Kementrian Lembaga: PN Jakarta Pusat

  • Putusan Hakim Perkara Agnez Mo Diduga Langgar UU, DPR Desak 2 Hal Ini ke MA

    Putusan Hakim Perkara Agnez Mo Diduga Langgar UU, DPR Desak 2 Hal Ini ke MA

    Bisnis.com, JAKARTA — Koalisi Advokat Pemantau Peradilan menduga adanya pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara dengan register Nomor 92/Pdt.Sus-HKI/Hak Cipta/2024/PN Niaga Jkt.Pst. Saat ini, mereka melaporkannya ke Mahkamah Agung (MA).

    Sebagai informasi, perkara tersebut merupakan gugatan pelanggaran hak cipta antara Arie Sapta Hernawan (Ari Bias) melawan Agnes Monica Muljoto (Agnez Mo) dan PT Aneka Bintang Gading. Setelah diputuskan hakim, Agnez Mo dinyatakan bersalah dan didenda Rp1,5 miliar.

    Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman meminta kepada Badan Pengawasan (Bawas) MA untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan ke MA tersebut.

    “Yang diduga pemeriksaan dan keputusannya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” tuturnya seusai rapat tertutup dengan Dirjen Kekayaan Intelektual Kemenkum, Bawas MA, dan koalisi tersebut, di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Jumat (20/5/2025).

    Selanjutnya, legislator Gerindra ini juga meminta MA untuk membuat surat edaran atau pedoman guna menerapkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta dan Ketentuan terkait hak kekayaan intelektual lainnya dengan komprehensif.

    “Sehingga tidak ada lagi putusan yang tidak mencerminkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, serta merugikan orkestrasi dunia seni dan musik Indonesia,” bebernya.

    Selain mendesak dua hal tersebut ke MA, Komisi III DPR juga meminta kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum untuk dapat menyosialisasikan secara luas mengenai mekanisme lisensi dan pengelolaan royalti yang dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

    “Dan pemahamannya terhadap filosofi dan tujuan Undang-Undang No. 28 tahun 2015 tentang hak cipta dan ketentuan perundang-Undang terkait, sehingga tidak ada lagi sengketa, gugatan, putusan, peradilan yang dapat merugikan seluruh artis atau pelaku industri musik Indonesia seperti dalam perkara Nomor 92/Pdt.Sus-HKI/Hak Cipta/2024/PN Niaga Jkt.Pst.,” jelasnya.

    Dalam kesempatan yang sama, Bawas MA juga mengaku sudah menerima laporan dari Koalisi Advokat Pemantau Peradilan terkait hal tersebut.

    “Memang benar, kemarin kami menerima pengaduan dari Koalisi Advokat Pemantau Peradilan tentang dugaan adanya pelanggaran kode etik dan pedoman perlikau hakim,” ucap Inspektur Wilayah II Bawas MA, Suradi.

    Suradi memastikan pihaknya akan segera menindaklanjuti laporan tersebut. Sebab itu, dia menegaskan hingga sejauh ini masih berupa dugaan saja, bukan sudah pasti ada pelanggaran yang dilakukan hakim.

  • 2
                    
                        Komisi III Minta Bawas MA Usut Hakim yang Suruh Agnez Mo Ganti Rugi Rp 1,5 Miliar ke Ari Bias
                        Nasional

    2 Komisi III Minta Bawas MA Usut Hakim yang Suruh Agnez Mo Ganti Rugi Rp 1,5 Miliar ke Ari Bias Nasional

    Ketua Komisi III Minta Bawas MA Usut Hakim yang Suruh Agnez Mo Ganti Rugi Rp 1,5 Miliar ke Ari Bias
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
     Pimpinan Komisi III DPR RI meminta Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) segera menindaklanjuti laporan
    dugaan pelanggaran hakim
    yang menangani perkara gugatan royalti oleh komposer
    Ari Bias
    terhadap penyanyi Agnez Mo.
    Hal itu disampaikan Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman saat membacakan kesimpulan rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Bawas MA, Koalisi Advokat Pemantau Peradilan, dan perwakilan musisi, Jumat (20/6/2025).
    “Komisi III DPR RI meminta kepada
    Bawas Mahkamah Agung
    untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan oleh Koalisi Advokat Pemantau Peradilan, terkait dugaan terjadinya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili Perkara dengan Register No. 92/PDT.SUS-HK/HAKCIPTA 2024 Pengadilan Niaga Jakarta Pusat,” ujar Habiburokhman, Jumat.
    Dalam laporan tersebut, kata Habiburokhman, putusan majelis hakim memerintahkan Agnez Mo membayar ganti rugi karena menyanyikan lagu penggugat tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
    “Yang diduga pemeriksaan dan putusannya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” jelas Habiburokhman.
    Habiburokhman menjelaskan, pengelolaan dan pembayaran royalti bagi musisi yang menyanyikan lagu ciptaan komposer telah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
    Dalam beleid tersebut, pengelolaan dan pembayaran royalti diatur oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) atau Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
    “Jadi dibedah juga tentang kasus yang menimpa saudari Agnez Mo yang diputus oleh pengadilan. Padahal beliau itu cuma penyanyi, bukan penyelenggara sebuah
    event
    ,” kata Habiburokhman.
    “Tadi dalam RDPU dijelaskan oleh Dirjen Haki bahwa mekanisme pembayaran royalti itu melalui LMK. Secara umumnya begitu dan yang membayarkan tentu
    event organizer
    -nya, pelaksana
    event
    ,” sambungnya.
    Berkaca dari persoalan tersebut, Komisi III DPR RI pun meminta MA untuk membuat surat edaran atau pedoman penerapan UU Hak Cipta dan ketentuan mengenai Haki secara komprehensif.
    “Sehingga tidak ada lagi putusan yang tidak mencerminkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, serta merugikan orkestrasi dunia seni dan musik Indonesia,” kata Habiburokhman.
    Di samping itu, Habiburokhman juga meminta Ditjen Haki Kemenkum untuk lebih gencar mensosialisasikan mekanisme perolehan lisensi dan royalti melalui LMK dan LMKN.
    “Termasuk pemahaman terhadap filosofi dan tujuan UU Hak Cipta serta ketentuan perundang-undangan terkait. Sehingga tidak ada lagi sengketa gugatan dan putusan peradilan yang dapat merugikan seluruh pelaku industri musik Indonesia,” pungkasnya.
    Diberitakan sebelumnya, Bawas MA mengaku telah menerima aduan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman profesi hakim dalam memutuskan perkara gugatan royalti oleh komposer Ari Bias terhadap penyanyi Agnez Mo.
    “Memang benar kemarin kita tanggal 19 Juni 2025 menerima pengaduan dari Koalisi Advokat Pemantau Peradilan tentang dugaan adanya pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim, dan itu akan segera kita tindaklanjuti. Jadi apakah ada dugaan pelanggaran atau tidak, itu masih harus ditindaklanjuti,” ujar Anggota Bawas MA Suradi di Ruang Rapat Komisi III DPR, Jumat.
    Adapun kasus sengketa royalti antara komposer Ari Bias dan penyanyi Agnez Mo bermula pada Desember 2023.
    Saat itu, Ari Bias mengungkapkan bahwa ia tidak menerima royalti dari lagu-lagu ciptaannya yang dibawakan oleh Agnez Mo.
    Lagu-lagu tersebut, termasuk “Bilang Saja,” telah dinyanyikan oleh Agnez tanpa izin resmi dari Ari Bias.
    Merasa hak ciptanya dilanggar, Ari Bias melarang Agnez Mo untuk membawakan lagu-lagu ciptaannya.
    Ari Bias menegaskan, setiap penggunaan karyanya harus melalui izin dan disertai dengan pembayaran royalti yang sesuai.
    Setelah upaya komunikasi tidak membuahkan hasil, pada Mei 2024, Ari Bias melayangkan somasi kepada Agnez Mo dan menuntut ganti rugi sebesar Rp 1,5 miliar atas pelanggaran hak cipta.
    Namun, karena tidak ada respons yang memadai, pada September 2024, Ari Bias melanjutkan langkah hukumnya dengan mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
    Proses persidangan bergulir sampai akhirnya pada Februari 2025, majelis hakim memutuskan bahwa Agnez Mo bersalah atas pelanggaran hak cipta dan diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp 1,5 miliar kepada Ari Bias.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Saling Klaim Kejagung Vs Wilmar Soal Status Uang Rp11,8 Triliun pada Kasus Korupsi CPO

    Saling Klaim Kejagung Vs Wilmar Soal Status Uang Rp11,8 Triliun pada Kasus Korupsi CPO

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Wilmar Group saling klaim terkait dengan status uang senilai Rp11,8 triliun ats perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) alias minyak goreng korporasi.

    Sitaan fantastis oleh penyidik korps Adhyaksa ini kemudian menuai sorotan lantaran penyitaan tersebut berlangsung ketika perkara belum berkekuatan hukum tetap alias inkrah.

    Dalam hal ini, Wilmar Group selaku salah satu terdakwa kasus ekspor CPO yang menyerahkan uang ke penyidik Kejagung. Tak cuma-cuma, Wilmar menyatakan bahwa uang tersebut merupakan dana jaminan.

    Oleh karena itu, uang tersebut bisa dikembalikan apabila hakim agung di tingkat kasasi menguatkan vonis pengadilan pertama PN Tipikor Jakarta Pusat.

    Artinya, menguatkan vonis lepas alias ontslag. Vonis itu pada intinya telah menggugurkan kewajiban tiga terdakwa korporasi untuk membayar denda maupun uang pengganti senilai Rp17,7 triliun.

    “Dana jaminan akan dikembalikan kepada pihak Wilmar tergugat apabila Mahkamah Agung Republik Indonesia menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” tulis Wilmar International Limited dalam siaran pers yang diterima Bisnis, Rabu (18/6/2025).

    Sebaliknya, apabila hakim pada Mahkamah Agung (MA) menyatakan Wilmar Group bersalah, maka korporasi sudah bersedia menyerahkan uang belasan triliun itu disita sebagian atau sepenuhnya ke pengacara negara.

    Di samping itu, Wilmar Group menyatakan tidak ada alasan lain terkait penyerahan uang Rp11,8 triliun ke Kejagung. Pasalnya, hal tersebut merupakan bentuk itikad baik perusahaan untuk penegakan hukum yang ada.

    “Pihak Wilmar [selaku] tergugat tetap menyatakan bahwa seluruh tindakan yang dilakukan telah dilakukan dengan itikad baik dan tanpa niat koruptif apa pun,” pungkasnya.

    Kejagung Bantah Ada Dana Jaminan

    Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar menekankan bahwa dalam proses penanganan tindak pidana korupsi tidak memiliki istilah dana jaminan. Oleh karena itu, uang Rp11,8 triliun tersebut berstatus sitaan.

    “Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi terkait kerugian keuangan negara tidak ada istilah dana jaminan, yang ada uang yang disita,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (18/6/2025).

    Dia menambahkan, uang yang disita itu merupakan barang bukti untuk memulihkan kerugian keuangan negara akibat adanya uang perkara rasuah tersebut.

    Sebagai tindak lanjut, Harli menyatakan bahwa uang belasan triliun itu nantinya akan dimasukkan dalam barang bukti pada memori kasasi. Nantinya, hal itu diharapkan dapat dipertimbangkan oleh hakim agung pada pengadilan tingkat kasasi.

    “Karena perkaranya masih sedang berjalan maka uang pengembalian tersebut disita untuk bisa dipertimbangkan dalam putusan pengadilan,” imbuhnya.

    Lebih jauh, Harli tidak menjelaskan secara eksplisit terkait dengan nasib uang Rp11,8 triliun itu ketika MA memutuskan untuk memperkuat putusan ontslag atau bebas pada pengadilan sebelumnya. Meskipun begitu, Kejagung menyatakan sikap optimistis atas pengajuan kasasi tersebut.

    “Kita harus optimis Mas karena kita juga menyitanya sdh mendapatkan persetujuan dari pengadilan dan JPU sesuai rilis telah memasukkan tambahan memori kasasi terkait penyitaan uang tersebut,” pungkas Harli.

    Dua Korporasi Diminta Serahkan Uang

    Direktur Penuntutan (Dirtut) Jampidsus Kejagung RI, Sutikno meminta agar Musim Mas Group dan Permata Hijau Group melakukan langkah yang serupa dengan Wilmar group.

    Dalam catatan Bisnis, jaksa penuntut umum (JPU) sebelumnya telah menuntut uang pengganti kepada Permata Hijau Group mencapai Rp937,56 miliar. Sementara itu, Musim Mas Group Rp4,9 miliar. Keduanya juga dibebani juga denda Rp1 miliar.

    “Untuk Permata Hijau dan Musim Mas Grup, kita berharap kedepan mereka juga membayar seperti yang dilakukan oleh Wilmar. Nanti akan kita rilis juga seperti kalau ada pengembalian yang dilakukan oleh kedua grup tersebut,” ujar Sutikno di Kejagung, Selasa (18/6/2025).

  • Wilmar Sebut Rp11,8 Triliun Dana Jaminan, Kejagung : Itu Sitaan!

    Wilmar Sebut Rp11,8 Triliun Dana Jaminan, Kejagung : Itu Sitaan!

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) merespons pernyataan Wilmar Group soal dana jaminan Rp11,8 triliun dalam perkara korupsi crude palm oil (CPO) korporasi.

    Kapuspenkum Kejagung RI, Harli Siregar menekankan bahwa dalam proses penanganan tindak pidana korupsi tidak memiliki istilah dana jaminan. Oleh karena itu, uang Rp11,8 triliun tersebut berstatus sitaan.

    “Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi terkait kerugian keuangan negara tidak ada istilah dana jaminan, yang ada uang yang disita,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (18/6/2025).

    Dia menambahkan, uang yang disita itu merupakan barang bukti untuk memulihkan kerugian keuangan negara akibat adanya uang perkara rasuah tersebut.

    Sebagai tindak lanjut, Harli menyatakan bahwa uang belasan triliun itu nantinya akan dimasukkan dalam barang bukti pada memori kasasi. Nantinya, hal itu diharapkan dapat dipertimbangkan oleh hakim agung pada pengadilan tingkat kasasi 

    “Karena perkaranya masih sedang berjalan maka uang pengembalian tersebut disita untuk bisa dipertimbangkan dalam putusan pengadilan,” imbuhnya.

    Lebih jauh, Harli tidak menjelaskan secara eksplisit terkait dengan nasib uang Rp11,8 triliun itu ketika MA memutuskan untuk memperkuat putusan ontslag atau bebas pada pengadilan sebelumnya. Meskipun begitu, korps Adhyaksa menyatakan sikap optimistis atas pengajuan kasasi tersebut.

    “Kita harus optimis Mas karena kita juga menyitanya sdh mendapatkan persetujuan dari pengadilan dan JPU sesuai rilis telah memasukkan tambahan memori kasasi terkait penyitaan uang tersebut,” pungkas Harli.

    Wilmar Sebut Dana Jaminan 

    Sementara itu dalam keterangan tertulisnya, Wilmar mengatakan penyerahan uang belasan triliun itu merupakan dana jaminan sekaligus itikad baik perusahaan dalam perkara ini.

    Wilmar juga menekankan bahwa dana jaminan itu bakal dikembalikan ke perusahaan apabila hakim agung pada MA menjatuhkan vonis yang menguatkan putusan PN Jakarta Pusat sebelumnya.

    Sebaliknya, uang itu bakal diserahkan seluruh maupun sebagian dari Rp11,8 triliun apabila MA memutuskan Wilmar Group bersalah atas kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO.

    “Namun, dana jaminan dapat disita, baik sebagian maupun seluruhnya [tergantung pada putusan], apabila Mahkamah Agung memutuskan tidak memihak kepada Pihak Wilmar Tergugat,” ujar Wilmar dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (18/6/2025).

  • Versi Wilmar, Uang Rp11,8 Triliun Diserahkan Sebagai Jaminan

    Versi Wilmar, Uang Rp11,8 Triliun Diserahkan Sebagai Jaminan

    Bisnis.com, JAKARTA — Wilmar Group memberikan klarifikasi terkait penyerahan uang Rp11,8 triliun dalam perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil alias CPO korporasi.

    Dalam keterangan tertulisnya, Wilmar mengatakan penyerahan uang belasan triliun itu merupakan dana jaminan sekaligus itikad baik perusahaan dalam perkara ini.

    “Pihak Wilmar [selaku] tergugat menunjukkan kepercayaan mereka terhadap sistem peradilan Indonesia serta itikad baik dan keyakinan mereka atas ketidakbersalahan, dengan cara menempatkan dana jaminan sebesar Rp11.880.351.802.619 [Dana Jaminan] dalam perkara ini,” dalam siaran pers Wilmar International Limited, dikutip Rabu (18/6/2025).

    Wilmar juga menekankan bahwa dana jaminan itu bakal dikembalikan ke perusahaan apabila hakim agung pada MA menjatuhkan vonis yang menguatkan putusan PN Jakarta Pusat sebelumnya.

    Sebaliknya, uang itu bakal diserahkan seluruh maupun sebagian dari Rp11,8 triliun apabila MA memutuskan Wilmar Group bersalah atas kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO.

    “Namun, Dana Jaminan dapat disita, baik sebagian maupun seluruhnya [tergantung pada putusan], apabila Mahkamah Agung memutuskan tidak memihak kepada Pihak Wilmar Tergugat,” pungkasnya.

    Kronologi Sita

    Sebelumnya, Kapuspenkum Kejagung RI, Harli Siregar mengatakan bahwa penyitaan ini berdasarkan perhitungan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan laporan kajian analisis keuntungan ilegal hingga ahli.

    Kajian itu mengungkap adanya kerugian negara, ilegal gain dan kerugian perekonomian negara dari lima korporasi Wilmar Group. Misalnya, dari PT Multimas Nabati Asahan sebesar Rp3,9 triliun.

    Selanjutnya, PT Multi Nabati Sulawesi sebesar Rp39,7 miliar; PT Sinar Alam Permai sebesar Rp483,9 miliar; PT Wilmar Bioenergi Indonesia sebesar Rp57,3 miliar; dan PT Wilmar Nabati Indonesia Rp7,3 miliar.

    Dalam perkembangannya, Wilmar Group kemudian menyerahkan uang ke Kejagung pada Mei 2025. Atas pengembalian itu, JPU kemudian mengajukan penyitaan ke PN Jakarta Pusat dan diizinkan melalui ketetapan Nomor 40/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst tanggal 04 Juni 2025.

    Setelah penyitaan itu, uang belasan triliun tersebut sudah ditambahkan dalam memori kasasi JPU, sehingga hal tersebut bisa menjadi pertimbangan hakim pada Mahkamah Agung.

    “Uang yang telah disita menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari memori kasasi, guna menjadi bahan pertimbangan oleh Hakim Agung yang memeriksa Kasasi, khususnya terkait sejumlah uang tersebut “dikompensasikan” untuk membayar seluruh kerugian negara,” ujar Harli.

  • Uang Disita Rp11 Triliun, Perkara Wilmar Cs Bukan Pidana?

    Uang Disita Rp11 Triliun, Perkara Wilmar Cs Bukan Pidana?

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mengejar pengembalian kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi fasilitas ekspor crude palm oil alias CPO. Kasus ini menyeret tiga perusahaan, Wilmar Group, Musim Mas Group dan Permata Hijau. 

    Menariknya kasus penyitaan itu berlangsung ketika perkara belum berkekuatan hukum tetap. Selain itu, di pengadilan tingkat pertama, hakim telah memutuskan bahwa tindakan Wilmar Cs bukan suatu tindak pidana. 

    Seperti diketahui, pada selasa (18/6/2025) kemarin, penyidik gedung bundar telah menyita uang Rp11,8 triliiun. Sebagian uang yang disita tersebut dipamerkan dalam konferensi pers kemarin. 

    Direktur Penuntutan (Dirtut) Kejagung RI, Sutikno menyampaikan bahwa penyitaan ini baru diperoleh dari salah satu terdakwa korporasi yakni, Wilmar Group. Wilmar Group ini terdiri dari lima korporasi, mereka yakni PT Multimas Nabati Asahan; PT Multi Nabati Sulawesi; PT Sinar Alam Permai; PT Wilmar Bioenergi Indonesia; dan PT Wilmar Nabati Indonesia.

    “Seluruhnya sebesar Rp11.880.351.802.619,” ujarnya di Kejagung, Selasa (17/6/2025).

    Sutikno menambahkan, uang tersebut bakal disimpan dalam rekening penampungan milik Direktorat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) di Bank Mandiri.

    Berdasarkan pantauan Bisnis di ruangan Gedung Bundar Kejagung RI, sebagian uang tersebut tampak disusun rapi mengelilingi meja konferensi pers. Adapun, uang itu ditumpuk hingga 2 meter lebih.

    Uang dengan pecahan Rp100.000 ribu itu dibungkus dengan plastik. Tercatat, satu paket uang tersebut bernilai satu miliar. Total, uang yang ditampilkan pada konferensi pers kali ini mencapai Rp2 triliun.

    “Jadi, kenapa tidak kita rilis secara bersama senilai jumlah tersebut? Ini karena faktor tempat dan faktor keamanan tentunya, sehingga kami berpikir jumlah ini cukup untuk mewakili jumlah kerugian negara yang timbul,” imbuhnya.

    Adapun, uang tersebut juga akan dimasukkan dalam memori kasasi yang saat ini bergulir di Mahkamah Agung (MA). 

    Dengan demikian, penambahan uang sitaan ini diharapkan dapat dipertimbangkan oleh hakim dalam memvonis perkara yang sebelumnya telah diputus bebas atau ontslag di PN Tipikor Jakarta Pusat. “Uang sita tersebut enjadi bagian yang tidak terpisahkan dari memori kasasi sehingga keberadaannya dapat dipertimbangkan oleh Hakim Agung,” pungkasnya.

    Musim Mas dan Permata Hijau Menyusul?

    Di sisi lain, Kejagung meminta Musim Mas Group dan Permata Hijau Group menyerahkan uang terkait kerugian negara perkara pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) korporasi.

    Sutikno mengatakan langkah penyerahan kembali uang terkait kerugian negara itu telah dilakukan oleh Wilmar Group. “Saat ini yang telah mengembalikan kerugian keuangan negara akibat perbuatan korupsi yang dilakukan oleh lima grup Wilmar telah utuh dikembalikan,” ujarnya di Kejagung, Selasa (17/6/2025).

    Dia menambahkan, total uang yang telah diserahkan kembali dan disita Kejagung dari Wilmar Group mencapai Rp11,8 triliun. Uang belasan triliun itu berasal dari lima korporasi yang tergabung di Wilmar Group.

    Lima korporasi itu yakni PT Multimas Nabati Asahan; PT Multi Nabati Sulawesi; PT Sinar Alam Permai; PT Wilmar Bioenergi Indonesia; dan PT Wilmar Nabati Indonesia.

    Dalam hal ini, Sutikno berharap dua grup korporasi yang telah menjadi terdakwa lainnya agar bisa segera mengambil langkah serupa dengan Wilmar Group.

    “Untuk Permata Hijau dan Musim Mas Grup, kita berharap ke depan mereka juga membayar seperti yang dilakukan oleh Wilmar. Nanti akan kita rilis juga seperti kalau ada pengembalian yang dilakukan oleh kedua grup tersebut,” pungkasnya.

    Dalam catatan Bisnis, jaksa penuntut umum (JPU) sebelumnya telah menuntut uang pengganti kepada Permata Hijau Group mencapai Rp937.558.181.691,26. Sementara itu, Musim Mas Group Rp4.890.938.943.794,1. Keduanya juga dibebankan denda Rp1 miliar.

    Adapun, perkara CPO korporasi ini telah divonis ontslag atau bebas oleh hakim PN Tipikor Jakarta Pusat. Namun, Kejagung telah mengajukan kasasi terkait dengan vonis itu. Alhasil, saat ini perkara tersebut tengah bergulir di Mahkamah Agung (MA).

    Kronologi Kasus

    Dalam catatan Bisnis, kasus Wilmar, Musim Mas, dan Permata Hijau bermula dari perkara korupsi mafia minyak goreng. Dalam kasus itu tiga orang petinggi korporasi tersebut telah menjadi terpidana saat ini. Ketiga korporasi itupun kemudian telah ditetapkan sebagai tersangka korporasi. 

    “Jadi penyidik Kejaksaan Agung, pada hari ini juga menetapkan 3 korporasi sebagai tersangka,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung saat kasus itu terungkap, Ketut Sumedana di Kejagung, Kamis (15/6/2023).

    Ketut menjelaskan sesuai dengan putusan kasasi Mahkamah Agung, ketiga korporasi itu ditengarai sebagai pemicu kerugian negara dalam kasus mafia minyak goreng yang nilainya mencapai Rp6,47 triliun. 

    “Terbukti bahwa perkara yang sudah inkrah ini adalah merupakan aksi daripada 3 korporasi ini, sehingga pada hari ini juga kami tetapkan 3 korporasi ini sebagai tersangka,” ucap Ketut.

    Adapun kasus ini sejatinya belum memperoleh keputusan hukum tetap. Di laman resmi Mahkamah Agung, Kejagung masih mengajukan kasasi dan baru masuk pada tanggal 30 April 2025. 

    Menariknya di pengadilan tingkat pertama, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat alias PN Jakpus, telah memutuskan bahwa tindakan Wilmar dan para terdakwa korporasi telah terbukti sebagaimana dakwaan jaksa. Namun demikian, hakim menetapkan bahwa tindak Wilmar Cs itu bukanlah suatu tindak pidana. Alhasil, PN Jakpus telah meminta penuntut umum untuk melepaskan dan memulihkan hak-hak Wilmar Cs. 

    Bisnis masih berupaya mencari kontak pihak Wilmar, Musim Mas dan Permata Hijau, guna mengklarifikasi ihwal penyitaan dan kronologi kasus tersebut. 

  • Asal Usul Uang Rp11,8 Triliun yang Disita Kejagung dari Perkara Korupsi Minyak Goreng

    Asal Usul Uang Rp11,8 Triliun yang Disita Kejagung dari Perkara Korupsi Minyak Goreng

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menyita Rp11,8 triliun dalam perkara pemberian fasilitas ekspor crude palm oil alias minyak goreng korporasi.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar mengatakan belasan triliun yang disita itu bersumber dari lima korporasi yang tergabung di Wilmar Group.

    “Tim Penuntut Umum dari direktorat penuntutan pada Jampidsus telah melakukan penyitaan pada tingkat penuntutan terhadap uang senilai Rp11.880.351.802.619,” ujar Harli di Kejagung, dikutip Rabu (18/6/2025).

    Harli menjelaskan, penyitaan ini berdasarkan perhitungan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan laporan kajian analisis keuntungan ilegal hingga ahli.

    Kajian itu mengungkap adanya kerugian negara, ilegal gain dan kerugian perekonomian negara dari lima korporasi Wilmar Group. Misalnya, dari PT Multimas Nabati Asahan sebesar Rp3,9 triliun.

    Selanjutnya, PT Multi Nabati Sulawesi sebesar Rp39,7 miliar; PT Sinar Alam Permai sebesar Rp483,9 miliar; PT Wilmar Bioenergi Indonesia sebesar Rp57,3 miliar; dan PT Wilmar Nabati Indonesia Rp7,3 miliar.

    “Bahwa dalam perkembangannya, kelima Terdakwa Korporasi tersebut pada tanggal 23 dan 26 Mei 2025 mengembalikan uang sejumlah kerugian negara yang ditimbulkan sebesar Rp11.880.351.802.619 pada Rekening Penampungan Lainnya (RPL) Jampidsus,” imbuhnya.

    Selanjutnya, atas pengembalian itu, JPU mengajukan penyitaan ke PN Jakarta Pusat dan diizinkan melalui ketetapan Nomor 40/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst tanggal 04 Juni 2025.

    Setelah penyitaan itu, uang belasan triliun tersebut sudah ditambahkan dalam memori kasasi JPU, sehingga hal tersebut bisa menjadi pertimbangan hakim pada Mahkamah Agung.

    “Uang yang telah disita menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari memori kasasi, guna menjadi bahan pertimbangan oleh Hakim Agung yang memeriksa Kasasi, khususnya terkait sejumlah uang tersebut “dikompensasikan” untuk membayar seluruh kerugian negara,” pungkas Harli.

    Minta Dua Korporasi Serahkan Uang

    Direktur Penuntutan (Dirtut) Jampidsus Kejagung RI, Sutikno meminta agar Musim Mas Group dan Permata Hijau Group melakukan langkah yang serupa dengan Wilmar group.

    Dalam catatan Bisnis, jaksa penuntut umum (JPU) sebelumnya telah menuntut uang pengganti kepada Permata Hijau Group mencapai Rp937.558.181.691,26. Sementara itu, Musim Mas Group Rp4.890.938.943.794,1. Keduanya juga dibebania denda Rp1 miliar.

    “Untuk Permata Hijau dan Musim Mas Grup, kita berharap kedepan mereka juga membayar seperti yang dilakukan oleh Wilmar. Nanti akan kita rilis juga seperti kalau ada pengembalian yang dilakukan oleh kedua grup tersebut,” ujar Sutikno di Kejagung, Selasa (18/6/2025).

    Sekadar informasi, perkara CPO korporasi ini telah divonis ontslag atau bebas oleh hakim PN Tipikor Jakarta Pusat. Namun, Kejagung telah mengajukan kasasi terkait dengan vonis itu.

    Alhasil, saat ini perkara tersebut tengah bergulir di Mahkamah Agung (MA) alias belum berkekuatan hukum tetap atau inkrah.

  • Eks Pejabat MA Zarof Ricar Bakal Jalani Vonis Hari Ini

    Eks Pejabat MA Zarof Ricar Bakal Jalani Vonis Hari Ini

    Bisnis.com, JAKARTA — Bekas Pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar bakal menjalani sidang vonis terkait perkara putusan bebas Ronald Tannur di PN Surabaya.

    Hal tersebut termuat dalam sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) Pengadilan Negari (PN) Jakarta Pusat. “Rabu, 18 Juni 2025 untuk putusan,” dalam SIPP PN Jakarta Pusat, dikutip Rabu (18/6/2025).

    Dalam catatan Bisnis, Zarof telah didakwa terlibat dalam perkara suap dengan ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja dan pengacaranya Lisa Rachmat untuk membebaskan Ronald atas kematian Dini Sera Afrianti.

    Uang suap itu dikirimkan melalui tiga hakim Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo. Adapun, dalam pemilihan tiga hakim ini juga telah melibatkan eks Ketua PN Surabaya Rudi Suparmono. Keempat orang ini juga sudah menjadi terdakwa dalam perkara tersebut.

    Kemudian, Zarof juga didakwa telah menerima gratifikasi sebesar Rp915 miliar dan emas logam mulia sebesar 51 kg selama menjabat di posisi penting di MA selama 2010-2022. 

    Adapun, dalam agenda putusan hukuman ini tak hanya akan dijalani oleh Zarof. Pasalnya, Lisa Rachmat dan Meirizka juga bakal ikut divonis hari ini.

    Sekadar informasi, Zarof sebelumnya telah dituntut oleh jaksa penuntut umum (JPU) agar dihukum maksimal menjalani pidana 20 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.

  • Terbesar Dalam Sejarah, Kejagung Sita Rp 11,8 Triliun Uang Kasus CPO Wilmar Group

    Terbesar Dalam Sejarah, Kejagung Sita Rp 11,8 Triliun Uang Kasus CPO Wilmar Group

    Terbesar Dalam Sejarah, Kejagung Sita Rp 11,8 Triliun Uang Kasus CPO Wilmar Group
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Tumpukan uang pecahan Rp 100.000 menggunung di Gedung Bundar
    Kejaksaan Agung
    , Jakarta, Selasa (17/6/2025). Jika dihitung, tingginya mencapai dua meter di sejumlah sisi, dengan jumlah mencapai Rp 2 miliar.
    Namun, uang yang asal usulnya berasal dari penyitaan kasus yang menyeret
    Wilmar Group
    itu belum semuanya dipamerkan oleh Kejagung. Sebab, ada Rp 11,8 triliun lain yang disita penyidik dalam kasus ini.
    “Barangkali, hari ini merupakan konferensi pers terhadap penyitaan uang, dalam sejarahnya, ini yang paling besar (angka penyitaan dan jumlah barang buktinya),” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar.
    Secara keseluruhan ada Rp 11.880.351.802.619 uang yang dikembalikan lima korporasi di bawah naungan Wilmar Group ke Kejagung terkait kasus pemberian fasilitas ekspor 
    crude palm oil
    (CPO) periode Januari 2021 hingga Maret 2022.
    Kelima korporasi itu yakni PT Multimas Nabati Asahan; PT Multinabati Sulawesi; PT Sinar Alam Permai; PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
    Uang tersebut tadinya nyaris hilang, usai Pengadilan Tindak Pidana
    Korupsi
    (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis lepas atau
    ontslag van alle rechtsvervolging
    dalam perkara
    a quo
    .
    Melansir laman resmi Mahkamah Agung (MA), tiga korporasi yang terlibat dalam perkara ini, yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group, dibebaskan dari semua tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).
    Dalam putusannya, majelis hakim menyebut ketiga terdakwa terbukti melakukan perbuatan hukum sebagaimana dakwaan JPU. Tapi, perbuatan para terdakwa ini dinyatakan bukan suatu tindak pidana. Para terdakwa kemudian dibebaskan dari semua dakwaan JPU, baik primair maupun sekunder.
    Belakangan, putusan itu berbuntut panjang. Tiga hakim yang menyidangkan perkara itu, Djuyamto (hakim ketua), Agam Syarif Baharuddin (hakim anggota), dan Ali Muhtarom (hakim
    ad hoc
    ), ditetapkan sebagai tersangka usai diduga turut menikmati uang suap atau gratifikasi bersama Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta sebesar Rp 60 miliar.
    Ketiga hakim itu diduga mendapat imbalan Rp 22,5 miliar atas putusan yang mereka buat.
    Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung, Sutikno mengatakan, uang yang telah dikembalikan Wilmar Group itu akan dimasukkan ke dalam memori kasasi untuk diserahkan kepada Mahkamah Agung.
    Sutikno menegaskan, kasus CPO masih belum berkekuatan hukum tetap alias inkrah. Oleh karena itu, ia berharap uang yang disita ini dapat memperkuat berkas jaksa di level kasasi.
    “Memasukkan uang yang telah kami sita tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari memori kasasi sehingga keberadaannya dapat dipertimbangkan oleh hakim agung yang memeriksa kasasi,” kata Sutikno.
    Ia berharap majelis hakim kasasi dapat mempertimbangkan uang yang telah disita sebagai kompensasi dari kerugian negara yang ditimbulkan oleh Wilmar Group cs.
    “Uang tersebut supaya dikompensasikan untuk membayar seluruh kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan
    korupsi
    yang dilakukan para terdakwa korporasi,” lanjutnya.
    Sementara itu, Sutikno juga berharap agar dua perusahaan lain yang turut divonis lepas di tingkat pertama, yaitu Permata Hijau Group dan Musim Mas Group, dapat mengikuti jejak Wilmar Group mengembalikan uang.
    Sebagai informasi, dalam tuntutannya, jaksa menuntut pidana denda sebesar Rp 1 miliar masing-masing kepada setiap terdakwa korporasi. Selain itu, mereka juga diminta membayar pidana tambahan dengan jumlah berbeda-beda.
    Wilmar Group sebesar Rp 11,88 triliun, Musim Mas Group sebesar Rp 4,89 triliun, dan Permata Hijau Group sebesar Rp 937,5 miliar.
     
    Sutikno mengatakan, dua korporasi ini masih mengupayakan pengembalian kerugian negara yang dimaksud.
    “Mereka sedang berproses, kita harapkan mereka akan mengembalikan secara utuh juga,” kata Sutikno lagi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Eks Pejabat MA Zarof Ricar Jalani Sidang Vonis Kasus Ronald Tannur Hari Ini

    Eks Pejabat MA Zarof Ricar Jalani Sidang Vonis Kasus Ronald Tannur Hari Ini

    Jakarta

    Mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) yang juga dikenal makelar perkara, Zarof Ricar, menghadapi sidang vonis kasus dugaan suap vonis bebas Ronald Tannur terkait kematian Dini Sera hari ini. Sidang akan digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta.

    “Agenda untuk putusan,” demikian tertulis dalam laman resmi Sistem Informasi Pelayanan Publik (SIPP) PN Jakarta Pusat seperti dilihat detikcom, Rabu (18/6/2025).

    Selain Zarof, hakim juga akan membacakan vonis terhadap ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja dan pengacara Ronald, Lisa Rachmat. Sidang ketiganya rencananya akan digelar di ruang Prof Dr. H Muhammad Hatta Ali PN Tipikor pada PN Jakpus.

    Dalam kasus ini, jaksa penuntut umum mendakwa Ibu Ronald Tannur, Meirizka memberi suap agar anaknya divonis bebas dalam kasus tewasnya Dini Sera. Suap itu diberikan kepada tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang mengadili Ronald.

    “Telah melakukan atau turut serta melakukan dengan Lisa Rachmat, memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, yaitu memberi uang tunai keseluruhan sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308 ribu (Rp 3,6 miliar),” kata jaksa dalam sidang dakwaan Meirizka di PN Tipikor Jakarta, Senin (10/2).

    Suap itu diberikan melalui pengacara bernama Lisa Rachmat yang juga jadi terdakwa. Uang suap tersebut lalu diserahkan kepada tiga hakim majelis kasus Ronald Tannur di PN Surabaya, mulai Erintuah Damanik, Mangapul, sampai Heru Hanindyo. Tiga hakim itu juga telah menjadi terdakwa.

    Ronald sendiri telah dihukum 5 tahun penjara dalam tingkat kasasi. Dia sedang menjalani hukuman penjara.

    (mib/whn)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini