Kementrian Lembaga: PN Jakarta Pusat

  • Pengacara Ungkap Respons Gibran Digugat Rp 125 Triliun soal Riwayat SMA

    Pengacara Ungkap Respons Gibran Digugat Rp 125 Triliun soal Riwayat SMA

    Pengacara Ungkap Respons Gibran Digugat Rp 125 Triliun soal Riwayat SMA
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Pengacara Dadang Herli Saputra mengungkapkan bahwa kliennya, Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka, tidak merespons banyak meski digugat hingga Rp 125 triliun oleh warga sipil bernama Subhan.
    “Tidak ada respons kaget, gembira, atau bagaimana; responnya umum saja,” ujar Dadang saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (3/11/2025).
    Dadang mengatakan, Gibran juga tidak memberikan banyak tanggapan meski riwayat pendidikannya diragukan.
    Gibran disebutkan telah menyerahkan seluruh proses hukum yang kini berjalan di PN Jakpus kepada kuasa hukumnya.
    “Tanggapan khusus tidak ada, semua diserahkan ke tim hukum,” kata Dadang.
    Namun, Dadang menyebutkan bahwa Gibran rutin memantau perkembangan gugatannya.
    Minimal, setiap kali sidang selesai, Dadang dan tim akan memberikan laporan.
    “Setiap sidang pasti akan dipantau karena pasti kami laporkan setiap habis sidang,” imbuh Dadang.
    Diketahui, Gibran dan KPU dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum karena ada beberapa syarat pendaftaran calon wakil presiden (Cawapres) yang dahulu tidak terpenuhi.
    Berdasarkan data KPU RI, Gibran sempat sekolah di Orchid Park Secondary School Singapore pada tahun 2002-2004, lalu di UTS Insearch Sydney pada tahun 2004-2007.
    Keduanya merupakan sekolah setingkat SMA.
    Namun, Subhan selaku penggugat menilai bahwa dua institusi ini tidak sesuai dengan persyaratan yang ada di undang-undang dan dianggap tidak sah sebagai pendidik setingkat SMA.
    Atas hal ini, Subhan meminta agar majelis hakim yang mengadili perkara ini menyatakan bahwa Gibran dan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum.
    Subhan juga meminta agar majelis hakim menyatakan status Gibran saat ini sebagai Wapres tidak sah.
    Gibran dan KPU juga dituntut untuk membayar uang ganti rugi senilai Rp 125 triliun kepada negara.
    “Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan disetorkan ke kas negara,” bunyi petitum.
    Dalam sidang hari ini, Subhan membacakan isi gugatan.
    Selanjutnya, para tergugat, Gibran dan KPU RI, akan diberikan kesempatan untuk memberikan jawabannya.
    Majelis hakim menyebutkan bahwa beberapa sidang selanjutnya akan dilaksanakan secara online alias e-court.
    Para tergugat diminta untuk memberikan jawaban mereka atas isi gugatan pada Senin (10/11/2025).
    Setelah memberikan jawaban atas gugatan, sidang akan dilanjutkan dengan replik dan duplik, keduanya juga dilakukan secara online.
    Sidang baru dilakukan tatap muka mengikuti perkembangan dan pertimbangan selanjutnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DJP-Kejati Jakarta Buru Aset Terpidana Penggelapan Pajak ke Singapura

    DJP-Kejati Jakarta Buru Aset Terpidana Penggelapan Pajak ke Singapura

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kanwil Jakarta Pusat bersama Kejati Jakarta tengah memburu aset terpidana penggelapan pajak berinisial TB di Singapura.

    Kabid P2Humas Kanwil DJP Jakarta Pusat Muktia Agus Budi Santosa mengatakan perburuan aset dilakukan lantaran pihaknya menduga TB telah menyembunyikan aset di Singapura.

    “Langkah lanjutan [telah] permintaan penyitaan aset di luar negeri terkait aset dan dana yang diduga disembunyikan oleh Terpidana TB di luar negeri,” ujar Agus dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (3/11/2025).

    Dia menambahkan, permintaan penyitaan aset itu dilakukan dengan menempuh mekanisme Mutual Legal Assistance (MLA) dengan otoritas Singapura.

    “DJP saat ini sedang menempuh mekanisme MLA atau Timbal Balik dalam Masalah Pidana antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura untuk meminta penyitaan aset terkait,” imbuhnya.

    Sementara itu, Agus mengungkap bahwa pihaknya telah melakukan penyitaan dan pemblokiran terhadap aset senilai Rp58,2 miliar dalam perkara pajak ini. 

    Aset yang disita maupun diblokir ini mencakup uang dalam rekening bank, obligasi, kendaraan, apartemen, dan bidang tanah.

    Agus juga menjelaskan modus TB dalam perkara TPPU ini dengan cara menyimpan uang tunai hasil pidana ke bank. Setelah itu, TB melakukan konversi uang itu menjadi mata uang asing untuk kemudian dikirim ke luar negeri.

    “Dengan menempatkan uang tunai ke sistem perbankan, melakukan konversi ke mata uang asing, transfer dana ke luar negeri, serta membelanjakan dalam bentuk aset,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, TB merupakan salah satu Beneficial Owner dari Wajib Pajak PT UP. Dia telah dijatuhi hukuman berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 5802 K/Pid.Sus/2024 tanggal 19 September 2024.

    Dalam hal ini, Hakim Agung MA telah menjatuhkan hukuman penjara selama tiga tahun serta denda sebesar Rp634,7 miliar. Putusan ini sekaligus menganulir vonis bebas TB pada pengadilan tingkat pertama di PN Jakarta Pusat pada (3/8/2023).

  • Harta Harvey Moeis dan Sandra Dewi Segera Dilelang, Ada Kondominium, Perhiasan dan Tas

    Harta Harvey Moeis dan Sandra Dewi Segera Dilelang, Ada Kondominium, Perhiasan dan Tas

    Usai persidangan, Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Andi Saputra menyampaikan sejumlah aset yang awalnya dimohonkan keberatan oleh Sandra Dewi, sebelum akhirnya gugatan tersebut dicabut.

    “Sejumlah perhiasan, dua unit kondominium di Perumahan Gading Serpong; rumah di Kebayoran Baru (rumah Pakubuwono); rumah di Permata Regency, Jakarta Barat; tabungan di bank yang diblokir; sejumlah tas,” kata Andi.

    Adapun daftar aset milik Sandra Dewi sendiri ikut tercatat dalam Putusan Harvey Moeis, terkait barang sitaan yang diambil penyidik. Mulai dari puluhan tas mewah, logam mulia dan rekening deposito senilai Rp 33 miliar, serta dua unit kondominium di Perumahan Gading Serpong, rumah Pakubuwono di Kebayoran Baru, dan rumah di Permata Regency, Jakarta Barat.

  • DJP dan Kejaksaan Ungkap Skema Pencucian Uang Terpidana Pajak Rp58,2 Miliar

    DJP dan Kejaksaan Ungkap Skema Pencucian Uang Terpidana Pajak Rp58,2 Miliar

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Kantor Wilayah DJP Jakarta Pusat bersama Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mengungkap tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan oleh terpidana TB, pelaku penggelapan pajak yang telah divonis bersalah. Kasus ini kini resmi dibawa ke pengadilan.

    Terpidana TB diketahui menjalankan berbagai skema pencucian uang atas hasil tindak pidana di bidang perpajakan, antara lain dengan menempatkan uang tunai ke sistem perbankan, mengonversi ke mata uang asing, mentransfer dana ke luar negeri, serta membelanjakannya dalam bentuk aset.

    Sebagai bagian dari proses hukum, aset senilai sekitar Rp58,2 miliar yang diduga berasal dari tindak pidana pajak telah dilakukan pemblokiran dan penyitaan, meliputi uang dalam rekening bank, obligasi, kendaraan, apartemen, dan bidang tanah.

    TB sebelumnya terbukti sebagai salah satu beneficial owner dari Wajib Pajak PT UP. Berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung (MA) Nomor 5802 K/Pid.Sus/2024 tertanggal 19 September 2024. TB dijatuhi hukuman penjara tiga tahun dan denda sebesar Rp634,7 miliar.

    Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) setelah MA membatalkan vonis bebas pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tertanggal 3 Agustus 2023. Pengungkapan kasus TPPU menjadi tindak lanjut dari vonis tersebut, menyusul penelusuran aset hasil kejahatan pajak yang dilakukan lintas yurisdiksi.

    DJP menjelaskan bahwa keberhasilan pengungkapan kasus ini merupakan hasil sinergi lintas lembaga penegak hukum, dengan melibatkan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Kepolisian (Polda Metro Jaya dan Bareskrim Polri), serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

    Upaya itu turut didukung Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Kementerian Hukum dan HAM RI. Selain itu, DJP juga berkoordinasi dengan otoritas perpajakan dari Singapura, Malaysia, British Virgin Islands, dan sejumlah negara lainnya, mengingat adanya transaksi keuangan lintas negara dalam perkara ini.

    Untuk menindaklanjuti hasil penyidikan, DJP menempuh mekanisme Mutual Legal Assistance (MLA) atau Timbal Balik dalam Masalah Pidana dengan pemerintah Singapura. Langkah ini ditempuh untuk meminta penyitaan aset dan dana yang diduga disembunyikan oleh terpidana TB di luar negeri.

    Mekanisme MLA tersebut menjadi bagian dari upaya penegakan hukum lintas yurisdiksi sekaligus memperkuat kerja sama internasional dalam pemulihan aset negara yang berasal dari tindak pidana perpajakan.

    DJP menegaskan, kolaborasi penegakan hukum ini merupakan bentuk komitmen menjaga penerimaan negara dan menegakkan keadilan bagi wajib pajak yang patuh. 

    “Tidak ada ruang bagi pelaku tindak pidana pajak untuk menikmati hasil kejahatannya, dan seluruh langkah penegakan hukum ini diambil demi memastikan sistem perpajakan yang adil, transparan, dan berintegritas,” ujar Kepala Bidang P2Humas Kanwil DJP Jakarta Pusat Muktia Agus Budi Santosa dalam keterangannya, Jumat (31/10/2025).

  • Terbongkar! Modus Cuci Uang Rp 58 M dari Kasus Pajak Lintas Negara

    Terbongkar! Modus Cuci Uang Rp 58 M dari Kasus Pajak Lintas Negara

    Jakarta

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Kanwil DJP Jakarta Pusat bersama Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta berhasil mengungkap tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan oleh terpidana TB senilai Rp 58,2 miliar. TB sebelumnya telah divonis bersalah dalam perkara penggelapan pajak.

    Terpidana TB diketahui melakukan berbagai skema pencucian uang atas hasil tindak pidana di bidang perpajakan, antara lain dengan menempatkan uang tunai ke sistem perbankan, mengonversi ke mata uang asing, mentransfer dana ke luar negeri, serta membelanjakannya dalam bentuk aset.

    Sebagai bagian dari proses penegakan hukum, sejumlah aset senilai sekitar Rp 58,2 miliar yang diduga berasal dari tindak pidana pajak telah dilakukan pemblokiran dan penyitaan, mencakup uang dalam rekening bank, obligasi, kendaraan, apartemen, dan bidang tanah.

    “Kasus baru ini kini telah resmi dibawa ke pengadilan,” tulis DJP lewat keterangan tertulis, Sabtu (1/11/2025).

    Terkait aset dan dana yang diduga disembunyikan oleh Terpidana TB di luar negeri, DJP saat ini sedang menempuh mekanisme Mutual Legal Assistance (MLA) atau Timbal Balik dalam Masalah Pidana antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura untuk meminta penyitaan aset terkait.

    Terpidana TB sebelumnya terbukti sebagai salah satu Beneficial Owner dari Wajib Pajak PT UP. Ia telah dijatuhi hukuman berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 5802 K/Pid.Sus/2024 tanggal 19 September 2024, yang telah berkekuatan hukum tetap.

    Mahkamah Agung juga telah menjatuhkan hukuman penjara selama tiga tahun serta denda sebesar Rp 634,7 miliar, setelah membatalkan vonis bebas pada pengadilan tingkat pertama di PN Jakarta Pusat tanggal 3 Agustus 2023.

    Keberhasilan pengungkapan kasus TPPU ini merupakan hasil sinergi lintas lembaga penegak hukum antara DJP, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Kepolisian (Polda Metro Jaya dan Bareskrim Polri), serta PPATK, dengan dukungan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Kementerian Hukum dan HAM RI.

    Selain itu, DJP juga berkoordinasi dengan otoritas perpajakan dari Singapura, Malaysia, British Virgin Islands, dan beberapa negara lainnya, mengingat adanya transaksi keuangan lintas negara dalam perkara ini.

    Sebagai informasi, ada pada tahun 2023 silam DJP Jakarta Pusat telah menyerahkan tersangka tindak pidana perpajakan berinisial TB kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (29/3). Dirinya dikabarkan menyebab kerugian negara hingga Rp 317 miliar.

    Adapun pelanggaran pidana yang dimaksud terkait Wajib Pajak PT Uniflora Prima (PT UP) yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan untuk tahun 2014. Sedangkan tersangka TB sendiri merupakan beneficial owner atau penerima manfaat dari PT UP.

    Sementara itu, dijelaskan bahwa kasus ini bermula pada 2014 saat PT UP menjual asetnya sebesar US$ 120.000.000 yang hasil penjualannya dilarikan ke luar negeri. Akibat dari aksi tersebut mengakibatkan kerugian negara setidaknya Rp 317 miliar.

    (shc/fdl)

  • Kejagung Ungkap Hukuman Pidana 20 Tahun Harvey Moeis Telah Dieksekusi

    Kejagung Ungkap Hukuman Pidana 20 Tahun Harvey Moeis Telah Dieksekusi

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan pihaknya telah mengeksekusi pidana badan terhadap terpidana kasus timah, Harvey Moeis.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Anang Supriatna mengatakan eksekusi merupakan tindak lanjut dari diterimanya Putusan Mahkamah Agung RI.

    “Kejaksaan RI melalui Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan telah melaksanakan eksekusi badan terhadap Terpidana Harvey Moeis yang terbukti bersalah dalam perkara tindak pidana korupsi komoditas timah,” ujar Anang dalam keterangan tertulis, Kamis (30/10/2025).

    Dia menjelaskan, proses eksekusi ini dilakukan setelah jaksa eksekutor pada Kejari Jaksel menerima putusan MA No. 5009 K/ Pid.Sus / 2025 Jo No. 1/PIDSUS-TPK/2025 PT DKI jo. Nomor: 70/PIDSUS-TPK/PN.JKT.PST tanggal 25 Juni 2025 pada tanggal 14 Juli 2025. 

    Selanjutnya, Kajari Jaksel menerbitkan Sprin Pelaksanaan Putusan Pengadilan (P-48) Nomor : Prin -2779 /M.1.14/Fu.1/07/2025 untuk Harvey Moeis tertanggal 18 Juli 2025.

    “Pelaksanaan ini dituangkan dalam Berita Acara Pelaksanaan Putusan Pengadilan tertanggal 21 Juli 2025,” imbuh Anang.

    Anang mengemukakan bahwa saat ini Harvey telah mendekam di balik jeruji lembaga pemasyarakatan (Lapas) Cibinong. “Lapas Cibinong,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, Harvey terbukti bersalah dalam kasus megakorupsi timah dengan kerugian negara mencapai Rp300 triliun. Dia kemudian divonis 6,5 tahun dalam perkara itu.

    Kemudian, pada persidangan kasasi, hakim agung pada MA telah memperberat hukuman Harvey menjadi 20 tahun. Selain itu, dia juga dihukum membayar uang pengganti Rp420 miliar.

    Istri Harvey Cabut Gugatan

    Sandra Dewi resmi mencabut gugatan keberatan terkait perampasan asetnya di kasus korupsi tata niaga timah. Alasan Sandra mencabut gugatan keberatan terkait perampasan aset itu lantaran lebih memilih patuh kepada putusan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap.

    Selain Sandra Dewi, pemohon lainnya yakni Kartika Dewi dan Raymond Gunawan juga mengambil langkah yang sama untuk mencabut gugatan keberatan perampasan aset itu.

    Dalam hal ini, majelis hakim pun menyatakan untuk menerima permohonan dari Sandra Dewi Cs yang meminta untuk mencabut keberatan terkait perampasan aset di kasus timah.

    “Setelah menimbang para Pemohon memberikan kuasanya memberikan surat pencabutan, tertanggal 28 Oktober 2025, yang pada pokoknya bahwa Pemohon tunduk dan patuh kepada putusan dan telah berkekuatan hukum tetap,” Ketua Majelis Hakim Rios Rahmanto di PN Jakarta Pusat, Selasa (28/10/2025).

    Sekadar informasi, barang rampasan yang digugat oleh Sandra Dewi itu yakni sejumlah perhiasan, tas mewah, dua rumah yang berlokasi di Jakarta Barat dan Jakarta Selatan serta dua unit kondominium di Perumahan Gading Serpong.

  • Empat Petinggi Swasta Terdakwa Korupsi Gula Divonis 4 Tahun Penjara

    Empat Petinggi Swasta Terdakwa Korupsi Gula Divonis 4 Tahun Penjara

    JAKARTA – Sebanyak empat petinggi perusahaan gula swasta divonis pidana penjara masing-masing selama 4 tahun setelah terbukti melakukan korupsi dalam kasus importasi gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada tahun 2015—2016.

    Keempat terdakwa yakni Presiden Direktur PT Andalan Furnindo Wisnu Hendraningrat, Direktur Utama (Dirut) PT Medan Sugar Industry Indra Suryaningrat, Dirut PT Sentra Usahatama Jaya Hansen Setiawan, serta Dirut PT Kebun Tebu Mas Ali Sandjaja Boedidarmo.

    “Menyatakan para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama,” ujar Hakim Ketua Dennie Arsan Fatrika dalam sidang pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 29 Oktober dilansir ANTARA.

    Hakim Ketua menyatakan keempat terdakwa terbukti menerima uang hasil korupsi dalam kasus tersebut, sehingga merugikan keuangan negara secara total dalam kasus korupsi importasi gula sebesar Rp578,1 miliar.

    Selain pidana penjara, keempat terdakwa juga dijatuhkan pidana denda masing-masing sebesar Rp200 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 4 bulan.

    Keempatnya turut dihukum pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti senilai besaran uang korupsi yang dinikmati, dengan perincian Wisnu sebesar Rp60,99 miliar, Indra Rp77,21 miliar, Hansen Rp41,38 miliar, serta Ali Rp47,87 miliar.

    “Uang pengganti telah disetorkan para terdakwa kepada Kejagung dan telah disita secara sah,” ungkap Hakim Ketua.

    Dengan demikian, keempat terdakwa terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Dalam menjatuhkan vonis, Majelis Hakim mempertimbangkan perbuatan para terdakwa yang telah menikmati hasil dari tindak pidana korupsi yang telah dilakukan, sebagai alasan pemberat.

    Sementara, pertimbangan meringankan tuntutan, yaitu para terdakwa belum pernah dihukum serta telah menitipkan uang kepada Kejagung, yang telah ditetapkan sebagai uang pengganti.

    Vonis majelis hakim tersebut sama beratnya dengan tuntutan jaksa, yakni masing-masing dituntut pidana penjara selama 4 tahun serta besaran uang pengganti yang sama. Namun untuk besaran dendanya lebih ringan dari tuntutan sebelumnya, yakni Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.

    Dalam kasus korupsi gula, keempat terdakwa diduga merugikan keuangan negara Rp578,1 miliar dengan cara melakukan tindak pidana korupsi, yang memperkaya delapan terdakwa, di antaranya melalui korporasi masing-masing.

    Disebutkan bahwa perbuatan para terdakwa dilakukan bersama-sama dengan terdakwa Tom Lembong, terdakwa Charles Sitorus, dan Menteri Perdagangan periode 2016—2019 Enggartiasto Lukita.

  • Empat Petinggi Swasta Terdakwa Korupsi Gula Divonis 4 Tahun Penjara

    Empat Petinggi Swasta Terdakwa Korupsi Gula Divonis 4 Tahun Penjara

    JAKARTA – Sebanyak empat petinggi perusahaan gula swasta divonis pidana penjara masing-masing selama 4 tahun setelah terbukti melakukan korupsi dalam kasus importasi gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada tahun 2015—2016.

    Keempat terdakwa yakni Presiden Direktur PT Andalan Furnindo Wisnu Hendraningrat, Direktur Utama (Dirut) PT Medan Sugar Industry Indra Suryaningrat, Dirut PT Sentra Usahatama Jaya Hansen Setiawan, serta Dirut PT Kebun Tebu Mas Ali Sandjaja Boedidarmo.

    “Menyatakan para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama,” ujar Hakim Ketua Dennie Arsan Fatrika dalam sidang pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 29 Oktober dilansir ANTARA.

    Hakim Ketua menyatakan keempat terdakwa terbukti menerima uang hasil korupsi dalam kasus tersebut, sehingga merugikan keuangan negara secara total dalam kasus korupsi importasi gula sebesar Rp578,1 miliar.

    Selain pidana penjara, keempat terdakwa juga dijatuhkan pidana denda masing-masing sebesar Rp200 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 4 bulan.

    Keempatnya turut dihukum pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti senilai besaran uang korupsi yang dinikmati, dengan perincian Wisnu sebesar Rp60,99 miliar, Indra Rp77,21 miliar, Hansen Rp41,38 miliar, serta Ali Rp47,87 miliar.

    “Uang pengganti telah disetorkan para terdakwa kepada Kejagung dan telah disita secara sah,” ungkap Hakim Ketua.

    Dengan demikian, keempat terdakwa terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Dalam menjatuhkan vonis, Majelis Hakim mempertimbangkan perbuatan para terdakwa yang telah menikmati hasil dari tindak pidana korupsi yang telah dilakukan, sebagai alasan pemberat.

    Sementara, pertimbangan meringankan tuntutan, yaitu para terdakwa belum pernah dihukum serta telah menitipkan uang kepada Kejagung, yang telah ditetapkan sebagai uang pengganti.

    Vonis majelis hakim tersebut sama beratnya dengan tuntutan jaksa, yakni masing-masing dituntut pidana penjara selama 4 tahun serta besaran uang pengganti yang sama. Namun untuk besaran dendanya lebih ringan dari tuntutan sebelumnya, yakni Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.

    Dalam kasus korupsi gula, keempat terdakwa diduga merugikan keuangan negara Rp578,1 miliar dengan cara melakukan tindak pidana korupsi, yang memperkaya delapan terdakwa, di antaranya melalui korporasi masing-masing.

    Disebutkan bahwa perbuatan para terdakwa dilakukan bersama-sama dengan terdakwa Tom Lembong, terdakwa Charles Sitorus, dan Menteri Perdagangan periode 2016—2019 Enggartiasto Lukita.

  • Marcella Santoso dan Suaminya Kompak Minta Dibebaskan dari Kasus Suap Hakim dan TPPU

    Marcella Santoso dan Suaminya Kompak Minta Dibebaskan dari Kasus Suap Hakim dan TPPU

    Marcella Santoso dan Suaminya Kompak Minta Dibebaskan dari Kasus Suap Hakim dan TPPU
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pasangan pengacara sekaligus terdakwa Ariyanto dan Marcella Santoso memohon dibebaskan dalam kasus dugaan suap dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait penyuapan hakim pemberi vonis lepas kepada korporasi crude palm oil (CPO).
    Permohonan ini disampaikan oleh pengacara Marcella dan Ariyanto saat membacakan nota pembelaan atau eksepsi terhadap dakwaan dari jaksa penuntut umum (JPU).
    “Mohon kiranya majelis hakim berkenan menjatuhkan putusan sela dengan amar, memerintahkan JPU untuk melepaskan terdakwa Ariyanto (dan Marcella) dari tahanan,” ujar pengacara kedua terdakwa, Sugiono dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (29/10/2025).
    Kedua terdakwa ini memohon agar majelis hakim dapat menghentikan perkara Marcella Santoso dan Ariyanto, sekaligus memerintahkan Kejaksaan Agung untuk mengembalikan aset dan harta mereka yang kini disita.
    Dalam eksepsinya, terdakwa menyoroti beberapa aspek yang membuat mereka yakin kalau dakwaan JPU tidak layak untuk diperiksa dalam proses pembuktian. Salah satu yang ditegaskan adalah surat dakwaan tidak lengkap, kabur, dan tidak jelas.
    Pengacara terdakwa mencontohkan, ada satu uraian dakwaan yang tidak sinkron dengan berita acara pemeriksaan (BAP) saat para terdakwa ini masih diperiksa di tahap penyidikan sebagai tersangka.
    Marcella mengklaim, dirinya tidak pernah ditanya soal uang Rp 28 miliar yang dalam dakwaan disebut JPU sebagai salah satu unsur TPPU. Sementara, dakwaan menyebutkan uang Rp 28 miliar ini merupakan bagian dari TPPU dengan total Rp 52,53 miliar.
    “Dari berita acara pemeriksaan (BAP) Marcella Santoso, yang pada waktu itu berstatus tersangka, penyidikan Kejaksaan Agung tidak pernah menanyakan materi pemeriksaan terkait ada tidak adanya uang Rp 28 miliar apakah berada dalam penguasaan Marcella Santoso dan Ariyanto atau tidak,” lanjut kubu terdakwa.
    Perbedaan keterangan antara proses penyidikan dan uraian dakwaan dinilai menjadi satu ketidakjelasan.
    “Uraian surat dakwaan
    a quo
    tidak sinkron dengan hasil pemeriksaan dengan tahap penyidikan,” lanjut pengacara terdakwa.
    Pihak Marcella pun mengutip buku “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan Jilid II” karya M. Yahya Harahap.
    Dalam buku itu disebutkan, rumusan dakwaan yang menyimpang dari hasil pemeriksaan penyidikan menyebabkan dakwaan itu palsu dan tidak benar sehingga tidak bisa digunakan JPU untuk menuntut terdakwa.
    Lebih lanjut, tidak sinkronnya hasil penyidikan dengan uraian dakwaan membuat rumusan dakwaan menjadi tidak jelas dan kabur. Sehingga, fakta dan peristiwa yang ditemukan dalam penyidikan tidak bisa dijelaskan secara tegas dalam dakwaan.
    “Berdasarkan uraian di atas, surat dakwaan
    a quo
    tidak konsisten dan tidak sinkron dengan hasil pemeriksaan penyidikan sehingga majelis hakim yang terhormat berkenan menyatakan surat dakwaan tidak dapat diterima,” lanjut pengacara terdakwa.
    Jaksa mendakwa, Marcella Santoso bersama-sama dengan Ariyanto, dan Social Security License Wilmar Group Muhammad Syafei telah melakukan TPPU senilai Rp 52,53 miliar.
    Uang TPPU ini diduga berasal dua sumber, yaitu dari proses suap kepada majelis hakim yang memberikan vonis lepas kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO). Serta, dari fee lawyer penanganan perkara CPO.
    “Terdakwa Marcella Santoso telah melakukan atau turut serta melakukan dengan Ariyanto, menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang, surat berharga, atau perbuatan lain atas harta kekayaan, yaitu yang diketahuinya atau patut diduga hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) berupa uang dalam bentuk USD (senilai) Rp 28 miliar yang dikuasai oleh Marcella Santoso, Ariyanto, M Syafei,” ujar Jaksa Andi Setyawan saat membacakan dakwaan dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (22/10/2025).
    Selain menyamarkan uang yang terkait dari proses suap, Marcella dkk diduga juga menyamarkan uang senilai Rp 24,5 miliar yang merupakan legal fee atau pendapatan sebagai penasehat hukum terdakwa korporasi.
    “Dan, legal fee sebesar Rp 24.537.610.150,9 yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi dalam perkara memberi, menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi supaya perkara korupsi korporasi minyak goreng tersebut diputus dengan putusan onslag dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan,” lanjut jaksa.
    Para terdakwa diduga menyamarkan uang hasil TPPU ini dengan menyamarkan kepemilikan aset menggunakan nama perusahaan.
    “(Para terdakwa) menggunakan nama perusahaan dalam kepemilikan aset dan mencampurkan uang hasil kejahatan dengan uang yang diperoleh secara sah,” lanjut jaksa.
    Atas perbuatannya, para terdakwa diancam dengan Pasal 3 dan/atau Pasal 4 dan/atau Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
    Selain didakwa melakukan TPPU, ketiga terdakwa bersama dengan Junaedi Saibih juga diduga telah didakwa telah memberikan uang suap senilai Rp 40 miliar kepada majelis hakim yang memberikan vonis lepas atau ontslag dalam kasus pemberian fasilitas ekspor kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO).
    Uang suap ini kemudian dibagikan ke lima orang dari kluster pengadilan, sudah lebih dahulu dituntut dalam berkas perkara lain.
    Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
    Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
    Atas suap yang diterima, Djuyamto, Ali, dan Agam memutus vonis lepas untuk tiga korporasi, yaitu Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
    Sementara, Arif Nuryanta dan Wahyu Gunawan terlibat dalam proses nego dengan Ariyanto yang merupakan perwakilan dari perusahaan.
    Arif dan Wahyu juga berkomunikasi dan mempengaruhi majelis hakim untuk memutus perkara sesuai permintaan Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan Muhammad Syafei.
    Pemberian uang suap Rp 40 miliar ini dilakukan beberapa kali. Ariyanto disebutkan berulang kali menemui Wahyu Gunawan dan Muhammad Arif Nuryanta untuk membahas soal pengurusan kasus.
    Sementara, Marcella, Junaedi, dan Syafei mengatur dari sisi korporasi. Mulai dari menyusun rencana untuk mencapai vonis lepas hingga menyiapkan uang suap untuk para hakim.
    Dalam kasus suap, Marcella Santoso dkk didakwa telah melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 5 Ayat (1) huruf a, dan/atau Pasal 13 jo Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Eks Ketua PN Jaksel Dituntut 15 Tahun Pidana di Kasus Suap Vonis CPO

    Eks Ketua PN Jaksel Dituntut 15 Tahun Pidana di Kasus Suap Vonis CPO

    Bisnis.com, JAKARTA — Jaksa penuntut umum (JPU) telah menuntut eks Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta 15 tahun penjara dalam kasus dugaan suap vonis lepas perkara crude palm oil (CPO) korporasi.

    Jaksa menilai bahwa Arif telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima suap secara bersama-sama dalam perkara itu.

    “Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Muhammad Arif Nuryanta oleh karena itu dengan pidana penjara selama 15 tahun,” ujar Arif di PN Jakarta Pusat, Rabu (29/10/2025).

    Arif juga diminta untuk membayar denda Rp500 juta dalam perkara ini. Selain pidana badan, Arif juga dituntut untuk membayar uang pengganti Rp15,7 miliar.

    Namun, apabila Arif tidak dapat membayar uang pengganti maka diganti dengan pidana penjara selama 6 tahun pidana.

    “Menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa yang pengganti sebesar Rp 15,7 miliar,” imbuhnya.

    Sekadar informasi, kasus ini bermula saat majelis hakim yang dipimpin oleh Djuyamto memberikan vonis lepas terhadap tiga grup korporasi yang terjerat dalam kasus korupsi ekspor CPO. Tiga grup atau korporasi tersebut, yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas. 

    Adapun, uang suap tersebut diberikan oleh Advokat Ariyanto, Junaedi Saibih, dan Marcella Santoso serta M Syafei selaku perwakilan dari Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

    Pada intinya, vonis lepas atau onslag itu telah menolak tuntutan jaksa penuntut umum yang meminta agar ketiga grup korporasi dibebankan denda dan uang pengganti sekitar Rp17,7 triliun.