Kementrian Lembaga: PN Jakarta Pusat

  • Alasan Sandra Dewi Cabut Gugatan Keberatan Atas Penyitaan Asetnya Gara-Gara Kasus Harvey Moeis – Page 3

    Alasan Sandra Dewi Cabut Gugatan Keberatan Atas Penyitaan Asetnya Gara-Gara Kasus Harvey Moeis – Page 3

    Sebelumnya, Sandra Dewi mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Keberatan itu terkait dengan penyitaan sejumlah harta dan aset miliknya dalam kasus yang menjerat Harvey.

    “Benar, saat ini sedang berlangsung sidang keberatan penyitaan aset yang diajukan Sandra Dewi dalam kasus korupsi Harvey Moeis (suaminya),” kata juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Andi Saputra, kepada wartawan, Senin (20/10).

    Pemohon dalam keberatan nomor 7/PID.SUS/KEBERATAN/TPK/2025/PN.Jkt.Pst ini ialah Sandra Dewi, Kartika Dewi, dan Raymon Gunawan. Sementara itu, untuk termohon ialah Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Agung RI.

    “Objek keberatan, Pemohon meminta pengembalian aset yang dirampas negara,” ujarnya.

    Adapun yang menjadi dalih Sandra dalam keberatan ini adalah sebagai pihak ketiga yang beriktikad baik, aset diperoleh secara sah melalui endorsement, pembelian pribadi, hadiah, tidak terkait dengan tindak pidana korupsi dan ada perjanjian pisah harta sebelum menikah. Sidang keberatan ini sudah memasuki agenda pembuktian dengan menghadirkan ahli pada Jumat (17/10).

    Reporter: Nur Habibie

    Sumber: Merdeka.com

  • Karen Agustiawan Jelaskan Perusahaan Tak Butuh Terminal BBM Riza Chalid

    Karen Agustiawan Jelaskan Perusahaan Tak Butuh Terminal BBM Riza Chalid

    Karen Agustiawan Jelaskan Perusahaan Tak Butuh Terminal BBM Riza Chalid
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Eks Direktur Utama Pertamina, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan, mengatakan bahwa saat ia masih menjabat, Pertamina tidak butuh menyewa terminal bahan bakar merak (BBM) Merak milik Riza Chalid.
    “Untuk operasional Pertamina, stok operasional Pertamina, itu cukup dari depo yang jumlahnya 140, dengan kilang jumlahnya 6, dari pipa, dan dari kapal,” ujar Karen dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (27/102025).
    Penjelasan ini Karen sampaikan saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah PT Pertamina yang melibatkan Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Muhamad Kerry Adrianto Riza, dkk.
    Karen mengatakan, operasional Pertamina saat itu berjalan dengan baik dengan fasilitas yang sudah ada, tidak perlu menyewa terminal BBM (TBBM) Merak milik PT Oiltanking Merak yang terafiliasi dengan Mohamad Riza Chalid dan putranya, Kerry Adrianto.
    Karen menegaskan, jika bicara soal BBM, dikenal istilah stok operasional dan stok nasional.
    Sebagai perusahaan, Pertamina mengedepankan dan lebih memperhitungkan stok operasional.
    Sementara, penyewaan Terminal BBM Merak merupakan bagian dari pemenuhan stok nasional.
    Meski tidak dibutuhkan untuk operasional Pertamina, TBBM Merak yang kini dioperasikan oleh PT Orbit Terminal Merak (PT OTM) dinilai penting untuk menjaga stabilitas stok BBM nasional.
    “OTM sebagai stok nasional itu memang dibutuhkan. Karena kami dari Pertamina itu hanya mampu 18 hari. Kalau misalnya stok nasional harus 30 hari, memang kami tidak mampu,” jelas Karen.
    Ketika berbicara mengenai stok BBM, Karen menegaskan, ini bukan hanya menyinggung soal tempat penyimpanan, tapi jumlah BBM yang perlu disiapkan.
    Karen mengatakan, sejak ia menjabat Dirut Pertamina pada 2009-2014, pemerintah terus meminta agar Pertamina menaikkan stok BBM hingga 30 hari. Namun, saat itu, Pertamina hanya bisa memasok hingga 18 hari.
    “Dari semua pertemuan, (pemerintah) selalu meminta untuk menambahkan stok BBM menjadi 30 hari. Namun, Pertamina selalu menolak, karena itu terkait dengan pembiayaan. Karena, bukan cuma tangkinya, tapi juga harus diisi,” imbuhnya.
    Karen mengungkap, pada periodenya menjabat, biaya untuk memasok BBM itu mencapai 125 juta dolar Amerika Serikat per hari.
    Jika dikalikan untuk 30 hari, biaya yang perlu dikeluarkan Pertamina terlampau besar dan tidak bisa dipenuhi berdasarkan kondisi keuangan perusahaan saat itu.
    “Satu hari itu adalah sekitar 125 juta USD, kalau 30 hari stok nasional, itu 30 kali 125 juta USD. Oleh dan sebab itu, kami selalu mengesampingkan permohonan 30 hari dengan komit untuk andal dalam distribusi dan suplai kepada konsumen, karena itu yang sanggup mengingat
    cashflow
    Pertamina,” jelas Karen.
    Adapun, Karen beranggapan, untuk menjamin stok nasional bukan tanggung jawab Pertamina selaku korporasi atau badan usaha.
    Ia pun mencontohkan negara lain yang modal stok BBM berasal dari anggaran negara, bukan dari korporasi.
    “Minyaknya, BBM-nya, itu kalau di negara lain, itu menggunakan
    state budget
    , bukan
    corporate budget
    ,” kata Karen.
    Lebih lanjut, Karen menyinggung Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 96 Tahun 2024 Pasal 2 yang menyebutkan, cadangan penyangga energi (CPE) merupakan kewajiban pemerintah pusat.
    Karen mengatakan, penyewaan kilang milik PT OTM ini masuk dalam kewajiban pemerintah, bukan Pertamina.
    “Di sana disampaikan bahwa cadangan penyangga energi merupakan tanggung jawab penuh pemerintah pusat, termasuk persediaannya. Jadi, OTM ini bisa masuk untuk menjadi penyangga, cadangan penyangga energi nasional,” kata Karen lagi.
    Dalam dakwaan, pengadaan terminal BBM PT Oiltanking Merak (kemudian berubah nama menjadi PT Orbit Terminal Merak) menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 2,9 triliun.
    Proyek ini diduga berasal dari permintaan Riza Chalid. Saat itu, Pertamina disebutkan belum terlalu membutuhkan terminal BBM tambahan.
    Namun, secara keseluruhan, para terdakwa maupun tersangka disebutkan telah menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 285,1 triliun.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hakim Dalami Tekanan yang Diterima Karen Agustiawan oleh 2 Tokoh Nasional

    Hakim Dalami Tekanan yang Diterima Karen Agustiawan oleh 2 Tokoh Nasional

    Hakim Dalami Tekanan yang Diterima Karen Agustiawan oleh 2 Tokoh Nasional
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Hakim Sigit Herman Binaji mendalami soal dua tokoh nasional yang menekan eks Direktur Utama Pertamina, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan untuk memenuhi permintaan pengusaha minyak, Mohamad Riza Chalid terkait penyewaan terminal bahan bakar minyak (BBM) Merak.
    Hal ini terjadi saat Karen dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah PT Pertamina yang melibatkan Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Muhamad Kerry Adrianto Riza, dkk.
    “Tadi kaitan sama pertanyaan JPU, ada tokoh nasional tersebut, (dalam BAP Karen mengatakan) ‘Saya tertekan, karena saya mengetahui dua pejabat tersebut membawa pesan dari saudara Mohamad Riza Chalid’, tertekannya seperti apa?” tanya Sigit dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (27/102025).
    Dalam sidang, nama dua pejabat ini tidak disebutkan sama sekali. Karen yang duduk sebagai saksi juga tidak menjawab detail terkait tekanan yang dialaminya.
    “Kalau misalkan semua yang ingin berbisnis dengan Pertamina harus diperhatikan, agak sulit, yang mulia,” jawab Karen.
    Ia mengaku, selama menjabat sebagai Dirut Pertamina pada 2009-2014, ia memegang prinsip, semua yang berbisnis dengan Pertamina harus mengikuti aturan yang ada.
    “Kalau ingin berbisnis dengan Pertamina, silakan berbisnis, tidak perlu memerlukan perhatian yang khusus, asal mengikuti peraturan Pertamina yang ada,” lanjut Karen.
    Soal dua tokoh nasional yang menekan Karen ini lebih dahulu disinggung jaksa pada persidangan yang sama.
    Tekanan ini disebutkan terjadi sekitar awal tahun 2014. Saat itu, Karen disebutkan sedang berada di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan.
    Dalam sidang, jaksa membacakan sejumlah berita acara pemeriksaan (BAP) yang menyebutkan Karen banyak mendapat tekanan pada tahun 2014. Saat itu, ia masih menjabat sebagai Dirut PT Pertamina.
    “Bahwa dalam suatu pernikahan pejabat yang saya hadiri yang tidak saya sebut namanya, pada sekitar awal 2014 bertempat di Hotel Dharmawangsa Jalan Brawijaya Kebayoran Baru Jakarta Selatan, terdapat dua tokoh nasional yang menghampiri saya dan menyampaikan agar tangki Merak diperhatikan,” ujar jaksa Triyana Setia Putra membacakan BAP Karen dalam sidang.
    Saat dicecar jaksa soal tekanan ini, Karen juga tidak menjelaskan secara detail.
    Ia hanya mengatakan, selama menjadi Dirut Pertamina, banyak orang berusaha berkenalan dan menyampaikan keinginan mereka. Namun, ia mengaku tidak melulu menuruti permintaan tersebut.
    Karen mengatakan, tekanan dari pihak-pihak ini ia artikan sebagai arahan untuk memastikan kinerja Pertamina sesuai dengan tata kerja organisasi (TKO).
    “Jadi, kalau misalnya dibilang agar diperhatikan. Itu menjadi cambuk bagi saya untuk menekan supaya harus benar-benar taat pada TKO,” jelas Karen.
    Proyek tangki Merak yang disinggung jaksa dan hakim ini merujuk pada pengadaan penyewaan terminal bahan bakar minyak (BBM) yang berkaitan erat dengan Mohamad Riza Chalid.
    Dalam dakwaan, pengadaan terminal BBM PT Oiltanking Merak (kemudian berubah nama menjadi PT Orbit Terminal Merak) menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 2,9 triliun.
    Proyek ini diduga berasal dari permintaan Riza Chalid. Saat itu, Pertamina disebutkan belum terlalu membutuhkan terminal BBM tambahan.
    Namun, secara keseluruhan, para terdakwa maupun tersangka disebutkan telah menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 285,1 triliun.
    Setidaknya, ada sembilan orang yang lebih dahulu dihadirkan di persidangan, antara lain: Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa; Muhamad Kerry Adrianto Riza; Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi; VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono;
    Lalu, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, Dimas Werhaspati; dan Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, Gading Ramadhan Joedo.
    Kemudian, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan; Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin; Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya; dan VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne.
    Sejauh ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan 18 tersangka. Namun, berkas 9 tersangka lainnya belum dilimpahkan ke Kejari Jakpus, termasuk berkas Riza Chalid yang saat ini masih buron.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Eks Dirut BUMN Buka Momen Berkenalan dengan Riza Chalid: 2008 di Hotel Dharmawangsa

    Eks Dirut BUMN Buka Momen Berkenalan dengan Riza Chalid: 2008 di Hotel Dharmawangsa

    Eks Dirut BUMN Buka Momen Berkenalan dengan Riza Chalid: 2008 di Hotel Dharmawangsa
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Eks Direktur Utama Pertamina, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan menceritakan momen pertamanya berkenalan dengan Mohamad Riza Chalid yang terjadi pada 2008.
    Momen tersebut diceritakan Karen saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang yang menyeret Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Muhamad Kerry Adrianto Riza dan terdakwa lainnya di kasus tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina Persero.
    Pada 2008, Karen dikenalkan dengan Riza Chalid oleh Direktur Utama PT Pertamina periode tahun 2006-2009, Ari Soemarno di lobi Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan.
    Dalam perkenalannya dengan Riza Chalid itu, Karen tengah menjabat sebagai Direktur Hulu PT Pertamina pada 2008.
    “Saya baru pulang dari rapat (di) Natuna, di lobi dengan Pak Ari (Soemarno) dan bertemu dengan Mohamad Riza Chalid, dan saya diperkenalkan,” ujar Karen dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025).
    Setelah itu, ia berkenalan dengan Irawan Prakoso dalam kesempatan yang berbeda. Saat itu, Irawan pun menyinggung nama Riza Chalid.
    “Pada saat itu, hanya disampaikan (Irawan Prakoso) sebagai anak buahnya Pak Mohamad Riza,” lanjut Karen.
    Meski sudah lama mengenal Riza Chalid, Karen mengaku tidak tahu bahwa ada peran ayah Kerry Adrianto di balik pengadaan terminal bahan bakar minyak (BBM) Merak, termasuk soal keterlibatan PT Oiltanking Merak yang merupakan afiliasi Riza Chalid.
    Sementara itu dalam sidang pada Senin (20/10/2025), Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga tahun 2021-2023, Hanung Budya Yuktyanta mengaku merasa ditekan oleh pihak Riza Chalid jika tidak menandatangani perjanjian terminal bahan bakar minyak (BBM).
    Hal ini terungkap saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Hanung yang dihadirkan sebagai saksi dalam kasus tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina Persero untuk terdakwa Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Muhammad Kerry Adrianto Riza.
    “Apabila saya tidak menandatangani persetujuan OE atau HTS, penunjukkan pemenang langsung yaitu PT Oiltanking Merak dan penandatanganan perjanjian jasa penerimaan, penyimpanan, dan penyerahan BBM dengan PT Oiltanking Merak, saya akan dicopot karena tekanan dari Mohamad Riza Chalid,” ujar jaksa Triyana Setia Putra membacakan BAP Hanung.
    Dalam BAP yang sama, Hanung mengaku tekanan dari Riza Chalid ini ia rasakan dari kedatangan Irawan Prakoso. Hanung mengatakan, Irawan merupakan orang kepercayaan Riza.
    “Tekanan tersebut saya rasakan saat itu dan salah satunya, sinyalnya adalah kedatangan Irawan Prakoso sebagai orang kepercayaan Mohamad Riza Chalid yang menyampaikan kekecewaan Mohamad Riza Chalid terkait proses rencana sewa storage Oiltanking Merak yang diajukan oleh saudara Gading Ramadhan Joedo selaku Dirut PT Oiltanking Merak yang merupakan afiliasi dan salah satu kepercayaan dari Mohamad Riza Chalid,” lanjut jaksa Triyana melanjutkan BAP.
    Saat dikonfirmasi jaksa, Hanung mengaku kalau tekanan ini hanya perasaan dan dugaannya. Ia mengatakan tidak memiliki bukti terkait tekanan ini.
    “Yang pasti secara verbal itu tidak terucap, tetapi mohon maaf saya sebagai manusia punya perasaan, saya berpikir kurang lebih seperti itu, tapi saya tidak ada bukti bahwa itu memang terjadi atau (tekanan ini) semacam perasaan saya saja,” jawab Hanung.
    Shela Octavia Anak Pengusaha Minyak, Riza Chalid, Muhamad Kerry Adrianto Riza selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa dalam sidang dakwaan kasus korupsi PT Pertamina di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (13/10/2025)
    Dalam dakwaan, pengadaan terminal BBM PT OTM menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 2,9 triliun. Proyek ini diduga berasal dari permintaan Riza Chalid. Saat itu, Pertamina disebutkan belum terlalu membutuhkan terminal BBM tambahan.
    Namun, secara keseluruhan, para terdakwa maupun tersangka disebutkan telah menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 285,1 triliun. Setidaknya, ada sembilan orang yang lebih dahulu dihadirkan di persidangan, yakni:
    Sejauh ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan 18 tersangka. Namun, berkas sembilan tersangka lainnya belum dilimpahkan ke Kejari Jakarta Pusat, termasuk berkas Riza Chalid yang saat ini masih buron.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hakim Dalami Tekanan yang Diterima Karen Agustiawan oleh 2 Tokoh Nasional

    Karen Agustiawan Ungkap Alasan Perjanjian Sewa Terminal BBM Merak Hanya Dilakukan Direktur Pemasaran

    Karen Agustiawan Ungkap Alasan Perjanjian Sewa Terminal BBM Merak Hanya Dilakukan Direktur Pemasaran
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Eks Direktur Utama Pertamina, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan menegaskan, pengalihan wewenang untuk menandatangani perjanjian penyewaan terminal bahan bakar merak (BBM) Merak dilakukan atas permintaan dari Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina tahun 2014, Hanung Budya Yuktyanta.
    Hal ini Karen sampaikan saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah PT Pertamina yang melibatkan Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Muhamad Kerry Adrianto Riza, dkk.
    “Mengingat rencana pemanfaatan ini hanya dalam Direktorat Pemasaran dan Niaga, maka kami usulkan untuk dikuasakan saja ke Direktur Pemasaran Niaga sebagai wakil PT Pertamina Persero. Jadi, Pak Hanung yang meminta untuk dikuasakan ke beliau,” ujar Karen dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025).
    Permintaan Hanung ini tercatat dalam surat yang diterbitkan tanggal 27 Januari 2014.
    Karen menyebutkan, pada saat itu ada rencana PT Pertamina untuk menyewa tangki BBM Merak yang dimiliki oleh PT Oiltanking Merak.
    Jaksa pun mempertanyakan alasan Karen mengalihkan kewenangan kepada Hanung yang merupakan bawahannya.
    “Itu secara aturan dimungkinkan di internal Pertamina?” tanya Jaksa Triyana Setia Putra kepada Karen.
    Karen menjelaskan, berhubung kerja sama saat itu masih bersifat Memorandum of Understanding (MoU), penandatangan berkas bisa dilakukan oleh level manajer, tidak harus Direktur Utama.
    “Karena ini MoU yang mulia, jadi kalau di Pertamina, MoU itu manajer pun bisa ber-MoU,” lanjut Karen.
    Setelah mengalihkan kewenangannya, Karen mengaku tidak pernah mendapatkan laporan perkembangan terhadap penjajakan kerja sama antara PT Oiltanking Merak dan PT Pertamina.
    “Apakah saudara saksi pernah mendapat laporan dari Pak Hanung selaku Direktur Niaga dan Pemasaran ya? Terkait rencana kerjasama dengan PT Tangki Merak?” tanya jaksa lagi.
    Karen mengaku, ia tidak pernah mendapatkan laporan dari Hanung, baik dalam rapat direksi maupun komunikasi informal.
    “Secara resmi di dalam rapat direksi tidak pernah, secara pribadi pun tidak pernah (dapat laporan),” imbuh Karen.
    Adapun, Karen mengaku hanya mendapatkan satu surat terkait dengan penjajakan proyek penyewaan terminal BBM (TBBM) Merak ini.
    “Yang saya terima yang mulia adalah hanya satu surat. Saya tidak menerima kajian, saya tidak menerima hasil perbandingan antara 1 TBBM dengan TBBM lain,” lanjutnya.
    Berhubung tidak mendapatkan informasi dan dokumen pembanding yang cukup, Karen mengaku tidak dapat memberikan kesimpulan terhadap proyek yang ditangani Hanung itu.
    Lebih lanjut, Karen mengaku tidak bisa mengambil tindakan lanjutan terkait penyewaan terminal BBM ini karena ia sudah keluar dari Pertamina pada 5 Juni 2014.
    Sekitar tiga bulan sebelum pensiun dari Pertamina, Karen mengaku sudah tidak bisa lagi mengambil keputusan penting yang mempengaruhi perusahaan BUMN ini.
    Dalam sidang, JPU tidak menyinggung soal istilah ‘buang badan’ yang sempat muncul dalam sidang lalu.
    Pada sidang Senin (20/10/2025) lalu, Hanung duduk sebagai saksi.
    Saat itu, JPU membacakan keterangan Hanung yang dicatat dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
    Berdasarkan BAP, jaksa menilai istilah ‘buang badan’ digunakan Hanung usai menerima kewenangan untuk menandatangani perjanjian penyewaan terminal BBM.
    Padahal, kewenangan untuk menandatangani kontrak kerja sama merupakan kewenangan dari Dirut Pertamina.
    “Itu (istilah ‘buang badan’) pikiran saya, tetapi karena saya tidak mengetahui secara pasti maka saya mengambil bahasa simpel, jadi kasarnya, buang badan lah,” jawab Hanung dalam sidang Senin lalu.
    Jaksa kembali mencecar Hanung soal pilihan katanya yang berkonotasi negatif.
    “Saudara terpikir kalau ini upaya buang badan dari Dirut, apa yang terpikir oleh saudara, apa yang dihindari oleh Dirut? Apakah karena prosesnya tidak sesuai aturan makanya dilimpahkan ke saudara atau seperti apa?” tanya jaksa lagi.
    Hanung membantah, delegasi atau pelimpahan wewenang itu dilakukan karena ada proses yang tidak sesuai.
    Patut diketahui, PT Oiltanking Merak yang disebut dalam persidangan diduga berafiliasi dengan Muhammad Kerry Adrianto dan Mohamad Riza Chalid.
    Dalam dakwaan, pengadaan terminal BBM PT Oiltanking Merak (di kemudian hari berganti nama menjadi PT Orbit Terminal Merak) menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 2,9 triliun.
    Proyek ini diduga berasal dari permintaan Riza Chalid.
    Saat itu, Pertamina disebutkan belum terlalu membutuhkan terminal BBM tambahan.
    Namun, secara keseluruhan, para terdakwa maupun tersangka disebutkan telah menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 285,1 triliun.
    Setidaknya, ada sembilan orang yang lebih dahulu dihadirkan di persidangan, antara lain: Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Muhamad Kerry Adrianto Riza; Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi; VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono.
    Lalu, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, Dimas Werhaspati; dan Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, Gading Ramadhan Joedo.
    Kemudian, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan; Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin; Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya; dan VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne.
    Sejauh ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan 18 tersangka.
    Namun, berkas 9 tersangka lainnya belum dilimpahkan ke Kejari Jakpus, termasuk berkas Riza Chalid yang saat ini masih buron.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hakim Dalami Tekanan yang Diterima Karen Agustiawan oleh 2 Tokoh Nasional

    2 Eks Dirut BUMN Karen Agustiawan Ceritakan Awal Mengenal Riza Chalid Nasional

    Eks Dirut BUMN Karen Agustiawan Ceritakan Awal Mengenal Riza Chalid
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Eks Direktur Utama Pertamina, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan, menceritakan awal perkenalan dengan Mohamad Riza Chalid, pengusaha minyak sekaligus salah satu tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di PT Pertamina Persero.
    Hal ini disampaikan Karen saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi dalam sidang yang melibatkan Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Muhamad Kerry Adrianto Riza, dan kawan-kawan yang duduk di kursi terdakwa.
    “Saya baru pulang dari rapat (di) Natuna, di lobi dengan Pak Ari (Soemarno) dan bertemu dengan Mohamad Riza Chalid, dan saya diperkenalkan,” ujar Karen dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025).
    Karen mengatakan, saat berkenalan dengan Riza Chalid, ia masih menjabat sebagai Direktur Hulu PT Pertamina, yaitu sekitar tahun 2008.
    Saat itu, Karen diperkenalkan kepada Riza Chalid oleh Ari Soemarno, Direktur Utama PT Pertamina periode tahun 2006-2009.
    Perkenalan ini terjadi di lobi Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan.
    Dalam kesempatan yang berbeda, Karen mengaku juga dikenalkan dengan seseorang bernama Irawan Prakoso.
    Karen tidak menyebutkan secara jelas kapan ia dikenalkan dengan Irawan Prakoso.
    Namun, saat itu, Karen sudah menjabat sebagai Direktur Hulu PT Pertamina dan tengah berada di Jepang.
    Saat berkenalan dengan Irawan Prakoso, nama Riza Chalid sudah disinggung.
    “Pada saat itu, hanya disampaikan (Irawan Prakoso) sebagai anak buahnya Pak Mohamad Riza,” lanjut Karen.
    Meski sudah lama mengenal Riza Chalid, Karen mengaku tidak tahu bahwa ada peran ayah Kerry Adrianto ini di balik pengadaan terminal bahan bakar minyak (BBM) Merak, termasuk soal keterlibatan PT Oiltanking Merak yang merupakan afiliasi Riza Chalid.
    Dalam sidang sebelumnya, saksi sekaligus tersangka kasus ini, Hanung Budya Yuktyanta, mengaku didatangi Irawan Prakoso selaku utusan Riza Chalid untuk segera meneken kerja sama antara PT Oiltanking Merak dengan PT Pertamina.
    Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibacakan jaksa, Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina tahun 2014 ini mengaku merasa ditekan bakal dicopot jika tidak memenuhi keinginan Riza Chalid.
    “Apabila saya tidak menandatangani persetujuan OE atau HTS, penunjukkan pemenang langsung yaitu PT Oiltanking Merak dan penandatanganan perjanjian jasa penerimaan penyimpanan dan penyerahan BBM dengan PT Oiltanking Merak, saya akan dicopot karena tekanan dari Mohamad Riza Chalid,” ujar jaksa Triyana Setia Putra dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (20/10/2025).
    Dalam BAP yang sama, Hanung mengaku tekanan dari Riza Chalid ini ia rasakan dari kedatangan Irawan Prakoso.
    Hanung mengatakan, Irawan merupakan orang kepercayaan Riza.
    “Tekanan tersebut saya rasakan saat itu, dan salah satunya, sinyalnya adalah kedatangan Irawan Prakoso sebagai orang kepercayaan Mohamad Riza Chalid yang menyampaikan kekecewaan Mohamad Riza Chalid terkait proses rencana sewa storage Oiltanking Merak yang diajukan oleh saudara Gading Ramadhan Joedo selaku Dirut PT Oiltanking Merak yang merupakan afiliasi dan salah satu kepercayaan dari Mohamad Riza Chalid,” lanjut jaksa Triyana melanjutkan BAP.
    Dalam dakwaan, pengadaan terminal BBM PT Oiltanking Merak (di kemudian hari berganti nama menjadi PT Orbit Terminal Merak) menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 2,9 triliun.
    Proyek ini diduga berasal dari permintaan Riza Chalid.
    Saat itu, Pertamina disebutkan belum terlalu membutuhkan terminal BBM tambahan.
    Namun, secara keseluruhan, para terdakwa maupun tersangka disebutkan telah menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 285,1 triliun.
    Setidaknya, ada sembilan orang yang lebih dahulu dihadirkan di persidangan, antara lain: Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa; Muhamad Kerry Adrianto Riza; Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi; VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono.
    Lalu, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, Dimas Werhaspati; dan Komisaris PT Jenggala Maritim serta Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, Gading Ramadhan Joedo.
    Kemudian, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan;
    Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin; Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya; dan VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne.
    Sejauh ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan 18 tersangka.
    Namun, berkas 9 tersangka lainnya belum dilimpahkan ke Kejari Jakpus, termasuk berkas Riza Chalid yang saat ini masih buron.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hakim Dalami Tekanan yang Diterima Karen Agustiawan oleh 2 Tokoh Nasional

    2 Eks Dirut BUMN Karen Agustiawan Ceritakan Awal Mengenal Riza Chalid Nasional

    Eks Dirut BUMN Karen Agustiawan Ceritakan Awal Mengenal Riza Chalid
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Eks Direktur Utama Pertamina, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan, menceritakan awal perkenalan dengan Mohamad Riza Chalid, pengusaha minyak sekaligus salah satu tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di PT Pertamina Persero.
    Hal ini disampaikan Karen saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi dalam sidang yang melibatkan Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Muhamad Kerry Adrianto Riza, dan kawan-kawan yang duduk di kursi terdakwa.
    “Saya baru pulang dari rapat (di) Natuna, di lobi dengan Pak Ari (Soemarno) dan bertemu dengan Mohamad Riza Chalid, dan saya diperkenalkan,” ujar Karen dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025).
    Karen mengatakan, saat berkenalan dengan Riza Chalid, ia masih menjabat sebagai Direktur Hulu PT Pertamina, yaitu sekitar tahun 2008.
    Saat itu, Karen diperkenalkan kepada Riza Chalid oleh Ari Soemarno, Direktur Utama PT Pertamina periode tahun 2006-2009.
    Perkenalan ini terjadi di lobi Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan.
    Dalam kesempatan yang berbeda, Karen mengaku juga dikenalkan dengan seseorang bernama Irawan Prakoso.
    Karen tidak menyebutkan secara jelas kapan ia dikenalkan dengan Irawan Prakoso.
    Namun, saat itu, Karen sudah menjabat sebagai Direktur Hulu PT Pertamina dan tengah berada di Jepang.
    Saat berkenalan dengan Irawan Prakoso, nama Riza Chalid sudah disinggung.
    “Pada saat itu, hanya disampaikan (Irawan Prakoso) sebagai anak buahnya Pak Mohamad Riza,” lanjut Karen.
    Meski sudah lama mengenal Riza Chalid, Karen mengaku tidak tahu bahwa ada peran ayah Kerry Adrianto ini di balik pengadaan terminal bahan bakar minyak (BBM) Merak, termasuk soal keterlibatan PT Oiltanking Merak yang merupakan afiliasi Riza Chalid.
    Dalam sidang sebelumnya, saksi sekaligus tersangka kasus ini, Hanung Budya Yuktyanta, mengaku didatangi Irawan Prakoso selaku utusan Riza Chalid untuk segera meneken kerja sama antara PT Oiltanking Merak dengan PT Pertamina.
    Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibacakan jaksa, Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina tahun 2014 ini mengaku merasa ditekan bakal dicopot jika tidak memenuhi keinginan Riza Chalid.
    “Apabila saya tidak menandatangani persetujuan OE atau HTS, penunjukkan pemenang langsung yaitu PT Oiltanking Merak dan penandatanganan perjanjian jasa penerimaan penyimpanan dan penyerahan BBM dengan PT Oiltanking Merak, saya akan dicopot karena tekanan dari Mohamad Riza Chalid,” ujar jaksa Triyana Setia Putra dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (20/10/2025).
    Dalam BAP yang sama, Hanung mengaku tekanan dari Riza Chalid ini ia rasakan dari kedatangan Irawan Prakoso.
    Hanung mengatakan, Irawan merupakan orang kepercayaan Riza.
    “Tekanan tersebut saya rasakan saat itu, dan salah satunya, sinyalnya adalah kedatangan Irawan Prakoso sebagai orang kepercayaan Mohamad Riza Chalid yang menyampaikan kekecewaan Mohamad Riza Chalid terkait proses rencana sewa storage Oiltanking Merak yang diajukan oleh saudara Gading Ramadhan Joedo selaku Dirut PT Oiltanking Merak yang merupakan afiliasi dan salah satu kepercayaan dari Mohamad Riza Chalid,” lanjut jaksa Triyana melanjutkan BAP.
    Dalam dakwaan, pengadaan terminal BBM PT Oiltanking Merak (di kemudian hari berganti nama menjadi PT Orbit Terminal Merak) menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 2,9 triliun.
    Proyek ini diduga berasal dari permintaan Riza Chalid.
    Saat itu, Pertamina disebutkan belum terlalu membutuhkan terminal BBM tambahan.
    Namun, secara keseluruhan, para terdakwa maupun tersangka disebutkan telah menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 285,1 triliun.
    Setidaknya, ada sembilan orang yang lebih dahulu dihadirkan di persidangan, antara lain: Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa; Muhamad Kerry Adrianto Riza; Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi; VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono.
    Lalu, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, Dimas Werhaspati; dan Komisaris PT Jenggala Maritim serta Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, Gading Ramadhan Joedo.
    Kemudian, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan;
    Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin; Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya; dan VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne.
    Sejauh ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan 18 tersangka.
    Namun, berkas 9 tersangka lainnya belum dilimpahkan ke Kejari Jakpus, termasuk berkas Riza Chalid yang saat ini masih buron.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • MK Rampung Sidangkan Perkara Uji Materi Pasal Obstruction of Justice yang Digugat Hasto

    MK Rampung Sidangkan Perkara Uji Materi Pasal Obstruction of Justice yang Digugat Hasto

    MK Rampung Sidangkan Perkara Uji Materi Pasal Obstruction of Justice yang Digugat Hasto
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mahkamah Konstitusi (MK) telah merampungkan sidang uji materi pasal perintangan penyidikan atau
    obstruction of justice
    (OOJ) dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang dimohonkan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.
    “Hari ini adalah sidang terakhir untuk perkara ini. Oleh karena itu, kepada pemohon, DPR, dan kuasa Presiden juga akan mengajukan kesimpulan diberi waktu tujuh hari sejak sidang terakhir hari ini,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo di Jakarta, Senin (27/10/2025), melansir
    Antara
    .
    MK lantas meminta pemohon dan para termohon menyerahkan kesimpulan tertulis berisi pandangan akhir mengenai perkara itu.
    Setelah itu, para hakim konstitusi akan menggelar rapat permusyawaratan hakim guna memutus permohonan Hasto sebelum nantinya putusan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.
    Adapun pada Senin ini, Mahkamah Konstitusi menggelar sidang dengan agenda mendengar keterangan ahli yang dihadirkan pemerintah, yakni Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Suparji dan pengajar Ilmu Hukum Universitas Borobudur Ahmad Redi.
    Kedua ahli tersebut sama-sama sepakat bahwa Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor yang mengatur perihal OOJ tidaklah bertentangan dengan konstitusi, sebagaimana yang didalilkan Hasto dalam permohonannya.
    “Ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi adalah sebuah norma yang tidak bertentangan dengan nilai konstitusi, khususnya kepastian hukum,” kata Suparji.
    Dia menjelaskan ketentuan pasal tersebut telah memiliki batasan dan perintah yang jelas. Dalam perspektif hukum pidana, kata dia, pasal dimaksud telah memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia.
    Suparji juga mengatakan pasal itu tidak perlu penafsiran baru dengan menambahkan unsur “melawan hukum”, seperti yang dimintakan Hasto.
    “Karena sudah jelas perbuatan-perbuatan apa sebetulnya yang dilarang, sudah jelas bagaimana struktur normanya,” katanya.
    Sementara itu, Redi menyebut pasal yang diuji Hasto telah memenuhi unsur proprosionalitas.
    Menurut dia, ancaman pidana yang diatur dalam pasal tersebut tidak perlu diubah, sebagaimana yang diminta Hasto dalam perkara ini.
    “Ancaman penjara 3–12 tahun dan denda Rp 150–600 juta adalah proporsional dengan keseriusan perbuatan. Tindakan yang menggagalkan proses hukum dalam perkara korupsi dapat mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan pidana,” ucapnya.
    Sebelumnya, Hasto mempersoalkan Pasal 21 Undang-Undang Tipikor yang mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara 3–12 tahun dan/atau denda Rp 150 juta–Rp600 juta.
    Menurut Hasto, dalam praktiknya, pasal tersebut ditafsirkan secara tidak proporsional dan menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan prinsip negara hukum yang adil, sebagaimana diamanatkan konstitusi.
    Ia ingin norma pasal diperjelas. Dalam petitum, dia meminta MK menambahkan frasa “secara melawan hukum” dan “melalui penggunaan kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, intervensi, dan/atau janji untuk memberikan keuntungan yang tidak semestinya”ke dalam pasal dimaksud.
    Selain itu, dia juga mendalilkan bahwa ancaman pidana dalam Pasal 21 Undang-Undang Tipikor tidak proporsional. Untuk itu, ia meminta ancaman pidana perintangan penyidikan dikurangi menjadi paling lama 3 tahun.
    Turut dimintakan Hasto, kata “dan” dalam frasa “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan” dimaknai memiliki arti kumulatif. Dalam kata lain, dia meminta, seseorang hanya bisa dihukum jika melakukan tindakan mencegah, merintangi, atau menggagalkan dalam semua tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
    Hasto sempat menjadi terdakwa kasus dugaan perintangan penyidikan dan gratifikasi terkait penggantian antarwaktu (PAW) Harun Masiku.
    Majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Hasto tidak terbukti merintangi penyidikan, tetapi terbukti terlibat dalam pemberian suap sehingga divonis 3 tahun dan 6 bulan penjara serta denda Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan.
    Kendati demikian, Hasto tidak menjalani masa pemidanaan lantaran telah mendapat amnesti dari Presiden Prabowo Subianto.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 10
                    
                        Sidang Gugatan Gibran Ditunda Lagi karena Para Tergugat Tidak Hadir 
                        Nasional

    10 Sidang Gugatan Gibran Ditunda Lagi karena Para Tergugat Tidak Hadir Nasional

    Sidang Gugatan Gibran Ditunda Lagi karena Para Tergugat Tidak Hadir
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Sidang gugatan perdata terhadap Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka terkait dengan riwayat pendidikan SMA kembali ditunda karena tergugat tidak hadir dalam ruang sidang.
    “Tergugat 1 (Gibran) dan Tergugat 2 (KPU RI) tidak hadir, maka dipanggil lagi untuk sidang berikutnya pada Senin tanggal 3 November jam 10.00 WIB pagi,” ujar Subhan Palal selaku penggugat usai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025).
    Subhan mengatakan, berdasarkan penjelasan majelis hakim, para tergugat hari ini tidak hadir dalam sidang karena penetapan dilakukan melalui e-court alias diunggah ke sistem.
    Namun, ia mengatakan, pada sidang lalu, semua pihak telah diminta hadir dalam sidang.
    “Tadi samar-samar, katanya e-court. Alasannya sudah di e-court. Padahal di sidang kemarin sudah diagendakan untuk hari ini untuk pembacaan penetapan tentang surat kuasa,” lanjut Subhan.
    Ia mengatakan, pada sidang pekan depan, agenda adalah pembacaan isi gugatan terhadap Gibran.
    Dalam sidang ini, majelis hakim juga menetapkan bahwa KPU RI selaku Tergugat 2 boleh menggunakan dua pengacara, yaitu dari biro hukum internal dan Jaksa Pengacara Negara dari Kejaksaan Agung.
    Dalam gugatan ini, Gibran dan KPU dinilai Subhan Palal telah melakukan perbuatan melawan hukum karena ada beberapa syarat pendaftaran calon wakil presiden (Cawapres) yang dahulu tidak terpenuhi.
    Berdasarkan data KPU RI, Gibran sempat sekolah di Orchid Park Secondary School Singapore, tahun 2002-2004. Lalu, di UTS Insearch Sydney, tahun 2004-2007.
    Keduanya merupakan sekolah setingkat SMA.
    Namun, aspek yang dipermasalahkan Subhan adalah tempat Gibran mengenyam pendidikan, bukan soal lulus atau tidak.
    Untuk itu, Subhan selaku penggugat meminta agar majelis hakim yang mengadili perkara ini menyatakan Gibran dan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum.

    Subhan juga meminta agar majelis hakim menyatakan status Gibran saat ini sebagai Wapres tidak sah.
    Gibran dan KPU juga dituntut untuk membayar uang ganti rugi senilai Rp 125 triliun kepada negara.
    “Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta dan disetorkan ke kas negara,” bunyi petitum.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hari Ini, Sidang Lanjutan Gugatan Rp 125 T Gibran Kembali Digelar

    Hari Ini, Sidang Lanjutan Gugatan Rp 125 T Gibran Kembali Digelar

    Hari Ini, Sidang Lanjutan Gugatan Rp 125 T Gibran Kembali Digelar
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Sidang lanjutan gugatan perdata terhadap Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka terkait dengan riwayat pendidikan SMA kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025).
    Hari ini, sidang akan dilanjutkan dengan agenda pembacaan penetapan.
    “Agendanya, pembacaan penetapan,” kata penggugat Gibran, Subhan, saat dihubungi, Minggu (26/10/2025).
    Subhan mengatakan, isi gugatan juga akan dibacakan dalam ruang sidang.
    Sebelumnya, petitum tidak kunjung dibacakan karena sempat ada keberatan dari Subhan terkait dengan kuasa hukum dari KPU RI selaku Termohon 2.
    Dalam sidang sebelumnya, KPU RI diketahui diwakili oleh dua pihak, yaitu biro hukum internal dan Jaksa Pengacara Negara.
    Subhan menilai, penunjukan pengacara dari Kejaksaan Agung itu menyalahi aturan karena baru dilakukan di tengah persidangan berlangsung, bukan sejak awal gugatan.
    Sidang pun ditunda usai Subhan mengajukan keberatan.
    Majelis hakim belum menentukan sikap terkait dengan keberatan tersebut.
    Dalam gugatan ini, Gibran dan KPU dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum karena ada beberapa syarat pendaftaran calon wakil presiden (Cawapres) yang dahulu tidak terpenuhi.
    Berdasarkan data KPU RI, Gibran sempat sekolah di Orchid Park Secondary School Singapore, tahun 2002-2004, lalu di UTS Insearch Sydney, tahun 2004-2007.
    Keduanya merupakan sekolah setingkat SMA.
    Namun, aspek yang dipermasalahkan Subhan adalah tempat Gibran mengenyam pendidikan, bukan soal lulus atau tidak.
    Untuk itu, Subhan selaku penggugat meminta agar majelis hakim yang mengadili perkara ini menyatakan Gibran dan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum.
    Subhan juga meminta agar majelis hakim menyatakan status Gibran saat ini sebagai Wapres tidak sah.
    Gibran dan KPU juga dituntut untuk membayar uang ganti rugi senilai Rp 125 triliun kepada negara.
    “Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta dan disetorkan ke kas negara,” bunyi petitum.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.