Pembelaan Laras Faizati di Balik Unggahan Bakar Mabes Polri
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Terdakwa kasus dugaan penghasutan demo anarkistis akhir Agustus 2025, Laras Faizati, menegaskan tidak memiliki niat menghasut massa lewat unggahan media sosialnya.
Hal itu disampaikan Laras saat menjalani pemeriksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (15/12/2025).
Ia mengakui sempat mengunggah sejumlah Instagram Story pada 29 Agustus 2025.
Empat unggahan di antaranya kemudian dilaporkan karena dituding memprovokasi publik.
Unggahan pertama berisi kiriman ulang video tewasnya pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, yang terjadi malam sebelumnya, Kamis (28/8/2025).
Laras menambahkan kalimat bernada keras sebagai luapan emosinya terhadap aparat kepolisian.
Menurut Laras, kalimat tersebut ditulis secara spontan karena kekecewaan dan kemarahan atas peristiwa yang terjadi.
“Itu spontanitas kekecewaan dan kemarahan saya saja. Karena runtutan kejadian yang terjadi, dari mulai ya Affan Kurniawan dilindas, meninggal, dan juga ada video yang tersebar bahwa mobil tank tersebut kabur begitu saja tidak bertanggung jawab,” jelas Laras di persidangan.
Unggahan kedua berisi kabar meninggalnya Affan yang disertai ucapan belasungkawa.
Unggahan ketiga memperlihatkan foto Laras yang tersenyum sambil menunjuk Gedung Mabes Polri.
Foto itu diambil dari kantornya di ASEAN Inter-Parliamentary Assembly.
Laras mengatakan, ekspresi tersenyum yang berlawanan dengan kalimat keras dalam unggahan tersebut merupakan cara dirinya mengekspresikan kemarahan melalui sarkasme, gaya yang menurutnya lazim di kalangan Generasi Z.
Ia menegaskan, kalimat ajakan membakar Gedung Mabes Polri sama sekali tidak dimaksudkan sebagai provokasi.
“Saya memang tidak ada intensi untuk provokasi atau apa pun. Itu imej yang saya punya di Instagram dan kehidupan saya, yang silly dan fun kalau bahasa Inggrisnya. Jadi tidak ada keseriusan dalam postingan itu,” ungkap dia.
Selain itu, Laras merasa tidak memiliki kemampuan menggerakkan massa.
Saat itu, akun Instagram-nya hanya memiliki sekitar 3.900 pengikut, dengan penonton Instagram Story berkisar 300–500 orang.
Pada unggahan keempat, Laras menyelipkan humor dalam kritiknya terhadap kepolisian.
Salah satunya melalui kalimatnya, “Policemen should be serving our country but why do I serve harder than all of them combined.”
Kalimat tersebut secara literatur berarti, “Polisi seharusnya mengabdi kepada negara, tetapi kenapa saya justru ‘mengabdi’ lebih keras dibandingkan mereka semua jika digabungkan.”
Menurut Laras, kata serve memiliki makna ganda dalam slang Gen Z dan tidak dimaksudkan sebagai kritik literal soal pengabdian.
“Saya merasa saya lagi cantik, pakaian saya bagus, rambut saya bagus. Jadi di sini sebenarnya saya lagi mendeskripsikan pakaian saya yang ‘I serve hard’ artinya ya pakaian saya lagi keren gitu di situ. Dicampurkan dengan unsur humor lah intinya,” jelas Laras.
Meski mengakui kalimatnya keras, Laras menegaskan bahwa dirinya tidak membenci polisi.
“Saya marah, iya. Tapi tidak seemosi untuk sampai saya sebenci itu sama polisi. Karena saya memang lagi marah sama kejadiannya (dilindasnya Affan Kurniawan oleh rantis Brimob), jadi saya tetap tersenyum dan tidak menunjukkan pose saya marah,” sambung dia.
Di hadapan majelis hakim, Laras juga mengungkapkan rasa ketidakadilan atas ancaman hukuman yang ia hadapi, yang menurutnya lebih berat dibanding aparat yang ia kritik.
“Selama ini saya selalu bangga menjadi warga negara Indonesia, tapi ketika saya buka suara untuk bela sungkawa, untuk marah, untuk boleh mengekspresikan kecewa saya, saya malah ada di sini,” tutur Laras sambil terisak.
“Saya malah mendapatkan hukuman penjara yang lebih lama daripada oknum-oknum yang melindas Affan Kurniawan,” lanjutnya.
Selain ancaman hukuman, Laras mengaku khawatir dengan keselamatan ibu dan adiknya. Ia menyebut telah mengalami doxing setelah ditangkap.
Identitas pribadinya, mulai dari KTP, nama orang tua, hingga alamat rumah, disebarkan oleh pihak tak dikenal. Awak media juga mendatangi rumah keluarganya.
“Saya juga khawatir akan masa depan saya, akan keamanan keluarga saya dan saya sendiri, karena saya sudah di-doxing, identitas saya di mana-mana,” tutur Laras.
Sebagai anak muda yang masih aktif bekerja, Laras merasa penangkapannya telah merenggut hak-hak dasarnya.
“Saya malah dipidanakan seperti ini, saya merasa hak saya sebagai manusia itu tidak ada karena ini semua. Saya harus kehilangan pekerjaan saya, saya harus kehilangan waktu saya sebagai anak muda, sebagai tulang punggung, harusnya saya bisa berkarya,” ungkapnya.
Nama Laras termasuk dalam tiga tahanan yang direkomendasikan Komisi Reformasi Polri untuk segera dibebaskan.
Anggota Komisi Reformasi Polri, Mahfud MD, menyampaikan rekomendasi itu setelah mendengar paparan tim kuasa hukum Laras.
Mendengar hal tersebut, Laras menyampaikan terima kasih dan berharap rekomendasi itu menjadi pertimbangan majelis hakim.
“Saya berterima kasih karena nama saya sudah di-mention oleh Bapak Mahfud MD. Semoga ini akan juga menjadi pertimbangan untuk keadilan saya juga,” kata Laras.
Ia juga berharap rekomendasi serupa diberikan kepada tahanan lain dengan kasus sejenis.
Jaksa Penuntut Umum mendakwa
Laras Faizati
telah menghasut publik untuk melakukan tindakan anarkistis dalam demonstrasi akhir Agustus 2025.
Penghasutan tersebut disebut berangkat dari unggahan Laras terkait kematian Affan Kurniawan yang dilindas kendaraan taktis Brimob pada 28 Agustus 2025.
Dalam salah satu unggahan, jaksa menilai Laras mengajak publik melakukan tindakan anarkis.
“Jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia artinya adalah, ‘Ketika kantormu tepat disebelah Mabes Polri. Tolong bakar gedung ini dan tangkap mereka semua! Aku ingin sekali membantu melempar batu, tapi ibuku ingin aku pulang. Mengirim kekuatan untuk semua pengunjuk rasa!!’” kata jaksa.
Jaksa juga mengaitkan unggahan tersebut dengan percobaan pembakaran fasilitas di sekitar SPBU Mabes Polri.
Dalam perkara ini, Laras didakwa dengan empat pasal, termasuk pasal-pasal dalam UU ITE serta Pasal 160 dan 161 KUHP tentang penghasutan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: PN Jakarta Selatan
-
/data/photo/2025/12/16/69409f3f173a0.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pembelaan Laras Faizati di Balik Unggahan Bakar Mabes Polri Megapolitan 16 Desember 2025
-
/data/photo/2025/10/29/6901c9217dee4.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Delpedro Cs Jalani Sidang Perdana Kasus Demo Agustus di PN Jakpus Besok Megapolitan 15 Desember 2025
Delpedro Cs Jalani Sidang Perdana Kasus Demo Agustus di PN Jakpus Besok
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Terdakwa dugaan penghasutan demo Agustus 2025, Delpedro Marhaen Rismansyah akan menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (16/12/2025) besok.
“Jadwalnya (
sidang perdana
) besok,” ujar Juru Bicara
PN Jakarta Pusat
, Sunoto saat dikonfirmasi Kompas.com, Senin (15/12/2025).
Selain Delpedro, tiga terdakwa lain untuk kasus yang sama, yakni Muzaffar Salim, Syahdan Husein, dan Khariq Anhar juga akan menjalani jadwal sidang perdana besok hari.
Sunoto menyebut, sidang akan dimulai pukul 10.00 WIB.
“Ya begitu (pukul 10.00 WIB),” tuturnya.
Persidangan perdana ini dijadwalkan usai Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat melimpahkan berkas perkara Delpedro dan tiga orang lainnya ke PN Jakarta Pusat pada 8 Desember 2025.
Keempat terdakwa dikenakan pasal 28 ayat (2) Jo pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Atau pasal 28 ayat (3) Jo Pasal 45A ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Atau pasal 160 KUHP Jo pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
“Atau Pasal 76H Jo Pasal 15 Jo Pasal 87 UU RI No 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU RI No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana,” tambah Fajar.
Kasus dugaan penghasutan demo berujung ricuh pada akhir Agustus 2025 yang melibatkan
Delpedro Marhaen
, dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jakarta, Rabu (29/10/2025).
Delpedro dan tiga orang lain yang menjadi tersangka pun ditahan oleh polisi.
Ia sempat mengajukan permohonan praperadilan setelah ditetapkan sebagai tersangka.
Namun, hakim tunggal PN Jakarta Selatan, Sulistyanto Rokhmad Budiharto menolak gugatan praperadilan tersebut pada Senin (27/10/2025).
“Satu, menolak permohonan pemohon praperadilan untuk seluruhnya. Dua, membebankan biaya perkara kepada pemohon sejumlah nihil,” kata hakim di ruang sidang 4 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (27/10/2025).
Hakim menilai bahwa berdasarkan berkas dan bukti yang disampaikan Polda Metro Jaya sebagai pihak termohon, penetapan Delpedro sebagai tersangka sudah sah.
“Hakim praperadilan berpendapat bahwa penetapan tersangka terhadap pemohon berdasarkan dua alat bukti yaitu saksi dan ahli,” tutur dia.
Selain Delpedro, gugatan praperadilan untuk aktivis lainnya seperti Muzaffar Salim, Khariq Anhar, dan Syahdan Husein juga ditolak.
Sebelumnya, terkait dengan aksi demonstrasi pada akhir Agustus lalu, Polisi telah menetapkan enam orang admin media sosial sebagai tersangka dugaan penghasutan anak di bawah umur untuk melakukan aksi anarkistis di Jakarta lewat media sosial.
Enam orang tersebut salah satunya Delpedro.
Sementara lima orang lainnya berinisial MS, SH, KA, RAP, dan FL.
Keenam orang itu diduga membuat konten yang menghasut dan mengajak para pelajar dan anak di bawah umur untuk melakukan tindakan anarkistis di Jakarta, termasuk Gedung DPR/MPR RI.
Selain itu, keenamnya juga disebut melakukan siaran langsung saat aksi anarkistis itu dilakukan.
“Menyuarakan aksi anarkis dan ada yang melakukan live di media sosial inisial T sehingga memancing pelajar untuk datang ke gedung DPR/MPR RI sehingga beberapa di antaranya melakukan aksi anarkis dan merusak beberapa fasilitas umum,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Brigjen Ade Ary Syam Indradi di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, pada 2 September 2025.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

KPK Serahkan Berkas Jawab Gugatan Praperadilan MAKI yang Minta Bobby Diperiksa
Jakarta –
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengajukan praperadilan yang salah satu gugatannya meminta hakim memerintahkan KPK memeriksa Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Bobby Nasution. KPK telah menyerahkan jawaban tertulis terkait gugatan itu.
“Menerima jawaban dari termohon, silakan,” ujar Hakim Tunggal PN Jakarta Selatan, Budi Setiawan, dalam persidangan yang digelar di PN Jaksel, Senin (15/12/2025).
Pihak KPK kemudian menyerahkan berkas jawaban ke hakim. Hakim lalu menyebut sidang dilanjutkan Selasa (16/12) dengan agenda pembuktian saksi.
“Cukup ya? Sidang kita tunda besok, hari Selasa, tanggal 16 (Desember). Pembuktian saksi dan surat dari pemohon jam setengah 10,” jelasnya.
Dalam berkas jawaban yang dilihat detikcom, KPK mengaku tak memanggil Bobby karena majelis hakim tidak pernah memerintahkan secara eksplisit agar KPK menghadirkan Bobby di persidangan. Menurut KPK, tak ada pengabaian dari perintah hakim.
“Bahwa sampai dengan tahapan persidangan pembacaan tuntutan, Majelis Hakim tidak pernah mengulangi, menegaskan kembali, ataupun mengeluarkan penetapan/perintah lanjutan yang secara eksplisit mewajibkan termohon untuk menghadirkan Muhammad Bobby Afif Nasution sebagai saksi sebagaimana didalilkan oleh pemohon, sehingga tidak ada dasar hukum ataupun kebutuhan pembuktian yang mengharuskan termohon memanggil atau menghadirkan Muhammad Bobby Afif Nasution dalam persidangan,” demikian isi dokumen yang diserahkan KPK seperti dilihat detikcom.
Sebelumnya, MAKI mengajukan praperadilan terkait dugaan penghentian penyidikan kasus korupsi proyek jalan di Sumut. MAKI meminta hakim memerintahkan KPK untuk memanggil Gubernur Sumut, Bobby Nasution, terkait kasus tersebut.
Permohonan praperadilanPermohonan praperadilan yang diajukan MAKI teregister dengan nomor perkara 157/Pid.Pra/2025/PN JKT.SEL. Sidang perdana digelar hari ini di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (5/12/2025).
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, mengatakan penyidikan kasus korupsi jalan di Sumut diduga dihentikan karena KPK tidak pernah memeriksa Bobby sebagai saksi di tahap penyidikan. MAKI juga menuding KPK telah mengabaikan atau tidak menjalankan perintah Hakim Pengadilan Tipikor Medan untuk memanggil Bobby sebagai saksi di persidangan terdakwa Kadis Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sumatera Utara (Sumut) Topan Obaja Putra Ginting.
“Sampai kapanpun kalau belum diperiksa ya kita gugat lagi,” ujar Boyamin.
MAKI juga memohon hakim memerintahkan KPK menghadirkan Rektor USU Muryanto Amin dalam persidangan Topan Ginting. MAKI juga memohon hakim memerintahkan KPK membawa bukti uang Rp 2,8 miliar untuk dimohonkan penyitaan sebagai penebusan kesalahan karena tidak dicantumkannya dalam surat dakwaan Topan Ginting.
“Muryanto Amin yang dipanggil dua kali tidak hadir juga tidak dipanggil paksa. Terus surat dakwaan menghilangkan duit Rp 2,8 miliar yang hasil OTT (operasi tangkap tangan). Terus ada beberapa yang isu teman-teman yang ke Dewan Pengawas itu kan ada penghalangan atau penghambatan oleh Satgas, Kepala Satgas untuk menggeledah, menyita dan sebagainya,” ujar Boyamin.
“Jadi ini kan masuk kategori seperti KUHAP tadi, penelantaran perkara itu adalah dengan cara menelantarkan atau menghentikan secara tidak sah,” tambahnya.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan lima orang sebagai tersangka. Mereka ialah:
– Topan Ginting (TOP), Kadis PUPR Provinsi Sumut
– Rasuli Efendi Siregar (RES), Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Provinsi Sumut
– Heliyanto (HEL), PPK Satker PJN Wilayah I Sumut
– M Akhirun Pilang (KIR), Dirut PT DNG
– M Rayhan Dulasmi Pilang (RAY), Direktur PT RN.Akhirun telah divonis 2,5 tahun penjara dan Rayhan telah divonis 2 tahun penjara karena terbukti menerima suap. Sementara, tiga orang lainnya masih dalam proses persidangan.
Halaman 2 dari 2
(tsy/haf)
-

Hukuman Diperberat, Nikita Mirzani Siap Ajukan Kasasi
Jakarta, Beritasatu.com – Artis Nikita Mirzani menyatakan siap mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung setelah majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta menambah hukuman penjaranya dari 4 tahun menjadi 6 tahun. Hal ini diungkapkan kuasa hukumnya, Usman Lawara.
Usman menyebut kliennya sangat kecewa atas putusan tersebut. Nikita merasa tidak melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
“Kalau ditanya bagaimana sikap Nikita Mirzani atas putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pastinya dia kecewa ya. Wajar dia kecewa karena tidak melakukan tindak pidana pencucian uang TPPU, tetapi diputuskan melakukan TPPU. Maka Nikita pasti akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung,” ungkap Usman, mengutip kanal YouTube Intens Investigasi, Sabtu (13/12/2025).
Usman menjelaskan pihaknya kini tengah menyusun draft pembelaan sebelum resmi mengajukan kasasi
“Senin (15/12/2025) kita akan ajukan kasasi, dan ini harus kasasi karena putusan ini sangat keliru apalagi pasal TPPU adalah pasal yang serius,” tegasnya.
Sebagai kuasa hukum Nikita, Usman menilai dimasukkannya pasal terkait pemerasan dan TPPU dalam putusan adalah langkah yang salah.
“Kalau dari proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan selama 8 bulan kan jelas bahwa tidak ada fakta yang mengarah pada TPPU dan semua dilakukan atas dasar kesepakatan,” tambah Usman.
Kuasa hukum Nikita itu juga menyoroti kejanggalan putusan yang hanya menghukum Nikita, sementara Reza Gladys sebagai pemberi uang tidak diperiksa dengan pasal yang sama.
“Kenapa giliran dimasukkan pasal TPPU hanya Nikita saja yang dihukum, sementara RG sebagai pemberi uang yang dianggap suap tidak dihukum. Atas putusan ini, ke depan orang Indonesia enggak ada lagi yang mau bantu kalau ada orang yang bermasalah,” pungkas Usman.
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi Jakarta menambah hukuman Nikita setelah Nikita dan jaksa penuntut umum (JPU) Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sama-sama mengajukan banding.
Putusan yang dibacakan pada Selasa (6/12/2025) menyatakan Nikita bersalah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik melalui UU ITE. Selain itu, majelis hakim juga memasukkan pasal pemerasan dan TPPU, sehingga hukuman Nikita diperberat menjadi enam tahun.
-

Hukuman Naik Jadi 6 Tahun, Nikita Mirzani Sebut Hukum Indonesia Bobrok
Jakarta, Beritasatu.com – Selebritas Nikita Mirzani langsung menyinggung soal bobroknya sistem hukum Indonesia setelah hukumannya dinaikkan menjadi enam tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Selasa (9/12/2025). Setelah putusan itu dibacakan, Nikita Mirzani mengunggah respons bernada kecewa lewat Insta Story yang dikutip Beritasatu.com pada Rabu (10/12/2025).
Dalam unggahan tersebut, Nikita Mirzani menulis kalimat keras bahwa siapa pun presiden yang memimpin, kondisi hukum Indonesia tetap buruk. Ia menilai masih ada oknum yang mudah disuap sehingga keputusan bisa berubah, bahkan membuat yang benar menjadi salah.
“Mau siapa pun presidennya hukum di Indonesia akan selalu bobrok. Karena setiap individu gampang disogok. Ada uang semua lancar. Yang benar jadi salah, welcome to Indonesia,” tulis Nikita di akun Instagramnya.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta resmi memperberat hukuman Nikita Mirzani menjadi enam tahun penjara dalam kasus dugaan pemerasan serta tindak pidana pencucian uang (TPPU). Putusan itu dibacakan dalam sidang banding terbuka yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Sri Andini, SH. Ruang sidang dipenuhi awak media dan pengunjung, namun Nikita Mirzani maupun kuasa hukumnya tidak hadir.
Dalam amar putusan, majelis menyatakan Nikita Mirzani terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana turut serta mendistribusikan atau mentransmisikan informasi elektronik, serta terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang. Hukuman itu lebih berat dibanding vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang sebelumnya menjatuhkan empat tahun penjara dan menyatakan unsur TPPU tidak terbukti.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama enam tahun dan pidana denda sebesar satu miliar rupiah, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan,” ucap hakim.
Wakil Ketua PT DKI Jakarta, Dr Albertina, menjelaskan bahwa hukuman diperberat karena pada tingkat banding unsur pencucian uang dinilai terbukti. “Kalau di Pengadilan Negeri itu tidak terbukti pencucian uangnya. Di Pengadilan Tinggi, menurut majelis, terbukti juga pencucian uangnya. Jadi dua dakwaan kumulatif itu terbukti,” ujarnya.
Dengan putusan tersebut, proses hukum Nikita Mirzani dipastikan terus bergulir, sementara komentar keras Nikita Mirzani kembali memicu perhatian publik atas kondisi hukum di Indonesia.
-

Nikita Mirzani Masih Punya Peluang Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung
Jakarta, Beritasatu.com – Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta memutuskan menambah hukuman artis Nikita Mirzani menjadi 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan penjara. Putusan ini lebih berat dibanding keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang sebelumnya menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Majelis Hakim PT Jakarta menilai, bukti-bukti menguatkan dugaan keterlibatan aktif Nikita Mirzani dalam tindak pemerasan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait laporan dokter Reza Gladys. Unsur TPPU yang dianggap terbukti menjadi faktor pemberat hukuman.
Meski demikian, pengadilan tetap memberikan kesempatan bagi pihak Nikita Mirzani maupun jaksa penuntut umum (JPU) untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
“Tadi sudah disampaikan bahwa Nikita Mirzani dan JPU berhak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam rentang waktu 14 hari,” ujar Humas Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Albertina, sebagaimana dikutip Beritasatu.com dari Channel YouTube Rayben Entertainment, Selasa (14/12/2025).
Albertina menjelaskan, majelis hakim tingkat banding meyakini pasal TPPU terpenuhi, sehingga hukuman meningkat pada putusan banding tersebut.
Dengan putusan ini, masa hukuman Nikita resmi menjadi 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan penjara. Putusan tersebut lebih tinggi dibanding putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dibacakan pada Selasa (28/10/2025).
-

Diusut Dewas, Digugat di Praperadilan
Jakarta –
KPK telah mengusut perkara korupsi proyek jalan di wilayah Sumatera Utara (Sumut). Dalam perjalanannya, KPK menerima desakan agar segera memeriksa Gubernur Sumut, Bobby Nasution.
Namun, meski banyak desakan, KPK masih tak kunjung melakukan pemanggilan terhadap Bobby. Sampai akhirnya, pihak deputi, penyidik, hingga jaksa KPK, dipanggil oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Pemanggilan terhadap deputi, penyidik, hingga jaksa KPK dilakukan oleh Dewas setelah adanya aduan dari Koalisi Aktivis Mahasiswa Indonesia. Aduan ini pun langsung ditindaklanjuti oleh Dewas.
Ketua Dewas KPK, Gusrizal, mengonfirmasi pemanggilan penyidik KPK selaku Kasatgas Penyidikan KPK AKBP Rossa Purba Bekti. Gusrizal mengatakan Rossa dipanggil Rabu (3/12), pukul 10.00 WIB.
“Rossa dipanggil jam 10.00 WIB. Benar (pemanggilan) di Gedung C1,” ujar Gusrizal kepada wartawan, Rabu (3/12).
Gusrizal juga menjelaskan, pemeriksaan terhadap Rossa ini berkaitan dengan pemanggilan Gubernur Sumut Bobby Nasution terkait perkara korupsi jalan Sumut dalam persidangan di PN Tipikor Medan.
“Masaalah pemanggilan Gubernur Sumut,” tuturnya.
Pihak KPK, melalui juru bicara, Budi Prasetyo, mengatakan, KPK menghormati pemanggilan ini dan menilainya sebagai bentuk pengawasan dalam memastikan pengusutan perkara yang dilakukan penyidik sudah sesuai ketentuan.
“Mari kita hormati prosesnya, bahwa pemeriksaan oleh Dewas adalah bagian dari pengawasan guna memastikan setiap pelaksanaan tugas di KPK tidak hanya sesuai dengan ketentuan dan prosedur, namun juga memedomani nilai-nilai etik dan perilaku sebagai insan KPK,” ujar juru bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan, Kamis (4/12).
Di sisi lain, Budi memastikan bahwa proses penanganan perkara korupsi proyek jalan Sumut sudah dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Dia mengatakan semua tahapan juga sudah dilalui dalam penanganan perkara ini.
“Dalam proses penanganan perkara ini, kami pastikan telah sesuai dengan proses hukum dan peraturan perundangan yang berlaku, mulai dari tindakan-tindakan penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan,” jelas Budi.
MAKI Ajukan Praperadilan Minta KPK Periksa Bobby
Desakan agar KPK segera memanggil dan memeriksa Bobby di kasus korupsi proyek jalan Sumut ini kembali muncul. Kali ini, desakan disampaikan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) lewat pengajuan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
MAKI mengajukan praperadilan terkait dugaan penghentian penyidikan kasus korupsi proyek jalan di Sumatera Utara (Sumut). MAKI meminta hakim memerintahkan KPK untuk memanggil Gubernur Sumut, Bobby Nasution, terkait kasus tersebut.
Permohonan praperadilan yang diajukan MAKI teregister dengan nomor perkara 157/Pid.Pra/2025/PN JKT.SEL. Sidang perdana digelar hari ini di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (5/12).
Termohon dalam praperadilan ini yaitu NKRI cq pemerintah negara cq pimpinan KPK RI. Namun, Termohon tidak hadir dan meminta penundaan waktu selama satu pekan untuk menjawab permohonan MAKI.
“Jadi sidang saya tunda hari Jumat (12/12) depan jam 10.00 WIB pagi dengan acara kehadiran Termohon,” ujar hakim tunggal PN Jakarta Selatan, Budi Setiawan.
Ditemui usai sidang, Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, mengatakan penyidikan kasus korupsi jalan di Sumut diduga dihentikan karena KPK tidak pernah memeriksa Bobby sebagai saksi di tahap penyidikan. MAKI juga menduga KPK telah mengabaikan atau tidak menjalankan perintah Hakim Pengadilan Tipikor Medan untuk memanggil Bobby sebagai saksi di persidangan terdakwa Kadis Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sumatera Utara (Sumut) Topan Obaja Putra Ginting.
“Sampai kapanpun kalau belum diperiksa ya kita gugat lagi,” ujar Boyamin.
MAKI memohon hakim memerintahkan KPK menghadirkan Rektor USU Muryanto Amin dalam persidangan Topan Ginting. MAKI juga memohon hakim memerintahkan KPK membawa bukti uang Rp 2,8 miliar untuk dimohonkan penyitaan sebagai penebusan kesalahan karena tidak dicantumkannya dalam surat dakwaan Topan Ginting.
“Muryanto Amin yang dipanggil dua kali tidak hadir juga tidak dipanggil paksa. Terus surat dakwaan menghilangkan duit Rp 2,8 miliar yang hasil OTT (operasi tangkap tangan). Terus ada beberapa yang isu teman-teman yang ke Dewan Pengawas itu kan ada penghalangan atau penghambatan oleh Satgas, Kepala Satgas untuk menggeledah, menyita dan sebagainya,” ujar Boyamin.
“Jadi ini kan masuk kategori seperti KUHAP tadi, penelantaran perkara itu adalah dengan cara menelantarkan atau menghentikan secara tidak sah,” tambahnya.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan lima orang sebagai tersangka. Mereka ialah:
– Topan Ginting (TOP), Kadis PUPR Provinsi Sumut
– Rasuli Efendi Siregar (RES), Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Provinsi Sumut
– Heliyanto (HEL), PPK Satker PJN Wilayah I Sumut
– M Akhirun Pilang (KIR), Dirut PT DNG
– M Rayhan Dulasmi Pilang (RAY), Direktur PT RN.Topan diduga mengatur perusahaan swasta pemenang lelang untuk memperoleh keuntungan ekonomi. KPK menduga Topan mendapat janji fee Rp 8 miliar dari pihak swasta yang dimenangkan dalam proyek jalan senilai Rp 231,8 miliar itu.
KPK mengatakan Akhirun dan Rayhan telah menarik duit Rp 2 miliar yang diduga akan dibagikan ke pejabat yang membantu mereka mendapat proyek.
Halaman 2 dari 2
(dhn/whn)
-
/data/photo/2025/10/07/68e4e5b71bbb3.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Harap Proses Ekstradisi Paulus Tannos Segera Rampung Usai Praperadilan Tak Diterima Nasional 3 Desember 2025
KPK Harap Proses Ekstradisi Paulus Tannos Segera Rampung Usai Praperadilan Tak Diterima
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berharap proses ekstradisi tersangka kasus korupsi pengadaan e-KTP, Paulus Tannos, dapat segera rampung usai gugatan praperadilan tidak diterima oleh Hakim Tunggal Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
KPK
mengatakan, proses
ekstradisi
penting dilakukan agar penyidikan kasus korupsi pengadaan e-KTP yang melibatkan
Paulus Tannos
bisa dilanjutkan.
“Tentunya kami berharap dari putusan praperadilan ini kemudian juga bisa mendorong agar proses ekstradisi bisa segera tuntas, sehingga penyidikan perkara terhadap DPO Paulus Tannos bisa segera dilanjutkan,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Selasa (2/12/2025) malam.
KPK terus berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait dalam proses
ekstradisi Paulus Tannos
.
“Baik dengan Kementerian Hukum, Kejaksaan, maupun KBRI dalam proses ekstradisi DPO Paulus Tannos,” ujar dia.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan tidak menerima permohonan gugatan praperadilan dari buron kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik, Paulus Tannos, melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Dalam pokok perkara menyatakan praperadilan pemohon tidak dapat diterima,” kata Hakim Tunggal Halida Rahardhini di ruangan sidang utama PN Jakarta Selatan, Selasa.
Halida menilai, permohonan praperadilan Paulus Tannos itu prematur (error in objecto).
Dengan demikian, melalui putusan sidang praperadilan ini, penyidikan kasus dugaan
korupsi e-KTP
terkait Paulus Tannos tetap dilanjutkan.
“Permohonan praperadilan a quo adalah ‘error in objecto’ dan bersifat prematur untuk diajukan,” ucap dia.
Adapun pertimbangan terkait vonis tidak dapat menerima gugatan praperadilan Paulus Tannos adalah bahwa penangkapan dan penahanan terdakwa dilakukan oleh otoritas Singapura.
“Bukan penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum Indonesia, KPK, atau termohon menurut hukum acara yang diatur dalam KUHAP,” ucap dia.
Dia menambahkan, gugatan yang diajukan oleh Paulus ditetapkan tidak termasuk dalam obyek praperadilan sebagaimana aturan yang berlaku.
Maka itu, gugatan praperadilan ini dinyatakan prematur untuk diajukan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Untuk diketahui, KPK mengumumkan bahwa Paulus Tannos alias Thian Po Tjhin telah ditangkap di Singapura pada awal Januari 2025.
Saat ini, yang bersangkutan sedang menjalani proses ekstradisi di pengadilan Singapura.
Paulus Tannos ditetapkan sebagai tersangka baru dalam pengembangan penyidikan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik pada 13 Agustus 2019.
KPK menduga kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut sekitar Rp 2,3 triliun.
Namun, Paulus Tannos melarikan diri ke luar negeri dan mengganti identitasnya.
Dia lantas dimasukkan ke dalam daftar pencarian orang (DPO) atau buron komisi antirasuah itu sejak 19 Oktober 2021.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

/data/photo/2025/08/20/68a5517f9b1fb.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)