Kementrian Lembaga: PN Jakarta Pusat

  • Kejagung Ungkap Alasan Jaksa Tak Kawal Lagi Kasus Ijazah SMA Gibran

    Kejagung Ungkap Alasan Jaksa Tak Kawal Lagi Kasus Ijazah SMA Gibran

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) mengemukakan alasan jaksa pengacara negara (JPN)  tidak lagi mengawal kasus Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di PN Jakarta Pusat.

    Kapuspenkum Kejagung , Anang Supriatna mengatakan alasan pihaknya sudah tidak mengawal lagi perkara pencalonan Gibran sebagai Wapres lantaran hal tersebut bersifat pribadi.

    “Jadi karena ini sifatnya gugatan sifatnya pribadi kepada pak Gibran Bukan sebagai Wapres,” ujarnya di Kejagung, Kamis (18/9/2025).

    Anang menjelaskan, sejatinya memang pemohon dalam perkara ini mengalamatkan surat gugatannya ke Sekretariat Wakil Presiden atau Setwapres.

    Alhasil, jika memang gugatannya terkait Wapres maka JPN bakal langsung turun tangan menangani hal tersebut. Oleh sebab itu, saat di persidangan awal tim JPN langsung ditarik karena tidak memiliki legal standing.

    “Nah pada saat hadir di persidangan, dinyatakan oleh pemohon bahwa yang bersangkutan gugatan bukan atas nama jabatan, tapi atas nama pribadi,” pungkasnya.

    Dalam catatan Bisnis, Gibran Rakabuming Raka dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah digugat perdata terkait kerugian senilai Rp125 triliun di PN Jakarta Pusat.

    Gugatan perdata itu teregister dengan nomor 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst pada Jumat (29/8/2025). Gugatan ini juga dibenarkan Jubir II PN Jakpus, Sunoto.

    Di lain sisi, Subhan selaku penggugat menyatakan bahwa inti gugatan ini adalah Gibran telah melakukan pelanggaran saat mencalonkan diri menjadi Wapres.

    Pasalnya, Gibran dinilai tidak pernah menamatkan sekolah tingkat SMA yang diselenggarakan berdasarkan hukum RI.

    “Inti gugatannya itu PMH bahwa Gibran tidak memenuhi syarat menjadi wakil presiden karena tidak pernah tamat pendidikan SLTA sederajat di wilayah hukum Republik Indonesia,” ujar Subhan saat dikonfirmasi, Kamis (4/9/2025).

  • Cerita Istri Siri Hakim Kasus CPO Temukan Uang Valas Setara Rp 2 M Usai Geledah Apartemen
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        17 September 2025

    Cerita Istri Siri Hakim Kasus CPO Temukan Uang Valas Setara Rp 2 M Usai Geledah Apartemen Nasional 17 September 2025

    Cerita Istri Siri Hakim Kasus CPO Temukan Uang Valas Setara Rp 2 M Usai Geledah Apartemen
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Istri siri dari hakim nonaktif Agam Syarif Baharudin, Imma Selviana, mengaku pernah menemukan uang tunai dalam mata uang asing saat menggeledah apartemen Agam.
    Hal ini disampaikan Imma saat diperiksa sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan suap majelis hakim yang memberikan vonis onslag atau vonis lepas untuk tiga korporasi
    crude palm oil
    (CPO).
    “Kalau saya geledah apartemen (milik Agam) itu kira-kira seminggu setelah tanggal 7 Desember 2024,” ujar Imma, saat sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (17/9/2025).
    Imma mengatakan, pada saat itu, ia dan Agam dalam proses cerai.
    Ia hendak mengantarkan pakaian Agam ke apartemennya.
    Namun, karena terbawa emosi, Imma akhirnya menggeledah isi apartemen itu.
    “Dapat uang (valas) itu? Berapa jumlahnya?” tanya Jaksa Penuntut Umum (JPU).
    Imma mengatakan, uang yang ditemukannya dalam bentuk pecahan 100 Dollar Amerika Serikat.
    Jumlahnya baru ia ketahui saat menukar uang di
    money changer
    .
    Penukaran ini terjadi pada bulan Februari 2025 dan berjumlah kurang lebih Rp 2 miliar.
    Di hadapan majelis hakim, Imma mengaku merupakan istri kedua Agam.
    Mereka menikah secara siri pada tahun 2023.
    Imma mengaku, keberadaannya disembunyikan Agam dari istri pertamanya.
    Selama menikah, Imma mengaku diberikan uang nafkah Rp 5 juta per bulan oleh Agam.
    Namun, sekitar tiga bulan sekali, Imma juga mengaku mendapatkan uang Dollar Amerika Serikat dari Agam.
    “Ada pemberian uang dollar Amerika Serikat bisa 2-3 kali sebulan, bisa 50-70 lembar, kalau kita konversi, per lembar 100 Dollar Amerika Serikat, kurs Rp 16.000, ini Rp 110 juta, ini BAP saudara?” tanya jaksa.
    Imma mengatakan, BAP yang dibacakan jaksa ada sedikit kesalahan.
    Uang valuta asing ini diterimanya tiga bulan sekali, bukan sebulan tiga kali.
    Jaksa pun membacakan BAP Imma yang lain, masih soal penerimaan uang valuta asing.
    “BAP lain, ada keterangan, pada bulan Oktober atau November 2024, saya pernah diberikan uang dollar sebanyak 200 lembar pecahan 100 USD. Kemudian saya tukarkan ke
    money changer
    , seluruhnya berjumlah Rp 300 juta?” tanya jaksa.
    Imma membenarkan ia pernah menerima uang yang disebutkan jaksa.
    “Ibu enggak pernah tanya ini uang apa? Pak Agam kan hakim, gaji rupiah?” tanya jaksa.
    Imma mengaku tidak pernah menanyakan pemberian Agam.
    Ia mengatakan, selama menikah, justru Agam yang lebih dahulu menjelaskan asal uang tersebut.
    “Setiap dikasih uang, saya tidak pernah bertanya uang apa dan dari mana. Tapi, beliau ketika memberikan uang, beliau yang selalu bilang duluan. ‘Abi ada rezeki’, paling bilang ‘Ada kawan bantu kerjaan’,” ujar Imma.
    Imma mengatakan, uang yang diberikan Agam selama ini dimasukkan ke reksa dana.
    Saat hendak diperiksa penyidik, dana yang sudah terkumpul hingga Rp 3,3 miliar ini sempat dijual sebagian.
    Ia mengaku, sempat panik dan tiba-tiba menjual reksa dana ini dengan total nilai Rp 1 miliar.
    Imma mengatakan, uang reksa dana yang dijualnya itu merupakan hasil jerih payahnya berusaha, bukan dari pemberian Agam.
    Namun, uang hasil usahanya dan pemberian Agam masuk dalam rekening yang sama.
    Dana senilai Rp 2,3 miliar ini juga sudah dibekukan oleh Kejaksaan Agung sejak Agam ditetapkan sebagai salah satu tersangka kasus suap.
    Dalam perkara ini, jaksa mendakwa lima orang hakim dan pegawai pengadilan menerima suap dari kuasa hukum tiga korporasi sawit untuk menjatuhkan vonis bebas dalam kasus korupsi terkait ekspor CPO.
    Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
    Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
    Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
    Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
    Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
    Pada akhirnya, majelis hakim menjatuhkan vonis lepas terhadap tiga korporasi tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Saat Saksi Sidang Djuyamto Izin Pulang ke Solo, Hakim: Titip Salam ke Pak Jokowi
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        17 September 2025

    Saat Saksi Sidang Djuyamto Izin Pulang ke Solo, Hakim: Titip Salam ke Pak Jokowi Nasional 17 September 2025

    Saat Saksi Sidang Djuyamto Izin Pulang ke Solo, Hakim: Titip Salam ke Pak Jokowi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Bendahara 1 Panitia Pengadaan Tanah dan Pembangunan Gedung MWC NU Kartasura, Suratno sempat meminta izin kepada majelis hakim apakah ia sudah boleh pulang ke Solo, Jawa Tengah.
    Momen ini terjadi usai Suratno diperiksa sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan suap majelis hakim yang memberikan vonis
    onslag
    atau vonis lepas untuk tiga korporasi crude palm oil (CPO).
    “Terima kasih saudara saksi berdua, sudah boleh meninggalkan ruang sidang,” ujar Hakim Ketua Effendi saat sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (17/9/2025).
    Saat itu, ada tiga orang saksi yang tengah diperiksa di dalam persidangan.
    Mereka adalah Suratno, Istri Hakim nonaktif Djuyamto Raden Ajeng Temenggung Dyah Ayu Kusumawijaya, serta Panitera Utama PN Jakarta Selatan, Eddy Suwarno.
    Atas arahan hakim, JPU lebih dahulu memeriksa Suratno dan Ayu karena keduanya berhubungan dengan terdakwa Djuyamto.
    Sementara, saksi Eddy kesaksiannya dibutuhkan untuk perkara seluruh terdakwa, bukan hanya Djuyamto.
    Usai dibolehkan pulang oleh Hakim Effendi, Suratno tiba-tiba bertanya untuk memastikan pernyataan hakim.
    “Mohon izin, sudah boleh pulang ke Solo, Yang Mulia?” tanya Suratno kepada majelis hakim.
    Mendengar pertanyaan dari Suratno, Hakim Effendi sontak bertanya, “(kereta) Bima jam berapa?”
    Sambil tertawa kecil, Suratno mengatakan keretanya akan jalan sekitar pukul 19.00 WIB.
    Berhubung waktu sudah sore di atas jam 16.30 WIB, hakim pun membolehkan Suratno untuk segera menuju stasiun.
    Sebelum Suratno meninggalkan ruang sidang, Hakim Effendi sempat berkelakar dan menitip pesan untuk Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang juga berdomisili di Solo, Jawa Tengah.
    “Hati-hati, selamat jalan ya pak ya. Salam buat Pak Jokowi,” kata Hakim Effendi.
    “Siap, terima kasih yang mulia,” jawab Suratno sebelum bangkit berdiri dan meninggalkan ruang sidang.
    Dalam persidangan hari ini, Suratno mengungkap kalau Djuyamto pernah memberikan uang senilai Rp 5,65 miliar untuk pembangunan gedung Kantor Terpadu Majelis Wilayah Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) di Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah.
    Uang ini diberikan dalam tiga kali penyerahan. Suratno mengaku dua kali menjemput uang ini ke Jakarta atas perintah Djuyamto.
    Saat ini, uang pemberian Djuyamto sudah tercampur dengan dana yang dikumpulkan jemaah.
    Uang ini juga sudah digunakan untuk membeli sejumlah lahan.
    Tapi, sebagai pertanggungjawaban, MWC NU Kartasura mengaku akan menjual lahan ini. Kemudian, uang ini akan disetor ke negara.
    Dalam perkara ini, jaksa mendakwa lima orang hakim dan pegawai pengadilan menerima suap dari kuasa hukum tiga korporasi sawit untuk menjatuhkan vonis bebas dalam kasus korupsi terkait ekspor CPO.
    Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
    Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
    Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
    Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
    Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
    Pada akhirnya, majelis hakim menjatuhkan vonis lepas terhadap tiga korporasi tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PTPP Lolos dari Gugatan Pailit

    PTPP Lolos dari Gugatan Pailit

    Jakarta

    PT PP (Persero) Tbk (PTPP) buka suara soal perkembangan kasus gugatan pailit yang dilayangkan dua perusahaan, yakni PT Stahlindo Jaya Perkasa dan PT Sinar Baja Prima. Permohonan pailit tersebut tercatat dalam nomor perkara 50/Pdt.Sus-Pailit/2025/PN Niaga Jkt.Pst.

    Direktur Manajemen Risiko dan Legal PTPP, Tommy Wiranata Anwar, menjelaskan kedua perusahaan yang menggugat perseroan telah mencabut permohonan pailitnya. Padahal, sidang perdana seharusnya digelar pada Senin (15/9) di Pengadilan Negeri (PN) Niaga Jakarta Pusat.

    Namun, kata Tommy, pemohon menunda sidang hingga akhirnya memutuskan untuk mencabut gugatan tersebut. Permohonan pencabutan itu telah diterima Majelis Hakim PN Jakarta Pusat.

    “Sidang pertama diagendakan pada hari Senin, namun pemohon sudah mengajukan permohonan pencabutan dan telah diterima Majelis,” terang Tommy dalam Public Expose secara virtual, Rabu (17/9/2025).

    Dengan demikian, perkara permohonan pailit resmi berakhir dan tidak dilanjutkan ke tahap pembuktian. Status perkara juga telah diubah dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Pusat.

    “Kasus ini tidak berlanjut sampai tahap pembuktian dan sudah ter-update di SIPP bahwa permohonan tersebut telah dicabut,” tambahnya.

    Berdasarkan klarifikasi PTPP pada laman Keterbukaan Informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Direktur Keuangan PTPP, Agus Purbianto, sebelumnya mengaku belum menerima dokumen resmi pengadilan atau relaas seiring terdaftarnya gugatan tersebut.

    Kedua perusahaan penggugat PTPP diketahui merupakan vendor Kerja Sama Operasi (KSO) PP-Urban yang melibatkan perseroan. PTPP mengaku belum mengetahui nilai pasti dari pernyataan pailit yang diajukan ke PN Niaga Jakarta Pusat. Namun, PTPP menegaskan peristiwa ini tidak berdampak material terhadap kelangsungan usaha perseroan.

    “Sampai dengan tanggapan ini dibuat, perseroan sampaikan bahwa pemohon pernyataan pailit memiliki hubungan hukum dan utang-piutang dengan perseroan dan KSO PP-Urban. Selanjutnya, kronologi dan penyebab akan kami sampaikan lebih detail setelah adanya relaas,” ujar Agus, dikutip dari Keterbukaan Informasi, Rabu (10/9/2025).

    Tonton juga Video Menaker Ungkap Penyebab Banyak Terjadi PHK: Pailit hingga Efisiensi

    (rrd/rrd)

  • Jaksa Cecar Saksi Kasus Suap Vonis Lepas Migor: Anda Pernah Buang HP?

    Jaksa Cecar Saksi Kasus Suap Vonis Lepas Migor: Anda Pernah Buang HP?

    Jakarta

    Jaksa menghadirkan M Syafei sebagai saksi kasus dugaan suap hakim untuk vonis lepas perkara dugaan korupsi ekspor minyak goreng (migor). Syafei sempat dicecar apakah pernah membuang handphone (HP)-nya.

    Syafei disebut menjabat Head Social Security and License Wilmar Group saat kasus ini terjadi. Syafei juga telah ditetapkan sebagai salah satu tersangka dalam kasus dugaan suap vonis lepas migor dengan terdakwa korporasi.

    “Apakah di periode itu saudara pernah membuang alat komunikasi Saudara berupa HP?” tanya jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (17/9/2025).

    “Waktu itu kita jalan pak, jatuh, ya udah,” jawab Syafei.

    “Udah nggak diambil?” tanya jaksa.

    “Ternyata balik, dapat lagi, saya serahkan sama penyidik Pak,” jawab Syafei.

    Terdakwa dalam sidang ini ialah mantan Ketua PN Jakarta Selatan sekaligus eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta; mantan Panitera Muda Perdata PN Jakut, Wahyu Gunawan; hakim pengadil perkara korupsi migor, Djuyamt, Agam Syarief Baharudin, dan hakim Ali Muhtarom.

    Jaksa lalu mencecar Syafei alasan mengganti nomor handphone saat perkara ini diusut. Syafei mengaku saat itu mengganti nomor karena banyak menghubungi.

    “Ya karena banyak Pak, banyak orang hubungi, masalah-masalah kebun, masyarakat ini, jadi saya ganti aja Pak,” jawab Syafei.

    “Tidak ada informasi penting di nomor lama?” tanya jaksa.

    “Tidak ada Pak,” jawab Syafei.

    Jaksa kemudian mencecar alasan Syafei menitipkan HP ke rekan kerjanya bernama Tara. Jaksa mempertanyakan mengapa Syafei tak menyerahkan langsung HP ke penyidik saat digeledah.

    “Waktu itu saya bilang, ‘Tolong bu pegang, saya mau naik’,” jawab Syafei.

    “Betul, kenapa saksi serahkan? Kenapa tidak saksi serahkan kepada penyidik langsung?” cecar jaksa.

    “Waktu ditanya saya bilang ada sama bu Tara, langsung Pak karena saya waktu itu langsung dibawa gitu Pak,” jawab Syafei.

    “Iya, alasan saksi apa?” tanya jaksa.

    “Nggak ada, kami biasa Pak, titip barang di bawah, titip ini, biasa,” jawab Syafei.

    Syafei membantah menitipkan HP karena dalam keadaan bingung saat digeledah penyidik. Dia mengaku langsung memberitahu penyidik jika HP itu dititipkan ke Tara.

    “Apakah waktu saksi menitipkan saksi dalam keadaan bingung dan galau?” tanya jaksa.

    “Nggak Pak, nggak,” jawab Syafei.

    Sebagai informasi, majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas ke terdakwa korporasi migor diketuai hakim Djuyamto dengan anggota Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom. Jaksa mendakwa Djuyamto, Agam, Ali menerima suap dan gratifikasi secara bersama-sama terkait vonis lepas tersebut.

    Total suap yang diterima diduga sebesar Rp 40 miliar. Uang suap itu diduga diberikan Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M Syafei selaku pengacara para terdakwa korporasi migor tersebut.

    Uang suap Rp 40 miliar itu dibagi bersama antara Djuyamto, Agam, Ali, eks Ketua PN Jakarta Selatan sekaligus eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, serta mantan panitera muda perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan.

    Dalam surat dakwaan jaksa, dari total suap Rp 40 miliar, Arif didakwa menerima bagian Rp 15,7 miliar, Wahyu menerima Rp 2,4 miliar, Djuyamto menerima bagian Rp 9,5 miliar, serta Agam dan Ali masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.

    Halaman 2 dari 3

    (mib/haf)

  • 3
                    
                        Saat Gibran Turuti Keberatan Penggugat Rp 125 Triliun di Ruang Sidang…
                        Nasional

    3 Saat Gibran Turuti Keberatan Penggugat Rp 125 Triliun di Ruang Sidang… Nasional

    Saat Gibran Turuti Keberatan Penggugat Rp 125 Triliun di Ruang Sidang…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengikuti aturan main yang dikehendaki oleh Subhan Palal, warga sipil yang menggugatnya Rp 125 triliun secara perdata.
    Hal ini Gibran putuskan setelah pengacaranya dari Kantor Jaksa Pengacara Negara ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 8 September 2025.
    Atas keberatan Subhan itu, Gibran pun menunjukkan sebuah kantor pengacara swasta untuk mewakilinya menghadapi gugatan perdata terkait riwayat pendidikannya di masa pencalonan Pilpres 2024.
    Kantor hukum bernama Ad Infinitum Kindness LawFirm (AK Lawfirm) resmi mendapatkan surat kuasa dari Gibran pada 9 September 2025.
    Hal ini dikonfirmasi oleh Dadang Herli Saputra, salah satu pengacara yang ditugaskan untuk membela Gibran di depan majelis hakim.
    “(Surat kuasa per) Tanggal 9 (September 2025). Betul, kami terima kuasa langsung dari Gibran,” ujar Dadang saat ditemui usai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (15/9/2025).
    Dadang dan dua rekannya mewakili Gibran di hadapan majelis hakim yang dipimpin oleh Budi Prayitno.
    Dadang dan rombongan masuk ke ruang sidang Soebekti 3 sekitar pukul 10.54 WIB.
    Memakai jas hitam dan setelan yang seragam, Dadang dan kawan-kawan terlihat duduk kursi untuk pihak tergugat. Di seberang mereka persis, terdapat Subhan selaku penggugat.
    Usai pengacara Gibran menempati posisi, dua orang pengacara juga memasuki area sidang.
    Mereka merupakan perwakilan dari biro hukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang juga ikut digugat dalam kasus ini.
    Setelah semua pihak berperkara duduk di tempatnya, majelis hakim memulai sidang.
    Sidang Senin ini merupakan kali kedua Subhan selaku penggugat menghadapi pihak KPU, Tergugat 2.
    Keduanya sudah sama-sama menjalani sidang perdana pada Senin (8/9/2025).
    Sementara, ini merupakan sidang pertama bagi Dadang dan kawan-kawan untuk membela Gibran.
    Berselang beberapa menit setelah sidang dibuka, kubu Gibran diminta untuk menghadap ke majelis hakim.
    Dadang dan dua pengacara lainnya menghampiri meja majelis hakim sambil membawa sejumlah dokumen.
    Subhan selaku penggugat ikut menyaksikan proses pemeriksaan dokumen dan identitas para pengacara yang mewakili Gibran ini.
    Tim pengacara yang biasanya berkantor di kawasan Sudirman ini tampak menyerahkan sejumlah berkas.
    Mereka pun kembali duduk atas arahan dari Hakim Ketua Budi Prayitno.
    “KTP Tergugat 1 (T1) kan belum (dibawa) ya, untuk fotocopy KTP T1. Gitu ya pak ya,” kata Hakim Budi usai memeriksa dokumen.
    Ternyata, dokumen yang diserahkan Dadang masih belum lengkap. Fotokopi KTP milik Gibran justru tidak dibawa dalam sidang hari ini.
    Selain itu, hakim juga mendapati kalau tim pengacara Gibran belum terdaftar di sistem elektronik PN Jakpus.
    Hakim Budi pun meminta kubu Gibran untuk melengkapi dua hal ini sebelum sidang dilanjutkan ke tahap selanjutnya.
    ”Ini (semua pihak) sudah hadir. Tapi, kuasa (tergugat 1) belum daftar (ke sistem PN). Kita tunggu dulu sebelum mediasi,” kata hakim lagi.
    Alhasil, hakim memutuskan untuk kembali menunda persidangan agar kubu Gibran dapat menyelesaikan sejumlah administrasi yang perlu dilengkapi.
    Sidang pun ditunda ke Senin (22/9/2025) depan dengan agenda pemeriksaan
    legal standing
    dari para pihak.
    Agenda ini diperlukan sebelum sidang dilanjutkan ke tahap mediasi.
    “Nanti sidang berikutnya Senin 22 (September 2025 dengan agenda untuk melengkapi legal standing dari tergugat 1 dan tergugat 2,” kata Hakim Budi kemudian memukul palu untuk menutup sidang.
    Usai sidang, Dadang dan tim sempat memberikan keterangan kepada awak media yang mengawal sidang.
    Mereka mengaku sudah mendapatkan surat kuasa resmi dari Gibran, tapi tak ada arahan khusus yang disampaikan putra sulung Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) ini.
    “Belum ada arahan khusus (dari Gibran). Saya kira biasa saja,” kata Dadang di depan ruang Soebekti 3, PN Jakpus.
    Ia pun enggan berkomentar banyak terkait dengan gugatan yang tengah dihadapi Gibran. Menurut para pengacara, sidang baru di tahap pemeriksaan identitas dan mereka akan mengomentari isi gugatan jika proses sidang ini masuk ke tahapan selanjutnya.
    “Yang lain-lain nanti saja. Nanti untuk berikutnya masih ada tahapan-tahapan lain,” kata Dadang lagi.
    Dalam sidang perdana pada 8 September 2025 pekan lalu, Kejaksaan Agung sempat mengirimkan tim dari Kantor Jaksa Pengacara Negara untuk mewakili Gibran.
    Seorang pria berambut putih abu sempat menghadap majelis hakim untuk menyerahkan dokumen dan identitasnya.
    Pria ini tidak terlihat memakai seragam coklat khas Kejaksaan.
    Subhan yang ikut menyaksikan penyerahan dokumen ke majelis hakim ini menyatakan keberatan usai membaca keterangan di kertas-kertas itu.
    “Oh ini pakai negara? Ini gugatan pribadi, kenapa pakai jaksa negara?” tanya Subhan dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (8/9/2025).
    Dokumen yang dipegang Subhan saat itu berlogo burung Garuda di bagian tengah atas.
    Tidak lama setelah Subhan menyatakan keberatan, pria rambut putih itu beranjak keluar ruangan atas perintah majelis hakim.
    Begitu pria ini keluar dari area sidang, terlihat satu pria berseragam coklat tua ikut berdiri sembari membawa tas dan sejumlah dokumen.
    Dari berkas-berkas yang dibawa ditenteng dua orang ini diketahui mereka bertugas di kantor Jaksa Pengacara Negara yang merupakan berada di bawah kewenangan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun).
    Usai dua Jaksa Pengacara Negara ini meninggalkan PN Jakpus, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Anang Supriatna yang dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, membenarkan kalau pengacara Gibran berasal dari institusi Kejaksaan.
    Pengacara yang ditugaskan Jaksa Agung ini bernama Ramos Harifiansyah.
    “JPN-nya Ramos Harifiansyah,” ujar Anang saat dikonfirmasi, Senin siang.
    Anang menegaskan, penunjukkan JPN sebagai pengacara Gibran sudah sesuai dengan ketentuan yang ada.
    Hal ini karena surat gugatan itu ditujukan kepada Wakil Presiden (Wapres). Dan, surat gugatannya diterima oleh Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres).
    “Bahwa gugatan tersebut di alamatkan di Setwapres. Karena yang digugat Wapres maka menjadi kewenangan Jaksa Pengacara Negara/JPN (untuk mendampingi),” jelas Anang.
    Dalam gugatan ini, Gibran dan KPU dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum karena ada beberapa syarat pendaftaran calon wakil presiden (Cawapres) yang dahulu tidak terpenuhi.
    Untuk itu, Subhan selaku penggugat meminta agar majelis hakim yang mengadili perkara ini untuk menyatakan Gibran dan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum.
    Subhan juga meminta agar majelis hakim menyatakan status Gibran saat ini sebagai Wapres tidak sah.
    Gibran dan KPU juga dituntut untuk membayar uang ganti rugi senilai Rp 125 triliun kepada negara.
    “Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta dan disetorkan ke kas negara,” bunyi petitum.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 9
                    
                        Dokumen Capres-Cawapres Dirahasiakan KPU: Ijazah hingga Akta Lahir
                        Nasional

    9 Dokumen Capres-Cawapres Dirahasiakan KPU: Ijazah hingga Akta Lahir Nasional

    Dokumen Capres-Cawapres Dirahasiakan KPU: Ijazah hingga Akta Lahir
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan keputusan terbaru Nomor 731 Tahun 2025 yang berkaitan dengan publikasi dokumen untuk calon presiden dan wakil presiden.
    Ketentuan ini dikeluarkan pada 21 Agustus 2025 yang ditandatangani oleh Ketua KPU RI Afifuddin.
    Dalam keputusan itu dijelaskan, ada 16 dokumen yang akan tetap menjadi rahasia antara KPU dan capres-cawapres yang mendaftar, salah satunya adalah ijazah.
    Namun, KPU memberikan pengecualian, yakni dokumen bisa dibuka jika yang bersangkutan memberikan persetujuan tertulis.
    Berikut aturannya, sebagaimana dikutip
    Kompas.com
    dari Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) KPU, Senin (15/9/2025): 
    Informasi publik sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kedua dikecualikan selama jangka waktu lima tahun, kecuali:
    a. pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetujuan tertulis, dan/atau;
    b. pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik
    Lantas, apa saja dokumen yang akan dirahasiakan KPU selama lima tahun periode pemilu tersebut?
    Dalam putusan ini disebutkan 16 dokumen yang tidak boleh dipublikasikan kecuali atas izin pemiliknya, mulai dari ijazah, riwayat hidup, hingga akta kelahiran.
    Berikut adalah 16 dokumen tersebut:
    1. Fotokopi kartu tanda penduduk elektronik dan foto akta kelahiran Warga Negara Indonesia.
    2. Surat keterangan catatan kepolisian dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    3. Surat keterangan kesehatan dari rumah sakit pemerintah yang ditunjuk oleh Komisi Pemilihan Umum.
    4. Surat tanda terima atau bukti penyampaian laporan harta kekayaan pribadi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
    5. Surat keterangan tidak sedang dalam keadaan pailit dan/atau tidak memiliki tanggungan utang yang dikeluarkan oleh pengadilan negeri.
    6. Surat pernyataan tidak sedang dicalonkan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
    7. Fotokopi nomor pokok wajib pajak dan tanda bukti pengiriman atau penerimaan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi selama 5 (lima) tahun terakhir.
    8. Daftar riwayat hidup, profil singkat, dan rekam jejak setiap bakal calon.
    9. Surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
    10. Surat pernyataan setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana yang dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    11. Surat keterangan dari pengadilan negeri yang menyatakan bahwa setiap bakal calon tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
    12. Bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, surat tanda tamat belajar, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah.
    13. Surat keterangan tidak terlibat organisasi terlarang dan G.30.S/PKI dari kepolisian.
    14. Surat pernyataan bermeterai cukup tentang kesediaan yang bersangkutan diusulkan sebagai bakal calon Presiden dan bakal calon Wakil Presiden secara berpasangan.
    15. Surat pernyataan pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil sejak ditetapkan sebagai Pasangan Calon Peserta Pemilu.
    16. Surat pernyataan pengunduran diri dari karyawan atau pejabat badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai Pasangan Calon Peserta Pemilu.
    Ketua KPU Afifuddin menegaskan, dasar keputusan ini dilandaskan pada Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
    Dalam beleid tersebut, diatur informasi publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum.
    “(Juga) Didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya,” katanya dalam pesan singkat, Senin (15/9/2025).
    Dalam menetapkan informasi yang dikecualikan dalam Keputusan KPU 731/2025, Afifuddin mengatakan, KPU telah melakukan uji konsekuensi sebagaimana yang dimuat dalam lampiran keputusan tersebut.
    “Sebagaimana juga yang diperintahkan dalam Pasal 19 UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,” katanya.
    Keputusan KPU ini menyulut kontroversi, lantaran Presiden Ketujuh RI Joko Widodo (Jokowi) kini masih bersinggungan dengan isu ijazah palsu.
    Begitu juga dengan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, anak Jokowi. Gibran kini sedang digugat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat soal ijazahnya yang dinilai tidak memenuhi syarat karena terbitan sekolah luar negeri.
    Namun Afifuddin membantah keputusan KPU ini sebagai bentuk perlindungan data kepada ayah dan anak tersebut.
    “Tidak ada yang dilindungi, karena ini ada uji konsekuensi yang harus kami lakukan ketika ada pihak meminta di PPID kami. Jadi, ada informasi-informasi yang lembaga itu kemudian harus mengatur mana yang dikecualikan, mana yang tidak,” tegas dia.
    “Nah, berkaitan dengan data itu, ada data-data yang harus atas persetujuan yang bersangkutan dan juga keputusan pengadilan, dan itu sudah diatur dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik,” sambung Afif.
    Sementara itu, saat ditanya apakah keputusan KPU ini dibuat untuk menanggapi isu ijazah palsu Jokowi, Afif tetap membantah. Afif menyebutkan, aturan ini berlaku umum untuk capres-cawapres.
    “Tidak ada, tidak ada, ini berlaku untuk umum semua pengaturan data siapa pun, karena siapa pun nanti juga bisa dimintakan datanya ke kami. Nah, kami kan mengatur dokumen data yang di kami, sementara itu kan ada hal yang harus atas persetujuan dan juga karena keputusan pengadilan,” imbuh Afif.
    Keputusan terkait merahasiakan ijazah ini juga diterbitkan sebelum tuntutan kepada Gibran dilayangkan.
    Keputusan KPU tersebut dibuat pada 21 Agustus 2025, sedangkan gugatan kepada Gibran dilayangkan pada 29 Agustus 2025.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPU Tetapkan 16 Dokumen Capres-Cawapres Bukan Informasi Publik, Efek Jokowi?

    KPU Tetapkan 16 Dokumen Capres-Cawapres Bukan Informasi Publik, Efek Jokowi?

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Komisi Pemilihan Umum menetapkan 16 dokumen Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) bukan informasi publik.

    Itu dinilai sebagai efek dari Presiden ke-7 Jokowi.

    “Jokowi Effect,” kata Pegiat Media Sosial, Monica dikutip Senin (15/9/2025).

    Mengingat sebelumnya, ijazah Jokowi dipersoalkan hingga masuk ranah hukum. Begitu pula ijazah Wakil Presiden Gibran Rakabuming yang baru-baru ini digugat warga.

    Penggugat itu bernama Subhan Palal. Dia mengajukan gugatan perdata terhadap Gibran di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst.

    Subhan menuntut ganti rugi materiil dan immateriil senilai Rp125 triliun, dengan menambahkan KPU sebagai tergugat kedua.

    Penggugat meminta majelis hakim menyatakan Gibran tidak sah menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029.

    Penggugat menilai Gibran tidak pernah menjalani sekolah SMA/sederajat yang diselenggarakan berdasarkan hukum RI, sehingga tidak memenuhi syarat dalam pendaftaran cawapres pada Pilpres lalu.

    Sementara itu, putusan KPU terkait 16 dokumen persyaratan yang bukan informasi publik tertuang Keputusan KPU RI Nomor 731 Tahun 2025, tentang Penetapan Dokumen Persyaratan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Sebagai Informasi Publik.

    “Keputusan KPU 731/2025 tersebut telah menetapkan beberapa informasi dokumen persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden (Diktum kedua) telah dikecualikan dalam jangka waktu 5 tahun, kecuali pihak yang rahasianya diungkapkan memberikan persetujuan tertulis dan/atau pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik (Diktum ketiga),” kata Ketua KPU, Afifuddin dikutip Antara.

  • Sidang Gugatan Perdata Wapres Ditunda Imbas Pengacara Lupa Bawa Fotokopi KTP Gibran
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 September 2025

    Sidang Gugatan Perdata Wapres Ditunda Imbas Pengacara Lupa Bawa Fotokopi KTP Gibran Nasional 15 September 2025

    Sidang Gugatan Perdata Wapres Ditunda Imbas Pengacara Lupa Bawa Fotokopi KTP Gibran
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Sidang gugatan perdata terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali ditunda karena pengacara belum menyerahkan fotokopi KTP milik Gibran kepada pihak persidangan.
    Hal ini terungkap saat majelis hakim memeriksa dokumen dan identitas para pihak dalam sidang.
    “KTP Tergugat 1 (T1) kan belum (dibawa) ya, untuk fotokopi KTP T1. Gitu ya pak ya,” ujar Hakim Ketua Budi Prayitno, dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (15/9/2025).
    Hakim meminta agar kuasa hukum Gibran selaku Tergugat 1 bisa melengkapi berkas dalam sidang berikutnya.
    Selain itu, hakim juga meminta agar kuasa hukum Gibran mendaftarkan diri agar tercatat di sistem PN Jakpus.
    Diketahui, Gibran tidak lagi diwakili oleh Jaksa Pengacara Negara dari Kejaksaan Agung, melainkan menunjukkan tiga orang pengacara.
    Salah satunya, Dadang Herli Saputra, yang tadi menghampiri meja majelis hakim untuk menyerahkan berkas-berkas.
    “Nanti sidang berikutnya Senin 22 (September 2025) dengan agenda untuk melengkapi legal standing dari Tergugat 1 dan Tergugat 2,” kata Hakim Budi, kemudian memukul palu untuk menutup sidang.
    Dalam persidangan, pihak penggugat, Subhan Palal, seorang warga sipil, hadir langsung untuk menjalani agenda sidang hari ini.
    Sementara itu, Gibran selaku Tergugat 1 tidak hadir secara langsung di dalam sidang.
    Gibran diketahui diwakili oleh tim pengacara. Adapun, Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku Tergugat 2 juga diwakili oleh biro hukum internal KPU.
    Para komisioner KPU tidak terlihat hadir di lokasi.
    Dalam gugatan ini, Gibran dan KPU dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum karena ada beberapa syarat pendaftaran calon wakil presiden (Cawapres) yang dahulu tidak terpenuhi.
    Untuk itu, Subhan selaku penggugat meminta agar majelis hakim yang mengadili perkara ini menyatakan Gibran dan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum.
    Subhan juga meminta agar majelis hakim menyatakan status Gibran saat ini sebagai Wapres tidak sah.
    Gibran dan KPU juga dituntut untuk membayar uang ganti rugi senilai Rp 125 triliun kepada negara.
    “Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta dan disetorkan ke kas negara,” bunyi petitum.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hadapi Gugatan Rp125 Triliun, Gibran Tunjuk 3 Pengacara

    Hadapi Gugatan Rp125 Triliun, Gibran Tunjuk 3 Pengacara

    GELORA.CO  – Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menunjuk tiga orang sebagai pengacara dalam menghadapi gugatan Rp125 triliun di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka adalah Dadang Herli Saputra, Basuki dan Anton Aulawi.

    Ketiganya tergabung dalam Ad Infinitiun Kindness (AK) Law Firm.

    “Kita bertiga,” kata Dadang di PN Jakpus, Senin (15/9/2025). 

    Mereka menerima kuasa per 9 September 2025 atau sehari setelah sidang perdana digelar. Menurutnya, tidak ada pesan khusus dari Gibran terkait gugatan tersebut. 

    “Menyampaikan untuk mewakili, yang lain-lain kami akan sampaikan pada persidangan-persidangan berikutnya,” ujarnya.

    Mengenai kehadiran langsung Gibran selaku pihak tergugat dalam sidang tersebut, Dadang belum bisa memastikannya.

    “Itu belum bisa kami berikan komentar,” ucap dia.

    Gugatan ini sebelumnya diajukan oleh seorang warga bernama Subhan yang mempersoalkan persyaratan ijazah Gibran ketika mencalonkan diri sebagai cawapres. Menurutnya, ijazah Gibran dari luar negeri tak memenuhi persyaratan sebagai cawapres.

    Dia menyoroti aturan persyaratan peserta pilpres dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Pasal 169 huruf (1) jo PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pasal 13 huruf (r).

    Dalam pasal 13 huruf (r) dijelaskan bahwa syarat menjadi peserta pilpres: berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat.

    Dengan landasan pasal di atas, dia merasa Gibran tak memiliki bukti ijazah SMA yang dipersyaratkan sebagai cawapres.

    Salah satu petitum gugatan adalah menuntut Gibran membayar ganti rugi kepada penggugat dan seluruh warga negara Indonesia sebesar Rp125 triliun dan disetorkan ke kas negara