Kementrian Lembaga: PN Jakarta Pusat

  • Profil Tia Rahmania, Eks Kader yang Menang Lawan Mahkamah PDI-P
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        18 April 2025

    Profil Tia Rahmania, Eks Kader yang Menang Lawan Mahkamah PDI-P Nasional 18 April 2025

    Profil Tia Rahmania, Eks Kader yang Menang Lawan Mahkamah PDI-P
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan mantan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (
    PDI-P
    ),
    Tia Rahmania
    atas
    Mahkamah Partai PDI-P
    dan
    Bonnie Triyana
    .
    Berdasarkan putusan Perkara Nomor 603/Pdt.Sus-Parpol Pn.Jkt.pus dari laman resmi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP)
    PN Jakarta Pusat
    , Tia tidak terbukti melakukan penggelembungan suara.
    “Menyatakan PENGGUGAT tidak terbukti melakukan penggelembungan suara sebanyak 1.629 suara sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Nomor: 009/24051 4/I/MP/2024, tanggal 14 Agustus 2024, yang diterbitkan oleh TERGUGAT I,” bunyi putusan tersebut, dikutip Jumat (18/4/2025).
    Majelis hakim juga menyatakan bahwa Tia sebagai pemilik suara sah berdasarkan Formulir D Hasil Pleno Tingkat KPU Kabupaten Lebak dan Pandeglang.
    Tia memperoleh suara sebanyak 37.359 suara.
    Dikutip dari berbagai sumber, Tia Rahmania lahir pada 3 Maret 1979 di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
    Perempuan yang menetap di Kota Serang, Banten, itu merupakan anak mantan Bupati Barito Putra, (Alm) H Badaruddin.
    Tia menempuh pendidikan S1 dan S2 psikologi di Universitas Indonesia pada 2001 dan 2004.
    Ia kemudian menekuni dunia akademisi sebagai dosen pada program studi psikologi Universitas Paramadina sejak 2009.
    Tia kemudian terjun ke dunia politik dengan bergabung ke PDI-P. Ia pernah menjadi calon anggota legislatif pada 2019-2024, tetapi gagal lolos ke parlemen.
    Sementara itu dalam Pileg 2024, Tia maju dari daerah pemilihan Banten 1 meliputi Pandeglang dan Lebak. Tia tercatat meraih 37,359 suara dan mengalahkan sejawatnya di PDI-P, Bonnie Triyana yang meraih 36,516 suara.
    Diberitakan sebelumnya, KPU telah menetapkan dua pengganti calon anggota DPR terpilih periode 2024-2029 dari PDI-P.
    Salah satu yang diganti adalah Tia Rahmania, caleg PDI-P dari Dapil Banten 1 yang dipecat dari keanggotaan partainya.
    Pemecatan dilakukan karena Mahkamah PDI-P menyatakan Tia terbukti melakukan penggelembungan suara dan melanggar kode etik dan disiplin partai.
    “Jadi yang bersangkutan dipecat karena penggelembungan suara. menguntungkan yang bersangkutan sendiri,” ujar Chico kepada Kompas.com, Kamis (26/9/2024).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tia Rahmania Menang Gugatan Lawan Mahkamah PDI-P, Tak Terbukti Gelembungkan Suara
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        18 April 2025

    Tia Rahmania Menang Gugatan Lawan Mahkamah PDI-P, Tak Terbukti Gelembungkan Suara Nasional 18 April 2025

    Tia Rahmania Menang Gugatan Lawan Mahkamah PDI-P, Tak Terbukti Gelembungkan Suara
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan mantan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (
    PDI-P
    ),
    Tia Rahmania
    atas Mahkamah Partai PDI-P dan Bonnie Triyana.
    Sebagai informasi, Tia Rahmania sebelumnya dipecat oleh Mahkamah Partai PDI-P karena disebut terlibat dalam kasus penggelembungan suara dalam pemilihan legislatif (Pileg) 2024.
    Karena keputusan Mahkamah Partai PDI-P itu, Tia batal dilantik sebagai anggota DPR. Posisinya digantikan oleh Bonnie Triyana selaku caleg PDI-P daerah pemilihan (Dapil) Banten 1 yang meraih suara terbanyak kedua.
    Adapun berdasarkan putusan Perkara Nomor 603/Pdt.Sus-Parpol Pn.Jkt.pus dari laman resmi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Pusat, Tia tidak terbukti melakukan penggelembungan suara.
    “Menyatakan PENGGUGAT tidak terbukti melakukan penggelembungan suara sebanyak 1.629 suara sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Nomor: 009/24051 4/I/MP/2024, tanggal 14 Agustus 2024, yang diterbitkan oleh TERGUGAT I,” bunyi putusan tersebut, dikutip Jumat (18/4/2025).
    Majelis hakim juga menyatakan bahwa Tia sebagai pemilik suara sah berdasarkan Formulir D Hasil Pleno Tingkat KPU Kabupaten Lebak dan Pandeglang.
    Tia memperoleh suara sebanyak 37.359 suara.
    “Menyatakan PENGGUGAT sebagai pemilik suara yang sah berdasarkan Formulir D Hasil Pleno Tingkat KPU Kabupaten Lebak dan Pandeglang sebanyak 37.359 suara dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan,” bunyi putusan Nomor 603/Pdt.Sus-Parpol Pn.Jkt.pus.
    Diberitakan sebelumnya, KPU telah menetapkan dua pengganti calon anggota DPR terpilih periode 2024-2029 dari PDI-P.
    Salah satu yang diganti adalah Tia Rahmania, caleg PDI-P dari Dapil Banten 1 yang dipecat dari keanggotaan partainya.
    Pemecatan dilakukan karena Mahkamah Partai PDI-P menyatakan Tia terbukti melakukan penggelembungan suara dan melanggar kode etik dan disiplin partai.
    “Jadi yang bersangkutan dipecat karena penggelembungan suara. menguntungkan yang bersangkutan sendiri,” ujar Chico kepada Kompas.com, Kamis (26/9/2024).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hakim Singgung Sumber Uang Suap Harun Masiku dari Djoko Tjandra

    Hakim Singgung Sumber Uang Suap Harun Masiku dari Djoko Tjandra

    GELORA.CO – Majelis Hakim yang mengadili perkara dugaan suap dan perintangan penyidikan terdakwa Hasto Kristiyanto selaku Sekjen DPP PDIP menyinggung soal sumber uang suap yang berasal dari pengusaha Djoko Soegiarto Tjandra.

    Awalnya, Hakim Anggota 2, Sigit Herman Binaji mendalami keterangan saksi Wahyu Setiawan selaku mantan Komisioner KPU yang mendengar percakapan antara dua kader PDIP, yakni Donny Tri Istiqomah dan Saeful Bahri.

    “Tadi saya mendengar saudara menerangkan pernah mendengar percakapan antara Donny Tri Istiqomah dan Saeful Bahri dari PDIP, bahwa uang-uang yang saudara terima itu bersumber dari terdakwa Hasto Kristiyanto, itu di mana dan kapan?” tanya Hakim Anggota 2, Sigit Herman Binaji kepada saksi Wahyu di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 17 April 2025.

    Wahyu kembali menjelaskan bahwa dirinya mendengar percakapan Donny dan Saeful ketika di ruang merokok di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan ketika ditangkap pada Januari 2020 lalu.

    “Bukan uang-uang pak, jadi pada waktu itu dialognya uang operasional yang tahap pertama,” kata Wahyu.

    Selanjutnya, Hakim Sigit menyinggung soal adanya pemberitaan terkait pemeriksaan yang dilakukan tim penyidik KPK kepada Djoko Tjandra.

    “Ini sedikit menyimpang, tapi ada kaitannya ya. Saya baca di media, mungkin sudah nggak asing lagi bahwa Djoko S Tjandra pengusaha itu diperiksa. Bahwa di katanya di media ini, bahwa dia juga salah satu ditanya apakah uang Harun Masiku itu dari Djoko S Tjandra, saudara tahu nggak berita itu?” tanya Hakim Sigit.

    Wahyu menjawab bahwa dirinya juga membaca terkait pemberitaan tersebut. Hakim selanjutnya meminta pendapat Wahyu mengenai hal dimaksud.

    “Saudara sebagai seorang politik, yang saudara pahami seperti itu apa dimungkinkan, seorang pengusaha kemudian membayari gitu lah, mungkin nggak?” tanyanya lagi.

    “Saya tidak bisa memberikan penjelasan tentang itu Yang Mulia, karena KPU justru syaratnya adalah bukan anggota partai politik Yang Mulia. Jadi kami bertujuh bukan politisi,” jawab Wahyu menutup.

  • Wahyu Setiawan Ternyata Pernah Minta Rp50 Juta Ganti Biaya Ngopi

    Wahyu Setiawan Ternyata Pernah Minta Rp50 Juta Ganti Biaya Ngopi

    GELORA.CO – Mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan mengaku pernah meminta uang Rp50 juta ke kader PDIP untuk mengganti uang nongkrong dan ngopi bersama dua kader PDIP lainnya saat membahas soal pergantian caleg terpilih PDIP Dapil Sumsel 1 dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

    Hal itu terungkap dalam sidang kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan dengan terdakwa Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto dengan saksi Wahyu Setiawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 17 April 2025.

    Awalnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dwi Novantoro mendalami saksi Wahyu terkait adanya komunikasi dengan Agustiani Tio Fridelina yang merupakan kader PDIP yang juga mantan anggota Bawaslu.

    “Saudara saksi pernah menghubungi Agustiani Tio Fridelina untuk meminta transfer uang, pernah meminta uang?” tanya Jaksa Dwi.

    Wahyu pun mengakui bahwa dirinya pernah meminta ditransfer uang kepada Tio.

    “Pada waktu itu minta 50 pak, iya (Rp50 juta)” kata Wahyu.

    Jaksa Dwi selanjutnya mendalami alasan tujuan Wahyu meminta uang Rp50 juta kepada Tio.

    “Pada waktu itu ada kebutuhan, saya mengeluarkan uang pribadi sekitar Rp50 juta. Ya beberapa kali ngopi, nongkrong. Saya pernah ngopi dengan Pak Donny, Saeful,” jawab Wahyu.

    Sebelumnya, Wahyu Setiawan juga menyebut bahwa dirinya didekati oleh anak buah terdakwa Hasto, yakni Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah untuk membantu pengurusan pergantian caleg terpilih dari PDIP Dapil Sumsel 1 dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

    Hal itu terungkap ketika Jaksa Moch Takdir Suhan membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi Wahyu nomor 13 poin c. Di sana, Wahyu menyatakan bahwa anak buah dari Hasto di antaranya Donny, Agustiani Tio, Saeful Bahri mendekatinya untuk membantu PDIP agar membuat Harun Masiku terpilih menjadi anggota DPR periode 2019-2024 menggantikan Riezky Aprilia.

    “Ketiganya menyampaikan bahwa terdapat dana operasional yang tidak terbatas. Ini saya bacakan dari BAP. Demikian saudara saksi sampaikan pada saat penyidikan. Kami butuh penegasan lagi makna dana operasional tidak terbatas ini maksudnya apa yang saksi pahami?” tanya Jaksa Takdir.

    Wahyu pun mengaku bahwa dirinya memahami bahwa terdapat anggaran operasional yang besar dalam pengurusan pergantian caleg terpilih dimaksud.

    “Saya memahaminya ada anggaran operasional yang besar. Itu tafsir saya saja. Tapi yang menyampaikan ada dana operasional tak terbatas kan bukan saya, sehingga saya tidak mengetahui konteks persisnya apa. Tapi kalau Penuntut Umum menanyakan tafsir saya ya saya menafsirkan berarti ada uang besar,” pungkas Wahyu.

    Dalam sidang ini, tim JPU KPK juga menghadirkan 1 orang saksi lainnya, yakni mantan Ketua KPU Arief Budiman. Sedangkan 1 orang saksi lainnya tidak hadir, yakni Agustiani Tio Fridelina.

  • Mahfud MD Sebut Korupsi di Peradilan Bertransformasi Menjadi Jaringan Berbahaya: Itu Jorok Sekali – Halaman all

    Mahfud MD Sebut Korupsi di Peradilan Bertransformasi Menjadi Jaringan Berbahaya: Itu Jorok Sekali – Halaman all

    TRIBUNNEWS, JAKARTA – Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam), Mahfud MD, ikut buka suara soal maraknya kasus korupsi yang melibatkan beberapa hakim pengadilan. 

    Ia menegaskan bahwa praktik korupsi di lembaga peradilan saat ini telah bertransformasi menjadi jaringan berbahaya yang secara serius merusak integritas hukum di Indonesia.

    “Nah justru sekarang juga yang tumbuh adalah korupsi peradilan, itu jorok sekali,” katanya usai diskusi publik bertajuk “Enam Bulan Pemerintahan Prabowo, The Extraordinary, The Good, The Bad, and The Ugly” di Trinity Tower, Jakarta Selatan, Kamis (17/4/2025).

    Lebih lanjut, Mahfud menyinggung soal kasus vonis lepas (onslag) dalam skandal korupsi Crude Palm Oil (CPO) yang baru-baru ini mencuat.

    Modus operandi korupsi kasus ini, menurutnya, melibatkan penggunaan vonis onslag di mana terdakwa dibebaskan dengan alasan perkara perdata, atau dinyatakan tidak terbukti bersalah meskipun bukti tindak pidana korupsi sangat jelas.

    “Ini yang kasus sekarang ini, tiga korporasi, yang kemudian menangkap Hakim Jakarta Selatan, itu kan sudah jelas korupsi, tapi dibebaskan. Dengan apa? Kalau di dalam hukum pidana ada dua cara. Satu, namanya onslag. Jadi kasus ada korupsinya, tapi dibilang bukan korupsi, kasus perdata, jadi dibebaskan tiga korporasi yang ‘makan uang triliunan’ itu. Atau dikatakan tidak terbukti kasus pidananya. Ada dua cara membebaskan itu, onslag atau dikatakan tidak terbukti,” ujarnya.

    Ia mengungkapkan bahwa jaringan kerja sama kasus korupsi ini melibatkan tiga pengadilan, yakni Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Utara.

    “Coba bayangkan bahayanya korupsi sekarang, jaringannya di pengadilan itu melibatkan tiga pengadilan. Hakim yang terlibat dalam suap-menyuap itu bersama paniteranya di Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara. Jadi ini sudah jaringan di korupsi. Gila ini sangat berbahaya, sangat jorok sekarang,” ujarnya.

    Mahfud menilai respons Mahkamah Agung (MA) terhadap kasus-kasus korupsi selama ini cenderung normatif dan tidak efektif, sehingga menurutnya diperlukan intervensi langsung dari Presiden.

    “Iya sekarang sudah perlu langkah darurat ya. Karena ini situasinya darurat, sehingga perlu keputusan-keputusan darurat, kalau perlu Presiden turun tangan buat Perpu. Bongkar itu semua. Jangan takut-takut, rakyat mendukung.”

    “Karena kalau nunggu Mahkamah Agung memperbaiki selalu kembali ke formalitas. Ini sudah karena kasus yang terakhir itu melibatkan tiga pengadilan. Hakim dan Paniteranya berombongan di situ nerima suap dari tiga korporasi itu. Itu yang sekarang ditemukan oleh Kejaksaan Agung, dan ini darurat,” katanya.

    Sebelumnya, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengungkapkan adanya dugaan suap terhadap tiga orang majelis hakim yang menangani perkara korupsi ekspor CPO atau korupsi minyak goreng.

    Kasus ini sebelumnya disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dan berakhir dengan putusan vonis lepas (onslag) terhadap tiga korporasi besar, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group pada 19 Maret 2024.

    Penyidikan oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) kemudian menetapkan tujuh orang sebagai tersangka. 

    Mereka adalah:

    Marcella Santoso (pengacara)
    Ariyanto (Pengacara)
    Muhammad Arif Nuryanta (Mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat)
    Wahyu Gunawan (Panitera Muda Perdata)
    Djuyamto (Ketua Majelis)
    Agam Syarif Baharuddin (Hakim Anggota)
    Ali Muhtarom (Hakim Ad Hoc)

    Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa dugaan suap ini bermula ketika Ariyanto menawarkan imbalan Rp 20 miliar kepada Panitera Muda Wahyu Gunawan untuk memengaruhi putusan majelis hakim agar membebaskan ketiga korporasi terdakwa dari jerat hukum.

    Wahyu Gunawan kemudian melaporkan tawaran ini kepada Muhammad Arif Nuryanta, yang kemudian justru menaikkan permintaan suap menjadi Rp 60 miliar.  

    Permintaan fantastis ini disetujui oleh pihak pengacara. 

    Dana suap dalam bentuk dolar Amerika Serikat kemudian berpindah tangan ke Wahyu Gunawan untuk diteruskan kepada Arif Nuryanta. 

    Atas jasanya, Wahyu Gunawan juga disebut menerima “fee” sebesar 50.000 dolar AS.

    Setelah menerima dana, Arif Nuryanta diduga menunjuk tiga hakim, yakni Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom, untuk mengadili kasus ini. 

    Ia juga disinyalir menyerahkan uang tunai sebesar Rp 4,5 miliar dalam bentuk dolar kepada Djuyamto dan Agam Syarif.

    Penyerahan uang yang diduga berkedok biaya membaca berkas ini disertai permintaan Arif agar perkara tersebut ditangani secara khusus. 

    Beberapa waktu kemudian, Arif kembali menyerahkan sekitar Rp18 miliar dalam bentuk dolar kepada Djuyamto, yang kemudian kembali membagikannya kepada kedua rekannya, dengan Agam menerima Rp 4,5 miliar dan Ali Muhtarom berkisar Rp 5 miliar.

    Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, menyatakan bahwa seluruh anggota majelis hakim diduga kuat mengetahui tujuan pemberian uang tersebut, yaitu untuk memastikan putusan onslag bagi para terdakwa korporasi CPO. (Grace Sanny Vania)

     

  • Kelakar Hasto Usai Sidang di PN Tipikor : Maaf Baru Belajar jadi Terdakwa

    Kelakar Hasto Usai Sidang di PN Tipikor : Maaf Baru Belajar jadi Terdakwa

    Bisnis.com, JAKARTA — Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto berkelakar soal dirinya masih belajar menjadi terdakwa dalam kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan.

    Berdasarkan pantauan Bisnis di ruang sidang PN Tipikor Jakarta Pusat, Hasto memang kerap diingatkan oleh hakim ketika diberikan kesempatan bicara setelah pemeriksaan saksi.

    Misalnya, saat sesi Hasto diberikan kesempatan untuk menyanggah keterangan dari saksi yang dihadirkan, yakni Wahyu Setiawan dan Arief Budiman. Namun, Hasto juga menyampaikan tanggapannya pada sesi tersebut.

    “Jadi ini pertama, masih belajar sebagai terdakwa hahaha,” ujar Hasto usai menjalani sidang di PN Jakarta Pusat, Kamis (17/4/2025).

    Dia menambahkan bahwa persidangan dalam agenda perdana pemeriksaan saksi itu berjalan dengan baik. Sebab, seluruh pihak baik itu jaksa, penasihat hukum hingga saksi diberikan untuk menyampaikan keterangannya.

    “Jadi, mengikuti persidangan dan ternyata banyak belajar tentang bagaimana kami semua baik dri jpu maupun PJ dan juga saya, selaku terdakwa diberikan kesempatan juga untuk menyampaikan keberatan,” pungkasnya.

    Diberitakan sebelumnya, jaksa penuntut umum menghadirkan tiga saksi, yakni eks Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman.

    Selain Arief, Eks Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan dan mantan Anggota Bawaslu RI Agustiani Tio Fridelina juga turut dihadirkan dalam sidang lanjutan perkara yang menyeret Hasto.

    Hanya saja, jaksa menyebut bahwa hanya dua saksi yang terkonfirmasi hadir. Pasalnya, saksi Agustiani Tio ini tidak mengkonfirmasi kehadirannya.

    “Sedianya tiga orang saksi yang akan kami hadirkan, namun sampai dengan saat ini, yang sudah terkonfirmasi hadir itu dua orang. Yang satu belum konfirmasi kehadiran,” tutur jaksa.

  • Komentar Yusril Soal 4 Hakim Jadi Tersangka Vonis Lepas Ekspor CPO
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        17 April 2025

    Komentar Yusril Soal 4 Hakim Jadi Tersangka Vonis Lepas Ekspor CPO Nasional 17 April 2025

    Komentar Yusril Soal 4 Hakim Jadi Tersangka Vonis Lepas Ekspor CPO
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan
    Yusril Ihza Mahendra
    buka suara soal empat hakim yang kini menjadi tersangka kasus suap untuk mengatur perkara kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
    Dia meminta hakim-hakim tersebut diproses hukum, sehingga dirinya menyerahkan seluruhnya kepada aparat yang berwenang.
    “Iya, kalau ditahan sih tetap saja diproses hukum, ya. Tergantung pada apakah ada bukti atau tidak,” kata Yusril di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (17/4/2025).
    Yusril juga mengatakan, sejauh ini
    proses hukum
    terhadap delapan hakim tersebut berjalan normal. “Jadi siapapun yang sebenarnya dilakukan penahanan oleh kejaksaan itu dilakukan dengan penyelidikan dan penyidikan, tapi dilihat perkembangannya apakah cukup bukti atau tidak,” beber Yusril.
    Sebelumnya diberitakan, Kejaksaan Agung sudah menetapkan empat hakim yang menjadi tersangka karena diduga terlibat suap untuk mengatur perkara kasus korupsi ekspor CPO yang merupakan bahan minyak goreng.
    Hakim yang menjadi tersangka pertama yang ditetapkan adalah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, pada Sabtu (12/4) malam.
    Kemudian, keesokan harinya, Minggu (13/4), tiga hakim yang menyusul Ketua PN Jaksel adalah Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, keduanya hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan Djuyamto, seorang hakim dari PN Jaksel.
    Kejagung menduga ketiga tersangka menerima suap dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN) sebesar Rp 22,5 miliar agar putusan perkara tiga korporasi besar itu onslag atau putusan lepas.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hakim Djuyamto, Tersangka Suap Vonis Perkara CPO Punya 2 Rumah di Karanganyar, Dikenal Peduli Budaya – Halaman all

    Hakim Djuyamto, Tersangka Suap Vonis Perkara CPO Punya 2 Rumah di Karanganyar, Dikenal Peduli Budaya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, SOLO – Hakim Djuyamto, tersangka suap vonis lepas tiga korporasi dalam perkara ekspor crude palm oil (CPO) diketahui memiliki dua rumah di wilayah Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

    Berdasarkan informasi yang dihimpun, Djuyamto memiliki rumah di perumahan Taman Tiara Asri Paulan.

    Perumahan tersebut berada di batas dua kabupaten, yaitu antara Desa Paulan, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar dan Desa Singopuran, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo.

    Diketahui, perumahan tersebut dijaga sekuriti secara ketat dan dipasang kamera CCTV di setiap sudut.

    Saat TribunSolo.com mencoba menelusuri lokasi, seorang warga setempat yang enggan disebutkan namanya mengatakan bahwa Djuyamto memiliki dua rumah di sana.

    Ia menjelaskan, dua rumah itu jarang dihuni Djuyamto.

    “Dia punya dua rumah, tapi jarang ditempati,” katanya saat ditemui TribunSolo.com, Rabu (16/4/2025).

    Kabar Djuyamto ditangkap dan ditetapkan menjadi tersangka oleh Kejaksaan Agung pun sudah diketahui warga sekitar rumahnya.

    Namun, banyak warga yang enggan bicara soal kasus yang menjerat Djuyamto, termasuk memberi tahu rumah hakim yang bertugas di Jakarta tersebut.

    Djuyamto di lingkungan tempat tinggalnya dikenal sebagai sosok dermawan.

    Camat Kartasura, Ikhwan Sapto Darmono mengatakan masyarakat setempat, terutama para tokoh budaya dan agama, mengenal Djuyamto sebagai pribadi yang rendah hati dan aktif menjaga nilai-nilai kebudayaan lokal.

    “Beliau orang baik. Peduli dengan masyarakat, peduli dengan budaya, terutama budaya yang menyangkut situs-situs Keraton di Kartasura,” Ikhwan saat ditemui TribunSolo.com, Rabu (16/4/2025).

    Menurut Ikhwan, Djuyamto kerap terlihat dalam berbagai kegiatan budaya, seperti Ambalwarsa Keraton Kartasura dan pagelaran wayang kulit. 

    Ia juga dikenal rajin memberikan dukungan terhadap kegiatan sosial di lingkungan masyarakat Kartasura.

    “Terakhir saya bertemu beliau sebelum Lebaran, di acara wayangan di Mangkunegaran Solo. Sangat aktif dan sangat peduli dengan budaya Kartasura,” ucapnya.

    Selain itu, ia mengatakan Djuyamto memiliki rumah di Kartasura. 

    Namun, ia mengaku kurang tahu terkait alamat Djuyamto di Kartasura tersebut. 

    “Rumahnya saya kurang tahu, karena kemarin waktu silaturahmi saat lebaran tidak jadi bertemu. Informasi dari kepala Desa Singopuran Kartasura, itu masuknya di Colomadu Karanganyar tetapi memang aktifnya di Kartasura,” terangnya.

    Keaktifan Djuyamto di Kartasura itu bukan tanpa alasan, karena Djuyamto lahir dan tumbuh di Kartasura.

    “Karena memang beliau lahir dan pendidikan SMP dan SMA di Kartasura teman dan sahabatnya banyak di Kartasura,” lanjutnya.

    Kini, dengan mencuatnya kasus dugaan suap ini, Warga Kartasura berharap proses hukum tetap berjalan dengan adil dan transparan.

    “Kami jujur saja merasa prihatin dan berdoa saja mudah-mudahan beliau orang baik dengan kebaikan beliau mampu memberikan kemudahan dan beliau diberikan kelancaran dalam ujian ini dan kami berharap beliau bebas sangkaan-sangkaan dan bertugas seperti biasanya,” ujarnya.

    Hakim Djuyamto Sempat Titip Tas ke Satpam

    Hakim Djuyamto sempat menitipkan tas kepada satpam Pengadilan Negeri jakarta Selatan sehari sebelum dirinya ditahan penyidik Jampidsus Kejagung.

    Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar mengatakan tas tersebut berisi uang dolar Singapura dan  dua handphone.

    Selain itu, kata Harli, di dalam tas tersebut juga ditemukan cincin yang mempunyai mata cincin berwarna hijau.

    “Ada uang dalam bentuk rupiah Rp 48 750 000 dan asing 39 000 SGD, cincin bermata hijau,” kata Harli kepada wartawan, Kamis (17/4/2025).

    Jika ditotal dan dihitung dalam kurs rupiah, uang tersebut berjumlah Rp 549.978.000.

    Belum diketahui alasan Djuyamto menitipkan tas tersebut kepada satpam.

    Peran Hakim Djuyamto

    Dalam vonis lepas atau ontslag perkara korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Djuyamto berperan sebagai Ketua Majelis Hakim.

    Ia memutus perkara yang menjerat 3 korporasi sawit tersebut bersama Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin sebagai hakim anggota.

    Ketiga Majelis Hakim ini pun bersepakat untuk membuat perkara tersebut divonis onslag atau lepas setelah menerima uang sebesar Rp 22,5 miliar.

    Untuk informasi, Kejaksaan Agung sebelumnya telah menetapkan delapan tersangka dalam kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO.

    Berikut daftar lengkap 8 tersangka:

    Muhammad Arif Nuryanta, Ketua PN Jakarta Selatan
    Agam Syarif Baharuddin, Hakim PN Jakarta Pusat
    Ali Muhtarom, Hakim PN Jakarta Pusat
    Djuyamto, Hakim PN Jakarta Selatan
    Wahyu Gunawan, Panitera Muda Perdata Jakarta Utara
    Marcella Santoso, Kuasa Hukum Korporasi CPO
    Ariyanto Bakri, Kuasa Hukum Korporasi CPO
    Muhammad Syafei, Head and Social Security Legal Wilmar Group

    (tribunnews.com/ tribunsolo.com/ anang aaruf bagus yuniar)

    Sebagian dari artikel ini telah tayang di TribunSolo.com dengan judul Cerita Camat Kartasura Sukoharjo Tentang Hakim Djuyamto yang Ditangkap Kejagung, Sosok Murah Hati

  • Cerita Ketua RT di Pulogadung ‘Tour’ dalam Rumah Ary Bakri yang Digeledah Kejagung Selama 10 Jam – Halaman all

    Cerita Ketua RT di Pulogadung ‘Tour’ dalam Rumah Ary Bakri yang Digeledah Kejagung Selama 10 Jam – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Rumah mewah bergaya istana milik Ary Bakri, pengacara yang terseret dalam kasus suap vonis korporasi CPO, kini bukan simbol kemewahan, tapi menjadi lokasi penyitaan barang bukti oleh Kejaksaan Agung. 

    Penggeledahan yang dilakukan di kediaman Ary Bakri  di kawasan elite Kayu Putih, Pulogadung, Jakarta Timur mengundang perhatian warga sekitar.

    Ketua RT 01 RW 04 Kayu Putih, Hasan menceritakan awalnya rumah tersebut disegel pada malam hari.

    Lalu digeledah esok siangnya selama hampir 10 jam. 

    “Mulai jam 12 siang sampai jam 10 malam. Saya ikut masuk juga, ada RW, koordinator keamanan, polisi, sampai staf-staf rumahnya,” ujar Hasan.

    Penggeledahan ini membongkar sebagian wajah glamor Ary Bakri yang kerap memamerkan kendaraan mewah di media sosial.

    Tidak tanggung-tanggung, Kejagung menyita satu Toyota Land Cruiser, dua unit Land Rover, 21 sepeda motor termasuk motor gede, tujuh sepeda eksklusif, dan uang tunai dalam bentuk Dolar Singapura.

    “Beberapa mobil itu memang sering terlihat di sini, keluar satu-satu. Parkirnya di rumah terus,” kata Hasan.

    Warga sekitar mengaku tak menyangka bahwa rumah yang tampak tenang dan elit itu ternyata menyimpan jejak kasus dugaan suap Rp 60 miliar yang mengguncang institusi peradilan.

    Ary Bakri diduga menjadi perantara suap agar tiga korporasi besar CPO—Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group—dijatuhi vonis lepas.

    Kini, rumah mewah yang dulunya hanya bisa dilihat dari luar pagar tinggi, telah terbuka lebar bagi penyidik, dan menjadi bukti bahwa hukum bisa menembus tembok glamor mana pun.

    Kronologi Kasus Ary Bakri

    Awalnya Ary Bakri selaku pengacara tiga korporasi CPO berkomunikasi dengan Wahyu Gunawan yang merupakan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    Pengacara korporasi CPO itu meminta majelis hakim yang dipimpin Djuyamto untuk memberi vonis lepas dengan timbal balik bayaran Rp20 miliar.

    Tiga grup korporasi CPO tersebut adalah Permata Hijau Group, Wilmar Group dan Musim Mas Group,

    Wahyu kemudian berkoordinasi dengan mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang kini telah menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta.

    Arif menyetujui permintaan tersebut dengan syarat uang suap naik jadi tiga kali lipat menjadi Rp 60 miliar.

    “Muhamad Arif Nuryanta menyetujui permintaan tersebut untuk diputus onslag namun dengan meminta uang Rp20 miliar tersebut dikalikan 3 sehingga totalnya Rp60 miliar,” ujar Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari lalu.

    Ary Bakri kemudian menyetujui permintaan tersebut dan menyerahkan uang tersebut melalui Wahyu.

    Arif juga menerima 50.000 USD sebagai biaya penghubung.

    Kemudian, Arif menunjuk tiga hakim, termasuk Djuyamto, untuk menangani perkara tersebut.

    Ketiga hakim ini sepakat memberikan vonis lepas setelah menerima uang suap sebesar Rp 22,5 miliar.

    Dan akhirnya pada 19 Maret 2025, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat yang dipimpin Djuyamto menjatuhkan vonis lepas (ontslag van rechtsvervolging) kepada tiga korporasi besar dalam perkara korupsi ekspor CPO.

    Ketiga korporasi kakap CPO itu pun akhirnya lolos dari segala tuntutan jaksa Kejagung yakni pidana denda masing-masing Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 17 triliun. (Tribun Jakarta/Elga Hikari Putra)

     

     

  • Terungkap Hakim Tersangka Suap Titip Tas Isi Duit ke Satpam

    Terungkap Hakim Tersangka Suap Titip Tas Isi Duit ke Satpam

    Jakarta

    Satu per satu fakta suap Rp 60 miliar di balik vonis lepas terhadap terdakwa korporasi kasus korupsi ekspor bahan baku minyak goreng mulai terungkap. Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap ketiga hakim pemberi vonis lepas itu telah mengakui menerima suap.

    Ketua majelis hakim perkara tersebut, Djuyamto sempat menitipkan tas berisi uang kepada satpam Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Kabar ini baru diketahui setelah Djuyamto ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.

    “Benar (ada penyerahan tas milik Tersangka Djuyamto),” kata Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar, Kamis (17/4/2025).

    Tas milik Djuyamto itu baru diterima penyidik pada Rabu (16/4). Adapun isinya adalah sejumlah uang yang ditutupi dengan dua ponsel serta uang dalam mata uang dolar Singapura.

    “Tapi baru kemarin siang diserahkan oleh satpam yang ditutupi dua handphone dan uang dolar Singapura 37 lembar kalau tidak salah,” ungkap Harli.

    Harli belum menjelaskan lebih rinci mengenai kapan dan dalam rangka apa tas itu dititipkan Djuyamto kepada satpam. Begitu pula mengenai asal-usul uang yang ada dalam tas tersebut. Dia hanya menyebut tas serta isinya kini telah disita penyidik.

    “Berita acara penyitaannya sudah ada,” tutur Harli.

    Tiga Hakim Pemberi Vonis Lepas Akui Terima Suap

    Foto: Hakim pemberi vonis lepas korupsi migor (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)

    Kejagung juga telah memeriksa tiga hakim pengadil terdakwa korporasi migor. Ketiga hakim pemberi vonis lepas itu telah mengakui menerima suap.

    “Ya memang dari mereka lah keterangan itu. ‘Saya menerima sekian’, nah tanggal sekarang sedang dicocokkan,” kata Harli.

    Majelis hakim pemberi vonis lepas terhadap terdakwa korporasi kasus korupsi migor itu terdiri dari Djuyamto selaku hakim ketua dan Agam Syarif Baharudin serta Ali Muhtarom selaku hakim anggota. Harli mengatakan ketiga hakim itu mengaku mendapatkan bagian suap senilai Rp 4 sampai 6 miliar di awal untuk membaca berkas perkara kasus tersebut.

    “Yang baru bicara itu kan baru dari majelis hakimnya yang menyatakan ada menerima Rp 4,5 (miliar) di awal untuk membaca berkas. Ada menerima Rp 4,5 (miliar) juga, ada menerima Rp 5 (miliar), ada menerima Rp 6 (miliar),” beber Harli.

    Ketiga hakim tersebut diketahui mendapatkan duit suap dari Muhammad Arif Nuryanta yang saat itu masih menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Dia memiliki wewenang dalam menunjuk hakim yang mengadili perkara.

    Kejagung menjelaskan Arif memberikan uang suap kepada hakim pengadil terdakwa korporasi migor dalam dua kesempatan. Dia awalnya memberikan ketiga hakim uang sebesar Rp 4,5 miliar. Di pemberian kedua, Arif menyerahkan lagi uang dalam bentuk dolar Amerika yang jika dirupiahkan berjumlah Rp 18 miliar. Itu artinya ketiga hakim pengadil perkara korporasi migor menerima bagian suap Rp 22,5 miliar.

    Harli mengatakan keterangan ketiga hakim tersebut akan didalami. Saat ini penyidik Kejagung juga akan menjadwalkan pemeriksaan untuk Muhammad Arif Nuryanta (MAN) yang diketahui menjadi sosok yang meminta suap Rp 60 miliar untuk mengatur vonis ontslag kepada terdakwa korporasi kasus migor.

    “Nah ini sekarang yang sedang terus digali oleh penyelidik dari berbagai keterangan-keterangan,” jelas Harli.

    Kejaksaan Agung (Kejagung) saat ini menetapkan delapan tersangka kasus suap di balik vonis lepas terdakwa korporasi perkara korupsi migor. Kejagung mengungkap adanya suap senilai Rp 60 miliar yang diterima hakim untuk memuluskan vonis lepas tersebut. Para tersangka dalam kasus ini terdiri dari hakim, pengacara, hingga pihak korporasi.

    Berikut daftar tersangka kasus suap vonis lepas terdakwa korporasi migor:
    1.⁠ ⁠Muhammad Arif Nuryanto (MAN) selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel)
    2.⁠ ⁠Djuyamto (DJU) selaku ketua majelis hakim
    3.⁠ ⁠Agam Syarif Baharudin (ASB) selaku anggota majelis hakim
    4.⁠ ⁠Ali Muhtarom (AM) selaku anggota majelis hakim
    5.⁠ ⁠Wahyu Gunawan (WG) selaku panitera
    6.⁠ ⁠Marcella Santoso (MS) selaku pengacara
    7.⁠ ⁠Ariyanto Bakri (AR) selaku pengacara
    8. Muhammad Syafei (MSY) selaku Head of Social Security and License Wilmar Group

    Halaman 2 dari 2

    (ygs/dek)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini