Kementrian Lembaga: PN Jakarta Pusat

  • BREAKING NEWS: Eks Karyawan Jhon LBF, Septia Dituntut 1 Tahun Penjara di Kasus Pencemaran Nama Baik – Halaman all

    BREAKING NEWS: Eks Karyawan Jhon LBF, Septia Dituntut 1 Tahun Penjara di Kasus Pencemaran Nama Baik – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mantan karyawan PT Lima Sekawan atau Hive Five Septia Dwi Pertiwi dituntut 1 tahun penjara dalam kasus pencemaran nama baik terhadap mantan bosnya, Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF.

    Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai Septia terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik dengan mendistribusikan informasi elektronik atau dokumen elektronik yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.

    Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 3 Jo Pasal 36 Jo Pasal 51 Undang-Undang RI Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

    “Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Septi Dwi Pertiwi selama 1 tahun dikurangi masa penahanan sementara yang telah dijalani terdakwa dan memerintahkan terdakwa tetap ditahan,” ujar Jaksa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (11/12/2024).

    Selain pidana badan, Septia juga dituntut membayar denda sebesar Rp 50 juta dengan ketentuan apabila tidak mampu membayar maka diganti dengan hukuman kurungan selama 3 bulan.

    jaksa pun mengungkap berbagai pertimbangannya dalam menjatuhkan tuntutan tersebut.

    pertimbangan yang memberatkan adalah Septia dianggap tidak merasa bersalah dan tidak mengakui secara jujur perbuatannya.

    Tak hanya itu Jaksa juga menyebut perbuatan terdakwa Septia mengakibatkan kerugian bagi saksi korban yakni Jhon LBF dan perbuatannya dianggap meresahkan masyarakat.

    “Hal meringankan, terdakwa bersikap sopan di persidangan, terdakwa telah meminta maaf kepada saksi korban Henry,” pungkasnya.

    Duduk Perkara Septia Vs Jhon LBF

    Sebagai informasi, saat ini Septia menjadi terdakwa dalam sidang pencemaran nama baik di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    Ia dikasuskan Henry Kurnia Adhi Sutikno atau John LBF selaku bos PT Lima Sekawan Indonesia. 

    Jhon LBF merasa dirugikan atas informasi yang disebarkan Septia terkait perusahaannya.

    Diketahui, Septia mengungkapkan ihwal pemotongan upah sepihak, pembayaran di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP), jam kerja berlebihan, serta tidak adanya BPJS Kesehatan dan slip gaji melalui akun X (Twitter) miliknya. 

    John LBF kemudian melaporkan cuitan Septia itu ke Polda Metro Jaya atas tuduhan pelanggaran UU ITE.

    Menurut catatan, Septia ditahan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat pada 26 Agustus 2024 tanpa alasan yang jelas. Ia kemudian menjadi tahanan kota pasca persidangan yang digelar pada 19 September 2024. 

    Ia didakwa melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE terkait pencemaran nama baik dan Pasal 36 UU ITE, yang dapat berujung pada ancaman hukuman penjara hingga 12 tahun.

    Setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak eksepsi yang diajukan oleh kuasa hukum Septia.

    Persidangan kasus dugaan pencemaran nama baik tersebut berlanjut hingga saat ini.

  • Harvey Moeis Dituntut Bayar Uang Pengganti Rp210 Miliar atau Harta Disita

    Harvey Moeis Dituntut Bayar Uang Pengganti Rp210 Miliar atau Harta Disita

    GELORA.CO  – Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut Harvey Moeis terdakwa kasus dugaan korupsi dan TPPU dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah PT. Timah 12 tahun penjara. Tuntutan dibacakan JPU di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (9/12/2024).

    Jaksa berpendapat Harvey Moeis terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan TPPU sesuai dengan pasal yang didakwakan. 

    Adapun Harvey Moeis juga dituntut untuk membayar denda sebesar Rp1 miliar. Jaksa juga membebankan uang pengganti sebesar Rp210 miliar kepada Harvey Moeis.

    JPU meminta Harvey untuk membayar uang pengganti itu dalam kurun waktu satu bulan setelah putusan incraht. Adapun jika tidak, maka harta benda Harvey bisa disita untuk dilelang untuk menutup uang pengganti itu

  • Bikin Perusahaan Boneka Mitra PT Timah Bareng Harvey Moeis, Direktur PT RBT Dituntut 8 Tahun Penjara

    Bikin Perusahaan Boneka Mitra PT Timah Bareng Harvey Moeis, Direktur PT RBT Dituntut 8 Tahun Penjara

    loading…

    Sidang pembacaan tuntutan kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (9/12/2024). FOTO/SINDOnews/JONATHAN SIMANJUNTAK

    JAKARTA – Direktur Pengembangan Usaha PT Refined Bangka Tin, Reza Andriansyag dituntut pidana 8 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah . Reza dituntut bersama terdakwa lain, seperti Harvey Moeis , suami artis Sandra Dewi

    “Menuntut menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa Reza Andriansyag dengan pidana penjara selama delapan tahun,” kata Jaksa Penuntut Umum dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (9/12/2024).

    Jaksa menilai Reza terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dalam dakwaan primer. Reza juga diminta membayar uang denda sebesar Rp750 juta.

    “Menghukum terdakwa membayar denda sebesar Rp750 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” tambah JPU.

    Reza dituntut bersama Direktur Utama PT RBT, Suparta dalam surat dakwaan terpisah. Reza dan Suparta bersama Harvey Moeis bersekongkol membuat perusahaan boneka seolah jasa mitra PT Timah. Padahal, perusahaan boneka itu mengumpulkan bijih timah hasil penambangan liar di wilayah IUP PT Timah.

    Lewat perusahaan boneka itu, Suparta bersama Reza dan Harvey kemudian menjual bijih timah hasil pertambangan ilegal itu kepada PT Timah. Transaksi pembelian bijih timah antara PT RBT dengan PT Timah dilakukan menggunakan cek kosong.

    Untuk mengolah bijih timah, PT Timah menyepakati kerja sama sewa peralatan dengan PT RBT. Ketiganya mengetahui adanya kelebihan bayar yang dilakukan PT Timah.

    Suparta dan Reza yang diwakili Harvey kemudian melakukan pertemuan dengan Dirut PT Timah, Mochtar Riza Pahlevi dan Direktur Operasi PT Timah, Alwin Albar, serta 27 pemilik smelter swasta.

    Pertemuan tersebut turut membahas permintaan Riza dan Alwin atas bijih timah 5% dari kuota ekspor hasil kegiatan penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.

    Harvey kemudian meminta 5 dari 27 perusahaan smelter swasta itu, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa untuk membayar biaya ‘pengamanan’ sebesar USD500 hingga USD750 per metrik ton.

    (abd)

  • Lagi, Jokowi Dilaporkan Terkait Ijazah Palsu oleh Eggi Sudjana ke Bareskrim Polri

    Lagi, Jokowi Dilaporkan Terkait Ijazah Palsu oleh Eggi Sudjana ke Bareskrim Polri

    GELORA.CO – Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), Eggi Sudjana, kembali menjadi sorotan setelah melaporkan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), dan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Ova Emilia, ke Bareskrim Polri.

    Laporan ini terkait tuduhan penggunaan ijazah palsu yang selama ini menjadi isu kontroversial.

    Eggi Sudjana mendatangi Bareskrim Polri pada Senin (9/12/2024), didampingi rekan-rekannya.

    Dalam keterangannya kepada media, Eggi menyebutkan bahwa laporan ini dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu edukasi politik dan penegakan hukum.

    Menurut Eggi, kepemilikan ijazah yang sah adalah syarat mutlak untuk mengikuti pemilihan umum, sebagaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 Pasal 169.

    Dalam aturan tersebut, calon presiden, calon kepala daerah, dan peserta pemilihan lainnya diwajibkan memiliki ijazah minimal setara dengan SMA.

    “Politiknya adalah kaitan dengan banyaknya peristiwa pemilihan mulai dari Pilpres dan Pilkada.

    Penegakan hukumnya terkait Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 169, tentang persyaratan untuk ikut Pilpres atau Pilkada lainnya yang harus punya ijazah,” ujar Eggi saat diwawancarai.

    Eggi menegaskan bahwa mantan Presiden Joko Widodo, yang pernah menjabat sebagai Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta,

    hingga Presiden RI selama dua periode, perlu membuktikan keabsahan ijazahnya untuk memenuhi persyaratan tersebut.

    Kasus dugaan ijazah palsu ini sebenarnya bukan hal baru.

    Eggi menyebutkan bahwa gugatan serupa telah dilakukan beberapa kali sebelumnya,

    termasuk melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sekitar tahun 2021-2022.

    Namun, gugatan tersebut ditolak karena pengadilan dianggap tidak memiliki kewenangan untuk memproses kasus tersebut.

    “Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kami dianggap tidak berwenang oleh pengadilan itu,” ungkap Eggi.

    Kasus ini juga menyeret nama Bambang Tri dan Gus Nur,

    yang sebelumnya ditangkap dengan tuduhan menyebarkan berita bohong (hoaks) terkait dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi.

    Keduanya ditahan di Mabes Polri hingga dua tahun silam.

    Menurut Eggi, pembuktian dalam kasus ini menjadi sulit karena kasusnya dipindahkan dari ranah perdata ke pidana, sehingga beban pembuktian berada di tangan jaksa dan polisi.

    Eggi menyatakan bahwa hingga saat ini, belum ada pembuktian hukum yang sah terkait dugaan penggunaan ijazah palsu tersebut.

    Ia menyoroti bahwa jaksa dan polisi belum pernah menghadirkan ijazah asli Joko Widodo di pengadilan hingga proses hukum berkekuatan tetap (inkrah).

    “Kenyataannya, ijazah aslinya Jokowi tidak pernah ada sampai detik ini. Ini yang membuat publik bertanya-tanya,” tegas Eggi.

    Karena hal tersebut, Eggi kembali melaporkan kasus ini ke Bareskrim Polri untuk menuntut kepastian hukum, manfaat hukum, dan keadilan.

    Eggi berharap laporan ini dapat membuka kembali penyelidikan terkait dugaan ijazah palsu dan memberikan kejelasan kepada publik.

    Ia juga menekankan pentingnya penegakan hukum yang transparan, terutama dalam kasus yang melibatkan pejabat tinggi negara.

    “Jika hukum benar-benar ditegakkan, maka ini akan menjadi pembelajaran penting bagi seluruh rakyat Indonesia bahwa tidak ada yang kebal hukum,” pungkasnya.

    Kasus ini kembali menjadi perbincangan hangat di media sosial.

    Ada yang mendukung langkah Eggi Sudjana untuk menuntut kepastian hukum,

    namun ada pula yang menganggap bahwa isu ini sengaja dimainkan untuk kepentingan politik tertentu.

    Publik kini menunggu tindak lanjut dari Bareskrim Polri terkait laporan ini,

    apakah akan dilakukan penyelidikan lebih lanjut atau justru kembali berakhir tanpa hasil yang konkret.

  • Sidang Tuntutan Harvey Moeis, Jaksa Bacakan Bukti Timah Ilegal dan Pertemuan dengan Petinggi PT Timah

    Sidang Tuntutan Harvey Moeis, Jaksa Bacakan Bukti Timah Ilegal dan Pertemuan dengan Petinggi PT Timah

    Jakarta, Beritasatu.com – Sidang tuntutan terhadap Harvey Moeis, Senin (9/12/2024) yang sebelumnya sempat tertunda selama empat jam, akhirnya dimulai sekitar pukul 16.00 WIB. Dalam sidang ini, jaksa membacakan bukti-bukti yang mengungkapkan pembelian timah ilegal hingga kronologi pertemuan dengan petinggi PT Timah.

    Sidang ini menandai dimulainya proses tuntutan terhadap Harvey Moeis di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang juga dihadiri oleh beberapa saksi.

    Namun, tidak semua 77 saksi yang terdaftar hadir dalam persidangan yang digelar pada 9 Desember tersebut. Selain saksi, sebanyak 12 ahli juga dijadwalkan untuk memberikan pendapat mereka terkait kasus ini.

    Jaksa menguraikan sejumlah rincian penting terkait kasus korupsi yang melibatkan Harvey Moeis, termasuk pertemuan dengan petinggi PT Timah serta pengusaha smelter di kawasan Gunawarman, Jakarta.

    Beberapa bank yang terlibat dalam transaksi dengan Harvey Moeis juga disebutkan, bersama dengan nominal pembelian bijih timah ilegal dan fakta-fakta lainnya yang mendalami dugaan korupsi tersebut.

    Pada pukul 17.39 WIB, Majelis Hakim memutuskan untuk memberi jeda sidang. Sidang tuntutan Harvey Moeis kemudian dilanjutkan pada pukul 19.00 WIB.

  • Suap Eksekusi Lahan, Uang Rp 202 Juta Dari Eks Panitera PN Jakarta Timur Sempat Dibelikan Mobil – Halaman all

    Suap Eksekusi Lahan, Uang Rp 202 Juta Dari Eks Panitera PN Jakarta Timur Sempat Dibelikan Mobil – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Saksi Dede Rahmana mengaku menerima uang Rp 202,5 juta dari eks panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rina Pertiwi terkait kasus suap eksekusi lahan milik PT Pertamina.

    Dede menganggap uang tersebut sebagai rezeki untuk anak.

    Hakim Anggota Suparman Nyompa awalnya curiga dengan nilai uang yang diterima Dede dari Rina.

    Menurut hakim uang Rp 202,5 juta yang diterima Dede cukup besar.

    “Kok bisa terlalu besar 200 juta, biasanya orang kalau diberikan, istilahnya cuma buat uang-uang rokok atau apa, ini kok besar sekali 200 juta?” tanya Hakim dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (9/12/2024).

    Mendengar pertanyaan tersebut, Dede yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum sebagai saksi untuk terdakwa Rina Pertiwi mengaku tak tahu.

    “Ndak tahu Pak,” ucap Dede.

    Tak berhenti di situ, Hakim kembali mencecar Dede soal peranya dalam perkara sehingga bisa menerima uang ratusan juta dari Rina.

    Hakim bahkan membandingkan uang yang terima Dede dengan jasa makelar tanah yang biasanya mendapatkan fee 2,5 persen.

    “Atau memang saudara punya jasa besar untuk urusan ini, karena kalau hitung-hitungan besar sekali loh 200 juta. Kalau hitung-hitungan Rp 1 miliar, berarti 200 juta, 20 persen. Kalau jasa jual tanah saja, misalnya makelar kan 2,5 persen, ini 20 persen besar sekali loh?” tanya Hakim.

    Dede menyebut pada saat itu dirinya menganggap uang-uang yang diterimanya merupakan rejeki untuk anak-anaknya.

    “Rezeki saja pak. Tak tahu karena saya berdoa mudah-mudahan itu rezeki anak-anak, itu saja mikirnya,” kata dia.

    Dede pun menyebut uang tersebut sempat ia belikan mobil meskipun pada akhirnya dijual kembali.

    Setelah kasus tersebut mencuat, Dede mengaku telah menyerahkan uang yang diterimanya kepada pihak penyidik Kejaksaan.

    Adapun dari total Rp 202.500.000 yang diterimanya, Rp 200 juta di antaranya telah dikembalikan.

    “Diserahkan ke penyidik berapa?” tanya Hakim.

    “Rp 200 juta,” ucapnya.

    Dalam perkara ini sebelumnya, Mantan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rina Pertiwi didakwa telah menerima suap atau gratifikasi sebesar Rp 1 miliar terkait kepengurusan eksekusi lahan milik PT Pertamina.

    Sidang pembacaan dakwaan tersebut digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (21/11/2024).

    Adapun dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Rina disebut telah menerima Rp 797,5 juta dari total suap Rp 1 Miliar.

    Jaksa menilai Rina selaku Pegawai Negeri Sipil (PN) patut diduga telah menerima suap dan atau gratifikasi disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya.

    “Yang bertentangan dengan kewajibannya jika diantara beberapa perbuatan meskipun masing-masing merupakan kejahatan ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut,” kata Jaksa Arief Setia Nugroho saat bacakan berkas dakwaan Rina di ruang sidang.

    Perkara itu bermula atas adanya gugatan secara perdata berupa ganti rugi yang diajukan ahli waris di Pengadilan Negeri Jakarta Timur terhadap PT Pertamina atas lahan yang terletak di Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur.

    Terkait gugatan ini, ahli waris pun menunjuk kuasa terhadap seseorang bernama Ali Sofyan.

    Kemudian gugatan itu pun telah diputus PN Jakarta Timur sampai dengan putusan di tingkat peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

    “Yang pada pokoknya menghukum PT Pertamina Persero membayar ganti rugi sebesar Rp 244.604.172.000,” kata Jaksa.

    Setelah ada putusan PK tersebut, Ali Sofyan selaku kuasa ahli waris pada November 2019 menghubungi seseorang bernama Yohanes Jamburmias dan Sareh Wiyono untuk meminta bantuan persoalan tanahnya.

    Di mana kata Jaksa, Ali Sofyan meminta bantuan kepada Yohanes untuk menyelesaikan proses eksekusi ganti rugi yang belum dibayarkan PT Pertamina.

    Ketiganya pun sempat menggelar pertemuan beberapa kali untuk membicarakan hal tersebut di sebuah hotel di wilayah Bogor, Jawa Barat.

    Singkatnya, atas permintaan bantuan Ali Sofyan, Sareh menghubungi Rina yang saat itu menjabat Panitera PN Jakarta Timur untuk turut membantu proses eksekusi putusan PK tersebut.

    “Atas permintaan Sareh Wiyono tersebut kemudian terdakwa menyetujuinya,” ucap Jaksa.

    Setelah itu Sareh, Ali, dan Rina pun melakukan pertemuan di rumah Sareh di Cibinong, Kabupaten Bogor.

    Dari hasil pertemuan tersebut Ali Sofyan pun kemudian membuat surat kuasa di Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk melakukan kepengurusan eksekusi putusan PK.

    Ketika memasukkan permohonan surat kuasa itu di PTSP PN Jakarta Timur, Ali Sofyan pun bertemu dengan terdakwa Rina Pertiwi.

    Sebelum adanya pertemuan antara Ali dan Rina, Sareh Wiyono kata Jaksa telah menghubungi Rina terlebih dahulu.

    “Dan saat itu Sareh Wiyono menyampaikan bahwa yang akan memasukkan permohonan eksekusi putusan PK perkara perdata adalah saksi Ali Sofyan agar dibantu terkait permohonan eksekusi dari saksi Ali Sofyan,” tutur Jaksa.

    Surat permohonan eksekusi itu pun kemudian diteruskan ke meja Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan dilakukan disposisi kepada Rina selaku panitera.

    Setelah menerima disposisi, Rina kemudian membuat resume nomor 11 di mana salah satu isi dari resume tersebut adalah bahwa PT Pertamina selaku termohon eksekusi merupakan BUMN, maka penyitaan tidak bisa dilakukan.

    Hal itu berdasarkan ketentuan Pasal 50 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharan Negara.

    “Karena itu, maka pelaksanaan eksekusi tidak didahului dengan sita eksekusi dan pelaksanaan eksekusi membebankan pemenuhan isi putusan tersebut untuk dimasukkan dalam anggaran DIPA Pada para termohon eksekusi tahun anggaran berjalan atau tahun anggaran berikutnya,” jelas Jaksa.

    Namun, lanjut Jaksa, pada faktanya Rina selaku Panitera tidak menjalankan aturan yang tertera dalam resume tersebut.

    Di mana kata Jaksa Rina tetap melakukan proses eksekusi keputusan PK tersebut dengan menyita rekening sebesar Rp 244.604.172 milik PT Pertamina.

    “Bahwa pada tanggal 2 Juni 2020 juru sita Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas nama Asmawan mendatangi BRI Jakarta Veteran untuk melakukan sita eksekusi berdasarkan surat tugas Nomor 05 tgl 29 Mei 2020 dan Berdasarkan berita acara eksekusi tgl 2 Juni 2020 nomor 5 Jo Nomor 11 Jo 127 Jo 162 Jo 1774 K Jo Nomor 79 PK telah dilakukan blokir rekening atas nama PT Pertamina Persero yang tersimpan di BRI Cabang Jakarta Veteran Jakarta Pusat sebesar Rp 244.604.172,” terang Jaksa.

    Setelah adanya penyitaan, tahap selanjutnya adalah proses pencairan uang ganti rugi yang kemudian diserahkan kepada Ali Sofian.

    Usai menerima uang ganti rugi, Ali Sofian kemudian memberikan uang kepada para pihak yang telah membantu proses eksekusi tersebut termasuk Rina.

    Adapun dalam dakwaannya, Jaksa menyebut bahwa Rina telah menerima suap total Rp 1 miliar dari Ali Sofyan selaku pemberi hadiah.

    “Maka total uang yang diterima terdakwa dari saksi Ali Sofian melalui saksi Dede Rahmana yaitu sebesar Rp 1 miliar dengan rincian sebesar Rp 797.500.000 diterima oleh terdakwa dan sisanya sebesar Rp 202.500.000 diberikan oleh terdakwa kepada saksi Dede Rahmana,” pungkasnya.

  • Terbengkalainya Museum Soeharto di TMII, Siapa yang Salah?

    Terbengkalainya Museum Soeharto di TMII, Siapa yang Salah?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Perseteruan antara perusahaan asal Singapura, Mitora Pte. Ltd dengan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi (YPBP) milik Keluarga Cendana, terkait pengelolaan Museum Soeharto di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) semakin memanas.

    Perkara yang melibatkan kedua kubu ini pun akhirnya disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis (5/12/2024).

    Agenda sidang kali ini berisi penyerahan bukti tambahan dan mendengarkan saksi-saksi termasuk ahli. Dalam sidang dengan nomor perkara 531/Pdt.Sus-Arb/2024/PN Jkt.Pst, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi menghadirkan tiga saksi fakta dan ahli arbitrase.

    Adapun tiga saksi yang dimaksud adalah Gatot Haryono selaku keponakan dari Dirjen Bea Cukai (1991-1998) Soehardjo Soebardi, Gunawan Wahyu Widodo selaku Kurator Museum Purna Bhakti Pertiwi serta Minang selaku Petugas Keamanan Museum Purna Bhakti Pertiwi.

    Pada persidangan ini, Gunawan Wahyu Widodo selaku Kurator Museum Purna Bhakti Pertiwi berkata, bahwa sebelum adanya perjanjian kedua belah pihak, Museum dalam kondisi bagus.

    “Sejak dibuka itu kondisinya 100% bagus, landscape bangunannya bagus, dalam perjalanannya ada penurunan. Selalu kebocoran, ada kendala karena bangunan yang dibangun unik berbentuk tumpeng perlu perawatan ekstra tinggi,” terangnya kepada Hakim.

    Gunawan yang bekerja sejak 1993 itu pun mengaku mengetahui kerjasama kedua belah pihak yang diteken April 2014.

    “Perjanjian itu secara garis besar mereka (Mitora) akan melakukan revitalisasi bangunan museum dan yang disampaikan juga akan membangun super mall. Tapi sampai berakhirnya putusan hubungan tidak ada satupun bangunan yang dibangun,” jelasnya.

    Sementara saksi lainnya, Minang menyadari kondisi museum semakin memprihatinkan karena tidak terawat. Kondisi itu terjadi setelah adanya kerja sama dengan Mitora.

    “Setahu saya dari 2014 sebelum ada kerja sama museum dibuka untuk umum, dibuka untuk pelajar. (Setelah ada kerja sama dengan Mitora) museum ditutup sampai saat ini tidak ada kunjungan dan terbengkalai,” ungkap dia.

    Seperti diketahui, sengketa ini berawal dari Perjanjian Kerja Sama antara Mitora Pte. Ltd. dan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi yang dituangkan dalam Akta Notaris Nomor 13 tanggal 17 April 2014.

    Pada kasus ini pihak Mitora sendiri mengklaim telah menjalankan kewajibannya sesuai perjanjian, termasuk menyusun master plan, melakukan presentasi proyek, dan mendanai operasional selama periode tertentu.

    Namun dalam perjalanannya, Mitora diputus telah melakukan Cedera Janji (Wanprestasi) terhadap Perjanjian Kerjasama Nomor 13 tertanggal 7 April 2014 dan telah teregister di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan Nomor perkara: 47013/11/ARB-BANI/2024.

    Kuasa hukum Mitora Pte. Ltd., OC Kaligis, pun menyatakan keberatan atas putusan Majelis Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) tersebut.

    Sehingga Mitora resmi mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk membatalkan putusan BANI tersebut.

    “Majelis Arbitrase menyatakan bahwa Mitora melakukan wanprestasi, padahal bukti-bukti menunjukkan Mitora telah beritikad baik dan melaksanakan tanggung jawabnya sejauh mungkin dalam melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan Akta Notaris 2014,” kata OC Kaligis beberapa waktu lalu.

    (dpu/dpu)

  • Hotman Paris Persoalkan Status Hukum Crazy Rich Surabaya Budi Said yang Tersandung Dugaan Korupsi PT Antam

    Hotman Paris Persoalkan Status Hukum Crazy Rich Surabaya Budi Said yang Tersandung Dugaan Korupsi PT Antam

    GELORA.CO – Tim kuasa hukum crazy rich Surabaya Budi Said, Hotman Paris merasa bingung dengan status hukum yang menjerat kliennya dalam kasus dugaan korupsi jual beli emas di PT Aneka Tambang (Antam) Tbk. Padahal, kliennya telah memenangkan gugatan pidana dan perdata. 

     

    Menurut Hotman, ada 21 hakim di pengadilan negeri (PN), pengadilan tinggi (PT), dan pengadilan tingkat kasasi yang menyatakan bahwa Budi Said merupakan korban penipuan oleh pegawai Antam. 

     

    “Inilah kasus teraneh di dunia. 12 hakim pidana dan 9 hakim perdata sebelumnya menyatakan bahwa Budi Said adalah korban penipuan. Putusan itu semua sudah inkrah, sudah final,” kata Hotman kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (5/12).

     

    Ia mempertanyakan, justru kini kliennya dipermasalahkan, bukan sebagai korban. Tetapi terjerat kasus dugaan korupsi di PT Antam.

     

    “Tiba-tiba, sekarang ini, dalam kasus yang sama, Budi Said malah dianggap bukan korban, tetapi pelaku,” ucap Hotman.

     

    Hotman juga mempersoalkan fakta bahwa emas diskon 1,1 ton yang dijanjikan belum pernah diterima pihak Budi Said. Ia menyebut, putusan Mahkamah Agung (MA) melalui pengadilan negeri juga menyatakan bahwa PT Antam Tbk belum pernah menyerahkan emas yang dijanjikan kepada crazy rich Surabaya itu.

     

    “Karena emas itu belum pernah dikasih, berarti belum ada kerugian negara, berarti tidak ada korupsi dong?” ujar Hotman. 

     

    Lebih lanjut, Hotman menduga adanya upaya kriminalisasi terhadap kliennya. 

     

    “Sepertinya kasus ini memang sengaja dilontarkan untuk mencegah agar jangan sampai Budi Said ini berhasil memenangkan eksekusi putusan perdata di mana dia menang,” cetus Hotman. 

     

    Dalam kasus ini, Budi Said didakwa merugikan keuangan negara Rp 1 triliun. Selain itu, Budi Said juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada Butik Emas Logam Mulia (BELM) Surabaya 01 PT Antam Tbk.

     

    Budi diduga melakukan tindakan koruptif bersama dengan broker Eksi Anggraeni, Kepala BELM 01 Surabaya Endang Kumoro, bagian administrasi BELM 01 Surabaya Misdianto, mantan General Trading and Manufacturing Service PT Antam Pulo Gadung Ahmad Purwanto, dan General Manager pada Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPPLM) Pulogadung PT Antam Abdul Hadi Aviciena.

     

    Tindakan koruptif dalam kasus ini berjudi dari 2018 sampai 2022. Transaksi jual beli ini dipermasalahkan, karena tidak sesuai dengan penetapan harga emas Antam.

     

    Transaksi yang dipermasalahkan yakni saat Budi dan Eksi menerima emas seratus kilogram dari Endang, Ahmad, dan Misdianto melalui pengiriman dari UBPPLM Pulo Gadung Antam. Penerimaan itu diyakini tidak sesuai dengan spesifikasi jumlah berat yang seharusnya.

     

    Penuntut umum menyebut pengiriman seharusnya yakni 41,8 kilogram emas dengan pembayaran Rp 25,2 miliar. Ada selisih 58,1 kilogram yang tidak masuk dalam pembayaran resmi.

  • Guo Zaiyuan Hingga Jokowi Digugat Bayar Ganti Rugi Rp615,2 Triliun

    Guo Zaiyuan Hingga Jokowi Digugat Bayar Ganti Rugi Rp615,2 Triliun

    GELORA.CO – Taipan Sugianto Kusuma alias Aguan termasuk pihak yang digugat secara perdata ke pengadilan terkait proyek strategis nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk atau PIK-2. Bos Agung Sedayu Group itu dianggap melakukan perbuatan melawan hukum dan dituntut membayar ganti rugi Rp616,2 triliun.

    Gugatan didaftarkan 20 warga negara Indonesia dari beragam profesi mulai dari aktivis, pengamat, purnawirawan TNI hingga pegiat media sosial ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat, 29 November 2024.

    Menamakan diri Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat di PIK-2, mereka menyebut Aguan melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur Pasal 1365 KUHPerdata.

    “Tujuannya agar jika gugatan dikabulkan, uang ganti rugi itu langsung dibayarkan kepada Kemenkeu. Jadi, dengan begitu defisit tertutupi dan pemerintah tak perlu lagi mencari dengan menaikkan pajak seperti PPN 12 persen dan lain-lainnya,” jelas 

    koordinator tim hukum penggugat, Ahmad Khozinuddin.

    Selain Aguan yang bernama asli Guo Zaiyuan dan pernah bolak balik diperiksa KPK dalam kasus suap reklamasi teluk Jakarta,   pihak yang digugat antara lain CEO Salim Group Anthony Salim alias Liem Hong Sien Liem Hong Sien atau Liem Fung, PT Pantai Indah Kapuk Dua, perusahaan yang membebaskan lahan PIK-2, mantan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang memberi status PSN untuk PIK-2, pengurus Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Surta Wijaya dan Maskota HJS.

    Aguan cs digugat karena dianggap telah secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama melakukan setidaknya delapan perbuatan melawan hukum.

    Pertama, melakukan kegiatan penyelundupan hukum kawasan PIK-2 yang hanya seluas 1.705 hektare di kawasan Kosambi, namun pada faktanya proyek PSN PIK-2 diterapkan di semua wilayah pembebasan lahan yang tidak masuk kawasan PSN di 10 kecamatan, di mana sembilan kecamatan di antaranya berada di Kabupaten Tangerang, dan satu kecamatan di Serang yakni Kecamatan Teluk Naga, Paku Haji, Sepatan, Mauk, Kronjo, Kresek, Gunung Keler, Kemiri, dan Kecamatan Mekar Baru. Sedang kecamatan di Serang yang lahannya ikut dibebaskan meski tidak termasuk PSN PIK-2 adalah Kecamatan Tanara.

    Dua, melakukan kegiatan pengantaran tanah timbun untuk pengurugan PIK-2 menggunakan sejumlah truk yang menimbulkan polusi, kerusakan jalan, kemacetan, hingga menimbulkan kecelakaan dengan korban jiwa. Terakhir, terjadi kecelakaan yang menyebabkan seorang remaja 13 tahun meninggal dunia akibat terlindas truk yang membawa material tanah timbun untuk pengurugan PIK-2.

    Tiga, melakukan pengantaran tanah timbun untuk pengurugan lokasi PIK-2 dengan truk dilakukan terus menerus 1×24 jam yang melanggar pasal 3 Peraturan Bupati Tangerang Nomor 12 Tahun 2002 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bupati Nomor 46 Tahun 2018 tentang Pembatasan Waktu Operasi Mobil Barang Pada Ruas Jalan di Kabupaten Tangerang yang mengatur jadwal operasional truk pukul 22:00 WIB hingga pukul 05:00 WIB.

    Empat, Aguan cs melakukan kegiatan pemagaran kawasan PIK-2 yang telah memutus akses warga ke sejumlah wilayah lainnya yang sebelumnya terhubung secara alami melalui sejumlah jalan desa dan jalan terusan yang ada di desa. Kawasan PIK-2 menjadi kawasan eksklusif yang membuat desa terisolasi dan akses ke wilayah lainnya yang sebelumnya bisa secara bebas dan leluasa terhubung.

    Lima, melakukan kegiatan pembangunan kawasan area PIK-2 yang telah menutup sejumlah akses publik, selain akses jalan, juga akses nelayan untuk melaut secara bebas karena sejumlah proyek PIK-2 di kawasan pantai telah menghalangi rute nelayan untuk melaut pada jalur yang biasa dilewati.

    Enam, melakukan kegiatan pembangunan kawasan area PIK-2 yang telah merampas hak tanah rakyat karena terpaksa menjual tanah mereka dengan harga murah dan kehilangan sumber penghasilan untuk bertahan hidup, baik dari kegiatan bertani, menggarap sawah maupun mengelola tambak, sedangkan harga tanah yang murah, yakni Rp30.000-Rp50.000 per meter tersebut tidak dapat digunakan untuk membeli tanah pengganti untuk dijadikan aset produksi sebagai sumber mata pencaharian.

    Tujuh, melakukan pembebasan lahan yang tidak termasuk di kawasan di 10 kecamatan yang menimbulkan sejumlah masalah sosial berkaitan dengan hak-hak rakyat yang dirampas, diintimidasi dan lain sebagainya.

    Terakhir, melakukan pembiaran atas atas penyelundupan hukum dan pelanggaran surat Kemenko Perekonomian No. 6 Tahun 2024 tanggal 15 Mei 2024 dan Surat Komite Percepatan Penyedia Infrastruktur (KPPIP) No PK.KPPIP/55/D.IV.M.EKON.KPPIP/06/2024 tanggal 4 Juni 2024 Perihal: Surat Keterangan PT Mutiara Intan Permai sebagai Badan Usaha Pengelola dan Pengembang PSN PIK-2 Tropical Coastland, sehingga memunculkan ancaman keamanan dan pertahanan melalui munculnya entitas negara dalam negara di PIK-2.

    Adapun ke-20 penggugat Aguan cs yakni Brigjen TNI (Purn) R. Kun Priyambodo, Kolonel TNI (Purn) Sugeng Waras, Kolonel TNI (Purn) Muh Nur Saman, Kolonel TNI (Purn) Didi Rohendi, Kolonel TNI (Purn) Achmad Romzan, Kolonel TNI (Purn) Rochmad Suhadji, Kolonel TNI (Purn) Drg Drajat Mulya H.F, Kolonel TNI (Purn) Iwan Barli Setiawan.

    Lalu Kolonel TNI (Purn) Alan Sahari Harahap,  Menuk Wulandari, Edy Mulyadi, dan Rizal Fadillah, Ida Nurhaida Kusdianti, Hilda Melvinawati, R. Rachmadi, Harlita Juliastuti K, Sandrawati, Suyanti, Ida Saidah dan Tuti Surtiati.

    “Tujuan dari gugatan ini adalah agar proyek PSN PIK-2 dibatalkan,” tukas Ahmad Khozinuddin.

  • Sidang Kasus Korupsi Timah, Ahli Nilai UU Tipikor Dipaksakan

    Sidang Kasus Korupsi Timah, Ahli Nilai UU Tipikor Dipaksakan

    Bisnis.com, JAKARTA – Penggunaan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dalam kasus pertambangan yang melibatkan PT Timah dianggap tidak sesuai oleh sejumlah pakar hukum. 

    Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Eva Achjani Zulfa, yang menegaskan bahwa penerapan hukum pidana harus berpegang pada asas legalitas dan tidak boleh dipaksakan jika tidak sesuai dengan norma yang ada.  

    Menurut Eva, salah satu dasar dalam hukum pidana adalah asas pertanggung jawaban individu, yang berarti setiap orang hanya bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukan berdasarkan peran masing-masing. 

    “Dalam hukum pidana, tanggung jawab itu bersifat individual, bukan seperti perdata yang mengenal tanggung renteng. Oleh karena itu, kita harus melihat peran setiap individu dalam kasus pidana, bukan memukul rata semua orang yang terlibat,” jelasnya dalam sidang lanjutan tata niaga timah di PN Jakarta Pusat, Senin (2/11/2024).

    Eva menjelaskan bahwa penyertaan dalam tindak pidana memiliki beberapa kategori, seperti menggerakkan, menyuruh, atau turut serta. 

    Dalam kasus di mana seseorang tidak mengetahui tindak pidana tetapi hanya menjadi alat atau diperalat pihak lain, tanggung jawab pidana tidak bisa dikenakan.  

    Sebagai contoh, jika ada individu yang diperdaya untuk melakukan suatu perbuatan tanpa mengetahui bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana, individu tersebut tidak dapat dimasukkan sebagai pelaku. 

    “Seseorang yang tidak tahu bahwa ia diperdaya untuk membuka rumah atau orang untuk mencuri, misalnya, tidak bisa dianggap sebagai peserta delik,” jelasnya.  

    Dalam konteks kasus pertambangan PT Timah, Eva menyoroti penerapan pasal 14 UU Tipikor. Ia menegaskan bahwa kerugian yang timbul pada anak perusahaan BUMN/BUMD yang tidak berasal dari APBN, penyertaan modal negara, atau fasilitas negara, bukanlah kerugian negara.  

    “Kalau kerugian tidak termasuk dalam kategori yang diatur oleh norma UU Tipikor, maka asas legalitas harus dijaga. Tidak bisa kita memaksakan analogi atau mengembangkan norma hukum di luar yang dirumuskan dalam Undang-undang,” jelasnya.  

    Dia berpandangan bahwa pasal 14 UU Tipikor sudah memiliki batasan yang jelas, sehingga jika dianggap ada masalah atau kekurangan dalam aturan tersebut, solusinya adalah melakukan judicial review. 

    “Asas legalitas merupakan prinsip utama yang harus dijalankan. Jika norma tidak mencakup kasus tertentu, kita harus menguji ulang melalui judicial review, bukan memaksakan penerapan UU Tipikor,” tambahnya.  

    Sementara itu, saksi ahli dari Universitas Sumatera Utara, Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum, menegaskan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) bukanlah Undang-Undang “sapu jagat” untuk semua kasus yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara. 

    “Kalau semua yang merugikan keuangan negara dianggap sebagai Tipikor, itu berbahaya. Karena nelayan yang menangkap ikan secara ilega bisa dijerat UU Tipikor. Jangan nanti orang menggali tanah dianggap merusak lingkungan, bisa dikenakan pasal Tipikor. Fakta-faktanya kita lihat dulu,” jelasnya.  

    Mahmud juga menjelaskan bahwa UU Tipikor sebagai aturan khusus (lex spesialis) tidak dapat serta-merta diterapkan pada berbagai kasus. 

    Penerapannya hanya berlaku jika tidak ada undang-undang lain yang secara spesifik mengatur perbuatan tertentu. Jika terdapat UU khusus yang relevan, maka UU tersebut harus didahulukan.  

    “Jika ada dua UU khusus yang saling bertemu, maka kita harus melihat domain perbuatannya terlebih dahulu. Misalnya, jika UU Tipikor berbenturan dengan UU Kepabeanan, UU Perbankan, UU Perpajakan, atau UU Minerba, belum tentu UU Tipikor yang digunakan,” ujarnya.  

    Ia menambahkan, untuk menerapkan UU Tipikor, harus dibuktikan terlebih dahulu unsur-unsur melawan hukum, memperkaya diri atau orang lain, serta kerugian keuangan negara. 

    “Jika ada irisan dengan undang-undang lain, maka perlu penelitian yang sistematis untuk menentukan UU mana yang relevan,” lanjutnya.