Kementrian Lembaga: PN Jakarta Pusat

  • Apa Kabar Kasus Sengketa Hotel Sultan? Ini Kata Nusron

    Apa Kabar Kasus Sengketa Hotel Sultan? Ini Kata Nusron

    Jakarta

    Kasus sengketa Hotel Sultan di kawasan Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta Pusat, masih terus berlanjut. Bahkan, belum lama ini pemerintah kembali melayangkan gugatan, dengan menuntut pembayaran royalti senilai US$ 45,3 juta atau setara Rp 742 miliar (kurs Rp 16.500).

    Dimintai keterangan terkait hal ini, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid kembali menegaskan bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) yang dimiliki oleh perusahaan milik Pontjo Sutowo, PT Indobuildco telah habis sejak 2023.

    Berdasarkan aturan yang ada, sudah sepatutnya pengelolaan kawasan tersebut kembali ke tangan pemegang Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yakni Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg). Dengan demikian, menurutnya aktivitas yang tetap dijalankan perusahaan dalam 2 tahun terakhir ilegal.

    “Sekarang sertifikat HGB dia itu sudah habis, tidak diperbarui oleh pemerintah ya kan, sejak tahun berapa, tahun 2023 apa ya. Nah, berarti saat tahun 2023 kalau dia masih menempati di situ, ya ilegal menempati tanah yang tidak ada sertifikatnya,” kata Nusron di Hotel Sheraton Grand, Jakarta Selatan, Kamis (6/11/2025).

    Tuntutan pemerintah agar Indobuildco membayar royalti tersebut disidangkan dengan Nomor 287/Pdt.G/2025/PN.Jkt.Pst antara Mensesneg dan PPKGBK sebagai penggugat melawan PT Indobuildco sebagai tergugat. Sidang ini telah memasuki agenda pemberian keterangan ahli di PN Jakpus pada awal Oktober kemarin.

    “Soal menerima gugatan itu urusan lain ya, tapi yang jelas begini lho, orang dia menempati di situ sekarang itu atas haknya apa? Atas haknya kan kalau orang itu SHM, SHGB nah sekarang SHGB dia itu sudah habis,” ujar Nusron.

    Sebagai informasi, tuntutan pembayaran royalti membayar royalti sebesar US$ 45 juta atau setara Rp 742,5 miliar tersebut atas penggunaan lahan negara di Kawasan Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta Pusat.

    Kuasa hukum Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) casu quo (cq) Pusat Pengelolaan Komplek (PPK) GBK, Kharis Sucipto mengatakan angka tersebut meliputi bunga dan denda yang dituntut untuk pemakaian lahan negara pada periode 2007-2023 atau kurang lebih 16 tahun.

    “Semuanya sudah dihitung dengan prinsip kehati-hatian dengan meminta bantuan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) disertai dengan landasan hukum dan fakta-fakta yang sudah ada sebelumnya,” kata Kharis, pada awal Oktober, dikutip dari Antara.

    Ia menjelaskan, penagihan royalti sudah dilakukan berkali-kali hingga dilakukan somasi, namun tidak dipenuhi oleh PT Indobuildco. Untuk itu, Pemerintah mengambil langkah hukum keperdataan, yaitu dengan menggugat PT Indobuildco dalam menagih royalti.

    Meski demikian, Kharis menambahkan, PT Indobuildco sebelumnya telah membayar royalti untuk periode penggunaan tanah Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Nomor 1/Gelora tahun 1971-2002.

    Pada 2016, PT Indobuildco juga telah secara sukarela membayarkan royalti beserta bunga dan denda untuk periode penggunaan tanah HPL Nomor 1/Gelora tahun 2003-2006, atas landasan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 276 PK/Pdt/2011 tanggal 23 November 2011.

    Namun mengingat PT Indobuildco masih menggunakan tanah pada tahun 2007 sampai dengan berakhirnya Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 26/Gelora dan HGB Nomor 27/Gelora pada 3 Maret 2023 dan 3 April 2023, maka dia menyebutkan Mensesneg dan PPKGBK menagih PT Indobuildco untuk membayar sisa kewajiban royalti beserta bunga dan denda yang ada.

    “Dengan demikian Menteri Sekretaris Negara dan PPKGBK mengajukan gugatan perdata ini untuk menuntut sisa kewajiban pembayaran royalti PT Indobuildco,” tuturnya.

    (shc/ara)

  • Eks Dirut ASDP: Kerugian Negara Rp1,25 Triliun Tidak Benar, KPK Pakai Auditor Internal

    Eks Dirut ASDP: Kerugian Negara Rp1,25 Triliun Tidak Benar, KPK Pakai Auditor Internal

    Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) periode 2017-2024 Ira Puspadewi mengatakan tudingan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal adanya kerugian negara Rp1,25 triliun di kasus akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) tidak benar. 

    Berdasarkan dokumen pleidoi yang diterima Bisnis, Ira memaparkan pembelaan dirinya dalam kasus dugaan korupsi kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) tahun 2019-2022 oleh ASDP. Ira, yang saat itu berstatus Dirut, disangkakan merugikan negara Rp893 miliar atau 70% dari nilai akuisisi.

    “Kerugian negara Rp1,25 triliun itu sama sekali tidak benar. Nilai kerugian keuangan itu dibuat sendiri oleh auditor internal berdasarkan perhitungan dosen konstruksi perkapalan,” tulis Ira dalam pledoi yang dibacakan di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada hari ini, Kamis (6/11/2025). 

    Ira mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak pernah menunjukkan bukti adanya tindakan korupsi yang dilakukan pihaknya.

    Lebih lanjut, Ira mengatakan hal dianggap sebagai bukti baru ada dalam Laporan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara, LHA-AF-08/DNA/05/2025. Namun, laporan itu bukan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

    Justru, bukti-bukti tersebut hanya datang dari KPK sendiri yang dikeluarkan pada 28 Mei 2025 atau tiga bulan setelah dirinya ditahan. 

    Dia mengklaim dosen perkapalan, yang dibawa KPK saat menghitung valuasi perusahaan saat proses akuisisi, keliru dalam menaksir kerugian negara. Menurut Ira, ada tiga poin yang diabaikan auditor tersebut saat menghitung nilai perusahaan.

    Pertama, kapal-kapal JN dianggap sebagai benda mati tidak produktif seperti kursi atau meja, padahal kapal-kapal ini Laik Laut, dan menghasilkan pendapatan. 

    Kedua, setelah diakuisisi, bisnis ASDP dan JN dapat diintegrasikan hingga akan mengefisienkan biaya operasional seperti untuk pembelian suku cadang yang tentu lebih murah karena dibeli dalam jumlah besar secara gabungan.

    Ketiga, karena ada pembatasan jumlah kapal pada lintasan komersial, maka izin tidak dikeluarkan lagi. Kapal JN seluruhnya adalah kapal dengan izin komersil. Pihak Ira menilai korupsi dan kerugian negara yang didakwakan KPK itu hanya framing hasil rekayasa sesuai penggambaran berikut ini:

    “Suatu keluarga peternak baru saja membeli peternakan tetangganya Rp1,272 miliar. Tiba-tiba sang anak yang mengelola usaha itu ditahan petugas. Ia dituduh korupsi merugikan keluarganya sendiri untuk memperkaya tetangganya itu Rp1,253 miliar atau 98,5% dari harga beli itu. Semua bingung. Apa salah dia? Di mana kerugiannya?” Peternakan yang dibeli itu tetap utuh 100%. Ayam-ayamnya terus bertelur, dan terus menghasilkan pendapatan Rp600 miliar setiap tahun,”

    Padahal, kata dia, kapal yang telah diakuisisi ASPD Laik Laut, dan menghasilkan pendapatan. Kemudian, hasil dari akuisisi bisnis JN oleh ASDP telah bisa memberikan efisiensi biaya operasional. Adapun, nilai kapal JN yang seluruhnya memiliki izin komersil bisa mendobrak pembatasan jumlah kapal pada lintasan komersial.

    Ira juga mengungkap pembelaan bahwa akuisisi PT JN justru telah menguntungkan ASDP. Pasalnya, kata Ira, dari aset utuh perusahaan bernilai Rp2,09 triliun, ASDP hanya membayar dengan dana Rp1,27 triliun.

    “Namun, perusahaan ini bisa dibeli seharga Rp1,272 triliun atau hanya 60% dari nilai kapal. Secara nominal pun ASDP dan negara untung dari akuisisi ini,” imbuhnya.

    Selain itu, Ira mengemukakan manfaat lain dari akuisisi ini telah membuat keberlangsungan layanan perintis di daerah terdepan, terluar dan tertinggal atau 3T.

    Dia menuturkan pada saat ini 70% operasional ASDP telah dimandatkan pemerintah untuk layanan perintis. Namun, subsidi untuk kebutuhan operasional disebut kerap kurang. Alhasil, ASDP selalu mengeluarkan subsidi untuk kekurangan itu dari usaha komersial.

    Oleh karena itu, Ira menilai penambahan armada komersial bisa menjadi solusi untuk mengatasi persoalan itu. Hanya saja, penambahan armada komersial ini diklaim sulit.

    Sebagai gambaran, jelas Ira, ASDP hanya bisa mendatangkan 10 unit kapal lama, namun hal itu sempat diperkarakan. Kemudian, pengadaan kapal makin sulit sejak berlaku pembatasan/moratorium izin operasional pada tahun 2017. 

    Alhasil, Ira berkeyakinan bahwa proses akuisisi merupakan salah satu langkah tepat untuk mengatasi persoalan di ASDP.

    “Ini adalah kesempatan langka yang sulit terjadi lagi di masa depan, hingga sebut now or never. Lonjakan 70% unit kapal komersil itu tidak ternilai harganya,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, Ira bersama eks Direktur Komersial dan Pelayanan ASDP Yusuf Hadi, serta mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono telah didakwa merugikan negara Rp1,25 triliun dalam proses akuisisi PT JN itu.

    Adapun, ketiganya telah dituntut dalam perkara ini. Ira telah dituntut 8,5 tahun penjara. Sementara itu, Yusuf Hadi dan Harry Adhi Caksono dituntut 8 tahun penjara.

  • Kejagung Persilakan Paramount Land Gugat Aset Rp30,2 Miliar pada Kasus Timah

    Kejagung Persilakan Paramount Land Gugat Aset Rp30,2 Miliar pada Kasus Timah

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) mempersilakan PT Paramount Land terkait gugatan keberatan penyitaan aset bangunan Rp30,2 miliar di kasus korupsi timah di IUP PT Timah Tbk. (TINS).

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna menyatakan pihaknya tidak terlalu mempersoalkan gugatan itu.

    Pasalnya, keberatan dari pihak ketiga dalam kasus rasuah telah diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tentang pihak ketiga yang merasa dirugikan dan beritikad baik.

    “Silakan saja. Ada ketentuannya di Pasal 19 kepada pihak ketiga ya, yang merasa dirugikan dan beritikad baik, sepanjang yang bersangkutan bisa membuktikan, itu ada haknya diatur,” ujar Anang saat dikonfirmasi, dikutip Kamis (6/11/2025).

    Dia menambahkan, jaksa sendiri siap menyampaikan argumen serta barang bukti untuk merespons gugatan dari Sandra Dewi tersebut.

    “Nanti juga akan dipertimbangkan, baik dari yang mengajukan keberatan, dan tentunya juga penyidik yang melakukan penyitaan akan diminta pertimbangan oleh Majelis hakim,” pungkasnya.

    Sebelumnya, gugatan PT Paramount Land terkait keberatan penyitaan aset terkait ruko senilai Rp 30,2 miliar di kasus timah telah dibenarkan oleh Jubir PN Jakarta Pusat Andi Saputra.

    Andi mengatakan aset yang digugat itu berkaitan dengan terpidana Tamron selaku Beneficiary Owner CV Venus Inti Perkasa dan PT Menara Cipta Mulia.

    “Bahwa ada permohonan keberatan penyitaan aset terkait kasus Timah. Dengan pemohon keberatan PT Paramount yang keberatan aset atas penyitaan aset pada putusan atas nama Terdakwa Tamron,” ujar Andi kepada wartawan, Rabu (5/11/2025).

    Sidang perdana keberatan tersebut digelar pada Rabu (6/11/2025). Sidang selanjutnya bakal dilanjutkan pada Selasa (11/11/2025) dengan agenda jawaban dari Kejagung. Adapun, sidang ini dipimpin oleh ketua majelis hakim Adek Nurhadi.

    Sekadar informasi, Tamron alias Aon telah divonis delapan tahun pada pengadilan tingkat pertama. Hukuman itu diperberat menjadi 18 tahun di pengadilan tinggi (PT) Jakarta.

    Selain itu, Aon juga dihukum denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan dan tambahan hukuman berupa uang pengganti Rp 3,5 triliun.

  • Tampang Ammar Zoni Sidang Online dari Nusakambangan, Minta Sidang Offline

    Tampang Ammar Zoni Sidang Online dari Nusakambangan, Minta Sidang Offline

    Jakarta

    Mantan artis Ammar Zoni meminta persidangan kasus dugaan penjualan narkotika di Rutan Salemba, Jakarta Pusat, digelar secara offline. Ammar meminta dirinya dihadirkan secara langsung.

    Sidang lanjutan sidang Ammar Zoni dan lima terdakwa lainnya hari ini sejatinya dengan agenda eksepsi. Ammar Zoni dan para terdakwa lainnya mengikuti sidang secara online dari Lapas Nusakambangan.

    “Saya mohon sekali lagi untuk bisa di-offlinekan eksepsinya majelis,” pinta Ammar Zoni secara virtual, Kamis (6/11/2025).

    Ammar mengatakan tak bisa berkomunikasi secara bebas dengan kuasa hukumnnya. Dia mengaku tak bisa membuat eksepsi pribadi dengan maksimal karena keterbatasan alat tulis dan komunikasi dengan kuasa hukumnnya.

    “Jadi selama ini belum bisa Saudara berhubungan video call atau telepon?” tanya hakim.

    Ammar meminta dipindahkan ke Lapas Cipinang atau Lapas Salemba. Kuasa hukum Ammar juga meminta majelis hakim mengeluarkan penetapan sidang secara offline.

    Ketua majelis hakim mengatakan putusan penetapan sidang online atau offline akan dikeluarkan setelah putusan sela. Hakim meminta permohonan sidang offline itu juga disampaikan kuasa hukum Ammar ke lapas.

    Hakim meminta petugas lapas tak membatasi akses komunikasi Ammar dkk dan para kuasa hukumnya. Ammar menyampaikan ingin menyampaikan eksepsi pribadi.

    “Mohon Penuntut Umum disampaikan ke pihak lapas untuk tidak membatasi akses,” ujar hakim.

    Sebelumnya, mantan artis Ammar Zoni didakwa menjual narkotika jenis sabu di Rutan Salemba, Jakarta Pusat. Ammar Zoni menerima sabu itu dari seseorang bernama Andre, lalu dijual dan diedarkan di dalam rutan.

    Dakwaan dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Bungur Raya, Jakarta Pusat, Kamis (23/10/2025). Ammar Zoni didakwa bersama lima terdakwa lainnya, yakni terdakwa I Asep bin Sarikin, terdakwa II Ardian Prasetyo bin Arie Ardih, terdakwa III Andi Muallim alias Koh Andi, terdakwa IV Ade Candra Maulana bin Mursalih, dan terdakwa V Muhammad Rivaldi.

    “Melakukan tindak pidana percobaan atau pemufakatan jahat tanpa hak atau melawan hukum, menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, perbuatan tersebut dilakukan oleh para terdakwa,” ujar jaksa.

    Jual beli narkoba itu ternyata sudah terjadi sejak 31 Desember 2024. Saat itu, terdakwa Rivaldi mendapat narkoba langsung dari Ammar Zoni.

    “Bahwa berawal pada tanggal 31 Desember 2024 sekitar pukul 14.00 WIB, Terdakwa V mendapatkan narkotika jenis sabu dari Terdakwa VI dengan cara mengambil dan bertemu secara langsung dengan Terdakwa VI di tangga Blok I,” ujar jaksa.

    Ammar Zoni menyerahkan narkoba jenis sabu itu di tangga Blok I Rutan Salemba. Ammar Zoni mengaku mendapat sabu itu dari seseorang bernama Andre sebanyak 100 gram. Saat ini Andre berstatus DPO.

    “Yang pada saat itu Terdakwa VI mengaku mendapatkan narkotika jenis sabu dari Saudara Andre (DPO) sebanyak 100 (seratus) gram,” ujar jaksa.

    Sabu 100 gram itu dibagi-bagi ke tahanan lain yang menjadi terdakwa dalam kasus ini. Bagi-bagi narkoba itu satu orang 50 gram.

    “Kemudian narkotika jenis sabu tersebut dibagi kepada terdakwa V dan terdakwa VI masing-masing sebanyak 50 (lima puluh gram),” ujar jaksa.

    Setelah itu, terdakwa Rivaldi menghubungi terdakwa Andi melalui ponsel. Mereka berkomunikasi menggunakan aplikasi Zangi.

    “Setelah mendapatkan narkotika jenis sabu, Terdakwa V menghubungi Terdakwa III menggunakan aplikasi Zangi yang terdapat pada alat komunikasi berupa 1 (satu) unit handphone merek Oppo warna biru,” ujar jaksa.

    Transaksi jual beli narkoba itu berlanjut hingga 3 Januari 2025 sekitar pukul 11.OO WIB. Transaksinya sama dilakukan di tangga Rutan, akan tetapi kali ini para terdakwa menaruh barang haram tersebut di bungkus rokok.

    “Setelah itu, Terdakwa II menyerahkan narkotika jenis sabu tersebut kepada Terdakwa I dengan cara menjemput barang dari orang atas bandar melalui aplikasi Zangi dengan nomor 102867734 atas nama KILLUA ZOLDYCK, lalu Terdakwa I diperintahkan menuju tangga tipe 3 Blok T untuk mengambil barang yang ditempel atau diletakkan di tangga tipe 3 Blok T, yang berada di dalam bungkus rokok Gudang Garam filter yang di dalamnya berisikan narkotika jenis sabu,” ujar jaksa.

    Sabu itu pun dibawa mereka ke dalam kamar. Melihat gerak gerik aneh para tahanan itu, Karupam Rutan Salemba Hendra Gunawan langsung mendatangi kamar dan menggeledah.

    Di sana, Hendra masuk ke dalam kamar dan menemukan sabu di dalam bungkus rokok. Hendra juga menemukan ponsel.

    “Lalu sekitar pukul 14.00 WIB, pada saat Terdakwa I sedang berada di dalam kamar blok E No 1 lantai 3 Rutan Salemba Jakarta Pusat, datang Saksi Hendra Gunawan (Karupam) yang curiga dengan gerak-gerik terdakwa II, yang saat itu keluar dari kamar langsung pergi saat bertemu Saksi Hendra Gunawan (Karupam), kemudian Saksi Hendra Gunawan (Karupam) masuk ke dalam kamar Terdakwa I dan melakukan pemeriksaan serta penggeledahan di kamar Terdakwa I,” ujar jaksa.

    “Ditemukan Paket plastik klip sedang yang di dalamnya terdapat 12 (dua belas) paket plastik klip kecil yang diduga berisi narkotika jenis sabu dengan berat bruto kurang lebih 3,03 (tiga koma nol tiga) gram di dalam bungkus rokok gudang garam di bawah kasur, 1 (satu) unit handphone merek Oppo warna putih,” imbuhnya.

    (mib/idn)

  • 9
                    
                        Panitera PN Jakut Menangis Baca Pledoi, Singgung 4 Anak Masih Kecil dan Minta Vonis Ringan
                        Nasional

    9 Panitera PN Jakut Menangis Baca Pledoi, Singgung 4 Anak Masih Kecil dan Minta Vonis Ringan Nasional

    Panitera PN Jakut Menangis Baca Pledoi, Singgung 4 Anak Masih Kecil dan Minta Vonis Ringan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Panitera Muda Nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan menangis saat membacakan nota pembelaan atau pledoi pribadinya.
    Wahyu memohon agar majelis hakim dapat memberikan vonis ringan karena ia punya empat anak yang masih kecil.
    Diketahui, Wahyu dituntut 12 tahun penjara karena dinilai berperan aktif dalam
    kasus suap hakim
    pemberi vonis lepas atau ontslag kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO).
    “Kiranya yang mulia dapat menjatuhkan putusan yang seringan-ringannya kepada saya agar saya dapat memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, menata kembali kehidupan, dan membesarkan anak-anak saya dengan baik,” ujar Wahyu dengan suara bergetar dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (5/11/2025).
    Wahyu mengatakan, saat ini, ia merupakan ayah dari empat orang anak. Mereka berusia 12 tahun, 7 tahun, 2 tahun, dan 1 tahun.
    Anak Wahyu yang paling kecil masih belajar untuk mengenali wajah ayahnya. Pasalnya, ketika Wahyu ditahan Kejaksaan Agung pada April 2025 lalu, anak bungsu Wahyu ini baru berusia 4 bulan.
    Wahyu mengatakan, anak-anaknya masih kecil dan membutuhkan sosok ayah untuk mengawal proses tumbuh dan kembangnya.
    Ia mengaku, selama ini selalu berdoa agar anak-anaknya kelak bisa memahami kalau ayah mereka sedang berjuang untuk menebus dosanya.
    Sambil menangis, Wahyu memohon agar majelis hakim dapat memberikan vonis ringan agar ia bisa membesarkan anak-anaknya.
    “Kiranya yang mulia dapat menjatuhkan putusan yang seringan-ringannya kepada saya agar saya dapat memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, menata kembali kehidupan, dan membesarkan anak-anak saya dengan baik,” kata Wahyu sambil terisak.
    Dalam pledoinya, Wahyu menyinggung kalau dirinya hanya perantara, bukan pengambil keputusan untuk penanganan perkara korupsi CPO.
    “Yang mulia, di dalam perkara ini, saya hanyalah sebagai perantara, bukan pengambil keputusan dan bukan pihak yang menikmati keuntungan besar,” kata Wahyu.
    Ia mengaku tidak berani menolak pihak-pihak yang memberikan arahan kepada, termasuk Ariyanto selaku pengacara korporasi CPO.
    Namun, ia mengaku bersalah dan sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakannya.
    Wahyu mengaku khilaf telah melakukan tindak pidana yang mencederai citra penegakan hukum di Indonesia, terutama di lingkup pengadilan.
    “Saya sadar sepenuhnya bahwa perbuatan saya telah mencederai kehormatan lembaga peradilan, tempat saya mengabdi,” katanya.
    Wahyu mengaku menyesal telah menerima suap dan ia memohon maaf kepada Mahkamah Agung, warga pengadilan di seluruh Indonesia, masyarakat, serta keluarganya.
    Dalam kasus ini, Wahyu Gunawan dituntut 12 tahun penjara dengan dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan.
    Wahyu merupakan jembatan antara pihak korporasi dengan pihak pengadilan.
    Ia diketahui lebih dahulu mengenal Ariyanto yang merupakan pengacara korporasi CPO. Pada saat yang sama, Wahyu juga mengenal dan cukup dekat dengan Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta.
    Karena peran aktifnya, Wahyu pun kecipratan uang suap senilai Rp 2,4 miliar.
    Tapi, jaksa menuntut agar uang suap itu dikembalikan dalam bentuk uang pengganti. Jika tidak, harta benda Wahyu akan disita untuk negara. Ia juga diancam pidana tambahan kurungan 6 tahun penjara.
    Adapun, Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.
    Karena menerima uang suap, Arif juga dituntut untuk membayarkan uang pengganti sesuai jumlah suap yang diterimanya, senilai Rp 15,7 miliar subsider 5 tahun penjara.
    Lalu, majelis hakim penerima suap yang terdiri dari Djuyamto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom masing-masing dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.
    Para hakim juga dituntut untuk membayar uang pengganti sesuai total uang suap yang diterimanya.
    Djuyamto selaku ketua majelis hakim dituntut membayar uang pengganti senilai Rp 9,5 miliar subsider 5 tahun penjara.
    Sementara, dua hakim anggotanya, Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom, masing-masing dituntut untuk membayar uang pengganti Rp 6,2 miliar subsider 5 tahun penjara.
    Dalam kasus ini, para terdakwa diduga telah menerima suap dengan total uang mencapai Rp 40 miliar.
    Kelima terdakwa diyakini telah melanggar Pasal 6 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kejagung Limpahkan Klaster Kedua Tersangka Kasus Tata Kelola Minyak, Tidak Ada Riza Chalid

    Kejagung Limpahkan Klaster Kedua Tersangka Kasus Tata Kelola Minyak, Tidak Ada Riza Chalid

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) telah melimpahkan delapan tersangka dan barang bukti atau tahap II terkait kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018-2023.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Anang Supriatna delapan tersangka itu dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat.

    “Kasus Pertamina hari ini telah diserahkan, tersangka dan berkas juga barang bukti dari penyidik ke penutut umum di Kejari Jakarta Pusat,” ujar Anang di Kejagung, Rabu (5/11/2025).

    Dia menambahkan, klaster kedua tersangka yang dilimpahkan ini terdiri dari mantan SVP Integrated Supply Chain atau Direktur Utama PT Industri Baterai Indonesia Toto Nugroho (TN).

    Kemudian, tersangka yang dilimpahkan adalah eks VP Supply dan Distribusi Kantor Pusat PT Pertamina atau eks Dirut PT Pertamina Patra Niaga, Alfian Nasution (AN); Eks Direktur Pemasaran & Niaga PT Pertamina Hanung Budya Yuktyanta (HB); dan Direktur Gas, Petrochemical & New Business, PT Pertamina International Shipping, Arif Sukmara (AS).

    Selain itu, mantan VP Crude & Product Trading ISC – Kantor Pusat PT Pertamina, Dwi Sudarsono (DS); Mantan SVP Integrated Supply Chain, Hasto Wibowo (HW); mantan Business Development Manager PT Trafigura Pte. Ltd dan Senior Manager PT Trafigura Martin Haendra Nata (MHN); dan Business Development Manager PT Mahameru Kencana Abadi, Indra Putra (IP).

    Setelah dilakukan Tahap II, tim Jaksa Penuntut Umum akan segera mempersiapkan Surat Dakwaan untuk pelimpahan berkas perkara tersebut ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    “Nanti setelah diserahkan ke penutut umum, penuntut umum akan melakukan untuk pelimpahan ke pengadilan,” imbuh Anang.

    Adapun, pelimpahan ini dilakukan tanpa adanya tersangka Riza Chalid. Sebab, Beneficial Owner (BO) PT Tangki Merak dan PT Orbit Terminal Merak itu masih belum kembali ke Indonesia.

    Dalam hal ini, Anang menyatakan pihaknya belum merencanakan Riza Chalid disidangkan secara in absentia. 

    “Belum, sementara tetap. Itu kan terpisah. Berkasnya kan terpisah. Sementara kita masih minta, masih minta menunggu red notice dari Interpol,” pungkasnya.

  • Jaksa Minta Hakim Tolak Eksepsi Marcella Dkk di Kasus Vonis Lepas Migor

    Jaksa Minta Hakim Tolak Eksepsi Marcella Dkk di Kasus Vonis Lepas Migor

    Jakarta

    Jaksa meminta majelis hakim menolak eksepsi atau nota keberatan yang diajukan enam terdakwa kasus dugaan perintangan penyidikan dan suap vonis lepas perkara minyak goreng (migor). Jaksa meminta hakim melanjutkan sidang ke pembuktian.

    Hal itu disampaikan jaksa saat membacakan tanggapan atas eksepsi para terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (5/11/2025). Enam terdakwa itu ialah:

    1. Marcella Santoso selaku pengacara.
    2. Ariyanto Bakri selaku pengacara.
    3. Junaedi Saibih selaku pengacara.
    4. Tian Bahtiar selaku Direktur JakTV.
    5. Adhiya Muzzaki selaku buzzer.
    6. M Syafei selaku perwakilan pihak korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

    Jaksa mengatakan eksepsi Marcella dkk masuk materi pokok perkara yang harus dibuktikan melalui pembuktian dan pemeriksaan saksi di persidangan. Jaksa mengatakan surat dakwaan sudah memenuhi syarat materil dan formil sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat 2 KUHAP.

    “Bahwa materi eksepsi penasihat hukum Terdakwa ini pada dasarnya telah memasuki materi pokok perkara yang kebenarannya akan dibuktikan secara substansial dalam pemeriksaan pokok perkara,” ujar jaksa saat membacakan tanggapan eksepsi

    “(Memohon majelis hakim) menyatakan surat dakwaan penuntut umum telah disusun secara cermat, jelas dan lengkap sesuai dengan ketentuan UU dan diterima untuk menjadi dasar pemeriksaan di muka persidangan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” ujar jaksa.

    Marcella didakwa memberikan suap Rp 40 miliar ke hakim bersama tiga terdakwa lain, yakni Ariyanto, Juanedi Saibih, serta M Syafei selaku perwakilan pihak korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Jaksa juga mendakwa Marcella, Ariyanto, dan M Syafei melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

    Selain itu, terdakwa Juanedi Saibih, M Adhiya Muzzaki dan Tian Bahtiar selaku Direktur JakTV didakwa merintangi penyidikan tiga perkara. Jaksa mengatakan Junaedi dkk membuat program dan konten yang bertujuan membentuk opini negatif di publik terkait penanganan tiga perkara tersebut.

    Tiga perkara itu yakni kasus korupsi tata kelola komoditas timah, korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan RI serta perkara korupsi pengurusan izin ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan minyak goreng. Jaksa mengatakan Junaedi dkk menjalankan skema nonyuridis di luar persidangan dengan tujuan membentuk opini negatif seolah-olah penanganan perkara tersebut dilakukan dengan tidak benar.

    (mib/zap)

  • Hakim Kasus Hasto Dapat Promosi Jadi Wakil Ketua PN Cilacap

    Hakim Kasus Hasto Dapat Promosi Jadi Wakil Ketua PN Cilacap

    Hakim Kasus Hasto Dapat Promosi Jadi Wakil Ketua PN Cilacap
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Hakim yang dulu mengadili perkara Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto, Rios Rahmanto, dipromosi menjadi Wakil Ketua Pengadilan Negeri Cilacap.
    Hal ini diketahui dari pengumuman di laman resmi badilum.mahkamahagung.go.id.
    “Nama
    Rios Rahmanto
    , jabatan lama Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, jabatan baru
    Wakil Ketua Pengadilan Negeri Cilacap
    ,” dikutip dari laman tersebut pada Selasa (4/11/2025).
    Informasi mutasi para hakim ini dibenarkan oleh Juru Bicara Mahkamah Agung, Yanto.
    Ia menyebutkan bahwa mutasi Rios merupakan kebutuhan organisasi karena mutasi tidak berlaku untuk satu orang saja.
    Dalam daftar tersebut, ada sebanyak 760 hakim yang dimutasi di seluruh Indonesia.
    “Itu kebutuhan organisasi, dan yang bersangkutan kalau jadi wakil ketua berarti promosi,” kata Yanto saat dihubungi, Kamis.
    Sebelum dimutasi, Rios diketahui tengah menjadi ketua majelis hakim untuk beberapa perkara yang kini sedang disidangkan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
    Salah satunya adalah kasus dugaan
    korupsi
    jual beli gas di PT Perusahaan Gas Negara dengan terdakwa Iswan Ibrahim dan Danny Praditya.
    Baru-baru ini, Rios juga baru saja memberikan vonis berat kepada eks Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Iwan Henry Wardhana.
    Pada sidang Kamis (30/10/2025), Rios dan dua hakim anggotanya menjatuhkan vonis 11 tahun penjara kepada Iwan Henry karena terbukti korupsi penggelembungan anggaran hingga kegiatan fiktif.
    Iwan juga dihukum membayar denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara, serta uang pengganti senilai Rp 13,5 miliar subsider 5 tahun penjara.
    Dua terdakwa lainnya juga tidak lepas dari jeratan hukum.
    Kepala Bidang Pemanfaatan Disbud DKI Jakarta nonaktif, Mohamad Fairza Maulana alias Keta, divonis enam tahun penjara dengan denda Rp 500 juta dan subsider 3 bulan penjara, serta uang pengganti senilai Rp 841,5 juta.
    Sementara itu, Pemilik Event Organizer (EO) GR-Pro, Gatot Arif Rahmadi, divonis delapan tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara, serta uang pengganti senilai Rp 13,2 miliar subsider 3 tahun penjara.
    Rios juga sempat ramai dibicarakan publik ketika ia memimpin persidangan yang melibatkan
    Hasto Kristiyanto
    .
    Persidangan ini bergulir pada Maret-Juli 2025.
    Rios dan para hakim anggotanya menyatakan Hasto bersalah karena telah menyuap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2017-2022, Wahyu Setiawan, untuk meloloskan Harun Masuki dalam proses pergantian antarwaktu anggota DPR RI.
    Hasto pun divonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan.
    Namun, menurut Rios dan hakim lainnya, Hasto tidak terbukti melakukan perintangan dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK.
    Meski palu sudah diketuk, putusan dari Rios tidak lagi berlaku karena pada 1 Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk memberikan amnesti dan mengampuni Hasto dari tindakannya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dalam Sidang, Eks Dirut PGN Bantah Terima Suap di Kasus Jual Beli Gas

    Dalam Sidang, Eks Dirut PGN Bantah Terima Suap di Kasus Jual Beli Gas

    Dalam Sidang, Eks Dirut PGN Bantah Terima Suap di Kasus Jual Beli Gas
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Eks Dirut PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Hendi Prio Santoso membantah uang 500.000 dollar Singapura yang diterimanya dari Komisaris Utama PT Inti Alasindo Energi (IAE) Arso Sadewo adalah suap. Sebaliknya, diklaim merupakan hasil kerjanya sebagai konsultan.
    Bantahan itu disampaikan Hendi saat bersaksi dalam sidang kasus dugaan korupsi jual beli gas di PT PGN dengan terdakwa Mantan Direktur PT PGN, Danny Praditya dan mantan Komisaris PT IAE, Iswan Ibrahim.
    “Saya terima
    fee
    itu, sekali lagi saya tegaskan adalah pembayaran konsultansi
    fee
    saya selama dari bulan Juni sampai Agustus (tahun 2017),” ujar Hendi dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (3/11/2025).
    Hendi membantah perihal uang tersebut saat menjawab pertanyaan dari terdakwa Iswan.
    Awalnya, Iswan menanyakan perihal pemberian 500.000 dollar Singapura yang dalam dakwaan disebut berkaitan dengan kerja sama jual beli gas antara PT PGN dengan induk perusahaan PT IAE, Isargas Group.
    “Tidak ada pembicaraan masalah jual beli gas, akuisisi yang mana saya dan Pak Arso minta bantuan saudara saksi untuk menjembatani dengan pihak PGN, yang mana pihak PGN diwakili saudara Danny?” tanya Iswan.
    Dalam kesaksiannya, Hendi juga membantah uang 375.000 dollar Amerika Serikat (AS) atau dengan kurs Rp16.000, setara Rp 6 miliar yang diterimanya terkait dengan perjanjian jual beli gas antara PT PGN dengan PT IAE.
    Diketahui, Hendi menjabat sebagai Direktur Utama PT PGN hingga Mei 2017. Beberapa bulan kemudian, dia menjadi konsultan terkait industri gas.
    Hendi mengungkapkan bahwa salah satu yang memakai jasanya adalah Arso Sadewo.
    Kemudian, dia mengaku, hanya menjabarkan soal
    update
    kondisi pasar gas di Jawa Timur dan Jawa Barat, dalam pertemuan yang terjadi pada 2017 
    Namun, Hendi terus membantah bahwa pertemuan dengan petinggi PGN dan Isargas Group membahas proyek jual beli gas.
    Sementara itu, Direktur Keuangan PT IAE, Sofyan justru menjelaskan bahwa uang 500.000 dollar Singapura dari Arso Sadewo untuk Hendi Prio masih berkaitan dengan dakwaan yang disangkakan Iswan.
    Sofyan yang juga dihadirkan sebagai saksi, mengatakan bahwa uang 500.000 dollar Singapura ini merupakan komitmen
    fee
    untuk Hendi.
    “Saya enggak tahu (tujuan lain uang diberikan). Yang saya tahu ini untuk jual beli gas, karena kan (asal dana) dibebankan ke Isargas,” jawab Sofyan dalam sidang.
    Dalam kasus ini, Hendi Prio Santoso sudah ditetapkan sebagai tersangka tapi berkas perkaranya belum dilimpahkan ke pengadilan.
    Sementara itu, Arso Sadewo baru ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi jual beli gas di PT PGN pada 21 Oktober 2025.
    Adapun, Danny Pradipta, Iswan Ibrahim, dan tersangka lainnya didakwa telah menyebabkan kerugian keuangan negara hingga 15 juta dollar AS dalam kasus dugaan korupsi jual beli gas di PT PGN.
    “(Perbuatan terdakwa) Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yaitu yang merugikan keuangan negara sebesar 15 juta Dolar Amerika Serikat,” ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ni Nengah Gina Saraswati saat membacakan dakwaan dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (1/9/2025).
    Selain itu, dalam perkara ini, Iswan didakwa telah memperkaya diri sendiri hingga 3,58 juta dollar AS.
    Iswan diduga juga memperkaya sejumlah pihak dengan melakukan perbuatan melawan hukum, termasuk Hendi Prio.
    Keduanya menjalin kerja sama untuk memuluskan rencana akuisisi. Tapi, PT PGN lebih dahulu melakukan pembayaran melalui proyek kerja sama yang melawan aturan, yaitu jual beli gas.
    Para terdakwa diduga telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2021 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kejagung Bakal Buru Lagi Aset Harvey Moeis jika Tak Cukup Lunasi Uang Pengganti Rp420 Miliar

    Kejagung Bakal Buru Lagi Aset Harvey Moeis jika Tak Cukup Lunasi Uang Pengganti Rp420 Miliar

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) bakal memburu aset terpidana Harvey Moeis untuk menutupi kewajiban pembayaran uang pengganti (UP) di kasus korupsi timah.

    Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna mengatakan bahwa mulanya jaksa bakal melakukan lelang terhadap aset milik Harvey dengan menggandeng Badan Pemulihan Aset (BPA).

    “Kita akan memperhitungkan dengan aset-aset yang sudah disita dan dilelang,” ujar Anang saat dihubungi, Senin (3/11/2025).

    Namun, kata Anang, apabila nilai aset yang telah dilelang tidak sesuai nilai uang pengganti senilai Rp420 miliar, maka Kejagung bakal memburu aset Harvey Moeis atau pihak terafiliasi lainnya.

    “Nanti kekurangannya Jaksa eksekutor akan menagih dan mencari aset terpidana atau aset tracking dengan instrumen sita eksekusi terhadap aset-aset milik terpidana atau pihak terafiliasi lainnya,” imbuhnya.

    Di samping itu, Anang mengungkap bahwa jaksa eksekutor pada Jampidsus Kejagung RI telah menyerahkan aset milik terpidana Harvey Moeis ke BPA.

    Anang menjelaskan bahwa aset Harvey yang disita terkait kasus megakorupsi timah itu telah berstatus rampasan negara. 

    “Aset yang sudah disita dan sudah berkekuatan hukum atau inkrah dirampas untuk negara, kemudian di lelang agar diperhitungkan uang pengganti kerugian negara,” pungkas Anang.

    Sekadar informasi, aset rampasan negara terkait Harvey sempat digugat oleh Istri Harvey, Sandra Dewi ke PN Jakarta Pusat. Barang rampasan yang digugat oleh Sandra Dewi itu yakni sejumlah perhiasan, tas mewah, dua rumah yang berlokasi di Jakarta Barat dan Jakarta Selatan serta dua unit kondominium di Perumahan Gading Serpong. 

    Namun, setelah beberapa kali sidang berlangsung, Sandra Dewi resmi mencabut gugatan keberatan penyitaan itu. Informasi pencabutan gugatan keberatan itu diumumkan oleh Ketua Majelis Hakim Rios Rahmanto di PN Jakarta Pusat, Selasa (28/10/2025).

    Menurut Hakim Rios, Sandra Dewi mencabut gugatan keberatan terkait perampasan aset itu lantaran lebih memilih patuh kepada putusan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap.

    “Setelah menimbang para Pemohon memberikan kuasanya memberikan surat pencabutan, tertanggal 28 Oktober 2025, yang pada pokoknya bahwa Pemohon tunduk dan patuh kepada putusan dan telah berkekuatan hukum tetap,” ujar Rios.

    Adapun, penyidik sempat mengungkap bahwa aset Sandra Dewi yang digugat dalam serangkaian persidangan keberatan itu belum mencukupi uang pengganti Harvey Rp420 miliar.