Kementrian Lembaga: Polda Jabar

  • Kemenkes Hentikan Sementara Kegiatan PPDS Anestesi di RS Hasan Sadikin Bandung, Sebulan Dievaluasi – Halaman all

    Kemenkes Hentikan Sementara Kegiatan PPDS Anestesi di RS Hasan Sadikin Bandung, Sebulan Dievaluasi – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA– Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menginstruksikan kepada RSUP Hasan Sadikin (RSHS) untuk menghentikan sementara kegiatan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran di lingkungan RSHS selama satu bulan.

    Kemenkes menyampaikan, langkah ini diambil untuk mengevaluasi dan melakukan perbaikan pengawasan serta tata kelola setelah adanya tindak pidana kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh dr. PAP.

    Diketahui dr PAP merupakan peserta PPDS Anestesiologi yang diduga memperkosa keluarga pasien dengan modus akan diambil darahnya untuk transfusi. 

    “Penghentian sementara ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi proses evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola dan sistem pengawasan PPDS di lingkungan RSHS,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes Aji Muhawarman dilansir dari website resmi, Jumat (11/4/2025). 

    Di sisi lain, Kemenkes meminta RSHS agar bekerjasama dengan FK Unpad untuk upaya-upaya perbaikan yang diperlukan.

    Sehingga insiden serupa atau tindakan-tindakan yang melanggar hukum dan etika kedokteran tidak terulang kembali.

    PELAKU PENCABULAN – Pelaku pencabulan terhadap salah seorang keluarga pasien RS Hasan Sadikin Bandung, ditampilkan oleh Ditreskrimum Polda Jabar, Rabu (9/4/2025). Oknum dokter residen Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran (FK) di salah satu universitas di Sumedang, Jabar, ditetapkan sebagai tersangka. (Tangkap layar kanal YouTube Kompas TV)

    Kemenkes juga akan mewajibkan seluruh Rumah Sakit Pendidikan Kemenkes untuk melakukan test kejiwaan berkala bagi peserta PPDS di seluruh angkatan. 

    Tes berkala diperlukan untuk menghindari manipulasi test kejiwaan dan mengidentifikasi secara dini kesehatan jiwa peserta didik.

    Kemenkes sudah meminta Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) untuk segera mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) atas nama dr. PAP. 

    Pencabutan STR ini secara otomatis akan membatalkan Surat Izin Praktik (SIP) yang bersangkutan.

    “Kami akan terus memantau proses penanganan kasus ini dan mendorong seluruh institusi pendidikan serta fasilitas kesehatan untuk memperketat pengawasan, memperbaiki sistem pelaporan. Serta membangun lingkungan yang bebas dari kekerasan dalam bentuk apa pun,” tutup Aji.

  • 6
                    
                        Korban Dokter Priguna Bertambah, RSHS Diminta Ikut Bertanggung Jawab
                        Nasional

    6 Korban Dokter Priguna Bertambah, RSHS Diminta Ikut Bertanggung Jawab Nasional

    Korban Dokter Priguna Bertambah, RSHS Diminta Ikut Bertanggung Jawab
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi IX DPR RI meminta Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung turut dimintai pertanggungjawaban atas kasus
    pemerkosaan
    dan
    kekerasan seksual
    yang dilakukan oleh
    dokter residen
    anestesi Priguna Anugerah Pratama (31) terhadap sejumlah pasien dan keluarganya.
    Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKB Arzeti Bilbina menilai, peristiwa ini mencerminkan kelalaian yang sistemik, bukan semata-mata kesalahan individu pelaku.
    “Jika boleh dikatakan, ini bukan hanya ulah oknum, tapi semua ikut berperan. Baik institusi, rumah sakit, sekuriti, keamanan,” ujar Arzeti, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (11/4/2025).
    Menurut dia, rumah sakit sebagai institusi pelayanan publik seharusnya memberikan rasa aman kepada pasien dan keluarganya, terlebih saat berada dalam situasi kritis atau gawat darurat.
    “Ketika orangtua dalam kondisi kritis, kita kan berharap dengan dokter. Kemudian dia praktik di rumah sakit besar yang kredibilitasnya sudah diakui. Jadi, ada kenyamanan kita mengantarkan orangtua kita. Kita berharap akan tersembuhkan, tapi kok malah terjadi pemerkosaan,” kata Arzeti.
    Arzeti berpandangan, RSHS perlu diberi sanksi tegas jika terbukti lalai dalam memberikan pengawasan terhadap dokter yang sedang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
    “Dan Rumah Sakit harus di-
    banned
    juga, didenda! Jangan mentang-mentang mereka punya cara. Kita juga harus mengawal agar mereka punya rasa
    secure
    kepada pasien,” ujar dia.
    Arzeti juga mendesak aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan secara mendalam soal dugaan adanya korban lain dari aksi bejat Priguna.
    “Ada dugaan kan sebelumnya sudah terjadi juga. Kita minta penegak hukum melakukan penelusuran secara mendalam demi memastikan ada tidaknya lagi korban lain,” kata dia.
    Selain itu, Komisi IX juga mendorong Kementerian Kesehatan melakukan audit menyeluruh terhadap rumah sakit pendidikan dan membentuk tim inspeksi mendadak guna menyelidiki potensi praktik kekerasan seksual di lingkungan tersebut.
    “Sangat mengerikan kondisi seperti ini. Kasus harus segera diselesaikan, karena ini permasalahan yang sangat menakutkan dalam kondisi kita sangat berharap perlindungan dokter,” pungkas dia.
    Diberitakan sebelumnya, Polda Jawa Barat mengungkap bahwa jumlah korban pemerkosaan yang dilakukan oleh Priguna Anugerah Pratama (31), dokter residen anestesi dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, bertambah menjadi tiga orang.
    “Yang di kita satu (korban) masih ditangani, yang dua masih di RS, belum kita periksa,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jabar, Kombes Surawan, Rabu (9/4/2025).
    Korban yang saat ini sedang ditangani kepolisian berinisial FH (21), sementara dua korban lain masih menjalani perawatan di rumah sakit.
    Ketiganya diduga mengalami pelecehan oleh pelaku yang sama.
    “Informasinya begitu,” ujar Surawan, saat ditanya apakah dua pasien lain juga menjadi korban pelecehan oleh Priguna.
    Kasus ini terungkap setelah FH melapor kepada polisi.
    Peristiwa itu terjadi di lantai 7 Gedung MCHC RSHS pada pertengahan Maret 2025.
    Pelaku membawa korban ke lokasi tersebut dengan dalih melakukan pemeriksaan darah untuk transfusi, lalu menyuntikkan cairan yang diduga obat bius hingga korban tidak sadarkan diri.
    Usai sadar, korban merasakan nyeri di beberapa bagian tubuh dan menjalani visum, yang kemudian mengonfirmasi adanya kekerasan seksual.
    Untuk perkara FH, polisi telah memeriksa 11 saksi, termasuk korban, keluarga korban, perawat dan ahli.
    Pelaku dijerat Pasal 6C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
    Kekerasan Seksual
    , dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Keluarga Korban Cabut Laporan, Kasus Dokter PPDS Unpad Cabuli Anak Pasien RSHS Bandung Terhenti? – Halaman all

    Keluarga Korban Cabut Laporan, Kasus Dokter PPDS Unpad Cabuli Anak Pasien RSHS Bandung Terhenti? – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Terungkap fakta bahwa keluarga korban telah mencabut laporan polisi terhadap Priguna Anugerah Pratama (31), dokter residen di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat (Jabar).

    Priguna adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad) yang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi di RSHS Bandung.

    Pria yang sudah berkeluarga itu diduga melakukan rudapaksa terhadap wanita asal Bandung inisial FH (21), anak dari pasien pria yang dirawat di RSHS Bandung, pada Selasa (18/3/2025) lalu.

    Pada hari itu juga, keluarga korban langsung melaporkan kejadian ini ke polisi berdasarkan bukti berupa hasil visum hingga rekaman CCTV.

    Namun terbaru, Penasehat hukum Priguna yakni Ferdy Rizky Adilya dan Gumilang Gatot menyampaikan bahwa keluarga korban telah mencabut laporan tersebut.

    “Kejadian (perjanjian) ini sebelum adanya penangkapan (23 Maret 2025). Itu sudah dilakukan keluarga klien kami,” kata Gumilang, Kamis (10/4/2025), dilansir TribunJabar.id.

    Lantas bagaimana kelanjutan proses hukum terhadap Priguna?

    Ferdy menjelaskan bahwa Priguna telah meminta maaf ke korban terkait perbuatan bejatnya, namun tetap menyerahkan masalah ini ke kepolisian untuk memproses hukum.

    “Intinya, kami akan kooperatif membantu memberikan hak-haknya tersangka dan kami akan kawal proses ini sampai akhirnya mempunyai keputusan,” ujar Ferdy. 

    Ferdy mengungkapan bahwa mereka telah melakukan pertemuan sebelum kasus ini mencuat ke publik untuk duduk bersama. Sehingga menurutnya, hingga kini tidak ada permasalahan.

    “Kami tadinya ingin juga mengundang dari pihak korban (keluarganya) untuk hadir. Tapi, tak bisa hadir. Mungkin nanti akan kami hubungi dan para wartawan bisa bertanya langsung dengan pihak keluarga korban,” jelas Ferdy.

    Ferdy juga mengatakan bahwa dalam pertemuan tersebut, sempat ada bukti pencabutan laporan meskipun tak akan mempengaruhi proses hukum.

    Meski telah demikian, Ferdy menegaskan bahwa proses hukum tentu akan tetap berjalan.

    “Pencabutan itu terjadi 23 Maret 2025,” sebut Ferdy.

    Tetap Minta Pelaku Dihukum

    Kakak ipar korban berinisial AG mengakui bahwa beberapa hari setelah kejadian tersebut memang ada itikad baik dari keluarga Priguna.

    Itu pun, lanjut AG, setelah dicari-cari dan akhirnya keluarga Priguna bisa mengakses keluarga korban sampai adanya pertemuan kedua belah pihak.

    “Kami tetap mengutuk perbuatan pelaku. Namun, sesama manusia tentu mesti bisa memaafkan walau itu tak akan mengembalikan kondisi adik saya,” ungkap AG saat dihubungi melalui ponsel penasehat hukum pelaku, Kamis, dilansir TribunJabar.id.

    “Saat ini, masih kami dampingi dan awasi betul kondisi psikisnya, terlepas dari pertemuan itu kami sudah saling berbicara secara kekeluargaan dan sebagai keluarga sudah memaafkan tapi secara hukum, kami ingin proses hukum tetap berlanjut,” lanjutnya.

    AG pun berharap kasus ini diusut tuntas dan berharap bisa terungkap senetral dan sebersih mungkin, agar tidak ada korban lain.

    “Semoga Polda bisa menegakkan hukum seadil-adilnya,” ujar AG.

    Disinggung terkait ayah korban yang dikabarkan telah meninggal pada 28 Maret 2025, AG pun membenarkannya.

    “Iya betul, ayah korban masuk 16 Maret, lalu ada perawatan selama beberapa hari dan direkomendasikan rumah sakit harus operasi. Namun, sebelum operasi pada 18 Maret, terjadi kejadian terhadap adik saya. Dan, pada 19 Maret dilakukan operasi oleh RS berjalan lancar. Namun, kondisi bapak semakin menurun hingga akhirnya meninggal dunia,” jelasnya.

    Kronologi

    Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Hendra Rochmawan mengungkapkan bahwa modus Priguna yaitu memanfaatkan kondisi kritis ayah korban dengan dalih akan mengecek darah untuk transfusi darah.

    Peristiwa dugaan rudapaksa ini terjadi pada 18 Maret 2025 sekitar pukul 01.00 WIB dinihari.

    Kala itu, Priguna yang sedang bertugas, meminta FH untuk diambil darahnya dan membawa korban dari ruang IGD RSHS Bandung ke Gedung MCHC lantai 7.

    Bahkan, Priguna meminta korban FH agar tidak ditemani adiknya.

    “Tersangka ini meminta korban FH untuk diambil darah dan membawa korban dari ruang IGD ke Gedung MCHC lantai 7 RSHS. Korban sempat merasakan pusing dari cairan yang disuntikkan pelaku, dan selepas siuman korban merasakan sakit pada bagian tertentu,” kata Hendra dalam konferensi pers di Polda Jabar, Bandung, Rabu (9/4/2025), dilansir TribunJabar.id.

    Untuk melancarkan aksinya, Priguna diduga membius korbannya terlebih dahulu.

    “Sesampainya di Gedung MCHC, tersangka meminta korban mengganti pakaian dengan baju operasi berwarna hijau dan memintanya melepas baju juga celananya. Lalu, pelaku memasukkan jarum ke bagian tangan kiri dan kanan korban sebanyak 15 kali,” jelas Hendra.

    Priguna lalu menghubungkan jarum tersebut ke selang infus dan menyuntikkan cairan bening ke dalamnya.

    Selang beberapa menit, korban FH mulai merasakan pusing hingga akhirnya tidak sadarkan diri.

    Ketika itulah, korban diduga dirudapaksa oleh Priguna.

    “Setelah sadar, si korban diminta mengganti pakaiannya lagi. Lalu, setelah kembali ke ruang IGD, korban baru menyadari bahwa saat itu pukul 04.00 WIB,” ungkap Hendra.

    “Korban pun menceritakan kepada ibunya bahwa pelaku mengambil darah sebanyak 15 kali percobaan dan menyuntikkan cairan bening yang membuat korban tak sadar. Ketika buang air kecil, korban merasakan perih di bagian tertentu,” sambungnya.

    Berdasarkan hasil visum, ditemukan sperma di alat vital korban yang kini masih diselidiki pihak kepolisian untuk dilakukan tes DNA.

    Polisi kemudian menangkap Priguna di apartemennya di Bandung, pada 23 Maret 2025.

    Hingga pada 25 Maret 2025, polisi akhirnya menetapkan Priguna sebagai tersangka kasus dugaan pelecehan seksual.

    Atas aksi bejatnya, Priguna dijerat dengan Pasal 6 C UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.

    “Pelaku dikenakan pasal 6 C UU no 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual dengan ancaman hukuman penjara maksimal 12 tahun,” sebut Hendra.

    Selain menangkap tersangka, Polda Jabar juga mengamankan sejumlah barang bukti dari TKP, termasuk 2 buah infus full set, 2 buah sarung tangan, 7 buah suntikan, 12 buah jarum suntik, 1 buah kondom, dan beberapa obat-obatan.

    Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Kuasa Hukum Priguna Anugerah Sebut Keluarga Korban Sebenarnya Sudah Tak Ada Masalah, Sudah Damai

    (Tribunnews.com/Nina Yuniar) (TribunJabar.id/Muhamad Nandri Prilatama)

  • Kuasa Hukum Tersangka Klaim Kasus Dokter PPDS Rudapaksa Anak Pasien Bisa Diselesaikan secara Damai – Halaman all

    Kuasa Hukum Tersangka Klaim Kasus Dokter PPDS Rudapaksa Anak Pasien Bisa Diselesaikan secara Damai – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Kuasa hukum tersangka dokter residen di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung yang merudapaksa anak pasien, menyebut kliennya mengaku menyesal dan sudah minta maaf kepada keluarga korban.

    Ferdy mengatakan, permintaan maaf itu disampaikan langsung kepada keluarga korban melalui perwakilan keluarga tersangka Priguna Anugerah Pratama (PAP).

    Jadi, menurut Ferdy, masalah ini bisa diselesaikan dengan baik secara kekeluargaan dan diadakan perdamaian.

    “Dengan rasa menyesal, klien kami menitipkan pesan permohonan maaf ke korban, keluarga korban, dan seluruh masyarakat Indonesia sehubungan permasalahan ini.”

    “Kejadian ini akan menjadi pembelajaran berharga yang tak akan terulang lagi oleh klien kami di kemudian hari,” katanya di Jalan Soekarno Hatta, Kamis (10/4/2025), dikutip dari TribunJabar.id.

    Ferdy pun menyebut kliennya bersedia bertanggung jawab di depan hukum dan akan menerima konsekuensi atas perbuatannya.

    Termasuk soal konsekuensi terburuk di dalam hubungan rumah tangganya.

    Ferdy pun menjelaskan beberapa hal terkait kasus rudapaksa keluarga pasien tersebut.

    “Kami ingin menegaskan pentingnya menghormati proses hukum yang sedang berlangsung. Saat ini, kasus masih dalam tahap penyidikan dan klien kami berstatus tersangka.”

    “Kami berkomitmen untuk menjalankan tugas secara profesional dan akuntabel, dengan tetap mempertahankan hak-hak tersangka sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana,” katanya.

    Kuasa hukum yang lain, Gumilang Gatot mengatakan bahwa sebenarnya kasus ini sudah ada perjanjian damai dengan pihak korban dan ditandatangani.

    “Kejadian (perjanjian) ini sebelum adanya penangkapan (23 Maret 2025). Itu sudah dilakukan keluarga klien kami,” katanya.

    Pelaku Idap Sindrom Somnophilia

    Pelaku yang merudapaksa anak pasien berinisial FH (21) disebutkan mengidap kelainan seksual.

    Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jabar, Kombes Surawan menyebut tersangka Priguna Anugerah Pratama (PAP) itu memiliki kelainan senang atau suka terhadap orang yang tak sadarkan diri atau pingsan. 

    Adapun, fetish pada orang pingsan ini dalam medis disebut Somnophilia atau juga dikenal dengan sindrom Sleeping Beauty.

    Somnophilia adalah orientasi seksual yang langka, di mana seseorang merasa bergairah secara seksual pada orang yang tidak sadar dan tidak mampu memberikan respons. 

    Sindrom tersebut juga termasuk dalam kelompok gangguan seksual yang disebut parafilia.

    Seseorang yang mengidap Somnophilia ini disebutkan mencoba membuat orang lain tidak sadar.

    Bisa dengan memberi obat-obatan, kemudian dimanfaatkan secara seksual.

    Surawan mengatakan, pelaku sebenarnya sudah menyadari jika mempunyai sensasi yang berbeda ketika melihat orang yang tidak sadarkan diri.

    Pelaku, kata Surawan, bahkan juga sempat berkonsultasi ke psikolog karena hal tersebut.

    “Si pelaku memang sudah menyadari jika dia mempunyai sensasi berbeda, yakni suka dengan orang yang pingsan.”

    “Bahkan, dia mengaku sempat konsultasi ke psikologi. Jadi, dia menyadari kelainan itu. Kalau keseharian dan pergaulannya normal,” katanya di Polda Jabar, Kamis, dikutip dari TribunJabar.id.

    Kronologi Peristiwa

    Sebagai informasi, Priguna Anugerah Pratama telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pelecehan seksual yang menimpa keluarga pasien di RSHS dan ditangkap di apartemennya di Bandung pada Minggu, 23 Maret 2025.

    Dokter residen itu melakukan aksi bejatnya pada pertengahan Maret 2025 di salah satu ruangan lantai 7 gedung RSHS atau di ruangan baru.

    Saat itu, korban diketahui tengah menjaga ayahnya yang dirawat dan membutuhkan transfusi darah.

    Surawan menegaskan, korban ini tak tahu tujuan dari pelaku namun dibawa ke ruangan yang baru di RSHS.

    Pelaku kemudian mendekati korban dengan dalih melakukan pemeriksaan crossmatch, yakni kecocokan golongan darah untuk keperluan transfusi.

    Priguna kemudian menyuntikkan cairan yang diduga mengandung obat bius jenis Midazolam hingga korban tidak sadarkan diri.

    Pelaku ini memanfaatkan kondisi kritis ayah korban dengan dalih akan melakukan transfusi darah.

    “Korban berusia 21 tahun sedangkan pelaku 31 tahun. Awal kejadian pukul 17.00 WIB.”

    “Pelaku ini mau mentransfusi darah bapak korban karena kondisinya kritis, dan si pelaku meminta anaknya saja untuk melakukan transfusi,” ujarnya, Rabu (9/4/2025), dikutip dari TribunJabar.id.

    Korban pun siuman beberapa jam kemudian dan mengaku merasa nyeri tidak hanya di bagian tangan bekas infus, tetapi juga di area kemaluan.

    Karena hal tersebut, korban pun langsung menjalani visum dan hasilnya menunjukkan adanya cairan sperma di kemaluannya.

    Berdasarkan hasil visum, kata Surawan, ditemukan sperma untuk diuji DNA dari alat vital korban serta alat kontrasepsi.

    Surawan pun mengatakan kondisi korban saat ini membaik meski sedikit trauma.

    Kasus ini pertama kali terungkap ke publik setelah diunggah akun Instagram @ppdsgram pada Selasa (8/4/2025) malam.

    Atas perbuatannya itu, Priguna Anugerah Pratama dijerat dengan Pasal 6 C UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. 

    Dokter residen tersebut terancam hukuman penjara maksimal 12 tahun.

    Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Pengacara Dokter PPDS Pemerkosa di RSHS Bandung Sebut Priguna Bersedia Tanggung Jawab, Hormati Hukum

    (Tribunnews.com/Rifqah) (TribunJabar.id/Muhamad Nandri) 

  • 7 Fakta Priguna Dokter Cabul di RSHS Bandung: Sadar Punya Kelainan Seksual, Modusnya Bius Korban – Halaman all

    7 Fakta Priguna Dokter Cabul di RSHS Bandung: Sadar Punya Kelainan Seksual, Modusnya Bius Korban – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Publik dikejutkan dengan kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh Priguna Anugerah Pratama (31), dokter residen di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat (Jabar).

    Priguna merupakan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad) yang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi di RSHS Bandung.

    Calon dokter spesialis anestesi itu merudapaksa wanita berinisial FH (21), anak dari pasien pria yang dirawat di RSHS Bandung, pada Selasa, 18 Maret 2025.

    Berikut fakta-fakta soal dokter Priguna Anugerah Pratama, tersangka kasus rudapaksa terhadap keluarga pasien RSHS Bandung:

    1. Modus

    Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Hendra Rochmawan, mengungkapkan modus Priguna yakni memanfaatkan kondisi kritis ayah korban dengan dalih akan mengecek darah untuk transfusi darah.

    Peristiwa rudapaksa ini terjadi pada 18 Maret 2025 sekitar pukul 01.00 WIB dinihari.

    Kala itu, Priguna yang sedang bertugas, meminta FH untuk diambil darahnya dan membawa korban dari ruang IGD RSHS Bandung ke Gedung MCHC lantai 7.

    Bahkan, Priguna meminta korban FH agar tidak ditemani adiknya.

    “Tersangka ini meminta korban FH untuk diambil darah dan membawa korban dari ruang IGD ke Gedung MCHC lantai 7 RSHS.”

    “Korban sempat merasakan pusing dari cairan yang disuntikkan pelaku, dan selepas siuman korban merasakan sakit pada bagian tertentu,” kata Hendra dalam konferensi pers di Polda Jabar, Bandung, Rabu (9/4/2025), dilansir TribunJabar.id.

    Untuk melancarkan aksinya, Priguna membius korbannya terlebih dahulu.

    “Sesampainya di Gedung MCHC, tersangka meminta korban mengganti pakaian dengan baju operasi berwarna hijau dan memintanya melepas baju juga celananya. Lalu, pelaku memasukkan jarum ke bagian tangan kiri dan kanan korban sebanyak 15 kali,” lanjutnya.

    Priguna lalu menghubungkan jarum tersebut ke selang infus dan menyuntikkan cairan bening ke dalamnya.

    Selang beberapa menit, korban FH mulai merasakan pusing hingga akhirnya tidak sadarkan diri. Ketika itulah, korban dirudapaksa oleh Priguna.

    “Setelah sadar, si korban diminta mengganti pakaiannya lagi. Lalu, setelah kembali ke ruang IGD, korban baru menyadari bahwa saat itu pukul 04.00 WIB.”

    “Korban pun menceritakan kepada ibunya bahwa pelaku mengambil darah sebanyak 15 kali percobaan dan menyuntikkan cairan bening yang membuat korban tak sadar. Ketika buang air kecil, korban merasakan perih di bagian tertentu,” lanjutnya.

    Pada hari itu juga, keluarga korban melaporkan kejadian ini ke polisi berdasarkan bukti berupa hasil visum hingga rekaman CCTV.

    Berdasarkan hasil visum, ditemukan sperma di alat vital korban yang kini masih diselidiki pihak kepolisian untuk dilakukan tes DNA.

    2. Terancam 12 Tahun Penjara

    Polisi kemudian menangkap Priguna di apartemennya di Bandung, pada 23 Maret 2025.

    Hingga pada 25 Maret 2025, polisi akhirnya menetapkan Priguna sebagai tersangka kasus dugaan pelecehan seksual.

    Atas aksi bejatnya, Priguna dijerat Pasal 6 C UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.

    “Pelaku dikenakan pasal 6 C UU no 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual dengan ancaman hukuman penjara maksimal 12 tahun,” ujar Hendra.

    Selain menangkap tersangka, Polda Jabar juga mengamankan sejumlah barang bukti dari TKP, termasuk dua buah infus full set, dua buah sarung tangan, tujuh buah suntikan, 12 buah jarum suntik, satu buah kondom, dan beberapa obat-obatan.

    3. Sudah Berkeluarga

    Berdasarkan data diri di KTP, Priguna beralamat di Kota Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar) dan saat ini tinggal di Bandung.

    Pria 31 tahun itu juga diketahui telah berkeluarga.

    “Kami sampaikan bahwa yang bersangkutan memang telah berkeluarga. Informasi yang kami dapatkan, dia berasal dari kota di luar dari jawa, sesuai dengan KTP tadi,” ungkap Hendra, dikutip dari YouTube KOMPASTV.

    4. Sadar Punya Kelainan Seksual

    Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jabar, Kombes Pol Surawan, mengungkapkan  Priguna memiliki kelainan perilaku seksual senang atau suka terhadap orang yang tak sadarkan diri atau pingsan.

    Menurut Surawan, Priguna tahu dirinya mengidap kelainan seksual.

    “Si pelaku memang sudah menyadari jika dia mempunyai sensasi berbeda, yakni suka dengan orang yang pingsan. Bahkan, dia mengaku sempat konsultasi ke psikologi. Jadi, dia menyadari kelainan itu. Kalau keseharian dan pergaulannya normal,” ujar Surawan di Polda Jabar, Kamis (10/4/2025), dilansir TribunJabar.id.

    Dalam istilah medis, fetish terhadap orang pingsan disebut Somnophilia.

    Somnophilia adalah orientasi seksual yang langka di mana seseorang merasa bergairah secara seksual pada orang yang tidak sadar dan tidak mampu memberikan respons.

    Somnophilia juga dikenal dengan istilah sindrom Sleeping Beauty karena seseorang merasa bergairah pada seseorang yang sedang tertidur.

    5. Korban Bertambah

    Surawan juga menyebutkan korban dugaan pelecehan seksual Priguna bertambah menjadi tiga orang.

    Selain FH, dua pasien RSHS Bandung juga mengaku menjadi korban aksi bejat dokter residen tersebut.

    “Hasil koordinasi dengan RSHS sudah ada dua korban lagi yang akan kami lakukan pendekatan untuk pemeriksaan,” kata Surawan, Kamis, dilansir TribunJabar.id.

    “Kami sangat terbuka bila ada korban-korban lain yang mungkin menjadi korban atau pernah hampir menjadi korban dari si pelaku, kami akan tampung. Silakan bisa datang ke Polda Jabar atau pihak rumah sakit,” imbuhnya.

    Surawan menegaskan, keterangan dua orang yang terindikasi menjadi korban tambahan merupakan pasien. Tetapi, dalam peristiwa juga waktu yang berbeda.

    “Kami terus lakukan pendalaman terhadap para korban. Lalu, barang bukti baik dari hasil swab atau yang ditemukan di lokasi akan diuji DNA terkait sperma yang ditemukan pada alat vital korban dan alat kontrasepsi,” paparnya.

    Surawan mengatakan korban yang melapor ke polisi ada satu orang. Namun, penyidik juga sedang mendalami keterangan dari dua korban tambahan informasi RSHS.

    6. Sempat Bunuh Diri

    Sebelumnya, Surawan mengungkap Priguna sempat mencoba untuk mengakhiri hidupnya di apartemen saat akan diamankan pihak kepolisian.

    “Pelaku kami amankan di apartemennya di Bandung. Bahkan, si pelaku ternyata sempat mau bunuh diri juga dengan memotong nadi di tangannya,” ungkap Surawan, Rabu, dilansir TribunJabar.id.

    “Kami amankan pelaku pada 23 Maret 2025 setelah pelaku ketahuan. Dia sempat dirawat baru ditangkap,” sambungnya.

    7. Dilarang Praktik

    Direktur Utama RSHS Bandung, Rachim Dinata Marsidi, menjelaskan pihaknya langsung mengambil tindakan tegas setelah menerima laporan terkait dugaan tindak pelecehan oleh dokter residen tersebut.

    “Langsung dia dikeluarkan dari ini. Berarti kalau dikeluarkan dari sini, dia tidak boleh lagi praktik di sini,” ujar Rachim saat dihubungi, Rabu.

    Priguna juga telah dikembalikan ke institusi pendidikannya, yaitu FK Unpad.

    Menurut Rachim, kelanjutan status pendidikan dokter tersebut akan menjadi kewenangan pihak kampus.

    “Saya kembalikan ke FK. Kalau kata FK ini memang ini pelanggaran berat, itu terserah mereka,” terangnya.

    Rachim pun menegaskan Priguna bukanlah pegawai RSHS Bandung, melainkan mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan spesialis di bidang anestesi.

    “Tapi anak tersebut itu belajar di sini. Terserah dari FK-nya mau dibelajarin di rumah sakit yang lain. Ini PPDS itu residen, lagi belajar anestesi. Ya, jadi lagi sekolah anestesi,” jelasnya.

    Bahkan kabarnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI turut memberi tanggapan atas kasus ini dengan meminta agar Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) Priguna.

    Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul KRONOLOGI Dokter Predator Cabuli Keluarga Pasien di RSHS Bandung, Diminta Ganti Baju Saat Cek Darahi

    (Tribunnews.com/Nina Yuniar) (TribunJabar.id/Muhamad Nandri Prilatama)

  • Pengacara Dokter PPDS Priguna Sebut Korban Rudapaksa Pernah Cabut Laporan, Klaim Sempat Damai – Halaman all

    Pengacara Dokter PPDS Priguna Sebut Korban Rudapaksa Pernah Cabut Laporan, Klaim Sempat Damai – Halaman all

    TRIBUNNEWS.com – Kuasa hukum dokter Priguna Anugerah (31), Gumilang Gatot, mengungkapkan korban rudapaksa oleh kliennya, FA (21), sempat mencabut laporan yang diajukan kepada pihak kepolisian.

    Pencabutan laporan itu terjadi pada 23 Maret 2025, ketika dokter yang menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi itu sudah ditahan atas kasus rudapaksa.

    “Pencabutan (laporan) itu terjadi 23 Maret 2025,” ungkap Gumilang, Kamis (10/4/2025), dikutip dari TribunJabar.id.

    Lebih lanjut, Gumilang mengklaim antara Priguna dan korban sempat sepakat damai.

    Bahkan, menurut dia, korban menandatangani surat perjanjian damai saat bertemu keluarga Priguna.

    Gumilang mengatakan kesepakatan damai itu terjadi sebelum 23 Maret 2025.

    “Kejadian (perjanjian damai) ini sebelum adanya penangkapan (23 Maret 2025). Itu sudah dilakukan keluarga klien kami,” imbuh dia.

    Terkait hal itu, Gumilang menuturkan, pihaknya sebenarnya ingin mengundang keluarga korban untuk memberikan keterangan terkait perjanjian damai dan pencabutan laporan itu.

    Sebab, menurutnya, sejak keluarga Priguna dan korban bertemu hingga disepakati damai, tak ada masalah terkait kasus rudapaksa itu.

    Tetapi, kata Gumilang, keluarga korban tidak bisa hadir.

    “Kami tadinya ingin juga mengundang dari pihak (keluarga) korban untuk hadir. Tapi, tidak bisa hadir,” katanya.

    “Mungkin nanti akan kami hubungi dan para wartawan bisa bertanya langsung dengan pihak keluarga korban,” lanjutnya.

    Kuasa hukum Priguna yang lain, Ferdy Rizky, menyebut kliennya siap mempertanggungjawabkan perbuatannya.

    Lewat Ferdy, Priguna menitipkan pesan permohonan maaf kepada korban dan keluarganya, serta masyarakat Indonesia.

    “Dengan rasa menyesal, klien kami menitipkan pesan permohonan maaf ke korban, keluarga korban, dan seluruh masyarakat Indonesia sehubungan permasalahan ini.”

    “Kejadian ini akan menjadi pembelajaran berharga yang tak akan terulang lagi oleh klien kami di kemudian hari,” urai dia dalam kesempatan yang sama.

    Kronologi Priguna Rudapaksa Korban

    Kasus rudapaksa yang dialami anak pasien bernama FA, bermula saat korban menemani sang ayah yang sedang sakit di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Kota Bandung, Jawa Barat, pada 18 Maret 2025.

    Awalnya, korban yang tengah berada di IGD RSHS menunggu sang ayah, diajak Priguna ke Gedung MCHC lantai 7 RSHS.

    Priguna beralasan ayah korban harus melakukan transfusi darah karena kondisinya. Untuk itu, Priguna menyebut korban harus menjalani pemeriksaan crossmatch, yaitu kecocokan golongan darah untuk keperluan transfusi.

    Saat akan menuju Gedung MCHC lantai 7 RSHS, korban dilarang mengajak adiknya ikut serta.

    “Tersangka ini meminta korban FA untuk diambil darah dan membawa korban dari ruang IGD ke Gdung MCHC lantai 7 RSHS,” jelas Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Hendra Rochmawan, Rabu (9/4/2025).

    Saat tiba di Gedung MCHC, Priguna meminta korban mengganti pakaiannya dengan baju operasi hijau.

    Priguna juga meminta korban melepaskan celananya.

    Setelah itu, lanjut Hendra, Priguna memasukkan jarum ke tangan kanan dan kiri korban sebanyak 15 kali.

    Pelaku menghubungkan jarum itu ke selang infus dan menyuntikkan cairan bening melalui selang infus.

    Beberapa menit kemudian, korban merasakan pusing hingga tak sadarkan diri.

    “Sesampainya di Gedung MCHC, tersangka meminta korban mengganti pakaian dengan baju operasi berwarna hijau dan memintanya melepas baju juga celananya.”

    “Lalu, pelaku memasukkan jarum ke bagian tangan kiri dan kanan korban sebanyak 15 kali,” jelas Hendra.

    Saat terbangun, korban diminta mengganti pakaiannya dan kembali ke IGD.

    Korban menyadari ada kejanggalan setelah ia menyadari tak sadarkan diri selama tiga jam.

    Ia juga merasa aneh, sebab merasa perih di bagian tertentu ketika buang air kecil.

    “Setelah sadar si korban diminta mengganti pakaiannya lagi. Lalu, setelah kembali ke ruang IGD, korban baru sadar bahwa saat itu pukul 4.00 WIB.”

    “Korban pun bercerita ke ibunya bahwa pelaku mengambil darah dengan 15 kali percobaan dan memasukkan cairan bening ke dalam selang infus yang membuat korban tak sadar, serta ketika buang air kecil, korban merasakan perih di bagian tertentu,” urai Hendra.

    Pihak korban pun melapor ke polisi dan Priguna diamankan, lalu ditahan sejak 23 Maret 2025.

    Dari kasus ini, polisi mengamankan sejumlah barang bukti, antara lain dua infus full set, dua sarung tangan, tujuh suntikan, 12 jarum suntik, satu kondom, dan beberapa obat-obatan.

    Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Kuasa Hukum Priguna Anugerah Sebut Keluarga Korban Sebenarnya Sudah Tak Ada Masalah, Sudah Damai

    (Tribunnews.com/Pravitri Retno W, TribunJabar.id/Muhamad Nandri)

  • Ciri-ciri Pengidap Kelainan Seksual, Bisakah Dikenali dari Luar?

    Ciri-ciri Pengidap Kelainan Seksual, Bisakah Dikenali dari Luar?

    Jakarta

    Seorang dokter residen dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad), Priguna Anugerah P (PAP), memerkosa pendamping pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Dokter yang telah berstatus tersangka tersebut diduga memiliki kelainan seksual.

    Dirreskrimum Polda Jabar, Kombes Pol Surawan mengatakan, dari hasil pemeriksaan sementara, pelaku diketahui memiliki fetish terhadap orang yang tak sadarkan diri.

    “Fantasinya senang (lihat) yang pingsan saja,” kata Surawan, dikutip dari detikJabar, Kamis (10/5/2025).

    Pemeriksaan terhadap Priguna masih terus dilakukan untuk pendalaman lebih lanjut. Pihak kepolisian juga akan melibatkan ahli psikologi dan forensik guna memperkuat dugaan adanya penyimpangan seksual pada diri pelaku.

    Lantas, apakah seseorang yang mengalami kelainan seksual bisa bisa dikenali dari tanda-tandanya?

    Psikiater dr Lahargo Kembaren, SpKJ, mengatakan kelainan perilaku seksual tidak bisa langsung dikenali hanya dari tampilan luar atau diagnosa instan. Menurutnya, yang bisa diamati adalah perilaku seksual seseorang, karena seksualitas itu sendiri biasanya tercermin melalui tindakan atau aktivitas seksual yang dilakukan.

    dr Lahargo mengatakan perilaku seksual bisa mencakup berbagai hal, mulai dari konsumsi konten pornografi, masturbasi, fetisisme, ekshibisionisme, hingga hubungan seksual yang dilakukan secara sukarela maupun melalui paksaan atau cara-cara yang membuat orang lain tidak berdaya. Semua aktivitas tersebut merupakan bagian dari perilaku seksual yang dapat diamati secara nyata.

    “Dan umumnya, orang melakukan perilaku seksual yang berulang-ulang, memang punya masalah dengan kesehatan mentalnya. Ada stres, ada anxious, ada mungkin problematika dalam kehidupan sosial, relasi dengan istri, keluarga, suami, ataupun masalah di tempat kerja, pendidikan, akademi,” kata dr Lahargo saat ditemui di Gedung Trans TV, Kamis (10/4/2025).

    Sering kali, lanjutnya, perilaku seksual seperti itu digunakan sebagai bentuk pelarian atau coping mechanism untuk mengatasi tekanan batin atau masalah emosional yang tidak terselesaikan.

    Sayangnya, cara yang dilakukan dokter residen tersebut termasuk bentuk penanganan yang negatif karena menimbulkan dampak buruk, bukan hanya bagi pelaku, tapi juga bagi orang lain, institusi tempatnya bekerja, bahkan kepercayaan publik secara umum. Hal ini, menurutnya, dapat merusak reputasi profesi dan memperdalam krisis kepercayaan masyarakat terhadap tenaga medis.

    (suc/up)

  • dr Tirta soal Dokter Residen Rudapaksa Anak Pasien: Kisah Paling Memalukan Sepanjang Sejarah PPDS – Halaman all

    dr Tirta soal Dokter Residen Rudapaksa Anak Pasien: Kisah Paling Memalukan Sepanjang Sejarah PPDS – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Influencer sekaligus dokter Tirta Mandira Hudhi alias dr Tirta ikut mengomentari kasus dokter residen rudapaksa anak pasien.

    Diketahui kasus rudapaksa ini menjerat tersangka Priguna Anugerah Pratama alias PAP (31), sedangkan korbannya seorang wanita berinisial FH (21).

    Priguna Anugerah merupakan dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

    Menurut dr Tirta, kasus ini memalukan sepanjang program PPDS berjalan.

    “Ini kisah paling memalukan sepanjang sejarah PPDS,” katanya, dikutip dari akun @tirta_cipeng, Kamis (10/4/2025).

    dr Tirta menilai, kelakuan Priguna Anugerah bisa berdampak lebih luas.

    Kasus bisa membuat pasien tidak percaya lagi kepada dokter anestesi.

    “Hal ini bisa menghancurkan trust pasien ke dokter anestesi di seluruh Indonesia,” tambahnya.

    Oleh karenanya, untuk mengembalikan kepercayaan pasien, aparat penegak hukum perlu turun tangan.

    Priguna Anugerah diharapkan bisa dihukum dengan seadil-adilnya.

    “Pelaku harus dihukum seberat-beratnya,” tegas dr Tirta.

    Dokter kelahiran 30 Juli 1991 itu juga meminta polisi mengusut kasus ini secara tuntas.

    Terutamanya mencari apakah ada korban lain dari kebejatan Priguna Anugerah.

    “Investigasi harus detail, apakah ada korban-korban lain atau tidak.”

    “Dukunganku untuk korban dan keluarganya,” tulisnya.

    Dalam cuitan terbaru, dr Tirta mengaku heran dengan adanya warganet yang ‘menyalahkan’ korban dalam kasus rudapaksa ini.

    “Kene ki dongkol tenan he moco komentar di berita soal dokter kmren yg jadi tsk perkosaan apalagi comment satpamnya yg ngeselin.”

    “Trus di ig yg comment: ‘Ini korbannya kenapa kesendirian?’. ‘Ini alasan perempuan jangan sendirian Masih smpt2 nya opini gitu,” tulis dr Tirta.

    Menurut hematnya, yang perlu dihakimi hanya Priguna Anugerah seorang.

    Tersangka seharusnya bisa mengontrol nafsunya.

    “Yang diatur libidomu. Bukan orang lain,” tegas dr Tirta.

    dr Tirta dalam cuitannya juga mengingatkan bahwa manusia dianugerahi dengan akal berbeda dengan hewan.

    Manusia bisa mengontrol nafsunya.

    “Manusia ama hewan berbeda di 1 hal: akal. Masa pake analogi hewan, padahal ente manusia,” tegas dr Tirta.

    Semua bermula saat FH mengantarkan orang tuanya ke IGD Rumah Sakit Hasan Sadikin guna mendapatkan perawatan medis pada 18 Maret 2025, sekira pukul 01.00 WIB.

    Priguna Anugerah lalu mendekati FH dan menyampaikan perlu memeriksa darahnya.

    “Tersangka membawa korban dari ruang IGD ke gedung MCHC (Gedung Mother and Child Health Care) lantai 7 pada pukul 01.00 WIB. Dan meminta korban untuk tidak ditemani oleh adiknya,” kata Kombes Hendra, dikutip dari kanal YouTube KOMPASTV, Kamis (10/4/2025).

    Singkat cerita, tersangka membawa korban ke ruang nomor 711.

    Tersangka meminta korban untuk mengganti pakaian dengan baju operasi warna hijau dan meminta korban untuk melepas baju dan celananya.

    Kombes Hendra melanjutkan, Priguna Anugerah mulai melancarkan aksinya.

    Tersangka mulai membius korban dengan cara menusukan jarum ke tangan FH.

    “Tersangka memasukkan jarum ke bagian tangan kiri dan tangan korban kurang lebih 15 kali percobaan.”

    “Kemudian menghubungkan jarum tersebut ke selang infus setelah itu tersangka menyuntikan cairan bening ke selang infus tersebut.”

    “Dan beberapa menit kemudian korban merasakan pusing lalu tidak sadarkan diri,” urainya.

    Saat tak sadar itulah, Priguna Anugerah rudapaksa korban saat tidak berdaya.

    FH baru sadar setelah 3 jam usai dibius tersangka.

    “Setelah tersadar korban diminta untuk berganti pakaian kembali dan diantar sampai lantai 1 di gedung MCHC.”

    “Setelah sampai ruang IGD korban baru sadar bahwa pada saat itu sudah pukul 04.00 WIB, lalu korban bercerita kepada ibunya bahwa tersangka mengambil darah,” kata Kombes Hendra.

    FH baru sadar jadi korban rudapaksa saat merasakan sakit saat buang air kecil.

    Bagian intimnya merasa perih saat terkena air.

    Korban kemudian melaporkan kejadian yang menimpanya ke Polda Jabar.

    Kombes Hendra menyebut dalam perjalan kasus, ada 11 orang dimintai keterangan.

    “Ada FH sendiri sebagai korban, ada ibunya kemudian, ada beberapa perawat, ada kurang lebih tiga perawat, dan adik korban.”

    “Kemudian dari farmasi, dokter, dan pegawai rumah sakit Hasan Sadikin dan juga apoteker. Dan Dirkrimsus juga akan meminta keterangan ahli untuk mendukung proses penyidikan,” jelas dia.

    Polda Jabar sudah menetapkan Priguna Anugerah sebagai tersangka atas kasus rudapaksa terhadap korban seorang perempuan berinisial FH.

    Ia kini terancam hukuman 12 tahun penjara.

    “Pasal 6C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 yaitu tentang tindak pidana kekerasan seksual.”

    “Adapun ancaman hukumannya dipidana dengan pidana penjara paling lama adalah 12 tahun,” urai Kombes Hendra.

    Selain jadi tersangka, Priguna Anugerah juga akan ditahan selama 20 hari guna mempermudah pendalaman kasus lebih lanjut.

    PELAKU PENCABULAN – Pelaku pencabulan terhadap salah seorang keluarga pasien RS Hasan Sadikin Bandung, ditampilkan oleh Ditreskrimum Polda Jabar, Rabu (9/4/2025). Oknum dokter residen Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran (FK) di salah satu universitas di Sumedang, Jabar, ditetapkan sebagai tersangka. (Tangkap layar kanal YouTube Kompas TV)

    Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jawa Barat Kombes Surawan menambahkan, Priguna Anugerah memiliki kelainan seksual.

    Fakta tersebut didapatkan polisi lewat pemeriksaan yang sudah dilakukan.

    “Dari pemeriksaan beberapa hari ini memang ada kecenderungan pelaku ini mengalami sedikit kelainan dari segi seksual,” urainya.

    Oleh karena itu, Polda Jabar akan berkoordinasi dengan sejumlah pihak untuk mendalami kelainan seksual tersebut.

    Termasuk meminta keterangan ahli dan psikolog.

    “Kita akan perkuat dengan pemeriksaan dari psikologi forensik, ahli-ahli psikologi, maupun psikologi forensik untuk tambahan pemeriksaan.”

    “Sehingga kita menguatkan adanya kecenderungan kelainan dari perilaku seksual,” tegasnya.

    (Tribunnews.com/Endra)

  • DPR Desak Kemenkes Cabut Izin Praktik Dokter Residen Pelaku Rudapaksa Anak Pasien: Manusia Amoral – Halaman all

    DPR Desak Kemenkes Cabut Izin Praktik Dokter Residen Pelaku Rudapaksa Anak Pasien: Manusia Amoral – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Partai NasDem Irma Suryani Chaniago mengecam keras aksi tersangka dugaan rudapaksa, Priguna Anugerah (31), dokter residen anestesi dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad).

    Dimana, Priguna Anugerah melakukan rudapaksa terhadap korban yang merupakan anak pasien di RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

    Irma pun mendesak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mencabut izin praktik seumur hidup kepada tersangka Priguna Anugerah.

    “Saya sudah minta Kemenkes beri punishment, cabut izin praktiknya seumur hidup,” tegas Irma Suryani Chaniago saat dihubungi Tribunnews.com, Kamis (10/4/2025).

    Irma juga menyebut, pencabutan izin praktik seumur hidup kepada tersangka sudah harus dilakukan.

    Sebab, dia menilai manusia amoral tidak akan mungkin memperjuangkan pasien.

    “Manusia amoral yang tidak mungkin memperjuangkan nyawa manusia,” sambung dia.

    Tak hanya itu, Irma mengatakan, aksi pelaku rudapaksa ini juga merusak nama baik profesi dokter dan RSHS Bandung.

    “Merusak nama baik dan trust dokter, juga rumah sakit,” kata dia.

    Diketahui dokter residen bernama Priguna Anugerah (31) saat ini sudah berstatus sebagai tersangka di Polda Jawa Barat.

    Ia dijerat Pasal 6 C UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.

    Kasus kekerasan seksual yang dilakukan dokter PPDS Unpad tersebut terjadi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Selasa (18/3/2025) dini hari sekira pukul 01.00 WIB.

    Priguna diduga merudapaksa FH (21), anak dari seorang pasien yang dirawat di RSHS Bandung.

    Awalnya tersangka meminta korban untuk diambil darahnya dan membawa korban dari ruang IGD ke Gedung MCHC lantai 7.

    Priguna bahkan meminta korban untuk tidak ditemani adiknya.

    Sesampainya di Gedung MCHC, tersangka meminta korban mengganti pakaian dengan baju operasi berwarna hijau dan memintanya melepas baju juga celananya. 

    Lalu, pelaku memasukkan jarum ke bagian tangan kiri dan kanan korban sebanyak 15 kali.

    Setelah itu, tersangka menghubungkan jarum tersebut ke selang infus dan menyuntikkan cairan bening ke dalamnya.

    Beberapa menit kemudian, korban FH mulai merasakan pusing hingga akhirnya tidak sadarkan diri.

    Setelah sadar, korban diminta mengganti pakaiannya lagi.

    Lalu, setelah kembali ke ruang IGD, korban baru menyadari bahwa saat itu pukul 04.00 WIB.

    Dugaan rudapaksa terbongkar setelah korban menceritakan kejadian yang dialaminya kepada ibunya.

    Korban bercerita pelaku mengambil darah sebanyak 15 kali percobaan dan menyuntikkan cairan bening yang membuat korban tak sadar.

    Ketika buang air kecil, korban merasakan perih di bagian tertentu.

    Adapun berdasarkan data dari KTP, tersangka diketahui beralamat di Kota Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), tetapi saat ini tinggal di Kota Bandung.

    Sementara itu, korban FH merupakan warga Kota Bandung.

    Polda Jabar saat ini telah mengamankan sejumlah barang bukti dari tempat kejadian perkara (TKP), termasuk dua buah infus fullset, dua buah sarung tangan, tujuh buah suntikan, 12 buah jarum suntik, satu buah kondom, dan beberapa obat-obatan.

  • DPR Desak Izin Praktek dan Gelar Dokter PPDS Cabul Dicabut

    DPR Desak Izin Praktek dan Gelar Dokter PPDS Cabul Dicabut

    Jakarta, Beritasatu.com – Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Maman Imanul Haq mengaku geram dengan tindakan pemerkosaan oleh dokter program pendidikan dokter spesialis (PPDS) Priguna Anugrah Pratama terhadap pendamping pasien dan dua pasien lainnya di RS Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, Jawa Barat. 

    Maman mendesak agar gelar dokter dan izin praktik Priguna Anugrah Pratama (PAP) dicabut. “Ini tindakan kriminal luar biasa yang dilakukan seorang dokter kepada penunggu pasien dan dua pasien di rumah sakit. Statusnya sebagai mahasiswa PPDS telah berakhir dan saya minta agar gelar dokternya juga dicabut serta larang praktek sebagai dokter,” ujar Maman kepada wartawan, Kamis (10/4/2025).

    “Jangan sampai dokter mesum kriminal seperti itu tetap berpraktek. Tindakan ini merusak profesi dokter. Karier dokternya harus selesai cukup sampai di sini,” tandas Maman menambahkan.

    Maman menegaskan, perilaku pelaku perkosaan tidak bisa ditoleransi dalam bentuk apapun. Apalagi, kata dia, tindakan biadab tersebut dilakukan dokter kepada pasien dan keluarga pasien. Perempuan dalam kasus ini, lagi-lagi menjadi korban kejahatan seksual karena aksi kejahatan seksual tersebut.   

    “Bayangkan saja, masyarakat ke rumah sakit untuk pengobatan atau menemani keluarga yang sakit, tetapi malah mendapat tindakan perkosaan. Di mana akal sehat yang membenarkan tindakan tersebut? Ini tindak pidana yang harus mendapat hukuman. Status keanggotaannya sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga harus dicabut,” tegas dia.

    Maman mengatakan, pelaku telah mempelajari psikologi perempuan yang menjadi pasien ataupun penunggu pasien di rumah sakit tersebut. Mereka umumnya berada dalam posisi lemah, tak berdaya dan secara psikologis tidak fokus karena ada anggota keluarga yang sakit ataupun posisi korban sebagai pasien. Ketidakberdayaan inilah yang menjadi celah untuk pelaku melancarkan aksinya. 

    Menurut Maman, tak hanya kondisi korban yang telah diamati oleh pelaku. Dia menilai pelaku juga telah mempelajari kondisi rumah sakit sehingga tahu kapan waktu yang menurutnya tepat untuk melakukan perkosaan kepada korban.

    “Pemeriksaan secara menyeluruh harus dilakukan oleh rumah sakit untuk mengetahui apakah ada pihak yang terlibat dan sebagai upaya memperketat agar tak ada celah bagi tindakan kejahatan seksual kepada siapapun di rumah sakit. Rumah sakit harus memperketat pengawasan agar kasus seperti ini tidak terulang lagi,” pungkas Maman.

    Kasus ini pertama kali ramai di publik saat diunggah di akun media sosial instagram @ppdsgram pada Selasa (8/4/2025) yang menyebutkan pelaku melakukan perkosaan di salah satu ruangan di lantai 7 salah satu gedung RSHS pada Maret 2025.

    Modusnya dokter PPDS tersebut meminta korban menjalani pemeriksaan crossmatch atau kecocokan golongan darah yang akan ditransfusikan kepada penerima. Penunggu pasien yang menjadi korban dibius terlebih dahulu sebelum dilakukan perkosaan. Setelah sadar, korban merasakan sakit tidak hanya di tangan bekas infus tetapi juga di kemaluan. 

    Hasil visum ditemukan bekas cairan sperma di kemaluannya dan korban melaporkan kejadian ini ke Polda Jabar. Belakangan berdasarkan hasil pemeriksaan, dokter PPDS tersebut terbukti juga telah melakukan perkosaan kepada dua pasien di RSHS.