakan preseden buruk dalam tata kelola regulasi. 

    “Kalau ini dibiarkan, itu pelanggaran. Pelanggarannya signifikan karena tidak memenuhi putusan Mahkamah Konstitusi dan melanggar dua undang-undang,” tutup Mahfud.

    Terkait Perpol, Kapolri Hormati Keputusan MK

    Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan Perpol No.10/2025 diterbitkan untuk menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal larangan anggota Polri isi jabatan sipil.

    Sebelumnya, Perpol No.10/2025 mengatur soal 17 Kementerian atau Lembaga (K/L) bisa dijabat anggota polri yang melaksanakan tugas di luar struktur organisasi polri. 

    “Jadi perpol yang dibuat oleh polri tentunya dilakukan dalam rangka menghormati dan menindaklanjuti putusan MK,” ujar Sigit di kompleks Istana Negara, Senin (15/12/2025).

    Dia menambahkan perpol No.10/2025 yang ditekennya itu telah melewati koordinasi atau konsultasi dengan kementerian maupun stakeholder terkait.

    Di samping itu, Sigit enggan bicara banyak terkait dengan pihak lain yang menilai Perpol No.10/2025 ini berkaitan dengan putusan MK. 

    “Biar saja yang bicara begitu. Yang jelas langkah yang dilakukan kepolisian sudah dikonsultasikan. Baik dengan kementerian terkait, stakeholder terkait, lembaga terkait. Sehingga baru disusun perpol,” imbuhnya. (Angela Keraf)

  • Gugatan Perdata Gibran Dinilai Terlambat, Vonis PTUN Harus Diterima

    Gugatan Perdata Gibran Dinilai Terlambat, Vonis PTUN Harus Diterima

    Gugatan Perdata Gibran Dinilai Terlambat, Vonis PTUN Harus Diterima
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Nasib gugatan perdata terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka akan diputuskan pada putusan sela, pekan depan.
    Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (15/12/2025) kemarin, mantan anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
    Ida Budhiati
    yang dihadirkan tergugat, KPU RI dan Gibran, menyatakan bahwa pengadilan negeri tak memiliki kompetensi dan berwenang mengadili perkara pemilu.
    Ida dengan tegas menyatakan, jika obyek perkara berkaitan dengan penyelenggara pemilu ataupun tahapan pemilu, maka menjadwi wewenang pengadilan tata usaha negara (PTUN) untuk memeriksa dan mengadilinya.
    “Dalam lingkup ranah hukum publik yang berupa tindakan untuk membuat peraturan keputusan, maka mekanisme pertanggungjawabannya itu sesuai dengan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan juga Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, itu menjadi otoritas atau kompetensi dari Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN),” ujar Ida dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (15/12/2025).
    Ia mengatakan, segala sesuatu yang berkaitan dengan aturan, kebijakan, dan administrasi masuk dalam obyek sengketa di PTUN, bukan PN.
    Penyelenggara Pemilu dapat digugat ke PN jika yang dipermasalahkan menyangkut pihak ketiga dan tindak kesalahan jatuh ke hukum ranah privat.
    Misal, dalam menjalankan tugas sebagai pelaksana pemilu, KPU perlu memastikan logistik berjalan dengan baik.
    Untuk menjamin logistik pemilu dilaksanakan dengan lancar, KPU diperbolehkan menjalin kerja sama dengan pihak ketiga.
    Jika dalam kerja sama ini KPU melakukan wanprestasi dan digugat oleh pihak ketiga, gugatan ini merupakan kewenangan bagi pengadilan negeri untuk mengadili.
    Ida menegaskan, sengketa Pemilu terikat dengan periode yang sangat terbatas, yaitu pada saat Pemilu masih berlangsung.
    Ia menilai, warga negara kehilangan kesempatan untuk menggugat kejanggalan dalam Pemilu jika dugaan pelanggaran itu baru ditemukan dan dilaporkan setelah Pemilu selesai.
    “Berkaitan dengan sengketa, bahwa warga negara kemudian mengetahui (ada dugaan pelanggaran) setelah pemilu berakhir misalnya, maka menurut kerangka hukum pemilu, maka kehilangan kesempatan untuk mengajukan komplain mengajukan sengketa,” kata Ida.
    Selama Pemilu berlangsung, masyarakat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan ketika menemukan kejanggalan. Keterbukaan untuk membuat laporan ini dijamin dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pemilu.
    “Warga negara itu dibuka kesempatan untuk mengajukan keberatan-keberatan atau meminta akuntabilitas dari pelaksanaan tugas pejabat administrasi negara di bidang kepemiluan,” lanjut Ida.
    Tapi, Ida menegaskan, keberatan ini harus diajukan saat Pemilu masih berlangsung dan pada tahap yang sesuai.
    Misalnya, untuk sengketa pencalonan presiden dan wakil presiden diajukan sebelum calon ini ditetapkan sebagai pasangan calon.
    Dalam sidang, Ida juga sempat ditanya mengenai adanya putusan PTUN yang sudah diketuk sebelum
    gugatan perdata
    ini dilayangkan ke PN Jakarta Pusat.
    Menurut Ida, jika ada vonis dari peradilan lain yang mendahului gugatan perdata, putusan itu harus diterima, apapun hasilnya.
    Ia menegaskan, vonis PTUN itu harus diterima dan seharusnya tidak digugat ke peradilan lain.
    “Suka tidak suka, kemudian puas atau tidak puas, maka putusan pengadilan Tata Usaha Negara itu harus diterima. Dan tidak memberikan beban kepada peradilan lain di bawah tadi ya (pembinaan) Mahkamah Agung,” imbuh Ida.
    Diketahui, sebelum menggugat Gibran dan KPU ke PN Jakpus, Subhan lebih dahulu menggugat KPU ke PTUN.
    Gugatan ini didaftarkan ke PTUN pada Selasa 12 Agustus 2025 dan kini sudah diputus dengan status dismissal atau tidak bisa diterima.
    Berdasarkan informasi yang tertera di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, Subhan hanya menggugat KPU.
    Dalam gugatan nomor 264/G/2025/PTUN.JKT, Subhan meminta agar majelis hakim TUN menyatakan KPU telah melanggar hukum sehingga penetapan
    Gibran Rakabuming Raka
    sebagai calon wakil presiden pada 13 November 2023 adalah tidak sah.
    Sehingga, status Gibran sebagai wakil presiden kini juga tidak sah.
    Atas perbuatannya, KPU juga digugat untuk mengembalikan uang senilai Rp 71,3 triliun kepada negara.
    Sejak didaftarkan pada 29 Agustus 2025, perkara nomor 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst. ini mencantumkan beberapa tuntutan terhadap Gibran dan KPU RI.
    Pertama, kedua tergugat, Gibran dan KPU, dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum karena ada beberapa syarat pendaftaran calon wakil presiden (Cawapres) yang dahulu tidak terpenuhi.
    Berdasarkan data KPU RI, Gibran sempat sekolah di Orchid Park Secondary School Singapore, tahun 2002-2004. Lalu, di UTS Insearch Sydney, tahun 2004-2007. Keduanya merupakan sekolah setingkat SMA.
    Namun, Subhan menilai, dua institusi ini tidak sesuai dengan persyaratan yang ada di undang-undang dan dianggap tidak sah sebagai pendidik setingkat SLTA.
    Atas hal ini, Subhan selaku penggugat meminta agar majelis hakim yang mengadili perkara ini untuk menyatakan Gibran dan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum.
    Subhan juga meminta agar majelis hakim menyatakan status Gibran saat ini sebagai Wapres tidak sah.
    Gibran dan KPU juga dituntut untuk membayar uang ganti rugi senilai Rp 125 triliun kepada negara.
    “Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta dan disetorkan ke kas negara,” bunyi petitum.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 1
                    
                        Ida Budhiati soal Riwayat Pendidikan Gibran: Vonis PTUN Harus Diterima
                        Nasional

    1 Ida Budhiati soal Riwayat Pendidikan Gibran: Vonis PTUN Harus Diterima Nasional

    Ida Budhiati soal Riwayat Pendidikan Gibran: Vonis PTUN Harus Diterima
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Bhayangkara, Ida Budhiati, menilai bahwa jika Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sudah menjatuhkan vonis untuk sebuah sengketa, objek permasalahannya seharusnya tidak digugat lagi ke pengadilan negeri.
    Hal ini disampaikan Ida ketika dihadirkan sebagai ahli dari kubu Wakil Presiden
    Gibran Rakabuming Raka
    dan
    KPU RI
    dalam sidang lanjutan gugatan perdata terhadap riwayat pendidikan SMA Gibran.
    “Suka tidak suka, kemudian puas atau tidak puas, maka putusan
    Pengadilan Tata Usaha Negara
    itu harus diterima. Dan tidak memberikan beban kepada peradilan lain di bawah tadi ya (pembinaan) Mahkamah Agung,” ujar Ida dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (15/12/2025).
    Ida mengatakan, sengketa terkait dengan lembaga penyelenggara negara, termasuk KPU, menjadi objek wewenang PTUN untuk memeriksa dan mengadili.
    “Menurut saya, sesuai dengan konstruksi hukum yang berlaku di Indonesia, ya sarananya, kanalnya untuk meminta akuntabilitas dari KPU sebagai pejabat administrasi negara itu melalui Peradilan Tata Usaha Negara,” imbuh Ida, mantan komisioner KPU ini.
    Ida menilai, meski Gibran digugat dalam kapabilitas sebagai warga negara, gugatan perdata ini tetap menjadi kewenangan PTUN untuk mengadili karena tidak terlepas dari penyelenggaraan Pemilu yang menjadi obyek PTUN.
    Sejak didaftarkan pada 29 Agustus 2025, perkara nomor 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst ini mencantumkan beberapa tuntutan terhadap Gibran dan KPU RI.
    Pertama, kedua tergugat, Gibran dan KPU, dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum karena ada beberapa syarat pendaftaran calon wakil presiden (Cawapres) yang dahulu tidak terpenuhi.
    Berdasarkan data KPU RI, Gibran sempat sekolah di Orchid Park Secondary School Singapore, tahun 2002-2004.
    Lalu, di UTS Insearch Sydney, tahun 2004-2007. Keduanya merupakan sekolah setingkat SMA.
    Namun, Subhan menilai, dua institusi ini tidak sesuai dengan persyaratan yang ada di undang-undang dan dianggap tidak sah sebagai pendidik setingkat SLTA.
    Atas hal ini, Subhan selaku penggugat meminta agar majelis hakim yang mengadili perkara ini menyatakan bahwa Gibran dan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum.
    Subhan juga meminta agar majelis hakim menyatakan status Gibran saat ini sebagai Wapres tidak sah.
    Gibran dan KPU juga dituntut untuk membayar uang ganti rugi senilai Rp 125 triliun kepada negara.
    “Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta dan disetorkan ke kas negara,” bunyi petitum.
    Seusai persidangan,
    Kompas.com
    bertanya ke
    Ida Budhiati
    perihal perkara di PTUN yang dia maksud saat dia berbicara di persidangan.
    Ida Budhiati menjelaskan, perkara di PTUN yang dia maksud adalah perkara gugatan Subhan Palal terhadap KPU pada 12 Agustus 2025, dengan nomor
    264/G/2025/PTUN.JKT
    .
    Keterangan:
    Judul berita ini telah mengalami perubahan pada Minggu (15/12/2025) pukul 23.27 WIB, setelah Kompas.com meminta dan mendapatkan penjelasan lebih lanjut dari narasumber di berita ini, Ida Budhiati. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 1
                    
                        Ida Budhiati soal Riwayat Pendidikan Gibran: Vonis PTUN Harus Diterima
                        Nasional

    Ahli Nilai Gugatan terhadap Gibran Terlambat, Pemilu Sudah Selesai

    Ahli Nilai Gugatan terhadap Gibran Terlambat, Pemilu Sudah Selesai
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Bhayangkara, Ida Budhiati menilai, seorang warga negara kehilangan kesempatan untuk menggugat dugaan pelanggaran dalam Pemilihan Umum (Pemilu) jika proses Pemilu sudah selesai dilaksanakan.
    Hal ini disampaikan Ida ketika dihadirkan sebagai ahli dari kubu Wakil Presiden
    Gibran Rakabuming Raka
    dan KPU RI dalam sidang lanjutan
    gugatan perdata
    terhadap riwayat pendidikan SMA Gibran.
    “Berkaitan dengan sengketa, bahwa warga negara kemudian mengetahui (ada dugaan pelanggaran) setelah pemilu berakhir, maka menurut kerangka hukum pemilu, kehilangan kesempatan untuk mengajukan komplain mengajukan sengketa,” ujar Ida, dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (15/12/2025).
    Ida mengatakan, masyarakat telah diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan ketika menemukan adanya kejanggalan saat proses Pemilu masih berlangsung.
    Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pemilu.
    “Warga negara itu dibuka kesempatan untuk mengajukan keberatan-keberatan atau meminta akuntabilitas dari pelaksanaan tugas pejabat administrasi negara di bidang kepemiluan,” ujar Ida.
    Namun, keberatan ini harus diajukan saat Pemilu masih berlangsung dan pada tahap yang sesuai.
    Misalnya, untuk sengketa pencalonan presiden dan wakil presiden, diajukan sebelum calon ini ditetapkan sebagai pasangan calon.
    Ida mengatakan, batas waktu ini juga harus ditaati oleh warga negara yang hendak mengajukan keberatan.
    “Dan warga negara itu harus mematuhi kapan waktunya yang disediakan UU,” imbuh dia.
    Selain itu, Ida menilai, obyek gugatan perdata ini masuk ke ranah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
    Sebab, yang digugat adalah dugaan pelanggaran yang dilaksanakan oleh KPU selaku penyelenggara negara.
    Ida menilai, meski Gibran digugat dalam kapabilitas sebagai warga negara, gugatan perdata ini tetap menjadi kewenangan PTUN untuk mengadili karena tidak terlepas dari penyelenggaraan Pemilu yang menjadi obyek PTUN.
    Sejak didaftarkan pada 29 Agustus 2025, perkara nomor 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst. ini mencantumkan beberapa tuntutan terhadap Gibran dan KPU RI.
    Pertama, kedua tergugat, Gibran dan KPU, dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum karena ada beberapa syarat pendaftaran calon wakil presiden (cawapres) yang dahulu tidak terpenuhi.
    Berdasarkan data KPU RI, Gibran sempat sekolah di Orchid Park Secondary School Singapore, tahun 2002-2004, lalu di UTS Insearch Sydney, tahun 2004-2007.
    Keduanya merupakan sekolah setingkat SMA.
    Namun, Subhan menilai, dua institusi ini tidak sesuai dengan persyaratan yang ada di undang-undang dan dianggap tidak sah sebagai pendidik setingkat SLTA.
    Atas hal ini, Subhan selaku penggugat meminta agar majelis hakim yang mengadili perkara ini menyatakan Gibran dan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum.
    Subhan juga meminta agar majelis hakim menyatakan status Gibran saat ini sebagai Wapres tidak sah.
    Gibran dan KPU juga dituntut untuk membayar uang ganti rugi senilai Rp 125 triliun kepada negara.
    “Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta dan disetorkan ke kas negara,” bunyi petitum.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Soal Status Suhartoyo sebagai Ketua MK, MKMK: Tidak Ditemukan Pelanggaran

    Soal Status Suhartoyo sebagai Ketua MK, MKMK: Tidak Ditemukan Pelanggaran

    Soal Status Suhartoyo sebagai Ketua MK, MKMK: Tidak Ditemukan Pelanggaran
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tidak menemukan adanya pelanggaran terhadap status Suhartoyo sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
    Status tersebut dijelaskan
    MKMK
    untuk menjawab isu miring yang mempertanyakan keabsahan posisi
    Ketua MK
    yang diemban
    Suhartoyo
    .
    “Majelis Kehormatan mencermati secara saksama pemberitaan dimaksud hingga saat ini. Namun, tidak ditemukan adanya pelanggaran terhadap Sapta Karsa Hutama yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Dr. Suhartoyo, S.H., M.H.,” kata Ketua MKMK
    I Dewa Gede Palguna
    dalam konferensi pers, Kamis (11/12/2025).
    MKMK sendiri memang tidak menerima laporan terkait keabsahan Suhartoyo sebagai Ketua
    MK
    .
    Namun, isu mengenai statusnya tetap bergulir di media sosial melalui berbagai narasi yang mempertanyakan legalitas penunjukannya.
    Dalam hasil investigasinya, MKMK menemukan bahwa kabar miring tentang Suhartoyo bersumber dari penafsiran yang keliru terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor 604/G/2023/PTUNJKT.
    Putusan tersebut dikabulkan pada 13 Agustus 2023 setelah diajukan oleh
    Anwar Usman
    , hakim konstitusi yang sebelumnya diberhentikan dari jabatan Ketua MK.
    Anwar menggugat keabsahan penunjukan Suhartoyo dan meminta agar keputusan tersebut dibatalkan.
    “Dalam kaitan ini, Majelis Kehormatan menilai, terdapat upaya yang dilakukan secara sengaja untuk menyesatkan alur penalaran yang tertuang dalam amar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara nomor 604/G/2023/PTUNJKT,” ujar Palguna.
    Isu yang tersebar di media sosial hanya menyoroti bagian amar putusan yang berbunyi, “
    Menyatakan batal Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 17 Tahun 2023, tanggal 9 November 2023 tentang Pengangkatan Dr. Suhartoyo, SH, MH sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023-2028
    .”
    Padahal, amar putusan tidak berhenti pada pembatalan keputusan tersebut. PTUN juga menolak permohonan Anwar Usman yang meminta dirinya kembali diangkat sebagai Ketua MK.
    Dalam pertimbangan hukumnya, PTUN menilai Suhartoyo telah menindaklanjuti persoalan tersebut dengan menerbitkan Surat Keputusan MK Nomor 8 Tahun 2024.
    SK tersebut memuat secara lengkap pemberhentian Anwar Usman sebagai Ketua MK hingga proses penunjukan pimpinan yang baru.
    Palguna menambahkan bahwa pemilihan Ketua MK dilakukan melalui rapat pleno yang dihadiri seluruh hakim konstitusi.
    “Sehingga, tidak benar opini yang menyatakan bahwa melalui keputusan tersebut Dr. Suhartoyo, SH, MH mengangkat dirinya sendiri serta pada saat yang sama tidak terdapat alasan untuk secara hukum meragukan keabsahan Dr. Suhartoyo, SH, MH sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi masa jabatan 2023-2028,” jelas Palguna.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • AMDAL PLTSa Benowo Ditolak PTUN, DPRD Surabaya Minta Pemkot Segera Buka Dokumen ke Publik

    AMDAL PLTSa Benowo Ditolak PTUN, DPRD Surabaya Minta Pemkot Segera Buka Dokumen ke Publik

    Surabaya (beritajatim.com) – Anggota DPRD Surabaya, Imam Syafi’i, meminta Pemerintah Kota Surabaya segera membuka dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Benowo kepada publik. Desakan ini muncul setelah gugatan Pemkot Surabaya terhadap Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur ditolak Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya.

    “Dokumen AMDAL ini sesungguhnya tidak perlu menunggu gugatan Pemkot dikalahkan dulu, karena sejak awal bukan kategori dokumen yang dirahasiakan,” kata Imam Syafi’i di DPRD Surabaya, Rabu (10/12/2025).

    Dia menilai, sebelum perkara ini masuk ke PTUN, Pemkot Surabaya sudah seharusnya membuka dokumen AMDAL tersebut. Putusan Komisi Informasi Publik sebelumnya juga menyatakan Pemkot kalah dalam sengketa keterbukaan informasi.

    “Ketika di Komisi Informasi Publik kemarin Pemkot kalah, sebetulnya di situ saja sudah bisa langsung dibuka, atau bahkan sebelum itu,” ujar legislator NasDem itu.

    Menurut Imam, keterbukaan dokumen AMDAL sangat penting karena menyangkut dampak lingkungan yang dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar lokasi PLTSa. Dokumen tersebut juga menjadi bagian dari kontrol publik dan lembaga lingkungan seperti Walhi.

    “Untuk kepentingan publik, apalagi soal dampak lingkungan, warga sekitar harus tahu. Itu bagian dari kontrol masyarakat dan Walhi,” ucapnya.

    Imam juga menyampaikan bahwa setelah adanya putusan PTUN, tidak ada lagi alasan bagi Pemkot untuk menunda keterbukaan dokumen. Putusan hukum tersebut harus segera dijalankan sebagaimana mestinya.

    “Apalagi sekarang sudah ada putusan, Pemkot kalah. Menurut saya harus segera dilaksanakan dan dokumen AMDAL dibuka,” katanya.

    Lebih jauh, dia mengungkapkan pengalamannya saat meminta sejumlah dokumen terkait kerja sama PLTSa Benowo yang juga tidak diberikan secara utuh. Hal tersebut terjadi ketika dia masih bertugas di Komisi A DPRD Surabaya.

    “Dulu kami meminta seluruh perjanjian terkait kerja sama itu, tapi tidak diberikan oleh dinas aset dan bagian hukum. Ini yang membuat tanda tanya besar,” ujar Imam.

    Dia juga menyebut adanya informasi soal sejumlah adendum kontrak dengan PT SO yang dinilai janggal. Saat perusahaan disebut wanprestasi, sanksi tidak dijatuhkan, melainkan justru muncul adendum-adendum baru.

    “Kami dengar ketika PT SO wanprestasi, tidak ada penalti, tapi malah adendum-adendum. Ini perlu dibuka supaya terang,” ungkapnya.

    Selain itu, Imam menyinggung persoalan buffer zone di sekitar lokasi PLTSa yang terdampak pengelolaan sampah dan pencemaran lindi. Tanggung jawab atas dampak tersebut seharusnya berada pada pihak pengelola.

    “Zona penyangga akibat pengelolaan sampah itu harusnya menjadi tanggung jawab PT SO, tapi yang terjadi malah Pemkot membeli lahan dengan APBD,” katanya.

    Atas kondisi tersebut, Imam menegaskan dukungan DPRD terhadap upaya Walhi membuka seluruh dokumen terkait PLTSa Benowo. Dia meminta semua dokumen yang berpotensi merugikan kepentingan publik dibuka secara transparan.

    “Kami mendukung Walhi untuk membuka semuanya. Setelah AMDAL, kalau ada dokumen lain yang berpotensi merugikan publik, menurut saya itu juga harus dibuka,” pungkasnya. [asg/kun]

  • Gugat Imigrasi, Dua WN Amerika Menang di PTUN Mataram

    Gugat Imigrasi, Dua WN Amerika Menang di PTUN Mataram

    Liputan6.com, Jakarta – Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Mataram membatalkan surat deportasi dua warga negara Amerika Serikat, Jhon Edwin Burris dan Amanda Kay Harger. Keduanya sebelumnya menggugat Kantor Imigrasi Kelas I TPI Mataram karena merasa diperlakukan tidak adil yang berujung deportasi dan pencekalan.

    Majelis hakim yang dipimpin Joko Agus Sugiarto, dengan anggota M. Adiguna Bimasakti dan Puan Adria Ikhsan, mengabulkan seluruh gugatan Jhon dan Amanda dan menyatakan surat keputusan deportasi tersebut batal serta wajib dicabut.

    “Menyatakan Batal Surat Kepala Kantor Imigrasi kelas 1 TPI Mataram tentang tindakan administratif keimigrasian Deportasi dari Wilayah Indonesia atas nama John Edwin Burris CS,” kata Joko Agus, beberapa waktu lalu.

    Kuasa hukum Jhon dan Amanda, Riki Riyadi, menyambut positif putusan itu. Ia menilai majelis hakim telah menilai bukti secara objektif dan profesional.

    Menurut Riki, tindakan Imigrasi terhadap kliennya dinilai semena-mena karena tidak didukung bukti pelanggaran keimigrasian. Ia menegaskan kedua kliennya datang ke Indonesia untuk berinvestasi dan telah memiliki izin tinggal yang sah.

    “Klien saya datang untuk berinvestasi. Surat izin tinggal yang dimiliki sudah ada. Tidak ada persoalan dengan izin tinggalnya,” ujar Riki, Rabu (3/12/2025).

    Riky mengatakan, awalnya pihak Imigrasi datang ke Hotel Areguling Beach Club di kawasan Kuta, Mandalika dan menahan paspor kliennya lantaran ada ulasan dari salah satu pengunjung yang mengucapkan terima kasih kepada kedua kliennya.

    “Ulasan tersebut dijadikan alasan oleh Imigrasi untuk menahan paspor dan menggap kedua kliennya telah melakukan tindak pidana administrasi. Ini konyol sekali,” kata Riky.

    Pada saat proses pembuktian, Imigrasi tidak menjalankan proses pemeriksaan yang detail. Tiba-tiba dilakukan proses pendeportasian terhadap kliennya. Padahal Kliennya adalah pemegang visa bisnis dan sedang melakukan prainvestasi.

    Yang mana, kata dia, syarat prainvestasi itu harus melalui perusahan. Dan mereka di sini sedang mengurus. Tetapi tiba tiba Imigrasi menangkap dan mendeportasi sekaligus mencekal kliennya.

    Karena itu, Riki kemudian membawanya ke jalur PTUN untuk melakukan pembuktian. Hasilnya PTUN mengabulkan gugatan WNA tersebut.

    “Bersyukur PTUN kabulkan gugatan kami dan membatalkan deportasi itu,” kata Riky Riyadi.

    Riki juga mengkritik proses pemeriksaan oleh Imigrasi yang dinilai tidak mendalam sebelum menjatuhkan tindakan administratif berupa deportasi.

    “Kalau memang ada pelanggaran dan terbukti, silakan diproses sesuai hukum, bukan diperlakukan sewenang-wenang,” imbuh Riky Riyadi.

    Sementara itu kepala kantor imugrasi Mataram Mirza mengatakan bahwa Imigrasi Mataram mengajukan banding terkait putusan PTUN tersebut.

    “Kami belum kalah. Kami masih berjuang (banding),” kata Mirza saat dihubungi wartawan.

  • Buntut Mutasi Kasek SMKN 1, LKBH PGRI Ponorogo Somasi Gubernur Jatim

    Buntut Mutasi Kasek SMKN 1, LKBH PGRI Ponorogo Somasi Gubernur Jatim

    Ponorogo (beritajatim.com) – Mutasi yang dilakukan kepada kepala sekolah SMK Negeri 1 Ponorogo ternyata berbuntut panjang.

    Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) PGRI Kabupaten Ponorogo resmi melayangkan somasi kepada Gubernur Jawa Timur (Jatim), Khofifah Indar Parawansa.

    Ya, somasi tertanggal 2 Desember 2025 itu, menyoroti kebijakan mutasi Kepala SMK Negeri 1 Ponorogo atas nama Katenan, yang dianggap menyalahi aturan penugasan kepala sekolah.

    Somasi tersebut ditandatangani Ketua LKBH PGRI Ponorogo Tohari, dan dikirimkan langsung ke kantor Gubernur Jawa Timur di Surabaya. Dalam surat itu, LKBH PGRI menegaskan posisi organisasi sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki perhatian terhadap kebijakan pendidikan, khususnya dalam hal tata kelola mutasi guru ASN.

    Dalam uraian somasi, LKBH menjelaskan bahwa Katenan mulai menjabat sebagai Kepala SMK Negeri 1 Ponorogo sejak 15 Mei 2025 berdasarkan petikan keputusan Gubernur Jawa Timur. Namun pada 21 November 2025, yang bersangkutan kembali ditugaskan sebagai Kepala SMA Negeri 1 Tegalombo, Pacitan.

    “Perpindahan inilah yang menjadi sorotan kami, karena masa tugasnya di Ponorogo (SMKN 1 Ponorogo-red) baru berjalan kurang dari 6 bulan,” kata Thohari, Rabu (3/12/2025).

    LKBH menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan Permendikdasmen Nomor 7 Tahun 2025 tentang Pengangkatan Guru sebagai Kepala Sekolah, khususnya mengenai masa minimal penugasan kepala sekolah pada satu satuan administrasi pangkalan.

    LKBH PGRI menilai, kata Thohari mutasi tersebut perlu ditinjau ulang, bahkan dibatalkan, karena dianggap tidak sesuai ketentuan yang telah diatur Pemerintah Pusat. Mereka juga menyebut bahwa keputusan gubernur mengenai pengangkatan Katenan sebagai Kepala SMA Negeri 1 Tegalombo, harus segera diperbaiki agar tidak menimbulkan persoalan administratif di kemudian hari.

    “Dalam Permendikdasmen RI Nomor 7 Tahun 2025 itu, pada Bab IV pasal 23 poin 3 menyatakan bahwa : Penugasan Guru ASN sebagai kepala sekolah, sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dapat dipindahkan pada satuan administrasu pangkal lain, setelah bertugas paling singkat 2 tahun, pada satuan administrasi pangkalnya,” jelas Thohari.

    Dalam somasi tersebut, LKBH memberikan batas waktu 7 hari kalender sejak surat dikirim. Jika tidak ada penyelesaian, LKBH mengancam akan melakukan show of force atau aksi unjuk rasa sebagai bentuk protes. Langkah hukum melalui gugatan ke PTUN juga disiapkan apabila tuntutan mereka tidak dipenuhi.

    “Jika somasi ini tidak diindahkan atau tidak ada penyelesaian dalam masa 7 hari kalender dari tanggal somasi ini, maka kami akan melakukan show of force atau unjuk rasa. Dan jika masih belum ada penyelesaian, maka kami akan menempuh langkah hukum berupa pengajuan gugatan ke PTUN,” pungkas Thohari.

    Surat somasi ini ditembuskan kepada beberapa institusi terkait, mulai dari Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Ponorogo, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, Kementerian Pendidikan, hingga Ketua Umum PGRI Jawa Timur.

    Melalui somasi itu, LKBH menutup dengan penegasan bahwa proses ini ditempuh demi memastikan kebijakan pendidikan berjalan sesuai ketentuan dan tidak merugikan pihak manapun, terutama para tenaga pendidik yang menjalankan tugas administratif sesuai aturan.(end/ted)

  • Sidang Sengketa Tanah Pasar Asem Payung Surabaya, Hakim Pemeriksaan TKP

    Sidang Sengketa Tanah Pasar Asem Payung Surabaya, Hakim Pemeriksaan TKP

    Surabaya (beritajatim.com) — Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya menggelar pemeriksaan setempat (PS) dalam perkara 106/G/2025/PTUN.SBY yang berlangsung di kawasan Pasar Asem Payung, Jalan Gebang Lor 42, Kelurahan Gebang Putih, Kecamatan Sukolilo.

    Sidang lapangan ini untuk menguji kebenaran objek sengketa berupa tanah seluas 1.720 M² yang saat ini tercatat sebagai aset Pemerintah Kota Surabaya melalui Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 00011/ Gebang Putih, terbit 16 Agustus 2023.

    Para penggugat, Chafsah, Fachtul Adim, Fadillah Sahhilun, Asni Furoidah, dan Muchlisul Azmi meminta majelis hakim menyatakan SHP tersebut batal atau tidak sah, sekaligus mewajibkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surabaya II untuk mencabutnya. Mereka mengklaim memiliki dasar kepemilikan sah berdasarkan jual beli tanah tahun 1975.

    Ketua majelis hakim, Yusuf Ngongi, menegaskan bahwa agenda PS bertujuan memastikan kesesuaian lokasi sengketa dengan dalil-dalil para pihak, bukan forum adu argumentasi.

    “Kita datang untuk memastikan kebenaran objek sengketa. Jika ada perbedaan dalil, disampaikan saja pada persidangan atau dituangkan dalam kesimpulan,” tegas Yusuf.

    Dalam sidang PS, majelis hakim banyak mengajukan pertanyaan terkait batas-batas tanah, riwayat penguasaan, hingga konsistensi alat bukti yang diajukan para pihak.

    Para Penggugat menunjukkan batas tanah yang mereka klaim, lengkap dengan riwayat penggunaan lahan sejak 1975. Mereka menjelaskan bahwa, tanah tersebut awalnya merupakan sawah, lalu diuruk pada 2006–2007. Pagar dibangun tahun 2007, paving tahun 2008. Lokasi kemudian digunakan warga sebagai tempat berdagang dengan sistem sewa dan PBB atas tanah tersebut, menurut mereka, dibayarkan hingga tahun 2017.

    Kuasa hukum penggugat, Muhammad Suud, menegaskan bahwa penguasaan fisik selalu berada pada pihak kliennya.

    “Sampai sekarang yang menguasai lahan ini adalah pihak penggugat. Bahkan bangunan-bangunan pedagang di sana berdiri atas swadaya dan izin sewa dari klien kami,” ujarnya.

    Suud juga menyoroti ketidaksesuaian antara gambar batas yang diajukan Pemkot Surabaya dengan kondisi lapangan maupun bukti-bukti lama di buku desa.

    Sedangkan Pemerintah Kota Surabaya sebagai Tergugat II Intervensi menyatakan bahwa penerbitan SHP tahun 2023 dilakukan berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dan eksekusi terhadap perkara sebelumnya. Mereka menyebut tanah tersebut sudah tercatat sebagai aset Pemkot dalam buku desa sebelum sertifikat diterbitkan.

    Namun, ketika diminta hakim menunjukkan batas-batas objek dan dasar yuridis lain, terdapat sejumlah ketidaksesuaian yang dipertanyakan Penggugat.

    Majelis hakim juga menyoroti BPN Surabaya II yang hadir dalam sidang PS namun tidak membawa alat ukur, sehingga tidak dapat mengambil titik koordinat di lapangan.

    “Ambil titik koordinat, lakukan  plotting dengan GPS, dan bawa narasinya pada persidangan berikut,” tegas hakim Yusuf.

    Sikap ini dipandang Penggugat sebagai kelemahan signifikan, mengingat BPN sebelumnya belum menyerahkan bukti surat yang menjadi dasar terbitnya SHP.

    Pihak penggugat juga menilai proses terbitnya SHP 00011/2023 tidak mengikuti PP 18/2021 dan prosedur pengukuran tanah yang berlaku.

    Penggugat menyoroti, tidak ada pengumuman hasil ukur sebagaimana aturan. Proses ukur 4 Agustus 2023, tetapi sertifikat sudah terbit 12 hari kemudian. Terdapat perbedaan luas. Klaim awal Pemkot sekitar 1.500 M², namun SHP tercatat 1.720 M² dan Penguasaan fisik masih berada di tangan penggugat, sehingga tak memenuhi syarat penerbitan hak pakai.

    “Ini cacat prosedur. Terlalu cepat, tidak transparan, dan terindikasi manipulasi data,” tegas Suud.

    Dalam sidang PS, muncul dugaan ketidaksesuaian antara data desa, persil, dan gambar kerawangan desa. Lurah Gebang Putih sebelumnya menyatakan persil 41 S kelas 1 yang menjadi rujukan Penggugat tidak ada dalam buku desa, namun justru tercatat di persil 40.

    Hakim meminta agar dokumen-dokumen lama buku desa dibawa pada sidang berikut untuk melacak jejak riwayat kepemilikan.

    Majelis hakim menjadwalkan sidang berikut untuk pembuktian lanjutan, termasuk kewajiban Tergugat dan Tergugat II Intervensi membawa data yuridis batas tanah, titik koordinat hasil ukur, buku desa dan kerawangan desa lama, bukti pembayaran pajak dan fasar penguasaan fisik sebelum penerbitan SHP.  [uci/ted]

  • Gugatan Warga Pulau Pari Ditolak PTUN meski Sertifikat Dinilai Cacat Administrasi
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        29 November 2025

    Gugatan Warga Pulau Pari Ditolak PTUN meski Sertifikat Dinilai Cacat Administrasi Megapolitan 29 November 2025

    Gugatan Warga Pulau Pari Ditolak PTUN meski Sertifikat Dinilai Cacat Administrasi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Bobby, warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, mengungkapkan masyarakat setempat pernah mengajukan gugatan terhadap penerbitan sertifikat lahan. Namun, gugatan yang diajukan ke PTUN Jakarta Timur itu akhirnya ditolak.
    “Dan baru kemarin, kalau nggak salah, putusan kami untuk PTUN. Ya, kami waktu itu berharap bahwa dengan kami menggugat ke PTUN di Jakarta Timur itu, kami mendapatkan, dikabulkan atau dimenangkan,” kata Bobby dalam sesi diskusi publik Peringatan Hari HAM di LBH Jakarta, Sabtu.
    “Ternyata kami kalah. Enggak tahu sebabnya apa, karena kalah gitu kan,” sambung dia.
    Bobby menjelaskan, langkah hukum tersebut diambil karena warga menduga penerbitan sertifikat
    hak milik
    (SHM) yang berada di
    Pulau Pari
    cacat administrasi.
    Temuan serupa sebelumnya juga disampaikan Ombudsman Jakarta setelah melakukan investigasi selama dua tahun.
    “Bahwa terbitnya SHM atau SGB di Pulau Pari, yang dimiliki oleh perusahaan itu, malaadministrasi cacat hukum,” ujar Bobby.
    Ia menyebut, warga telah menyerahkan bukti-bukti selama proses persidangan. Karena itu, penolakan gugatan membuat masyarakat Pulau Pari semakin khawatir terhadap masa depan ruang hidup mereka.
    Menurut dia, aktivitas yang dulu bebas dilakukan, seperti menepi ke pulau kosong, kini tidak lagi bisa dilakukan.
    “Sekarang pun enggak bisa lagi. Dan ruang-ruang gerak itu sudah dibatasi oleh mereka,” kata dia.
    Ia menambahkan, kondisi itu berdampak langsung pada penghasilan para nelayan di Pulau Pari. Hasil tangkapan disebut turun drastis dalam beberapa tahun terakhir.
    “Yang tadinya hasil tangkapan kami, misalkan 100.000, bisa dikatakan cuma 30.000, artinya mengurang,” ujar Bobby.
    Selain persoalan gugatan yang ditolak, Bobby juga mengaku pernah mengalami kriminalisasi saat memperjuangkan hak warga. Ia pernah ditahan selama 19 hari akibat penolakannya terhadap dugaan perampasan lahan dan laut di Pulau Pari.
    “Bahkan saya sendiri, orang yang sudah pernah ditahan di Polres Jakarta Utara selama 19 hari,” kata dia.
    Sebelumnya, Bobby, warga Pulau Pari di Kepulauan Seribu, menyampaikan bahwa masyarakat di pulau tersebut telah mengalami dugaan perampasan ruang hidup selama puluhan tahun.
    “Bukan cuma di daratannya, di Jakarta lah khususnya gitu kan. Tapi saya, kami di Pulau Seribu pun sama mengalami hal yang sama,” kata Bobby dalam sesi diskusi, Sabtu (29/11/2025).
    Warga yang sudah menetap selama delapan generasi itu sejak lama memiliki girik dan membayar ipeda sebagai bukti administrasi lahan. Namun pada awal 1990-an, dokumen tersebut ditarik oleh pemerintah dengan janji akan diganti sertifikat hak milik.
    Sertifikat yang dijanjikan tak pernah diberikan, sementara kemudian diketahui justru berpindah ke pihak lain dan menjadi dasar legalitas perusahaan.
    “Di tahun 90-an, kalau enggak salah, 1992, itu ditarik oleh pemerintahan yang katanya bakal diganti dengan SHM,” kata dia.
    Warga melakukan perlawanan dan mengadukan kasus tersebut ke berbagai lembaga, termasuk Ombudsman Jakarta, yang kemudian menemukan adanya dugaan malaadministrasi dalam penerbitan sertifikat lahan.
    “Bahwa terbitnya SHM di Pulau Pari, yang dimiliki oleh perusahaan itu, malaadministrasi cacat hukum,” kata Bobby.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.