Represif Polisi: Menyita Buku Membungkam Pikiran
Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
SEJAK
Agustus hingga awal September 2025, gelombang protes di sejumlah kota merefleksikan ketidakpuasan rakyat atas ketidakadilan, kemiskinan, pelanggaran HAM, dan berbagai kegagalan birokrasi.
Namun, reaksi aparat keamanan terhadap protes itu, terutama penyitaan buku sebagai barang bukti, membuka bab baru dalam hubungan negara–masyarakat. Negara ternyata lebih takut terhadap ide daripada menangani masalah substantif.
Dalam laporan
Kompas.com
(17/09/2025), Polda Jabar memublikasikan sejumlah buku yang merupakan barang bukti kericuhan aksi demonstrasi di Bandung dalam konferensi pers di Mapolda Jabar, Selasa (16/9/2025).
Beberapa buku yang menjadi barang bukti ini disebut memuat tentang teori anarkisme yang diduga menjadi referensi literasi kelompok pendemo anarkistis di Gedung DPRD Jawa Barat beberapa waktu lalu.
Dalam siaran persnya, tertulis beberapa buku dengan judul
Menuju Estetika Anarkis, Why I Am Anarchist, Sastra dan Anarkisme
, dan banyak buku lainnya.
“Bisa dilihat (buku) ajakan desersi juga ada, dan buku lainnya, tetapi ini semua narasinya setingkat anarkisme,” kata Kapolda Jabar Irjen Pol Rudi Setiawan saat memperlihatkan barang buktinya (
Kompas.com
, 17/09/2025).
Sementara itu, dalam kasus Delpedro Marhaen, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation,
Kompas.com
(07/09/2025) melaporkan bahwa polisi menggeledah kantor Lokataru di Pulo Gadung, Jakarta Timur, pada 4 September 2025, dan menyita buku, spanduk, publikasi penelitian, dan laptop sebagai bagian dari barang bukti.
Delpedro telah ditetapkan tersangka atas dugaan “penghasutan terhadap pelajar terkait demonstrasi dan perusakan” dalam rentang 25–31 Agustus 2025.
Kasus penyitaan buku ini bukan hanya persoalan teknis penegakan hukum. Ia adalah gambaran kegagalan aparat negara dalam memahami esensi kebebasan berpikir dan bersuara, sekaligus cerminan ketakutan yang dalam terhadap ideologi alternatif.
Paling menyedihkan, aparat yang mestinya menjadi penjaga hukum justru terjebak dalam sikap represif yang kontraproduktif, menyalahi prinsip hukum pidana, dan mengabaikan akar persoalan bangsa.
Polisi menyita buku-buku yang dianggap memuat paham anarkisme dengan alasan buku tersebut menjadi “referensi” atau bahkan “alat” yang memotivasi para tersangka melakukan aksi anarkis.
Padahal, paham anarkisme seringkali disalahpahami secara mendasar oleh aparat keamanan.
Anarkisme bukan sekadar kekacauan atau ajakan pada kekerasan, melainkan filsafat politik yang menolak dominasi otoriter dan mengedepankan kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas tanpa hierarki yang represif.
Para pemikir anarkis seperti Peter Kropotkin, Emma Goldman, dan Mikhail Bakunin adalah contoh tokoh yang mengusung gagasan tentang kerja sama sosial dan perlawanan terhadap penindasan struktural.
Lebih dari itu, nilai-nilai anarkisme justru sangat dekat dengan budaya kolektif masyarakat Indonesia, seperti gotong royong, musyawarah dalam pengambilan keputusan, dan sistem pengelolaan bersama tanah ulayat.
Jadi, alih-alih “ideologi asing yang berbahaya”, anarkisme dalam konteks Indonesia bisa dilihat sebagai bagian dari warisan budaya dan cara masyarakat mengorganisasi diri secara egaliter dan mandiri.
Namun, aparat tampaknya abai dengan hal ini. Penyitaan buku seolah menjadi bentuk kriminalisasi terhadap pemikiran kritis yang menolak ketidakadilan.
Padahal, membaca buku, bahkan yang berisi kritik keras terhadap negara adalah hak setiap warga negara yang dilindungi oleh konstitusi.
Menurut KUHAP, penyitaan barang bukti harus didasarkan pada keterkaitan langsung dengan tindak pidana yang sedang disidik.
Buku, sebagai benda fisik dan sumber gagasan, hanya dapat disita apabila isi atau keberadaannya secara nyata digunakan untuk melakukan kejahatan, bukan sekadar karena ideologi yang diusungnya.
Ketika polisi menyita buku semacam karya sastra, zine kritis, atau buku tentang anarkisme sebagai alat bukti, mereka mencampuradukkan antara tindakan kriminal dengan pikiran dan gagasan.
Ini jelas berpotensi melanggar hak asasi manusia, khususnya kebebasan berekspresi dan kebebasan memperoleh informasi yang dilindungi oleh Undang-Undang HAM dan Pasal 28E UUD 1945.
Penyitaan buku juga mengirimkan pesan buruk bahwa ide dan pemikiran alternatif bisa dijadikan alasan untuk menekan warga negara, membungkam kritik, dan menghapus ruang wacana demokratis.
Ini merusak iklim kebebasan intelektual yang menjadi fondasi penting bagi kemajuan suatu bangsa.
Ketika aparat menangkap pelaku perusakan dalam aksi massa, yang seharusnya menjadi fokus adalah alat bukti yang terkait langsung dengan tindakan kriminal tersebut.
Batu yang dilempar, bahan yang digunakan untuk membakar, rekaman video, saksi mata, semua itu adalah alat bukti yang valid dan konkret.
Menyita buku yang dibawa atau dimiliki demonstran justru menunjukkan ketidaktepatan aparat dalam memahami hukum dan proses penyidikan.
Membaca buku, bagaimanapun isinya tidak sama dengan melakukan perbuatan kriminal. Tidak ada logika hukum yang menghubungkan memiliki buku dengan niat atau tindakan merusak.
Dengan menyita buku, aparat justru menyerang identitas intelektual para demonstran, bukan membuktikan keterlibatan mereka dalam perusakan.
Ini membingungkan antara tindakan kriminal dan kebebasan berpikir, sehingga berpotensi menjadi alat kriminalisasi bagi aktivis dan pembela hak asasi.
Lebih parah lagi, aparat negara tampak lebih takut pada ide dan buku daripada menyentuh akar masalah bangsa.
Ketimpangan sosial, kemiskinan, korupsi, pelanggaran hak asasi, dan ketidakadilan sistemik yang menjadi penyebab meluapnya protes justru luput dari perhatian.
Alih-alih menyelesaikan persoalan struktural itu, aparat justru sibuk menindak ideologi alternatif yang menjadi alat kritik dan refleksi atas realitas yang ada.
Ini berbahaya karena memperkuat sikap represif yang dapat memperlebar jurang ketidakpercayaan dan konflik sosial.
Pemerintah dan aparat seharusnya mendengar suara kritis yang muncul dari masyarakat, termasuk dari mereka yang membaca dan mendiskusikan gagasan-gagasan radikal atau alternatif.
Diskursus terbuka adalah jalan menuju perubahan yang bermakna, bukan pembungkaman.
Tindakan penyitaan buku bukan hanya soal hukum dan politik, tetapi juga berdampak luas pada sosial dan budaya masyarakat.
Pertama, menciptakan iklim ketakutan intelektual yang mematikan ruang diskusi dan wacana kritis. Orang akan takut membaca buku yang dianggap “berbahaya” atau terlibat dalam diskusi yang dianggap “melawan negara”.
Kedua, memecah solidaritas sosial dengan menstigmatisasi siapa saja yang memiliki buku atau gagasan tertentu sebagai ancaman. Ini berpotensi menciptakan konflik horizontal yang memperlebar perpecahan masyarakat.
Ketiga, menyabotase budaya literasi dan kebebasan berpikir yang sangat dibutuhkan untuk mengembangkan demokrasi yang sehat.
Bila masyarakat takut terhadap buku dan ide, maka mereka kehilangan kemampuan untuk memahami kompleksitas dan menuntut perubahan substantif.
Keempat, menciptakan narasi “musuh imajiner” yang mengalihkan perhatian dari persoalan sesungguhnya. Negara membangun ketakutan akan ideologi “berbahaya”, tapi mengabaikan pelanggaran dan ketidakadilan yang dialami rakyat.
Kasus penyitaan buku oleh polisi pada massa aksi ataupun aktivis bukan sekadar persoalan teknis hukum, melainkan pertaruhan besar bagi masa depan demokrasi dan kebebasan intelektual di Indonesia.
Aparat negara harus sadar bahwa buku dan gagasan adalah bagian dari hak dasar warga negara, bukan alat kriminalisasi. Penegakan hukum harus fokus pada fakta dan perbuatan, bukan mengadili ide dan pikiran.
Lebih penting lagi, pemerintah dan aparat harus berani menyentuh akar masalah bangsa, ketidakadilan sosial, kemiskinan, dan pelanggaran HAM, bukan sibuk menakuti diri sendiri dengan ideologi alternatif.
Jika aparat terus menyita buku dan membungkam pikiran kritis, yang terjadi bukan keamanan, tapi kemunduran demokrasi dan pembodohan masyarakat.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.