Kementrian Lembaga: PN Jakarta Pusat

  • Hasto: Harun Masiku Kader PDIP Terbaik, Pernah Dapat Beasiswa Ratu Elizabeth

    Hasto: Harun Masiku Kader PDIP Terbaik, Pernah Dapat Beasiswa Ratu Elizabeth

    Bisnis.com, JAKARTA — Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendalami keterangan Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto sebagai terdakwa perkara suap dan perintangan penyidikan kasus Harun Masiku. Salah satunya terkait dengan alasan partai memilih Harun sebagai anggota DPR pergantian antarwaktu (PAW) 2019-2024 daerah pemilihan (dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I. 

    Untuk diketahui, Hasto didakwa melakukan perintangan penyidikan serta ikut memberikan suap kepada anggota KPU 2017-2022 Wahyu Setiawan, untuk meloloskan Harun sebagai anggota DPR PAW pada periode yang lalu. 

    Hasto menceritakan alasan Harun dipilih oleh PDIP untuk menerima pelimpahan suara dari caleg DPR terpilih Sumsel I, Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia. Hal itu meski suara yang diperoleh Harun saat pemungutan suara bukan pada urutan kedua. 

    Sementara itu, pemilih masih tetap memberikan hak suaranya kepada Nazarudin pada 2019 lalu kendati sudah meninggal. Hal ini menyebabkan ribuan suara yang mencoblos Nazarudin di surat suara hangus atau menjadi 0 sebagaimana peraturan KPU. Hal ini, kata Hasto, merugikan partai karena bisa berdampak ke perolehan kursi di DPR. 

    Alhasil, PDIP pun mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) yang pada intinya agar suara Nazarudin dikembalikan ke partai. Selanjutnya, mekanisme internal partai yang akan memilih siapa caleg yang akan menerima pelimpahan suara tersebut. 

    Permohonan uji materi ke MA itu pun dikabulkan. PDIP lalu meminta KPU melaksanakan putusan tersebut, meski penyelenggara pemilu belum mengamini permintaan partai. Sehingga, partai meminta MA agar mengeluarkan fatwa untuk pelaksanaan putusan uji materi itu. 

    Sejalan dengan hal tersebut, terang Hasto, PDIP menggelar rapat pleno pada Juli 2019 menetapkan agar Harun menerima pelimpahan suara almarhum Nazarudin.

    “Menerima perintah lebih tepatnya seperti itu sebagai diskresi yang dimiliki DPP PDI Perjuangan memohon pertimbangan hukum di dalam judicial review tersebut,” terang Hasto di hadapan Majelis Hakim di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis (26/6/2025). 

    Tidak hanya itu, Hasto pun mengamini pertanyaan JPU bahwa saat itu partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu menganggap Harun adalah kader terbaik di antara delapan caleg yang ada di surat suara dapil Sumsel I. 

    “Benar [Harun adalah kader terbaik],” tegas politisi asal Yogyakarta itu. 

    Menurut Hasto, partai memiliki database terkait dengan caleg-caleg yang maju dengan bendera PDIP pada Pemilu 2019. Dia mengatakan bahwa partai menilai Harun memenuhi kebutuhan strategis partai. 

    Misalnya, aspek historis bahwa Harun mengaku terlibat dalam penyusunan AD/ART partai pada Kongres I PDIP. Kemudian, aspek keahlian dan latar belakang pendidikannya yang disebut pernah mendapatkan beasiswa dari Ratu Inggris, Elizabeth. 

    “Di situ tertulis bahwa dia mendapatkan beasiswa dari Ratu Rlizabeth, kemudian keahliannya international economic of law. Suatu profesi yang sangat diperlukan oleh partai. Maka kami juga melihat aspek-aspek kebutuhan strategis partai,” terang Hasto.

    Untuk diketahui, Hasto didakwa melakukan perintangan penyidikan di kasus Harun Masiku. Salah satu perbuatan yang ditudingkan kepada elite PDIP itu adalah memerintahkan Harun Masiku melalui Nur Hasan untuk merendam telepon genggam miliknya ke dalam air setelah tim KPK melakukan tangkap tangan terhadap anggota KPU 2017–2022, Wahyu Setiawan.

    Pada dakwaan sekunder, Hasto didakwa ikut memberikan uang suap kepada Wahyu Setiawan. Berdasarkan surat dakwaan yang dibacakan JPU Maret 2025 lalu, uang yang diberikan Hasto bersama-sama dengan Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku adalah SGD57.350 dan Rp600 juta.

    Tujuannya, agar Wahyu bersama dengan Agustina Tio Fridelina menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) DPR 2019-2024 caleg terpilih Dapil Sumatera Selatan I. Permohonan itu ditujukan agar Riezky Aprilia diganti dengan Harun.

    Padahal, Riezky Aprilia merupakan caleg yang saat itu memeroleh suara kedua terbesar setelah Nazarudin Kiemas, caleg terpilih dapil Sumsel I yang meninggal dunia. Akan tetapi, Hasto menginginkan agar Harun yang lolos menjadi anggota DPR menggantikan almarhum.

    “Terdakwa menyampaikan bahwa Harun Masiku harus dibantu untuk menjadi anggota DPR RI karena sudah menjadi keputusan partai dan memberi perintah kepada Donny Tri Istiqomah dan Saeful Bahri untuk mengurus Harun Masiku di KPU RI agar ditetapkan sebagai Anggota DPR RI dan melaporkan setiap perkembangan, baik mengenai komitmen, penyerahan uang dan segala hal terkait pengurusan Harun Masiku,” demikian bunyi dakwaan jaksa.

  • Hasto Akhirnya ‘Bernyanyi’, Ngaku Diajak Djan Faridz Bertemu Ketua MA

    Hasto Akhirnya ‘Bernyanyi’, Ngaku Diajak Djan Faridz Bertemu Ketua MA

    Bisnis.com, JAKARTA — Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengaku pernah diajak oleh politisi senior Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Djan Faridz untuk bertemu dengan Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali.

    Hal itu disampaikan Hasto saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendalami soal proses pengajuan uji materi di MA oleh PDIP atas peraturan KPU ihwal pelimpahan suara caleg DPR yang meninggal dunia pada Pemilu 2019.

    Uji materi itu sejalan dengan keinginan PDIP untuk melimpahkan suara yang diperoleh Nazarudin Kiemas, caleg DPR 2019 dari PDIP dapil Sumatera Selatan I yang meninggal dunia, sesuai dengan keputusan partai. Saat itu, partai memutuskan untuk memilih Harun Masiku sebagai caleg yang menerima pelimpahan suara almarhum. 

    Awalnya, JPU bertanya ke Hasto bagaimana dia mengetahui putusan MA yang akhirnya mengabulkan uji materi PDIP atas peraturan KPU dimaksud. Hasto menjawab bahwa hal itu diketahui dari surat yang diterima DPP PDIP dari MA. 

    Kemudian, JPU bertanya apabila Hasto ingat bahwa informasi itu dia dapatkan bersamaan dengan saat pertemuan dengan Ketua MA. Menurut pengakuan Hasto, dia belum mengetahui ihwal putusan uji materi yang diajukan saat melakukan pertemuan di MA. 

    Sekjen PDIP sejak 2015 itu lalu mengungkap pertemuannya dengan Ketua MA saat itu, Hatta Ali, atas ajakan politisi senior PPP Djan Faridz pada 23 September 2019. Dia menyebut Djan saat itu menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly, yang juga Ketua DPP PDIP. 

    “Saya berada di MA itu nanti bisa dilihat dalam fakta persidangan yang lalu, itu bersama dengan Pak Djan Faridz. Ya saya diajak oleh Pak Djan Faridz untuk ke MA. Dan kemudian terhadap keputusan apakah fatwa itu diterima atau tidak, saat itu saya belum tahu. Pada tanggal itu saya belum tahu,” ungkapnya di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis (26/6/2025). 

    JPU lalu menyebut bahwa saksi Saeful Bahri sebelumnya menerangkan bahwa Harun Masiku pernah mengirimkan gambarnya bersama dengan Hasto dan Djan. 

    Hasto kemudian mengakui bahwa sempat bertemu dengan Harun di ruang tunggu Ketua MA, namun dia membantah ada pembicaraan soal fatwa MA terkait dengan putusan uji materi dari PDIP. 

    Dia menyebut pertemuan dengan Ketua MA bersama Djan Faridz saat itu membahas soal kinerja lembaga peradilan di bawag kepemimpinan Hatta Ali.

    “Saya sebelumnya kalau tidak salah itu diajak Pak Djan Faridz mau ke MA. Karena Pak Djan Faridz adalah sebagai Staf Ahlinya Pak Laoly. Kemudian saya diajak, ya saya bergabung, kami satu mobil berdua menggunakan mobilnya Pak Djan Faridz. Ketika kami sampai di sana, kemudian di ruang tunggu di situ ada Pak Harun Masiku,” ungkap Hasto.

    Di sisi lain, Hasto membantah ada komunikasi dengan Harun saat bertemu di kantor Ketua MA. Mantan anggota DPR 2004-2009 itu menyebut, Harun meninggalkan ruangan ketika pembicaraan antara Djan dan Hatta Ali berlangsung. 

    “Ketika Pak Djan Faridz sedang menyampaikan maksud dan tujuannya bertemu, saudara Harun Masiku keluar dari ruang pertemuan itu. Jadi saya sendiri tidak berbicara apa-apa dengan Harun Masiku,” terangnya.

    Berdasarkan catatan Bisnis, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menggeledah rumah Djan Faridz terkait dengan penyidikan kasus Harun Masiku pada 22 Januari 2025. Dia kemudian diperiksa oleh penyidik pada 26 Maret 2025. 

    Secara terpisah, pada saat sidang praperadilan yang diajukan Hasto di PN Jakarta Selatan, Biro Hukum KPK pernah menyebut Harun memiliki kedekatan dengan Ketua MA Hatta Ali. 

    “Bahwa Harun Masiku merupakan orang Toraja dan bukan kader asli PDI Perjuangan karena baru bergabung pada tahun 2018 dan memiliki kedekatan dengan Ketua Mahkamah Agung periode 2012-2022, Hatta Ali. Dan diyakini Harun Masiku memiliki pengaruh di Mahkamah Agung,” demikian bunyi jawaban Termohon KPK terhadap petitum yang diajukan Hasto, yang dibacakan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. 

  • Hasto Bantah Berikan Dana Talangan untuk Suap Proses PAW Harun Masiku

    Hasto Bantah Berikan Dana Talangan untuk Suap Proses PAW Harun Masiku

    Bisnis.com, JAKARTA — Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto membantah tudingan dirinya memberikan uang talangan terkait dengan suap proses penetapan anggota DPR pergantian antarwaktu (PAW) 2019-2024. Uang itu diduga untuk meloloskan mantan caleg PDIP, Harun Masiku sebagai anggota DPR PAW daerah pemilihan (dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I. 

    Bantahan itu disampaikan Hasto pada persidangan perkara suap dan perintangan penyidikan yang menjeratnya sebagai terdakwa, Kamis (26/6/2025). Hal itu disampaikan olehnya ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta konfirmasinya atas keterangan sejumlah saksi di persidangan.

    Awalnya, salah seorang JPU bertanya apabila Hasto menalangi pemberian uang suap kepada anggota KPU 2017-2022 Wahyu Setiawan sebesar Rp1,5 miliar untuk meloloskan Harun ke Senayan. Hal tersebut berdasarkan kesaksian Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah. 

    “Mengenai percakapan Saeful dan Donny soal saudara terdakwa lah yang melakukan uang talangan untuk pengurusan HM [Harun Masiku] sebesar Rp1,5 miliar itu benar?,” tanya JPU di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis (26/6/2025). 

    Namun, Hasto pun membantah. Dia menyebut kesaksian Saeful, yang sebelumnya sudah dijatuhi hukuman pidana pada kasus suap Harun Masiku, adalah saat dia berbohong kepada istrinya ketika pulang terlambat dan membawa nama Hasto. 

    “Tidak ada percakapan dari saya ke Saeful atau dari saya ke Donny atau saya ke Harun untuk mengatakan persetujuan saya dana talangan. Saya enggak tahu sama sekali dana operasional itu,” jawabnya. 

    Setelah itu, JPU kembali meminta konfirmasi Hasto soal penyerahan dana sebesar Rp400 juta darinya di kantor DPP PDIP, melalui perantara Staf PDIP, Kusnadi. Jaksa menyebut keterangan itu berasal dari Donny, kader PDIP sekaligus advokat, yang diduga merupakan kepercayaan Hasto. 

    “Ini keterangan Donny ya Pak. Diiyakan oleh Saeful Bahri,” ujar JPU kepada Hasto. 

    Meski demikian, Hasto tetap membantah. Dia menegaskan bahwa dana itu bukan berasal darinya. Dia membantah pemberian uang Rp400 juta ke Saeful melalui Kusnadi di kantor DPP PDIP. 

    “Tidak ada. [Saya] keberatan,” kata Hasto saat merespons pertanyaan JPU. 

    Sebelumnya, penyelidik KPK yang dihadirkan sebagai saksi, Arif Budi Raharjo menyebut di persidangan bahwa sebagian dari sumber dana untuk menalangi suap kepada Wahyu Setiawan berasal dari kantong Hasto. Nilainya sekitar Rp400 juta. 

    “Pada saat penulisan di notulen kami sampaikan bahwa ini saudara terdakwa harus masuk karena ada sebagian sumber dana yang pada saat itu ditalangi sekitar Rp400 juta. Itu harus dipertanggungjawabkan,” terang Arif di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Jumat (16/5/2025). 

    Untuk diketahui, Hasto didakwa melakukan perintangan penyidikan di kasus Harun Masiku. Salah satu perbuatan yang ditudingkan kepada elite PDIP itu adalah memerintahkan Harun Masiku melalui Nur Hasan untuk merendam telepon genggam miliknya ke dalam air setelah tim KPK melakukan tangkap tangan terhadap anggota KPU 2017–2022, Wahyu Setiawan. 

    Pada dakwaan sekunder, Hasto didakwa ikut memberikan uang suap kepada Wahyu Setiawan. Berdasarkan surat dakwaan yang dibacakan JPU Maret 2025 lalu, uang yang diberikan Hasto bersama-sama dengan Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku adalah SGD57.350 dan Rp600 juta. 

    Tujuannya, agar Wahyu bersama dengan Agustina Tio Fridelina menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) DPR 2019-2024 caleg terpilih Dapil Sumatera Selatan I. Permohonan itu ditujukan agar Riezky Aprilia diganti dengan Harun. 

    Padahal, Riezky Aprilia merupakan caleg yang saat itu memeroleh suara kedua terbesar setelah Nazarudin Kiemas, caleg terpilih dapil Sumsel I yang meninggal dunia. Akan tetapi, Hasto menginginkan agar Harun yang lolos menjadi anggota DPR menggantikan almarhum. 

    “Terdakwa menyampaikan bahwa Harun Masiku harus dibantu untuk menjadi anggota DPR RI karena sudah menjadi keputusan partai dan memberi perintah kepada Donny Tri Istiqomah dan Saeful Bahri untuk mengurus Harun Masiku di KPU RI agar ditetapkan sebagai Anggota DPR RI dan melaporkan setiap perkembangan, baik mengenai komitmen, penyerahan uang dan segala hal terkait pengurusan Harun Masiku,” demikian bunyi dakwaan jaksa.

  • Momen Berpelukan Hasto Kristiyanto dan Said Didu di PN Tipikor Usai Sidang Diskors

    Momen Berpelukan Hasto Kristiyanto dan Said Didu di PN Tipikor Usai Sidang Diskors

    Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu terlihat mendatangi persidangan perkara suap dan perintangan penyidikan yang menjerat Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto sebagai terdakwa, Kamis (26/6/2025).

    Berdasarkan pantauan Bisnis di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Said terlihat menunggu di luar ruang sidang Hatta Ali sesaat sebelum Hasto memberikan keterangan kepada wartawan. Saat itu, sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa diskors selama satu jam oleh Majelis Hakim.

    Saat Hasto masih menunggu kuasa hukumnya untuk mendampingi saat keterangan pers, elite PDIP itu melihat Said berdiri bersama dengan wartawan yang mengerubunginya. 

    Sontak, Hasto langsung tersenyum dan menghampiri Said yang berada di tengah gerombolan wartawan. Keduanya sempat bersalaman dan berpelukan. 

    Said, yang pernah memegang jabatan di Kementerian BUMN era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), menunggu Hasto saat memberikan keterangan kepada wartawan mengenai persidangan yang dijalani olehnya. Dia turut mendengarkan pernyataan Hasto, sekaligus kuasa hukumnya yakni Ronny Talapessy dan Maqdir Ismail.

    Saat dihampiri, Said mengaku hari ini turut datang menyimak dua persidangan yang berbeda. Selain persidangan Hasto, dia turut menyaksikan jalannya persidangan perkara korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag), yang menjerat mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.

    “Kan dua teman saya ini. Hasto sama Lembong. Memang, karena memang saya anggap untuk keadilan ya saya khusus datang,” ujarnya di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis (26/6/2025).

    Said lalu tidak menampik anggapan bahwa perkara yang menjerat Hasto dan Tom bermuatan politis. Dia menuding bahwa sebagian besar perkara hukum yang ada saat ini berkaitan dengan politik.

    Dia mengaku sempat menghadiri sidang Tom yang juga bergulir di ruangan sebelah tempat persidangan Hasto. 

    “Ya saya yakin sebagian besar perkara sekarang kaitan politik sih. Susah dibantah,” tuturnya.

    Said menilai, anggapan soal muatan politik pada penanganan perkara hukum saat ini tidak lepas dari bekas pengaruh Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi). Untuk diketahui, Said merupakan salah satu tokoh publik yang kerap mengkritik Jokowi. 

    “Penegakan hukum yang pertama dibersihkan dulu deh. Untuk menghindari agar orang-orang menjadi merasa aman kalau menjadi penjilat kekuasaan,” ucapnya.

    Untuk diketahui, Hasto didakwa melakukan perintangan penyidikan kasus suap penetapan anggota DPR 2019-2024 yang menjerat mantan caleg PDIP, Harun Masiku. Saat ini, Harun masih berstatus buron. Dia juga didakwa ikut memberikan suap untuk meloloskan Harun sebagai anggota DPR PAW 2019-2024. 

    Sementara itu, Tom didakwa menyebabkan kerugian keuangan negara dalam rangka impor gula. Audit BPKP menunjukkan terdapat kerugian keuangan negara sebesar Rp578 miliar. 

  • 7
                    
                        Ketua Komisi III DPR: Putusan Hakim terhadap Agnez Mo Tak Sesuai UU
                        Nasional

    7 Ketua Komisi III DPR: Putusan Hakim terhadap Agnez Mo Tak Sesuai UU Nasional

    Ketua Komisi III DPR: Putusan Hakim terhadap Agnez Mo Tak Sesuai UU
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Putusan hakim terhadap
    Agnez Mo
    di perkara lagu “Bilang Saja” karya
    Ari Bias
    dinilai oleh Ketua
    Komisi III DPR

    Habiburokhman
    menyalahi Undang-Undang tentang Hak Cipta.
    “Putusan tersebut tidak sesuai UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, makanya kita (Komisi III DPR) minta Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) untuk menindaklanjuti laporan,” kata Habiburokhman kepada
    Kompas.com
    , Sabtu (21/6/2025).
    Putusan majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang dinilai problematik itu bernomor 92/PDT.SUS-HKI/CIPTA/2024/PN Niaga JKT.PST, dibacakan pengadilan pada 30 Januari 2025 lalu.
    “Kami tidak dalam posisi mengintervensi pengadilan, tapi memang faktanya demikian (putusan hakim tidak sesuai UU),” kata Habiburokhman.
    Pandangan ini selaras dengan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan yang mengadu ke Komisi III DPR lewat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada Jumat (20/6/2025) kemarin.
    Hakim memvonis Agnez telah menggunakan lagu “Bilang Saja” tanpa izin penciptanya yakni Ari Bias dalam tiga kali konser komersial. Putusan hakim itu mewajibkan Agnez Mo membayar Rp 1,5 miliar ke Ari Bias.
    Adapun UU Hak Cipta mengatur bahwa orang tak perlu izin langsung ke pencipta karya asalkan membayar kepada pencipta karya lewat Lembaga Manajemen Kolektif atau LMK.
    Di pengujung RDPU di Komisi III DPR kemarin, Habiburokhman kemudian meneruskan dugaan yang disampaikan Koalisi agar diselidiki oleh Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung (MA).
    “Komisi III DPR meminta kepada Bawas MA untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan terkait dugaan terjadinya pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara dengan nomor register 92/BDT.SUS-HK/hakcipta2024 PN Niaga Jakarta Pusat, yang diduga pemeriksaan dan putusannya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujar Habiburokhman.
    Dalam jumpa pers ini, hadir pula pihak Dirjen Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum, Bawas MA, dan juga penyanyi Tantri dari Band Kotak.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Putusan Kasus Agnez Mo Diduga Langgar UU, Ini Argumennya

    Putusan Kasus Agnez Mo Diduga Langgar UU, Ini Argumennya

    Putusan Kasus Agnez Mo Diduga Langgar UU, Ini Argumennya
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Koalisi Advokat Pemantau Peradilan menduga putusan hakim yang mewajibkan
    Agnez Mo
    membayar Rp 1,5 miliar ke
    Ari Bias
    itu melanggar undang-undang. Simak argumennya.
    “Dari kita Koalisi Advokat Pemantau Peradilan di sini menyoroti adanya dugaan pelanggaran kode etik dalam penerapan hukum terkait hak cipta ini,” kata perwakilan Koalisi dalam jumpa pers usai rapat dengar pendapat umum di
    Komisi III DPR
    , Jakarta, Jumat (20/6/2025) kemarin.
    Mereka menilai majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang memutus perkara lagu “Bilang Saja” karya Ari Bias yang dibawakan Agnez Mo itu telah mengabaikan Pasal 23 ayat 5 dan Pasal 87 ayat 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
    Mari kita simak pasal yang disebut oleh perwakilan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan tersebut.
    Pasal 23
    (5) Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif.
    Pasal 87
    (1) Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk Iayanan publik yang bersifat komersial.
    (2) Pengguna Hak Cipta dan Hak Terkait yang memanfaatkan Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, melalui Lembaga Manajemen Kolektif.
    Menurut Koalisi, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK)-lah yang bertugas membayar royalti lagu “Bilang Saja” ke Ari Bias, bukan Agnez Mo sebagai penyanyi lagu “Bilang Saja” yang berkewajiban membayar ke Ari Bias.
    “Yang di mana dalam putusan tersebut yang seharusnya yang bertanggung jawab itu adalah LMK dan penyelenggara. Di situ di putusan tersebut hakim menuntut kerugian kepada penyanyi, yang di mana hakim tersebut telah mengabaikan prinsip-prinsip dalam penerapan hukum,” ujar perwakilan Koalisi.
    Argumentasi selanjutnya yang melandasi dugaan Koalisi bahwa hakim telah menyalah undang-undang dan melanggar kode etik adalah soal pengabaian keterangan ahli.
    “Yang kedua juga, majelis hakim dalam penerapan hukumnya sudah mengabaikan keterangan ahli tergugat, Iqbal Taufik analis ahli muda Dirjen Kekayaan Intelektual,” ujarnya.
    Dalam jumpa pers hasil RDPU ini, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman kemudian meneruskan dugaan yang disampaikan Koalisi agar diselidiki oleh Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung (MA).
    “Komisi III DPR meminta kepada Bawas MA untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan terkait dugaan terjadinya pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara dengan nomor register 92/BDT.SUS-HK/hakcipta2024 PN Niaga Jakarta Pusat, yang diduga pemeriksaan dan putusannya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujar Habiburokhman.
    Dalam jumpa pers ini, hadir pula pihak Dirjen Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum, Bawas MA, dan juga penyanyi Tantri dari Band Kotak.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • MA Sunat Vonis Gazalba Saleh Jadi 10 Tahun, Eks Penyidik KPK: Mengecewakan!

    MA Sunat Vonis Gazalba Saleh Jadi 10 Tahun, Eks Penyidik KPK: Mengecewakan!

    Jakarta

    Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh dan menghukumnya dengan 10 tahun penjara. Mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo menilai putusan tersebut mengecewakan.

    “Seharusnya MA tetap pada putusan hakim banding yaitu 12 tahun. Tentu putusan ini mengecewakan di tengah semangat pemberantasan korupsi yang semakin baik,” kata Yudi kepada wartawan, Sabtu (20/6/2025).

    “Walau MA pun mempunyai landasan yaitu 10 tahun seperti vonis tingkat pertama ya artinya majelis hakim tidak memvonis lebih ringan dari 10 tahun,” lanjutnya.

    Yudi heran lantaran vonis turun dari vonis tingkat banding sebelumnya. Menurutnya vonis Gazalba seharusnya bisa lebih tinggi tingkat pertama dan dari tuntutan jaksa sehinga menimbulkan efek jera.

    “Namun hakim bandingkan sudah berani menaikkan, mengapa malah jadi turun lagi. Seharusnya malah meningkat sama, setidaknya sama seperti tuntutan jaksa KPK yaitu 15 tahun, apalagi karena terdakwa merupakan hakim agung yang seharusnya menjadi role model sehingga diharapkan menjadi efek jera,” ucapnya.

    Meski demikian dia menghormati vonis tersebut. Sebab vonis tersebut berkekuatan hukum tetap.

    MA Sunat Vonis Gazalba Jadi 10 Tahun

    Dilihat dari situs MA, Jumat (20/6) perbaikan pidana penjara Gazalba menjadi 10 tahun. Hukuman ini jauh lebih ringan daripada vonis Gazalba di tingkat banding, yakni 12 tahun penjara.

    “Perbaikan pidana menjadi pidana penjara selama 10 tahun, denda Rp 500 juta subsider 4 bulan kurungan, UP (uang pengganti) Rp 500 juta subsider 1 tahun penjara,” demikian bunyi putusan MA.

    Hukuman yang dijatuhkan MA ini kembali ke vonis awal Gazalba di tingkat pertama. Sebelumnya, Gazalba Saleh dihukum 10 tahun penjara pada Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat yang menyatakan Gazalba terbukti menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

    Saat itu, Gazalba tak terima dan mengajukan upaya banding. Hasinya, hakim PT DKI memperberat vonis Gazalba menjadi 12 tahun penjara.

    “Mengadili, menyatakan Terdakwa Gazalba Saleh telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan kumulatif pertama dan kumulatif kedua,” bunyi putusan PT Jakarta sebagaimana dilihat di SIPP Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 35/PID.SUS-TPK/2024/PT DKI, Jumat (27/12/2024).

    “Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Gazalba Saleh oleh karena itu dengan pidana penjara selama 12 tahun dan denda sejumlah Rp 500 juta dengan ketentuan, apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 4 bulan,” lanjut putusan hakim

    Selain itu, hakim tingkat banding menjatuhkan pidana tambahan dengan membayar Rp 500 juta. Apabila Gazalba tidak membayar dalam 1 bulan sesudah putusan inkrah, diganti pidana selama 2 tahun.

    (dek/jbr)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Bisa Saja karena Ada Gambar Pornonya

    Bisa Saja karena Ada Gambar Pornonya

    GELORA.CO -Merendam handphone (HP) tidak selalu sebagai tindakan menghalang-halangi penyidikan karena tidak ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi.

    Hal itu disampaikan langsung ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda saat menjadi ahli meringankan yang dihadirkan terdakwa Hasto Kristiyanto selaku Sekjen DPP PDIP di persidangan perkara dugaan suap dan perintangan penyidikan, Jumat, 20 Juni 2025.

    Awalnya, tim Penasihat Hukum (PH) Hasto, Febri Diansyah menjelaskan soal beberapa fakta terkait adanya perintah seseorang untuk merendam sebuah HP.

    Menurut Chairul, dari ilustrasi yang disampaikan  penasihat hukum menggambarkan tidak ada kaitannya antara perintah merendam HP dengan tindak pidana yang sedang dilakukan penyidikan.

    “Karena apa hubungannya merendam handphone dengan tindak pidana tertentu? Bisa saja disuruh rendam handphone karena ada gambar pornonya di situ,” ata Chairul dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat, 20 Juni 2025.

    “Bisa saja seperti itu kan. Tidak ada kaitannya misalnya dengan kalau ini menghalang-halangi penyidikan tindak pidana korupsi kan tidak ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi,” sambungnya.

    Chairul menjelaskan, jika merendam HP benar adanya, perbuatan tersebut tidak selalu dianggap sebagai menghalangi penyidikan.

    “Makanya harus dicari. Apalagi tadi dikatakan handphone yang mau rendam itu nggak tahu handphone yang mana, apa isinya, lalu kaitannya dengan tindak pidana yang dianggap dihalangi-halangi itu apa gitu loh,” terang Chairul.

    Menurut Chairul, merendam HP dianggap sebagai menghalangi penyidikan hanya sebuah asumsi. Penyidik disebut harus dapat membuktikan apa yang menyebabkan HP harus dimusnahkan atau direndam.

    “Apalagi terlebih tadi kalaupun ada instruksi seperti kan dari pihak lain kepada pihak lain, bukan dari orang yang kemudian dipersangkakan atau didakwakan melakukan penghalang-halangan atau perintangan proses penyidikan,” kata Chairul.

    “Ini kan masih diasumsikan. Jadi bukan merupakan fakta, ini merupakan asumsi-asumsi belakang. Saya kira yang seharusnya diurai dalam surat dakwaan dan dibuktikan itu fakta, bukan asumsi,” pungkasnya.

  • 7
                    
                        Ketua Komisi III DPR: Putusan Hakim terhadap Agnez Mo Tak Sesuai UU
                        Nasional

    Vonis Agnez Mo Diduga Salahi UU, Komisi III Minta Bawas MA Tindak Lanjuti

    Vonis Agnez Mo Diduga Salahi UU, Komisi III Minta Bawas MA Tindak Lanjuti
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Dalam rapat,
    Komisi III DPR
    RI meminta Badan Pengawas Mahkamah Agung (
    Bawas MA
    ) menindaklanjuti dugaan bahwa vonis Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terhadap kasus
    Agnez Mo
    menyalahi undang-undang.
    “Satu, Komisi III DPR meminta kepada Bawas MA untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan terkait dugaan terjadinya pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara dengan nomor register 92/BDT.SUS-HK/hakcipta2024 PN Niaga Jakarta Pusat, yang diduga pemeriksaan dan putusannya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujar Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (20/6/2025).
     
    Komisi III
    DPR RI
    menggelar rapat dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum, Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA), dan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan terkait kasus gugatan
    hak cipta
    lagu “Bilang Saja” yang menyeret Agnez Mo.
    Habiburokhman menyebut bahwa pemeriksaan dan putusan hakim atas perkara Agnez Mo tidak sesuai dengan undang-undang (UU).Habiburokhman menyampaikan, Komisi III DPR meminta MA untuk membuat surat edaran atau pedoman terkait panduan untuk penerapan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang
    Hak Cipta
    secara komprehensif.
    Dengan begitu, kata dia, tidak ada lagi putusan yang merugikan dunia seni.
    “Sehingga tidak ada lagi putusan yang tidak mencerminkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, serta merugikan orkestrasi dunia seni dan musik Indonesia,” tuturnya.
    Kemudian, Habiburokhman meminta Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum untuk dapat menyosialisasikan secara luas kepada semua pihak terkait mekanisme perolehan lisensi pengelolaan royalti yang dilakukan melalui LMKN.
    Dengan begitu, Habiburokhman menegaskan, tidak ada lagi sengketa, gugatan, atau putusan peradilan yang dapat merugikan seluruh artis atau pelaku industri musik Indonesia.
    “Termasuk dalam perkara register nomor 92/BDT.SUS-HK/hakcipta2024 PN Niaga Jakarta Pusat, dan menimbulkan ketidakpastian hukum,” ucap Habiburokhman.
    Dalam kesempatan yang sama, Bawas MA yang diwakili Inspektur Wilayah UU Suradi mengaku telah menerima laporan dari Koalisi Advokat Pemantau Peradilan terkait dugaan pelanggaran etik majelis hakim yang memutus perkara Agnez Mo.
    “Benar, kita pada tanggal 19 Juni 2025 menerima pengaduan dari Koalisi Advokat tentang dugaan adanya pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim,” kata Suradi.

    Suradi pun memastikan MA akan menindaklanjuti laporan tersebut dengan transparan.
    Lalu, Wawan selaku pihak yang mewakili Agnez Mo berharap ada keadilan bagi Agnez Mo dan dunia musik saat ini.
    “Mbak Agnez tetap sebagai warga negara tunduk dan patuh pada proses hukum yang saat ini sedang berjalan sesuai kanalnya dan prosedurnya. Mudah-mudahan dengan waktu yang sesuai, mendapatkan hasil yang baik tidak hanya bagi Mbak Agnez Monica, tetapi juga bagi seluruh pelaku industri di entertainment Indonesia,” jelas Wawan.
    Sebelumnya, penyanyi Agnez Mo dinyatakan bersalah dalam gugatan pencipta lagu Ari Bias terkait royalti sebesar Rp 1,5 miliar.
    Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutus perkara ini pada 30 Januari 2025.
    “Intinya adalah menyatakan tergugat telah melakukan pelanggaran hak cipta karena telah menggunakan secara komersial lagu ciptaan penggugat, ‘Bilang Saja’, pada tiga konser tanpa izin penggugat,” kata kuasa hukum Ari Bias, Minola Sebayang, saat konferensi pers di Fatmawati, Jakarta Selatan, Senin (3/2/2025).
    Pengadilan memerintahkan Agnez untuk membayar royalti sebesar Rp 1,5 miliar dari tiga konser yang memakai lagu Ari Bias.
    “Konser tanggal 25 Mei 2023 di HW Superclubs Surabaya Rp 500 juta, konser tanggal 26 Mei 2023 di H-Club Jakarta Rp 500 juta, dan konser tanggal 27 Mei 2023 di HW Superclub Bandung Rp 500 juta. Total Rp 1,5 miliar,” tutur Minola.
    Minola menuturkan, nominal ganti rugi tersebut diatur dalam Pasal 113 Undang-Undang Hak Cipta.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 10
                    
                        DJKI Jelaskan Agnez Mo Orang Pertama yang Terjerat UU Hak Cipta
                        Nasional

    10 DJKI Jelaskan Agnez Mo Orang Pertama yang Terjerat UU Hak Cipta Nasional

    DJKI Jelaskan Agnez Mo Orang Pertama yang Terjerat UU Hak Cipta
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (
    DJKI
    ) Kementerian Hukum mengungkapkan musisi
    Agnez Mo
    menjadi orang pertama yang terjerat kasus Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
    Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Razilu menjelaskan, sejak beleid tersebut disahkan pada 2014, tidak ada seseorang yang dilaporkan dan divonis bersalah dengan
    UU Hak Cipta
    .
    “Intinya adalah sejak UU ini disahkan pada tanggal 16 September 2014 sampai dengan sebelum kejadian Agnez Mo, sebenarnya belum ada kejadian yang dilaporkan terkait dengan kasus ini,” ujar Razilu usai rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III DPR RI, Jumat (20/6/2025).
    Hal tersebut pun dianggap Razilu sebagai bukti tidak adanya masalah dalam aturan yang dimuat dalam UU tersebut.
    Implementasinya pun diyakini berjalan dengan baik karena aturan yang jelas.
    Bahkan, lanjut Razilu, UU Hak Cipta juga telah menegaskan bahwa pembayar
    royalti
    diatur oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) maupun Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
    “Artinya sebenarnya UU ini sudah berjalan cukup lama, ya, hampir 10 tahun lebih. Itu belum pernah ada kasus yang terkait hal ini,” ucap Razilu.
     
    “Jadi menurut kami, apa yang ada dalam peraturan perundang-undangan dengan peraturan pelaksanaannya sudah sangat jelas,” sambungnya.
    Razilu pun mengeklaim bahwa pihaknya telah memperoleh data lengkap mengenai pengelolaan dan pembayaran royalti oleh LMK dan LMKN hingga 2025 ini.
    Berdasarkan data yang didapatkan, royalti yang diperoleh LMK dan LMKN berasal dari penyelenggara kegiatan, misalnya promotor, partai politik, perguruan tinggi, dan perusahaan.
    “Dan juga ada yang dibayar oleh penyanyi sendiri, tetapi yang menyelenggarakan konser sendiri. Jadi ketika dia penyanyi membayar royalti, itu bukan sebagai penyanyi; Dia bayar karena dia menyelenggarakan konser. Itu mungkin penegasan dari kami,” pungkasnya.
    Diberitakan sebelumnya, Komisi III DPR RI menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan DJKI, Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA), Koalisi Advokat Pemantau Peradilan, dan perwakilan musisi, Jumat.
    RDPU itu membahas polemik gugatan royalti oleh komposer atau pencipta lagu terhadap penyanyi atau musisi yang membawakan karya.
    “Jadi dibedah juga tentang kasus yang menimpa saudari Agnez Mo yang diputus oleh pengadilan. Padahal beliau itu cuma penyanyi, bukan penyelenggara sebuah event,” kata Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman.
    “Tadi dalam RDPU dijelaskan oleh Dirjen Haki bahwa mekanisme pembayaran royalti itu melalui LMK. Secara umumnya begitu, dan yang membayarkan tentu event organizer-nya, pelaksana event,” sambungnya.
    Dalam RDPU tersebut, Komisi III pun bersepakat meminta Bawas MA menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran hakim yang menangani dan memutus perkara gugatan terhadap Agnez Mo oleh komposer
    Ari Bias
    .
    Sebab, putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat itu dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang Hak Cipta.
    “Komisi III DPR RI meminta kepada Bawas Mahkamah Agung untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan oleh Koalisi Advokat Pemantau Peradilan, terkait dugaan terjadinya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili Perkara dengan Register No.92/PDT.SUS-HK/HAKCIPTA 2024 Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, yang diduga pemeriksaan dan putusannya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” jelas Habiburokhman.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.