Kementrian Lembaga: PN Jakarta Selatan

  • 5 Fakta Tentang 3 Hakim Jadi Tersangka Suap Terkait Vonis Lepas Korupi Migor

    5 Fakta Tentang 3 Hakim Jadi Tersangka Suap Terkait Vonis Lepas Korupi Migor

    Jakarta

    Vonis lepas terhadap terdakwa korporasi dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng berbuntut panjang. Ternyata, vonis lepas itu telah diatur oleh 3 hakim yang menerima suap.

    Ketiga hakim itu adalah hakim Agam Syarif Baharudin, hakim Ali Muhtaro, dan hakim Djuyamto. Mereka bersekongkol dengan Muhammad Arif Nuryanta selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan; Marcella Santoso dan Ariyanto selaku pengacara; serta panitera muda pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wahyu Gunawan.

    Marcella Santoso dan Ariyanto diketahui merupakan pengacara tiga terdakwa korporasi kasus korupsi minyak goreng. Total ada tiga terdakwa korporasi dalam kasus korupsi minyak goreng ini mulai dari Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group. Majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili kasus ini lalu memberikan vonis lepas kepada tiga terdakwa korporasi itu pada 19 Maret 2025.

    Vonis lepas itu berbeda jauh dengan tuntutan yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum. Dalam tuntutannya, jaksa menuntut uang pengganti sebesar Rp 937 miliar kepada Permata Hijau Group, uang pengganti kepada Wilmar Group sebesar Rp 11,8 triliun, dan uang pengganti sebesar Rp 4,8 triliun kepada Musim Mas Group.

    Arif Nuryanta menggunakan jabatannya sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat saat itu dalam mengatur vonis lepas kepada tiga terdakwa korporasi kasus korupsi minyak goreng.

    Kasus ini terendus penyidik Kejagung. Penyidik mendapati ada 2 amplop di tas milik Arif saat melakukan penggeledahan. Pertama, amplop coklat berisi 65 lembar uang pecahan SGD 1.000 dan amplop berwarna putih berisi 72 lembar uang pecahan USD 100.

    Berikut sejumlah fakta terkait kasus suap hakim ini:

    1. Tiga Hakim Jadi Tersangka dan Ditahan

    Hakim Agam Syarif Baharudin, hakim Ali Muhtaro, dan hakim Djuyamto ditetapkan sebagai tersangka. Mereka diduga menerima suap dari Arif Nuryanta.

    Foto: Tampang hakim Djuyamto penerima suap saat ditangkap Kejagung (tangkapan layar)

    Para tersangka ditahan selama 20 hari ke depan. Ketiganya ditahan di Rutan Salemba.

    2. Peran Arif Nuryanta

    Arif memiliki peran yang cukup penting. Ia berkontribusi dalam menunjuk 3 hakim untuk mengadili terdakwa korporasi di kasus minyak goreng.

    Mulanya, Ariyanto selaku pengacara terdakwa korporasi CPO menyerahkan uang senilai Rp 60 miliar dalam bentuk dolar Amerika kepada panitera muda pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wahyu Gunawan. Oleh Wahyu uang tersebut diteruskan ke Arif.

    Setelah menerima uang suap, Arif menunjuk para hakim yang akan mengadili terdakwa korporasi CPO. “Setelah uang tersebut diterima Muhammad Arif Nuryanto, kemudian yang bersangkutan, ya di mana saat itu yang bersangkutan menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian menunjuk majelis hakim yang terdiri dari DJU (Djuyamto) sebagai ketua majelis, kemudian AL (Ali Muhtaro) sebagai Hakim adhoc dan ASB (Agam Syarif Baharudin) sebagai anggota majelis,” terangnya.

    Simak selengkapnya di halaman berikutnya

    3. Pembagian Uang Suap ke 3 Hakim

    Masing-masing hakim kecipratan duit suap. Kejagung menjelaskan porsi uang suap yang diterima per hakim.

    Mulanya, hakim Agam Syarif menerima uang senilai Rp 4,5 miliar dari Muhammad Arif Nuryanta selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

    “Setelah menerima uang Rp 4,5 miliar tadi, oleh ASB (Agam Syarif) dimasukan ke dalam goody bag, dan setelah keluar ruangan dibagi kepada 3 orang yaitu ASB sendiri, AL, dan DJU,” ujar Qohar.

    Kemudian, Arif menyerahkan lagi sejumlah uang untuk ketiga hakim itu pada September 2024. Uang yang diberikan dalam bentuk dolar Amerika.

    Foto: Tampang hakim Agam penerima suap saat ditangkap Kejagung (tangkapan layar)

    Jika dirupiahkan, uang yang dibawa Arif senilai Rp 18 miliar. Uang tersebut diserahkan kepada hakim Djuyamto.

    “ASB menerima uang dolar bila dirupiahkan Rp 4,5 miliar, DJU (Djuyamto) menerima uang dolar jika dirupiahkan Rp 6 miliar, dan AL (Ali) menerima uang berupa dolar amerika bila disetarakan rupiah Rp 5 miliar,” kata Qohar.

    Ketiga hakim itu, jelas Qohar, mengetahui tujuan penerimaan uang tersebut agar perkara diputus onslag alias divonis lepas.

    4. Asal Usul Uang Suap Ditelusuri

    Kejagung turut menelusuri asal usul uang suap dari pengacara terdakwa korporasi kepada hakim. Dia menjelaskan, uang suap itu diterima oleh panitera Wahyu Gunawan dari pengacara terdakwa korporasi yakni Ariyanto.

    “Jadi sudah jelas dan terang benderang, bahwa uang itu diterima oleh Wahyu dari Ariyanto, pertanyaannya dari mana Ariyanto?” kata Qohar

    Menurut Qohar, pihaknya terus mengembangkan kasus tersebut. Dia mengatakan perkembangan terbaru dalam kasus akan disampaikan, termasuk asal muasal uang suap yang diberikan oleh pengacara Ariyanto.

    “Inilah yang nanti dalam proses perkembangan, karena ini baru dua hari, saya minta teman-teman bersabar, yang pasti seluruh data fakta yang kami peroleh nanti akan kami sampaikan dalam perkembangan perkara ini,” ucapnya.

    5. Aset 3 Hakim Penerima Suap Ditelusuri

    Aset ketiga hakim penerima suap tak luput dari radar Kejagung. “Untuk penelusuran aset kepada 3 tersangka yang telah ditetapkan pada malam hari ini, juga sama, masih terus berlanjut,” kata Qohar

    Menurut Qohar, penyidik Jampidsus Kejagung terus bergerak dalam mengungkap kasus dugaan suap itu. Dia mengatakan penyidik juga telah menggeledah sejumlah rumah terkait kasus dugaan suap.

    “Tadi saya sampaikan, ada beberapa tempat rumah digeledah, namun tidak sampai di situ saja, penyidik bahkan malam ini masih bergerak, seperti apa hasilnya? Kami sampaikan dalam waktu lain,” jelasnya.

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Isu Politik dan Hukum Terkini: Saran SBY ke Prabowo hingga Korupsi CPO

    Isu Politik dan Hukum Terkini: Saran SBY ke Prabowo hingga Korupsi CPO

    Jakarta, Beritasatu.com – Berbagai isu politik dan hukum terkini mewarnai pemberitaan Beritasatu.com sepanjang Minggu (13/4/2025) hingga pagi ini. Saran Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada Presiden Prabowo Subianto terkait kebijakan tarif impor Trump masih menarik perbincangan publik.

    Isu lain yang masih menyedot perhatian masyarakat, adalah Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga hakim sebegai tersangka suap terkait vonis lepas tiga korporasi terdakwa korupsi ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO).

    5 Top Isu Politik dan Hukum Terkini 

    1. SBY: 80 Persen Saran Saya ke Prabowo Soal Kebijakan AS Sudah Dilakukan

    Presiden ke-6 RI SBY mengatakan sudah memberikan tujuh poin saran kepada Presiden Prabowo Subianto dalam menghadapi kebijakan tarif impor baru dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Menurutnya, sekitar 80 persen dari sarannya itu telah diadopsi Prabowo.

    “Saya bersyukur karena dari informasi yang saya peroleh, kebijakan yang dijalankan pemerintah saat ini 80 persen selaras dengan apa yang saya sarankan,” kata SBY dalam diskusi bertajuk ‘Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini’ di Jakarta, Minggu (13/4/2025).

    2. SBY Ingatkan Prabowo Tak Bereaksi Berlebihan Soal Tarif Impor Trump

    SBY mengingatkan Presiden Prabowo agar tidak bereaksi berlebihan dalam menyikapi kebijakan tarif impor selangit yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump kepada sejumlah negara termasuk Indonesia. 

    Ia menilai ketegangan ekonomi global akibat perang tarif bisa memicu ketidakstabilan internasional. “Indonesia harus tahu kemampuan dan batas kemampuannya, memahami peran di panggung global, dan tidak asal bereaksi,” ujar SBY di Jakarta, Minggu (13/4/2025).

    3. Prabowo dan Raja Abdullah Gelar Pertemuan Bilateral di Istana Yordania

    Isu politik dan hukum terkini selanjutnya yang masih hangat, adalah Presiden Prabowo Subianto dan Raja Yordania Abdullah II bin Al-Hussein akan melakukan pertemuan bilateral hingga menyaksikan penandatanganan MoU kedua negara di Istana Al-Husseiniya, Amman, Yordania, Senin (14/4/2025).

    Presiden Prabowo akan mengakhiri lawatan resmi ke Timur Tengah kali ini dengan mengunjungi Yordania dan bertemu Raja Abdullah II. Sejak Rabu (9/4/2025), Prabowo sudah melakukan kunjungan kerja ke Uni Emirat Arab, Turki, Mesir, dan Qatar dengan membawa misi utama mendorong perdamaian di Gaza, Palestina.

    4. Indonesia Darurat Kekerasan Seksual, Saatnya Hukuman Kebiri Berlaku!

    Indonesia dinilai dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Wakil Ketua Komisi III DPR Sahroni mendorong pemberlakuan hukuman kebiri kimia kepada predator seksual terutama yang korbannya anak-anak, agar ada efek jera. 

    “Hukuman maksimal, termasuk kebiri kimia, harus ditegakkan. Kalau korbannya anak, pelaku wajib dijerat sesuai undang-undang,” tegasnya, Minggu (13/4/2025).

    Hukum kebiri telah diatur dalam Pasal 81A ayat (4) dan Pasal 82A ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Secara teknis, pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.

    5. 3 Hakim Tersangka Suap Vonis Lepas Terdakwa Korupsi Ekspor CPO Ditahan

    Kejagung menetapkan tiga hakim sebagai tersangka suap terkait vonis lepas korupsi ekspor CPO oleh tiga perusahaan besar, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. 

    Ketiga tersangka, adalah Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom merupakan hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta Djuyamto, hakim dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka langsung ditahan.

    “Ketiga hakim itu mengetahui tujuan penerimaan uang tersebut, yaitu agar perkara tersebut diputus ontslag (vonis lepas),” kata Dirdik Jampidsus Kejagung Abdul Qohar dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (13/4/2025) malam.

    Demikian isu politik dan hukum terkini yang masih menjadi perhatian pembaca. Ikuti terus update berita terkini dan informasi menarik lainnya baik dari dalam maupun luar negeri hanya di Beritasatu.com.

  • Foto-foto Puluhan Motor dan Mobil Mewah Disita dari Kasus Suap Ekspor CPO, Ada Juga Sepeda Mewah – Halaman all

    Foto-foto Puluhan Motor dan Mobil Mewah Disita dari Kasus Suap Ekspor CPO, Ada Juga Sepeda Mewah – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA –  Kejaksaan Agung menyita puluhan motor dan mobil mewah yang diduga berkaitan dengan dugaan suap dalam penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jaksel).

    Kasus ini menyeret tiga perusahaan besar yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group, yang sebelumnya mendapat fasilitas ekspor CPO.

    Kasus ini melibatkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta yang diduga menerima suap Rp 60 miliar.

    Penampakan sejumlah motor dan sepeda mewah hasil sitaan jaksa penyidik di Gedung Kartika Kejaksaan Agung, Jakarta Minggu (13/4/2025).  (Tribunnews.com/Fahmi Ramadhan)

    Selain itu, tiga hakim yang menangani perkara ini juga telah ditetapkan sebagai tersangka .

    Mereka adalah Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) yang merupakan hakim Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Pusat.  

    Lalu hakim PN Jakarta Selatan, Djuyamto (DJU). 

    Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar,  mengatakan diduga ketiga hakim itu menerima suap dari  Muhammad Arif Nuryanta (MAN) sebesar Rp 22,5 miliar agar putusan perkara tiga perusahaan dimaksud  onslag atau putusan lepas.

    Ferrari dan mobil mewah lainnya terparkir di halaman Kejaksaan Agung sebagai barang bukti kasus suap ekspor CPO.  (Tribunnews.com/Fahmi Ramadhan)

    Mobil mewah ikut disita

    Terkait kasus ini,  Abdul Qohar menyampaikan bahwa tim penyidik telah melakukan penggeledahan di lima lokasi berbeda pada Jumat malam, 11 April 2025.

    Salah satu lokasi yang digeledah adalah rumah seorang advokat berinisial AR.

    Dari lokasi tersebut, penyidik menyita empat mobil mewah, yang kini diparkir di depan Gedung Kartika, Kejaksaan Agung.

    Mobil Nissan GTR yang disita Kejaksaan Agung, Jakarta, Sabtu (12/4/2025). (Kompas.com/Shela Octavia)

    Mobil yang disita meliputi Nissan Nismo GTR dengan nomor polisi B 505 AAY, Mercy AMG B 1 STS, Lexus RX 500H B 1529 AZL, serta sebuah Ferrari merah dengan pelat D 1169 QGK.

    Penyidik masih mendalami status kepemilikan kendaraan-kendaraan tersebut, apakah benar milik AR atau hanya sebagai sarana untuk menyuap hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    Puluhan motor mewah ikut disita

    Puluhan motor mewah juga disita dalam kasus tersebut.

    Termasuk merk ternama seperti Harley Davidson, Triumph, hingga Vespa.

    Kejaksaan Agung menyita 21 unit sepeda motor dan 7 sepeda dari berbagai merek suap fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) untuk tiga perusahaan besar pada Minggu (13/4/2025).

    Motor mewah itu dibawa ke Gedung Kartika Kejagung menggunakan tiga truk towing pada Minggu (13/4/2025) sekitar pukul 17.55 WIB.

    Berikut sejumlah barang bukti yang didapat selama penggeledahan:

    Uang 40 lembar mata uang dolar Singapura pecahan 1.000 (disita dari rumah Muhammad Arif Nuryanta)
    125 lembar mata uang dolar AS pecahan 100 (disita dari rumah Muhammad Arif Nuryanta)
    10 lembar dolar Singapura pecahan 100 (disita dari rumah Ariyanto Bakri)
    74 lembar dolar Singapura dengan pecahan 50 (disita dari rumah Ariyanto Bakri)
    3 unit mobil yang terdiri dari satu mobil merek Toyota Land Cruiser dan dua unit mobil merek Land Rover (disita dari rumah Ariyanto Bakri)
    21 unit sepeda motor (disita dari rumah Ariyanto Bakri)
    7 sepeda (disita dari rumah Ariyanto Bakri)
    Uang senilai 360 ribu US Dolar atau kalau dirupiahkan setara Rp 5,9 miliar
    Uang sebesar 4.700 dolar Singapura (disita dari rumah tersangka Marcella)
    Uang rupiah dengan nilai total Rp 616.230.000 (disita dari rumah ASB)

    Bagaimana Putusan 3 Hakim Bisa Bebaskan 3 Perusahaan Besar Itu?

    Berdasarkan informasi dari laman resmi Mahkamah Agung, pada 19 Maret 2025, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa meskipun ketiga korporasi terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), perbuatan tersebut tidak tergolong tindak pidana.

    Dalam istilah hukum, ini disebut sebagai ontslag van alle rechtsvervolging.

    Meski demikian, JPU tetap mengajukan tuntutan denda dan uang pengganti yang sangat besar kepada masing-masing korporasi:

    PT Wilmar Group dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 11,88 triliun. Jika tidak dibayarkan, harta pribadi Direktur Tenang Parulian dapat disita dan dilelang, dengan ancaman pidana 19 tahun penjara.

    Permata Hijau Group dituntut membayar denda Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 937,55 miliar.

    Musim Mas Group dituntut membayar denda Rp 1 miliar dan uang pengganti senilai Rp 4,89 triliun.

    Ketiga korporasi sebelumnya didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

     

  • Kejagung Sita 21 Motor Mewah dan 7 Sepeda terkait Kasus Suap Kepala PN Jaksel

    Kejagung Sita 21 Motor Mewah dan 7 Sepeda terkait Kasus Suap Kepala PN Jaksel

    Bisnis.com, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita 21 motor dan 7 sepeda dalam perkara dalam kasus dugaan suap perkara korupsi mafia minyak goreng yang menyeret tiga korporasi.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI Harli Siregar mengatakan, penyitaan ini dilakukan setelah pihaknya melakukan penggeledahan dibeberapa tempat.

    “Penyidik baru saja setelah melakukan penggeledahan di beberapa tempat baru saja kita menerima sekitar 21 unit sepeda motor dengan berbagai jenis dan 7 unit sepeda,” kata Harli di Kejagung, Minggu (13/4/2025).

    Adapun, beberapa motor yang disita yakni Harley Davidson, Triumph, hingga Vespa Matic. Untuk sepeda, penyidik menyita tujuh unit yang di antaranya BMC dan Lynskey.

    Ketika ditanya barang sitaan ini atas kepemilikan siapa, Harli belum mendapat menjawab secara gamblang.Namun, dirinya menegaskan bakal memberikan informasi lebih dalam ketika semua barang sudah diperoleh. Sebab, masih terdapat beberapa barang lagi yang masih berproses.

    “Nanti akan disampaikan secara komprehensif dari siapanya, kemudian kepemilikannya supaya setelah seluruh barang bukti yang diperoleh karena kan bukan hanya ini, ada terkait uang, ada terkait dokumen dan sebagainya,” ujarnya.

    Diberitakan sebelumnya, telah menyita empat mobil mewah dari kasus dugaan suap pengurusan perkara kasus ekspor minyak goreng tiga korporasi di PN Jaksel.

    Dirdik Jampidsus Kejagung RI, Abdul Qohar mengatakan empat mobil yang disita itu yakni Ferrari, Nissan GTR, Mercedes-Benz G Class dan Lexus.

    “Satu unit mobil Ferrari, kemudian satu unit mobil Nissan GTR, satu unit mobil Mercedes-Benz, dan ada lagi satu unit mobil Lexus [disita],” ujarnya di Kejagung, Sabtu (13/4/2025).

    Di samping itu, Kapuspenkum Kejagung RI, Harli Siregar menuturkan bahwa keempat mobil mewah itu telah disita dari kediaman tersangka sekaligus advokat Aryanto.

    “Disita dari rumah Ariyanto,” tutur Harli.

    Sebagai informasi, kasus ini berkaitan dengan vonis majelis Hakim PN Tipikor terhadap tiga grup korporasi minyak goreng, yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, Musim Mas Group pada (19/3/2025).

    Singkatnya, vonis tiga group korporasi itu dibebaskan dari tuntutan jaksa yang meminta agar ketiganya dibebankan uang pengganti dan denda pada kasus rasuah migor tersebut.

    Dalam hal ini, penyidik menduga bahwa putusan itu dipengaruhi oleh suap Rp60 miliar yang berasal dari pengacara sekaligus tersangka Marcella Santoso (MS) dan Aryanto (AR).

    Suap itu diberikan melalui Wahyu Gunawan selaku Panitera Muda Perdata pada PN Jakarta Utara ke Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN).

  • Top 5 News: Harga iPhone hingga Ketua PN Jaksel Tersangka

    Top 5 News: Harga iPhone hingga Ketua PN Jaksel Tersangka

    Jakarta, Beritasatu.com – Harga iPhone yang diprediksi melonjak tiga kali lipat imbas perang dagang AS vs China hingga ketua PN Jakarta Selatan (PN Jaksel) menjadi tersangka suap dalam vonis kasus korupsi ekspor CPO menjadi dua di antara top 5 news Beritasatu.com sepanjang Minggu (13/4/2025). 

    Selain itu juga kelanjutan kasus Ridwan Kamil dengan Lisa Mariana masih mendapat perhatian dari pembaca.

    Berikut top 5 news Beritasatu.com: 

    1. Perang Dagang AS dan China, Harga iPhone Diprediksi Naik 3 Kali Lipat!

    Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kian memanas setelah kedua negara memutuskan untuk saling memberikan tarif balasan. Di tengah memanasnya isu perang dagang AS dan China, harga iPhone diprediksi naik hingga tiga kali lipat, yakni menjadi lebih dari US$ 3.000 dari semula US$ 1.000.

    Melansir dari AP News, pemerintahan Presiden Donald Trump memprediksi Apple akan memindahkan produksi iPhone ke dalam negeri di tengah eskalasi konflik kedua negara. Diketahui, Apple telah memproduksi sebagian besar iPhone di China sejak model pertamanya masuk pasaran 18 tahun lalu.

    2. Pengacara Ridwan Kamil Sindir Lisa Mariana: Ente Siapa Mau Dinafkahi?

    Kuasa hukum Ridwan Kamil, Muslim Jaya Butarbutar, menanggapi pernyataan selebgram Lisa Mariana yang mengeklaim memiliki anak dari kliennya. Ia meminta Lisa untuk tidak hanya berbicara di media sosial atau membentuk opini publik, tetapi menempuh jalur hukum yang semestinya.

    “Jangan hanya sebatas omong-omong, jangan sekadar mempublikasikan ke media untuk menggiring opini publik,” ujar Muslim Jaya dikutip dari channel YouTube, Minggu (13/4/2025).

    Menurutnya, ada mekanisme hukum yang dapat digunakan apabila Lisa Mariana memang menginginkan pengakuan status anak dari Ridwan Kamil.

    3. Gubernur Bengkulu Siap Tampung 1.000 Warga Gaza

    Top 5 news lainnya adalah kesiapan Gubernur Bengkulu Helmi Hasan untuk menampung warga Gaza di Bumi Merah Putih. Helmi menyambut positif inisiatif Presiden Prabowo Subianto yang menyatakan Indonesia siap menampung 1.000 warga Gaza Palestina.

    “Kita Bumi Merah Putih menyambut rencana Presiden Prabowo yang siap menampung 1.000 warga Gaza. Presiden belum menyebut daerah mana, maka kita menyatakan siap dan mendukung penuh,” kata Helmi, Sabtu (12/4/2025).

    Gubernur Helmi menjelaskan, apabila diizinkan akan segera menyiapkan tempat atau lahan sebagai rumah tinggal warga Gaza. “Intinya kita siap menampung 1.000 warga Gaza di Provinsi Bengkulu,” tutup Helmi.

  • Rp60 Miliar untuk Vonis Bebas, Pengamat Sebut Suap Hakim sebagai Pengkhianatan terhadap Rakyat

    Rp60 Miliar untuk Vonis Bebas, Pengamat Sebut Suap Hakim sebagai Pengkhianatan terhadap Rakyat

    Surabaya (beritajatim.com) – Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho mengecam keras dugaan suap senilai Rp60 miliar yang menyeret Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus vonis bebas terhadap tiga korporasi minyak goreng.

    Dia menilai praktik semacam ini sebagai bentuk perampokan keadilan yang menghancurkan sendi utama negara hukum.

    Menurut Hardjuno, keterlibatan hakim dalam pengaturan putusan demi kepentingan korporasi adalah puncak kebobrokan sistem hukum yang terjadi secara sistemik dan terstruktur. Ia menyebut tindakan itu bukan sekadar pelanggaran etik.

    “Kalau hakim bisa dibeli oleh korporasi, apa lagi yang tersisa dari negara hukum kita?” tegas Hardjuno di Surabaya.

    “Ini bukan sekadar pelanggaran etik, ini adalah penjualan hukum kepada pemilik modal,” tegas Hardjuno di Surabaya, Minggu (13/4/2025).

    Dia menegaskan bahwa suap yang dilakukan oleh korporasi jauh lebih berbahaya dibanding korupsi birokrasi biasa. Menurutnya, dampaknya bukan hanya pada kerugian keuangan, melainkan perusakan sistem hukum itu sendiri.

    “Ini beda kelas. Korupsi birokrasi itu mencuri dana, tapi suap korporasi membajak hukum demi melanggengkan kekuasaan ekonomi. Mereka tidak cuma menghindari hukuman, tetapi mereka membeli keadilan dan mengatur arah negara sesuai kepentingan mereka,” ungkapnya.

    “Bayangkan, negara menggelontorkan triliunan rupiah untuk subsidi minyak goreng demi rakyat. Tapi di belakang layar, korporasi justru menyuap hakim agar mereka bebas dari jerat hukum. Itu bukan hanya penghinaan terhadap negara, tapi pengkhianatan terhadap rakyat,” tegasnya.

    Sebagai tokoh pegiat antikorupsi, Hardjuno mendorong adanya pembenahan menyeluruh dalam tubuh Mahkamah Agung dan sistem pengawasan terhadap hakim. Dia mengusulkan pembentukan lembaga independen yang memiliki wewenang kuat untuk mengaudit kekayaan, gaya hidup, serta jaringan relasi para penegak hukum.

    “Kalau ada Rp60 Miliar yang mengalir ke ruang sidang, berarti ada sistem yang sudah bobrok sejak lama dan dibiarkan. Kita perlu audit total—bukan hanya perkara, tapi siapa saja yang bermain di balik layar,” ujarnya.

    Dia juga menyebut pentingnya pengesahan dan penerapan Undang-Undang Perampasan Aset untuk memastikan efek jera terhadap pelaku kejahatan korupsi dan suap di level tinggi. Penjara saja menurutnya tidak cukup.

    “Kalau uang hasil kejahatan tidak dirampas, maka penjara cuma jadi jeda. Mereka akan tetap hidup makmur setelah bebas. UU Perampasan Aset akan memastikan bahwa hasil suap dan korupsi dikembalikan ke negara, dan pelaku tidak bisa lagi membeli kebebasan dengan uang kotor. Ada efek jera juga dengan penerapan UU tersebut,” tegasnya.

    Dia menyebut keberhasilan Kejaksaan Agung sebagai sinyal penting bahwa masih ada institusi yang berani menyentuh aktor besar di balik permainan kotor hukum di Indonesia. Baginya, ini adalah awal dari pembersihan yang sesungguhnya.

    “Ini bukan kerja sembarangan. Ini pembersihan yang dimulai dari fakta, bukan sekadar retorika,” tutupnya.[asg/ted]

  • Kronologi Suap 3 Hakim yang Vonis Lepas Terdakwa Korupsi Ekspor CPO

    Kronologi Suap 3 Hakim yang Vonis Lepas Terdakwa Korupsi Ekspor CPO

    Jakarta, Beritasatu.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan kronologi suap kepada majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas tiga korporasi terdakwa kasus korupsi ekspor minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di Pengadilan Tipikor Jakarta.

    Tiga orang majelis hakim yang memutuskan perkara yang menjerat PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group itu sudah ditetapkan sebagai tersangka. Ketiganya adalah, Agam Syarif Baharudin (ASB), Ali Muhtaro (AL), dan Djuyamto (DJU). 

    Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Abdul Qohar mengatakan awalnya ASB menerima uang senilai Rp 4,5 miliar dari Muhammad Arif Nuryanta (MAN) yang saat itu menjabat sebagai ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

     “Setelah menerima uang Rp 4,5 miliar tadi, oleh ASB dimasukan ke dalam goody bag, dan setelah keluar ruangan dibagi kepada tiga orang, yaitu ASB sendiri, AL, dan DJU,” ujar Abdul Qohar dalam konferensi pers di lobi Kartika, Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari.

    Selanjutnya, pada September 2024, Arif kembali memberikan uang dalam bentuk dolar Amerika Serikat kepada ketiga hakim tersebut. Uang setara Rp 18 miliar itu diberikan langsung kepada hakim DJU.

    Dari jumlah tersebut, ASB menerima setara Rp 4,5 miliar, DJU memperoleh sekitar Rp 6 miliar, dan AL mendapatkan sekitar Rp 5 miliar. 

    Qohar menegaskan para hakim mengetahui tujuan pemberian uang tersebut, yakni agar mereka menjatuhkan vonis lepas atau ontslag terhadap ketiga korporasi terdakwa korupsi ekspor CPO.

    Hingga kini, tujuh orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, yaitu Muhammad Arif Nuryanta (MAN), Marcella Santoso (MS) dan Ariyanto (AR) selaku pengacara, Wahyu Gunawan (WG) sebagai panitera muda di PN Jakarta Utara, serta ketiga hakim ASB, AL, dan DJU.

    Marcella dan Ariyanto merupakan kuasa hukum dari tiga korporasi yang menjadi terdakwa dalam kasus korupsi ekspor CPO, yakni Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group. 

    Majelis hakim menjatuhkan vonis lepas kepada ketiga korporasi yang terjerat kasus korupsi CPO itu dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025.

    Putusan tersebut sangat berbeda dengan tuntutan jaksa penuntut umum yang meminta Permata Hijau Group dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 937 miliar, Wilmar Group sebesar Rp 11,8 triliun, dan Musim Mas Group sebesar Rp 4,8 triliun.

    Hasil penyidikan Kejagung mengungkap adanya praktik suap yang diduga mempengaruhi vonis tersebut. Marcella dan Ariyanto disebut memberikan suap sebesar Rp 60 miliar kepada Arif melalui Wahyu Gunawan.

    Qohar menyebut Arif menggunakan posisinya sebagai wakil ketua PN Jakarta Pusat saat itu untuk mengatur putusan lepas bagi para terdakwa korupsi ekspor CPO. 

    Saat Penggeledahan terkait kasus vonis lepas terdakwa korupsi ekspor CPO, penyidik menemukan dua amplop dalam tas milik Arif, satu amplop cokelat berisi 65 lembar uang pecahan SGD 1.000 dan satu amplop putih berisi 72 lembar uang pecahan US$ 100. Selain itu, dompet milik Arif juga disita dan di dalamnya ditemukan ratusan lembar uang dalam berbagai mata uang, seperti dolar AS, dolar Singapura, ringgit Malaysia, serta rupiah.

  • 10
                    
                        Ketua PN Jaksel Terima Suap Rp 60 Miliar, Tiga Hakim Lain Kebagian Rp 22,5 Miliar
                        Nasional

    10 Ketua PN Jaksel Terima Suap Rp 60 Miliar, Tiga Hakim Lain Kebagian Rp 22,5 Miliar Nasional

    Ketua PN Jaksel Terima Suap Rp 60 Miliar, Tiga Hakim Lain Kebagian Rp 22,5 Miliar
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com 
    – Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan,
    Muhammad Arif Nuryanta
    (MAN) diduga menerima suap vonis lepas kasus ekspor crude palm oil (CPO) sebesar Rp 60 miliar. 
    Suap diberikan agar hakim memberikan vonis ontslag atau putusan lepas terhadap tiga perusahaan yang terlibat yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
    Dari Rp 60 miliar tersebut, Muhammad Arif Nuryanta membagikan Rp 22,5 miliar kepada tiga hakim yang menangani
    kasus ekspor CPO
    tersebut.
    Mereka adalah Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) selaku hakim Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Pusat, serta hakim PN Jakarta Selatan, Djuyamto (DJU).
    Muhammad Arif Nuryanta awalnya menyerahkan uang Rp 4,5 kepada ketiga hakim. Lalu pada September-Oktober 2024, Muhammad Arif Nuryanta menyerahkan uang senilai Rp 18 miliar kepada Djuyamto (DJU).
    Djuyamto membagi uang tersebut dengan Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AL) yang diserahkan di depan Bank BRI Pasar Baru Jakarta Pusat.
    “Untuk ASB menerima uang dollar AS dan bila disetarakan rupiah sebesar Rp 4,5 miliar, DJU menerima uang dollar AS jika dirupiahkan sebesar atau setara Rp 6 miliar, dan AM menerima uang berupa dollar AS jika disetarakan rupiah sebesar Rp 5 miliar,” ujar Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Abdul Qohar saat konferensi pers di Lobi Kartika, Kejaksaan Agung, Sabtu (12/4/2025) malam.
    Terkait sisa uang suap, Qohar mengatakan pihaknya masih melakukan penyelidikan. 
    “Ini lah yang masih kami kembangkan. Apakah sisanya masih ada yang dibagi kepada orang lain? Atau seluruhnya dikuasi yang bersangkutan yaitu tersangka MAN,” katanya. 
    Vonis lepas merupakan putusan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi perbuatan tersebut tidak termasuk dalam kategori tindak pidana.
    Atas tindakannya, Muhammad Arif Nuryanta alias MAN disangkakan Pasal 12 huruf c jo. Pasal 12 huruf b jo. Pasal 6 ayat (2) jo. Pasal 12 huruf a jo. Pasal 12 huruf b jo. Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 11 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Sementara, tiga hakim yakni Agam Syarif Baharuddin (ASB), Ali Muhtarom (AM) dan Djuyamto (DJU) disangkakan melanggar Pasal 12C juncto 12B juncto 6 ayat 2 juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 4
                    
                        Dari Majelis Hakim ke Majelis Tersangka
                        Nasional

    4 Dari Majelis Hakim ke Majelis Tersangka Nasional

    Dari Majelis Hakim ke Majelis Tersangka
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    PENGADILAN
    adalah panggung terakhir keadilan. Di sanalah nasib rakyat dan negara diputuskan dalam nama hukum.
    Namun, bagaimana jika panggung itu sendiri telah ternoda? Ketika hakim tak lagi menjunjung keadilan, tetapi menjadi bagian dari skenario kejahatan, maka pengadilan kehilangan rohnya.
    Itulah yang terjadi dalam skandal suap yang melibatkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta.
    Penetapan tersangka terhadap Muhammad Arif oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan suap Rp 60 miliar adalah ironi hukum yang mengoyak nurani publik.
    Seorang yang seharusnya menjaga keadilan justru terjerembab dalam jebakan kekuasaan dan uang.
    Bersama tiga tersangka lain—panitera muda Wahyu Gunawan serta dua advokat, Marcella Santoso dan Ariyanto—mereka diduga merekayasa vonis untuk membebaskan tiga korporasi raksasa dalam perkara ekspor crude palm oil (CPO).
    Vonis “lepas” untuk Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group bukanlah peristiwa biasa. Ini adalah putusan hukum yang berdampak pada integritas sistem peradilan, penegakan hukum antikorupsi, dan tentu saja kepercayaan publik.
    Uang suap yang mengalir diyakini menjadi pelumas atas keputusan tersebut. Maka, ruang sidang yang seharusnya suci berubah menjadi meja transaksi. Dan majelis hakim bukan lagi pembawa keadilan, melainkan bagian dari jaringan kejahatan.
    Hakim adalah simbol tertinggi moralitas dalam sistem hukum. Namun, skandal ini menyuguhkan kenyataan pahit bahwa palu keadilan bisa diarahkan oleh kekuasaan uang.
    Uang tak hanya merusak integritas individu, tetapi juga meruntuhkan institusi. Ketika hakim menjadi broker putusan, maka habis sudah daya magis hukum.
    Fakta yang diungkap Kejaksaan Agung mencengangkan: uang miliaran ditemukan dalam berbagai mata uang, dan barang-barang mewah seperti Ferrari, Nissan GT-R, Mercedes-Benz dan Lexus ditemukan dalam penggeledahan.
    Semua ini menunjukkan betapa dalamnya korupsi mengakar, bahkan di lembaga yang konon adalah benteng terakhir pencari keadilan.
    Skandal ini adalah puncak gunung es. Ia mencerminkan masalah struktural dalam sistem peradilan kita: mulai dari lemahnya pengawasan internal, budaya impunitas, hingga tidak adanya mekanisme pencegahan yang efektif.
    Yang lebih menyesakkan, lembaga setingkat Mahkamah Agung tampak selalu terlambat, baik dalam merespons, mengawasi, maupun menegakkan disiplin.
    Ketika kekuasaan kehakiman sudah bisa dibeli, maka konsep negara hukum hanya tinggal slogan.
    Korupsi di lingkungan peradilan adalah bentuk tertinggi pengkhianatan terhadap konstitusi dan mandat rakyat. Ini bukan hanya pelanggaran etika, tetapi juga pembangkangan terhadap keadaban.
    Vonis yang bisa dinegosiasikan artinya keadilan hanya tersedia bagi yang mampu membayar. Maka, rakyat kecil akan selalu kalah.
    Sementara korporasi besar, dengan dana dan koneksi, bisa keluar dari ruang sidang tanpa luka. Tak heran jika publik makin sinis terhadap hukum. Di negeri ini, hukum seperti barang lelang: siapa yang menawar lebih tinggi, dia menang.
    Perkara korupsi ekspor CPO adalah tragedi ganda. Negara tidak hanya dirugikan secara ekonomi, tetapi juga secara moral dan politik.
    Ketika negara berusaha mengejar kerugian melalui jalur hukum, jalur itu justru dibajak oleh hakim sendiri. Inilah bentuk sabotase internal terhadap upaya pemberantasan korupsi.
    Kita tidak bisa hanya menyalahkan individu. Harus ada pertanggungjawaban kelembagaan. Di mana Mahkamah Agung ketika moralitas hakimnya jatuh? Apa yang dilakukan Komisi Yudisial untuk memastikan calon hakim adalah orang-orang berintegritas? Kasus ini harus menjadi titik balik.
    Sudah saatnya pengawasan yudisial diperkuat. Mahkamah Agung tidak bisa lagi hanya mengandalkan sistem rotasi dan mutasi.
    Harus ada sistem deteksi dini, pengawasan berbasis kinerja, audit gaya hidup, dan pelibatan publik dalam pemantauan peradilan.
    Komisi Yudisial perlu diberikan kewenangan lebih dalam menindak dan menilai hakim, bukan sekadar menerima laporan masyarakat.
    Kasus ini adalah peluang sekaligus peringatan. Jika negara benar-benar ingin memulihkan kepercayaan publik, maka harus dilakukan bersih-bersih total.
    Tidak hanya memecat dan menuntut pelaku, tapi juga membenahi sistem. Kita butuh reformasi peradilan gelombang baru: yang tidak hanya berbicara teknis, tapi juga etis dan filosofis.
    Pendidikan hukum harus memasukkan integritas sebagai kurikulum utama. Rekrutmen hakim harus lebih selektif dan terbuka. Dan di atas semuanya, harus ada keteladanan dari pimpinan lembaga peradilan.
    Kita tidak bisa terus menerus membiarkan hukum dijadikan komoditas. Negara ini tidak boleh tunduk pada jaringan mafia hukum yang tumbuh dari dalam lembaga yudikatif itu sendiri.
    Jika tidak ada langkah serius, maka krisis kepercayaan publik akan menjadi krisis legitimasi hukum.
    Kita sudah terlalu sering mendengar janji reformasi hukum. Namun, kasus demi kasus menunjukkan bahwa janji tinggal janji.
    Padahal hukum bukan sekadar norma, ia adalah harapan. Ketika harapan itu dipermainkan oleh mereka yang seharusnya menjaganya, maka rakyat hanya akan melihat hukum sebagai lelucon mahal.
    Skandal ini bukan hanya tentang Ketua PN Jakarta Selatan yang berubah status dari hakim menjadi tersangka. Ini tentang seluruh ekosistem hukum yang sedang sakit. Tentang kegagalan institusi dalam menciptakan tembok integritas.
    Dan tentang rakyat yang lelah, karena setiap palu dipukul, yang terdengar hanya gema uang, bukan gema keadilan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 3 Hakim Tersangka Suap Vonis Lepas Korupsi Ekspor CPO Ditahan

    3 Hakim Tersangka Suap Vonis Lepas Korupsi Ekspor CPO Ditahan

    Jakarta, Beritasatu.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga hakim sebagai tersangka dalam kasus suap terkait vonis lepas korupsi ekspor minyak mentah kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) oleh tiga perusahaan besar, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. 

    Ketiga tersangka, adalah Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom merupakan hakim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, serta Djuyamto, hakim dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka langsung ditahan.

    “Berdasarkan alat bukti yang cukup, dimana penyidik memeriksa tujuh orang saksi, maka pada pukul 11.30 WIB kami telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus ini,” kata Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar dalam konferensi pers di lobi Kartika Gedung Kejagung, Jakarta, Minggu (13/4/2025) malam.

    Qohar menjelaskan ketiga tersangka merupakan majelis hakim yang memvonis lepas tiga perusahaan dari dakwaan korupsi ekspor CPO.

    Dari hasil penyelidikan ditemukan mereka menerima uang suap dalam jumlah miliaran rupiah melalui Muhammad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai wakil ketua PN Jakarta Pusat.

    Uang tersebut, lanjut Qohar, berasal dari tersangka Ariyanto, pengacara yang mewakili korporasi yang menjadi terdakwa dalam kasus korupsi ekspor CPO.

    “Ketiga hakim itu mengetahui tujuan penerimaan uang tersebut, yaitu agar perkara tersebut diputus ontslag (vonis lepas),” jelasnya.

    Kejagung langsung menahan ketiga hakim tersangka suap vonis lepas korupsi CPO tersebut di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan.

    Dengan tambahan tiga tersangka ini, jumlah tersangka dalam kasus dugaan suap vonis lepas korupsi ekspor CPO menjadi tujuh orang.

    Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan empat tersangka lainnya, yaitu panitera muda perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan, advokat Marcella Santoso dan Ariyanto, serta mantan Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta.

    Putusan ontslag (vonis lepas) tersebut dijatuhkan oleh majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025. 

    Ketua majelis hakim Djuyamto bersama hakim anggota Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharuddin menyatakan para terdakwa dari PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan oleh jaksa.

    Namun demikian, majelis hakim memutus bahwa perbuatan tersebut tidak tergolong sebagai tindak pidana (ontslag van alle rechtsvervolging), sehingga para terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum. 

    Majelis hakim juga memerintahkan memulihkan hak, kedudukan,  harkat, dan martabat para terdakwa korupsi ekspor CPO.