Kementrian Lembaga: PN Jakarta Pusat

  • 6
                    
                        Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Divonis 4,5 Tahun Penjara 
                        Nasional

    6 Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Divonis 4,5 Tahun Penjara Nasional

    Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Divonis 4,5 Tahun Penjara
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Eks Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
    Majelis hakim menyatakan, Ira terbukti bersalah dalam kasus korupsi terkait proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi
    PT Jembatan Nusantara
    (PT JN) tahun 2019-2022.
    “Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan penjara, dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara,” ujar hakim ketua Sunoto saat membacakan amar putusan dalam sidang Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (20/11/2025).
    Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi yakni 8,5 tahun penjara.
    Majelis hakim menilai, Ira terbukti memperkaya pemilik PT JN, Adjie, senilai Rp 1,25 triliun melalui proses
    akuisisi PT JN
    oleh PT ASDP.
    Meski terbukti memperkaya orang lain atau korporasi, Ira dinilai tidak menerima keuntungan pribadi.
    Untuk itu, Ira tidak dikenakan pidana berupa uang pengganti.
    Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Ferry Muhammad Yusuf Hadi serta mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Ferry Harry Muhammad Adhi Caksono juga divonis bersalah dalam perkara yang sama.
    Keduanya masing-masing dihukum 4 tahun penjara dengan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan penjara.
    Perbuatan ketiga terdakwa ini diyakini telah melanggar dakwaan alternatif kedua, yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1.
    Sebelumnya, Ira, Yusuf, dan Harry didakwa telah menyebabkan kerugian keuangan negara senilai Rp 1,25 triliun.
    Kerugian senilai Rp 1,25 triliun ini berasal dari pembelian kapal-kapal yang sudah rusak dan karam milik PT JN.
    Pembelian kapal ini menjadi salah satu syarat agar PT JN bisa diakuisisi oleh PT ASDP.
    “Berdasarkan laporan uji tuntas engineering (due diligence) PT BKI, menyebut terdapat 2 unit kapal yang belum siap beroperasi, yaitu KMP Marisa Nusantara karena dari status, kelas, dan sertifikat perhubungan lainnya telah tidak berlaku, dan KMP Jembatan Musi II karena kapal saat inspeksi dalam kondisi karam,” jelas jaksa.
    Perbuatan ketiga terdakwa dinilai telah memperkaya pemilik PT JN, Adjie, senilai Rp 1,25 triliun.
    Angka ini kemudian disebut sebagai kerugian keuangan negara.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Vidi Aldiano Bernapas Lega, Gugatan Hak Cipta “Nuansa Bening” Keenan Nasution Kandas

    Vidi Aldiano Bernapas Lega, Gugatan Hak Cipta “Nuansa Bening” Keenan Nasution Kandas

    Bisnis.com, JAKARTA — Vidi Aldiano bisa bernapas lega usai gugatan hak cipta yang dilayangkan Keenan Nasution dan Rudi Pekerti soal lagu “Nuansa Bening”, dengan total ganti rugi senilai Rp28,4 miliar, kandas di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

    Berdasarkan SIPP PN Jakarta Pusat, dikutip Kamis (20/11/2025), sebanyak tiga gugatan hak cipta yang ditujukan kepada penyanyi bernama lengkap Oxavia Aldiano tersebut dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) oleh majelis hakim, yang dibacakan pada Rabu (19/11/2025).

    Eksepsi yang diajukan oleh Vidi selaku Tergugat telah dikabulkan, sehingga majelis hakim tidak perlu melanjutkan pada pemeriksaan pokok perkara. 

    Adapun, bunyi amar putusan perkara No. 51/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2025/PN Niaga Jkt.Pst, No. 73/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2025/PN Niaga Jkt.Pst, dan No. 74/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2025/PN Niaga Jkt.Pst, yakni dalam eksepsi: mengabulkan eksepsi dari Tergugat dan Turut Tergugat.

    Sementara, amar putusan dalam pokok perkara adalah menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima. Selain itu, menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara dengan total Rp2,4 juta.

    Adapun, majelis hakim untuk perkara No. 73 dan No. 74 terdiri atas Joko Dwi Atmoko sebagai ketua serta H. Sunoto dan Mochamad Arief selaku anggota. Sementara, majelis hakim perkara No. 53 terdiri atas Achmad R. Purba sebagai ketua serta Faisal dan Khusaini selaku anggota.

    Berdasarkan SIPP PN Jakarta Pusat, perkara ini bermula saat Keenan Nasution dan Rudi Pekerti, yang diwakili Minola Sebayang sebagai kuasa hukum, mendaftarkan gugatan hak cipta dengan No. 51/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2025/PN Niaga Jkt.Pst pada 16 Mei 2025.

    Dalam petitumnya, Tergugat telah melakukan pelanggaran Hak Cipta karena telah menggunakan lagu “Nuansa Bening” secara komersial dalam 31 pertunjukkan tanpa seizin Para Penggugat selaku pencipta.

    Vidi Aldiano diminta untuk membayar ganti rugi secara tunai sebesar Rp24,5 miliar dan menyertakan tanah dan bangunan rumah milik Tergugat di Jalan Kecapi, Jakarta Selatan sebagai sita jaminan (conservatoir beslag).

    Gugatan selanjutnya dengan perkara No. 73/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2025/PN Niaga Jkt.Pst didaftarkan Para Penggugat pada 30 Juni 2025. Tergugat disebut telah melakukan pelanggaran Hak Cipta karena telah mengedarkan (mendistribusikan) lagu “Nuansa Bening” secara komersial dalam tiga platform musik digital tanpa seizin Para Penggugat.

    Tiga platform yang dimaksud antara lain Apple Music, YouTube Music, dan Spotify. Adapun, ganti rugi yang ditulis dalam petitum adalah senilai total Rp3 miliar.

    Terakhir, Rudi Pekerti melayangkan gugatan dengan perkara No. 74/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2025/PN Niaga Jkt.Pst kepada Vidi pada 3 Juli 2025. Vidi dituntut untuk mengubah nama pencipta lagu “Nuansa Bening” menjadi nama Penggugat dan Keenan Nasution dalam tiga platform musik digital tersebut dan membayar denda kerugian sebesar Rp900 juta.

  • 4
                    
                        Protes Para Mantan Hakim Korup Dituntut Maksimal oleh Jaksa…
                        Nasional

    4 Protes Para Mantan Hakim Korup Dituntut Maksimal oleh Jaksa… Nasional

    Protes Para Mantan Hakim Korup Dituntut Maksimal oleh Jaksa…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Menjelang pembacaan putusan, para mantan hakim menyampaikan protes mereka atas tuntutan maksimal jaksa penuntut umum (JPU).
    Para mantan hakim ini adalah Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dan
    Djuyamto
    , hakim yang dulu sering menangani perkara tindak pidana korupsi (Tipikor) di Pengadilan Tipikor Jakarta.
    Protes senada juga disampaikan oleh tiga terdakwa lainnya, Agam Syarif Baharudin, Ali Muhtarom, dan Wahyu Gunawan ketika membacakan duplik untuk kasus dugaan suap majelis hakim pemberi vonis lepas atau ontslag kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO)
    Muhammad Arif Nuryanta menilai, jaksa tidak adil menuntut dengan lama pidana 15 tahun penjara.
    Menurutnya, tuntutan ini tidak adil karena terlampau tinggi jika dibandingkan dengan tuntutan hakim dalam kasus serupa. Misalnya, tuntutan terhadap eks Ketua PN Surabaya, Rudi Suparmono.
    Diketahui, Rudi Suparmono dituntut tujuh tahun penjara dalam kasus perkara pengurusan vonis bebas kepada terdakwa perkara pembunuhan Gregorius Ronald Tannur.
    “Bayangkan saja, disparitas tuntutan pidana antara terdakwa Rudi Suparmono dengan terdakwa Muhammad Arif Nuryanta,” ujar Pengacara terdakwa, Philipus Sitepu saat menyampaikan duplik dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025).
    Kubu Arif Nuryanta menilai, besaran tuntutan Arif dan Rudi tidak adil karena jumlah pasal yang dikenakan pada mereka.
    Arif dituntut dakwaan primer satu pasal, sementara Rudi dituntut dua pasal. Tapi, lama tuntutan justru lebih banyak Arif.
    “Rudi Suparmono dituntut dengan 2 pasal yang berbeda, yakni Pasal 5 Ayat (2) dan Pasal 12B. Namun, tuntutan pidananya hanya 7 tahun pidana penjara. Sedangkan, terdakwa Muhammad Arif Nuryanta dituntut hanya 1 pasal saja yaitu Pasal 6 Ayat (2) namun tuntutan pidananya maksimal yaitu 15 tahun pidana penjara,” kata Philipus.
    Kubu terdakwa menilai, perbedaan masa tuntutan ini tidak masuk akal dan tidak manusiawi.
    Lebih lanjut, baik Arif maupun Rudi dinilai punya peran yang kurang lebih sama. Keduanya bukan majelis hakim yang mengadili dan memutus perkara yang dipermasalahkan.
    Mereka berada dalam posisi petinggi pengadilan yang menentukan majelis hakim yang akan mengadili perkara.
    “Padahal Muhammad Arif Nuryanta dan Rudi Suparmono memiliki kesamaan dalam hal ini yaitu tidak berkapasitas sebagai majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara,” lanjut pengacara Arif.
    Pada akhirnya, Rudi divonis sesuai tuntutan, yaitu 7 tahun penjara.
    Dalam konstruksi dakwaan jaksa, baik Arif dan Rudi sama-sama dinilai berperan untuk mempengaruhi majelis hakim untuk menjatuhkan putusan seperti yang diminta oleh pihak penyuap.
    Namun, dalam kasus Arif, ia membantah berperan aktif dan justru menyalahkan Panitera Muda PN Jakarta Utara nonaktif, Wahyu Gunawan sebagai pihak yang memungkinkan suap terjadi.
    Tak hanya itu, kubu Arif Nuryanta juga protes karena jaksa tidak mempertimbangkan pengembalian uang suap sebagai hal yang meringankan tuntutan.
    Kubu terdakwa menilai, tidak dipertimbangkannya pengembalian uang di kasus suap hakim CPO akan menjadi preseden buruk ke sidang-sidang di masa depan.
    “Yang tidak dijadikan hal-hal meringankan terkait pengembalian uang yang sudah dikembalikan oleh terdakwa Muhammad Arif Nuryanta kepada negara menjadi contoh tidak baik ke depannya terhadap orang-orang yang dikenakan pasal Tipikor menjadi enggan untuk mengembalikan dugaan hasil Tipikor karena tidak diperhitungkan oleh jaksa penuntut umum,” ujar Philipus Sitepu.
    Kubu terdakwa menilai, pengembalian uang hasil korupsi ini seharusnya masuk sebagai hal-hal meringankan.
    Mereka pun menyinggung soal Pedoman Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Korupsi yang diterbitkan oleh Jaksa Agung RI.
    “(Dalam pedoman itu) secara tegas telah mengatur mengenai dasar dan acuan penuntut umum dalam menyusun tuntutan pidana yang tidak terlepas di dalamnya mengatur mengenai bagaimana menyusun kerangka hal-hal meringankan bagi diri terdakwa, khususnya bahwa apabila ada pengembalian uang kepada negara,” lanjut Philipus.
    Pihak terdakwa mengaku sangat dirugikan jika pengembalian uang suap tidak dianggap sebagai hal meringankan.
    Untuk itu, mereka memohon agar majelis hakim bisa mempertimbangkan pengembalian uang negara ini sebagai salah satu hal yang meringankan perbuatan terdakwa.
    “Kami memohon majelis hakim agar pada saatnya nanti dapat mempertimbangkan pengembalian uang hasil dugaan tipikor yang dilakukan terdakwa Muhammad Arif Nuryanta sebagai bagian hal yang dapat meringankan terdakwa dalam putusan nanti,” lanjut Philipus.
    Dalam amar dupliknya, Arif Nuryanta meminta agar ia dijatuhkan hukuman sesuai dakwaan alternatif ketiga, yaitu Pasal 5 Ayat (2), yang juga dulu dituntutkan kepada Rudi Suparmono.
    “Memohon agar majelis hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 5 Ayat (2) UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi,” kata Philipus.
    Atau, jika hakim berpendapat lain, Arif Nuryanta meminta agar ia bisa dihukum dengan hukuman yang seringan-ringannya dan seadil-adilnya.
    Protes serupa juga disampaikan oleh kubu Djuyamto.
    Ia menilai, tuntutan 12 tahun merupakan hal yang tidak adil. Kubu Djuyamto menilai, jaksa tidak punya hati nurani karena menuntut maksimal para terdakwa.
    “Bahwa JPU telah menuntut terdakwa Djuyamto terbukti melanggar Pasal 5 Ayat (2) jo Pasal 18 jo Pasal 55 UU Tipikor dengan pidana penjara selama 12 tahun dengan denda uang pengganti sebesar Rp 9,5 miliar subsider 5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan adalah tuntutan yang tidak memiliki hati nurani dan jauh dari rasa keadilan,” ujar pengacara terdakwa Djuyamto saat membacakan duplik dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025).
    Pengacara menyebutkan, jaksa tidak punya hati nurani karena tidak mempertimbangkan sikap kooperatif Djuyamto selama penyidikan.
    Djuyamto mengklaim, dirinya telah mengajak dua terdakwa hakim lainnya, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin untuk membuka soal jumlah uang suap yang diterimanya.
    “Sikap kooperatif terdakwa selama proses penyidikan yang ikut mendorong terdakwa yang lain khususnya saksi mahkota Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin untuk membuka kotak Pandora yang masih menjadi misteri khususnya terhadap jumlah uang yang nyata-nyata telah diterima oleh terdakwa dan rekan sesama majelis hakim perkara minyak goreng,” lanjut pengacara.
    Lebih lanjut, Djuyamto mengklaim sudah mengembalikan seluruh uang suap yang diterimanya, yaitu sekitar Rp8,05 miliar.
    Angka ini berbeda dengan uang suap yang didakwakan jaksa karena kubu meyakini kalau jumlah uang suap yang diterima Djuyamto berbeda dengan tuduhan jaksa.
    Melalui duplik ini, Djuyamto meminta agar majelis hakim memberikan putusan yang seadil-adilnya, bukan hukuman paling ringan.
    “Dan, saya selaku terdakwa, sebagaimana pledoi terdahulu tidak meminta hukuman seringan-ringannya, saya tegas meminta hukuman seadil-adilnya,” ujar Djuyamto saat menyampaikan duplik pribadi dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025).
    Dalam duplik pribadinya ini, Djuyamto meyakini, majelis hakim yang akan menjatuhkan hukuman padanya, Effendi, Adek Nurhadi, dan Andi Saputra, akan menjatuhkan hukuman yang menegakkan hukum dan adil.
    “Saya mengingatkan bahwa penegakan hukum yang ditugaskan ke yang mulia majelis hakim, saya percaya adalah tidak hanya sekadar menegakkan hukum tapi juga menegakkan keadilan sebagaimana dalam ketentuan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman,” lanjut Djuyamto.
    Setelah duplik selesai dibacakan, majelis hakim mengumumkan kalau vonis bagi kelima terdakwa akan dibacakan pada 3 Desember 2025.
    “Sidang kita tunda Insyaallah akan kita buka 2 minggu ke depan hari Rabu, 3 Desember 2025 dengan agenda pembacaan putusan,” ujar Ketua Majelis hakim Effendi dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025).
    Effendi mengatakan, tahap pemeriksaan untuk kasus dugaan suap majelis hakim pemberi vonis lepas atau ontslag kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO) resmi ditutup setelah pembacaan duplik selesai.
    Adapun, hakim membutuhkan waktu lebih panjang untuk bermusyawarah karena dalam kasus ini ada lima terdakwa.
    “Mengingat perkara ini ada lima berkas, saksi cukup banyak, majelis sudah bersepakat kalau pembacaan putusan kami tunda dua minggu,” kata Effendi.
    Dalam kasus ini, majelis hakim penerima suap yang terdiri dari Djuyamto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom masing-masing dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.
    Para hakim juga dituntut untuk membayar uang pengganti sesuai total uang suap yang diterimanya.
    Djuyamto selaku ketua majelis hakim dituntut membayar uang pengganti senilai Rp 9,5 miliar subsider 5 tahun penjara.
    Sementara, dua hakim anggotanya, Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom, masing-masing dituntut untuk membayar uang pengganti Rp 6,2 miliar subsider 5 tahun penjara.
    Adapun, Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.
    Karena menerima uang suap, Arif juga dituntut untuk membayarkan uang pengganti sesuai jumlah suap yang diterimanya, senilai Rp 15,7 miliar subsider 5 tahun penjara.
    Sementara itu, Panitera Muda PN Jakarta Utara Nonaktif Wahyu Gunawan dituntut 12 tahun penjara dengan dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan.
    Wahyu merupakan jembatan antara pihak korporasi dengan pihak pengadilan.
    Ia diketahui lebih dahulu mengenal Ariyanto yang merupakan pengacara korporasi CPO. Pada saat yang sama, Wahyu juga mengenal dan cukup dekat dengan Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta.
    Karena peran aktifnya, Wahyu pun kecipratan uang suap senilai Rp 2,4 miliar.
    Tapi, jaksa menuntut agar uang suap itu dikembalikan dalam bentuk uang pengganti. Jika tidak, harta benda Wahyu akan disita untuk negara. Ia juga diancam pidana tambahan kurungan 6 tahun penjara.
    Dalam kasus ini, para terdakwa diduga telah menerima suap dengan total uang mencapai Rp 40 miliar.
    Atas suap yang diterima, Djuyamto, Ali, dan Agam memutus vonis lepas untuk tiga korporasi, yaitu Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
    Kelima terdakwa diyakini telah melanggar Pasal 6 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Menanti Vonis Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi di Kasus Akuisisi PT JN

    Menanti Vonis Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi di Kasus Akuisisi PT JN

    Bisnis.com, JAKARTA – Sosok Mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi menjadi sorotan setelah viral pledoi atau pembelaan dirinya di depan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ira menyatakan kasus terkait akuisisi PT JN merupakan upaya kriminalisasi terhadap profesional Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 

    Hari ini, Kamis (20/11/2025), hakim PN Jakpus akan mengumumkan vonis Ira Puspadewi dan beberapa orang yang terlihat dalam kasus rasuah tersebut. Publik pun menjadi bertanya-tanya, apakah majelis hakim berpihak kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ngotot akan adanya kerugian negara atau justru mempertimbangkan pledoi Ira yang terungkap beberapa waktu lalu? 

    Berdasarkan dokumen pledoi yang diterima Bisnis, Ira memaparkan pembelaan dirinya dalam kasus dugaan korupsi kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) tahun 2019-2022 oleh ASDP. Ira disangkakan merugikan negara Rp893 miliar atau 70% dari nilai akuisisi.

    Mulanya, Ira mempertanyakan soal kerugian negara Rp1,25 triliun negara yang didakwakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap dirinya. 

    “Kerugian negara Rp1,253 triliun itu sama sekali tidak benar. Nilai kerugian keuangan itu dibuat sendiri oleh auditor internal berdasar perhitungan dosen konstruksi perkapalan,” tulis Ira dalam pledoinya yang dibacakan Kamis (6/11/2025). 

    Ira mengatakan dirinya tidak pernah ditunjukkan KPK bukti adanya tindakan korupsi yang dilakukan pihaknya. Lebih lanjut, Ira mengatakan hal dianggap sebagai bukti baru ada dalam Laporan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara, LHA-AF-08/DNA/05/2025. Namun, laporan itu bukan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

    Justru, bukti-bukti tersebut hanya datang dari KPK sendiri yang dikeluarkan pada 28 Mei 2025 atau tiga bulan setelah dirinya ditahan. 

    Dia juga mengatakan ada perhitungan keliru dari dosen perkapalan yang dibawa KPK saat menghitung valuasi perusahaan. Menurut Ira, ada tiga poin yang diabaikan saat menghitung nilai perusahaan.

    Pertama, kapal-kapal JN dianggap sebagai benda mati tidak produktif seperti kursi atau meja, padahal kapal-kapal ini Laik Laut, dan menghasilkan pendapatan. Kedua, setelah diakuisisi, bisnis ASDP dan JN dapat diintegrasikan hingga akan mengefisienkan biaya operasional seperti untuk pembelian suku cadang yang tentu lebih murah karena dibeli dalam jumlah besar secara gabungan.

    Ketiga, karena ada pembatasan jumlah kapal pada lintasan komersial, maka izin tidak dikeluarkan lagi. Kapal JN seluruhnya adalah kapal dengan izin komersil. Pihak Ira menilai korupsi dan kerugian negara yang didakwakan KPK itu hanya framing hasil rekayasa sesuai penggambaran berikut ini:

    “Suatu keluarga peternak baru saja membeli peternakan tetangganya Rp1,272 miliar. Tiba-tiba sang anak yang mengelola usaha itu ditahan petugas. Ia dituduh korupsi merugikan keluarganya sendiri untuk memperkaya tetangganya itu Rp1,253 miliar atau 98,5% dari harga beli itu. Semua bingung. Apa salah dia? Di mana kerugiannya?” Peternakan yang dibeli itu tetap utuh 100%. Ayam-ayamnya terus bertelur, dan terus menghasilkan pendapatan Rp600 miliar setiap tahun,”

    Padahal, kata dia, kapal yang telah diakuisisi ASPD Laik Laut, dan menghasilkan pendapatan. Kemudian, hasil dari akuisisi bisnis JN oleh ASDP telah bisa memberikan efisiensi biaya operasional. Adapun, nilai kapal JN yang seluruhnya memiliki izin komersil bisa mendobrak pembatasan jumlah kapal pada lintasan komersial.

    Ira juga mengungkap pembelaan bahwa akuisisi PT JN justru telah menguntungkan ASDP. Pasalnya, kata Ira, dari aset utuh perusahaan bernilai Rp2,09 triliun, ASDP hanya membayar dengan dana Rp1,27 triliun.

    “Namun, perusahaan ini bisa dibeli seharga Rp1,272 triliun atau hanya 60% dari nilai kapal. Secara nominal pun ASDP dan negara untung dari akuisisi ini,” imbuhnya.

    Selain itu, Ira mengemukakan manfaat lain dari akuisisi ini telah membuat keberlangsungan layanan perintis di daerah terdepan, terluar dan tertinggal atau 3T.

    Dia menuturkan pada saat ini 70% operasional ASDP telah dimandatkan pemerintah untuk layanan perintis. Namun, subsidi untuk kebutuhan operasional disebut kerap kurang. Alhasil, ASDP selalu mengeluarkan subsidi untuk kekurangan itu dari usaha komersial.

    Oleh karena itu, Ira menilai penambahan armada komersial bisa menjadi solusi untuk mengatasi persoalan itu. Hanya saja, penambahan armada komersial ini diklaim sulit.

    Sebagai gambaran, jelas Ira, ASDP hanya bisa mendatangkan 10 unit kapal lama, namun hal itu sempat diperkarakan. Kemudian, pengadaan kapal makin sulit sejak berlaku pembatasan/moratorium izin operasional pada tahun 2017. 

    Alhasil, Ira berkeyakinan bahwa proses akuisisi merupakan salah satu langkah tepat untuk mengatasi persoalan di ASDP.

    “Ini adalah kesempatan langka yang sulit terjadi lagi di masa depan, hingga sebut now or never. Lonjakan 70% unit kapal komersil itu tidak ternilai harganya,” pungkasnya.

    Bahkan, kata Ira, tokoh bisnis Renald Kasali, yang berstatus sebagai saksi ahli, justru mengapresiasi akuisisi yang dilakukan ASDP sebagai langkah sangat strategis pengembangan usaha yang semestinya juga dilakukan banyak BUMN lain.

    “Sangat menyedihkan akuisisi menguntungkan itu malah dikriminalisasi, dianggap merugikan negara Rp 1,253 triliun memakai harga scrap yang tidak benar itu,” imbuhnya.

    KPK Bantah Kriminalisasi Ira Puspadewi 

    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah tuduhan kriminalisasi yang disampaikan mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi. Lembaga antirasuah menegaskan dugaan korupsi yang dilakukan Ira telah merugikan negara. 

    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan proses hukum yang telah berjalan telah memenuhi aspek formil dan materiil. Budi menekankan bahwa proses akuisisi kapal feri PT JN oleh ASDP diduga terjadi pengkondisian dan rekayasa.

    “Bahwa terkait akuisisi tersebut, diduga telah dilakukan pengkondisian dan rekayasa dalam proses dan hasil valuasi aset-asetnya, termasuk kapal-kapalnya yang sudah berusia tua dan butuh banyak biaya perawatan,” kata Budi dalam keterangan tertulis, Kamis (13/11/2025). 

    Budi menjelaskan proses due dilligence juga diduga tidak dilakukan secara obyektif, diantaranya terkait analisis kondisi keuangan PT JN.

    Budi menyampaikan bahwa kerja sama akuisisi tidak hanya terkait pembelian kapal, namun juga termasuk dengan kewajiban atau hutang yang nantinya harus ditanggung dan dibayar oleh ASDP.

    Dari hal itulah, kata Budi, diduga terjadi perbuatan melawan hukum yang kemudian mengakibatkan kerugian keuangan negara.

    “Proses penyidikan dan penetapan para tersangka dalam perkara ini juga sudah diuji dalam pra-peradilan, dan hakim menyatakan bahwa seluruh proses yang dilakukan KPK telah memenuhi aspek formil dan dinyatakan sah,” tegas Budi.

    Ira telah disangkakan merugikan negara Rp893 miliar atau 70% dari nilai akuisisi. Pada hari Kamis pekan lalu, Ira menyampaikan pledoi atas perkara yang menjeratnya.

    Di hadapan hakim, Ira mengatakan dirinya tidak pernah ditunjukkan KPK bukti adanya tindakan korupsi yang dilakukan pihaknya. Menurutnya, pembuktiaan atas kerugian negara datang dari KPK sendiri yang dikeluarkan pada 28 Mei 2025 atau tiga bulan setelah dirinya ditahan. 

    Dia juga mengatakan ada perhitungan keliru dari dosen perkapalan yang dibawa KPK saat menghitung valuasi perusahaan. 

    Menurut Ira, ada tiga poin yang diabaikan saat menghitung nilai perusahaan. Pertama, kapal-kapal JN dianggap sebagai benda mati tidak produktif seperti kursi atau meja, padahal kapal-kapal ini Laik Laut, dan menghasilkan pendapatan. 

    Kedua, setelah diakuisisi, bisnis ASDP dan JN dapat diintegrasikan hingga akan mengefisienkan biaya operasional seperti untuk pembelian suku cadang yang tentu lebih murah karena dibeli dalam jumlah besar secara gabungan.

    Ketiga, karena ada pembatasan jumlah kapal pada lintasan komersial, maka izin tidak dikeluarkan lagi. Kapal JN seluruhnya adalah kapal dengan izin komersil. Menurutnya kerugian negara yang didakwakan oleh KPK adalah framing hasil rekayasa.

  • Marissa Anita Minta Didoakan setelah Gugat Cerai Suami

    Marissa Anita Minta Didoakan setelah Gugat Cerai Suami

    Jakarta, Beritasatu.com- Aktris film sekaligus jurnalis senior Marissa Anita meminta doa terbaik dari masyarakat Indonesia. Permintaannya tersebut mencuat setelah Marissa Anita diketahui telah menggugat cerai suaminya, Andrew Trigg di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

    “Mohon doa dan energi terbaik selama saya melewati semua ini,” tulis Marissa, dikutip dari akun X pribadinya, @MarissaAnita, Rabu (19/11/2025).

    Aktris Gundala dan Impetigore tersebut menambahkan kondisinya saat ini baik-baik saja. Ia berterima kasih atas pesan positif yang dialamatkan kepadanya di tengah menjalani proses perceraian dengan sang suami yang telah menikahinya selama 17 tahun tersebut.

    “Terima kasih atas pesan cinta yang berdatangan dari kalian yang terkasih. Saya baik-baik saja. Salam cinta sedalam-dalamnya untuk kalian manusia-manusia baik dan penuh cinta,” pungkas Marissa.

    Terlihat di kolom komentar, netizen ramai menyemangati dan mendoakan Marissa agar bisa melewati masa sulit ini dengan lancar.

    “Karena jatah semua manusia hanya hidup satu kali, maka kita berhak memilih untuk hidup tenang dan bahagia. Sehat selalu, idolaku,” kata akun @du2*****ngde*an.

    “Mbak Mar, setelah perjalanan panjang pencarian dirimu ternyata masih harus melewati satu jalan panjang lagi. Hope u find ur own hapiness and peace. Love you,” tulis @no*****avebby.

    “Kak, I know this hard decision is already putting you in hard time. Saya yakin keputusannya sudah dipikirkan dengan matang. Semangat, Kak. May you find love know no end,” semangat dari netizen pemilik akun bernama @alien_k******.

    Sebelumnya, pihak humas PN Jakarta Pusat mengonfirmasi gugatan cerai dari Marissa Anita itu didaftarkan sejak 12 November 2025.

    “Bahwa benar, atas nama yang disebutkan (Marissa Anita) telah menggugat cerai suaminya dan terdaftar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 12 November 2025,” ujar Humas PN Jakpus Sunoto kepada wartawan, Senin (17/11/2025).

  • Saksi Kasus BBM Bicara Alasan TNI Dapat Harga Solar Lebih Mahal dari Swasta

    Saksi Kasus BBM Bicara Alasan TNI Dapat Harga Solar Lebih Mahal dari Swasta

    Saksi Kasus BBM Bicara Alasan TNI Dapat Harga Solar Lebih Mahal dari Swasta
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga tahun 2021-2023, Alfian Nasution, menjelaskan alasan harga jual bahan bakar minyak (BBM) untuk instansi pemerintah seperti TNI bisa mendapatkan harga yang lebih mahal daripada harga untuk perusahaan swasta.
    Hal ini Alfian sampaikan saat diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di PT Pertamina Persero dengan Eks Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga periode 2023-2025 Riva Siahaan yang duduk di kursi terdakwa.
    Awalnya, jaksa lebih dahulu mempertanyakan perbedaan harga biosolar ini kepada Alfian.
    “Pertanyaan selanjutnya kenapa dari PT PPN sendiri menjual produk biosolar tersebut lebih mahal ke pemerintah daripada ke sektor swasta yang tadi saya sebutkan, apa alasan?” tanya jaksa dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025)
    Alfian menjelaskan, setiap entitas punya sejarah dan rekam jejak pemesanannya ke Pertamina. Proses setelah pemesanan dan kerumitan kebutuhan juga ikut menjadi pertimbangan.
    “Contohnya ke
    TNI
    misalnya Pak ya gitu. Kita kan ada historis juga masalah pembayaran, Pak. Pembayaran kadang-kadang bisa setahun bisa dua tahun (baru dibayar),” kata Alfian.
    Adapun, TNI juga memasukkan sejumlah klausul dalam pemesanannya kepada Pertamina. Misalnya, soal ketersediaan BBM di pangkalan yang diinginkan TNI.
    “Terus
    availability
    -nya,
    accessibility
    -nya, itu harus bisa ditempuh di tempat-tempat yang TNI butuhkan, mereka bilang di sini, kita harus suplai di sini, gitu. Terus, harus ada stok, karena ini kan untuk TNI. Jadi, pertimbangan-pertimbangan strategis itu,” lanjut Alfian.
    Ia menegaskan, lamanya waktu pembayaran juga menjadi pertimbangan karena ada perhitungan biaya tambahan yang perlu dikeluarkan Pertamina.
    “Lagi, waktu pembayaran, itu kan
    cost of money
    di situ. Kalau tersebut pembayaran bisa setahun, bisa dua tahun dan sebagainya. Itu, jadi pertimbangan kami untuk membuat harga untuk ke TNI misalnya sedikit atau berbeda dengan harga ke customer tertentu,” kata Alfian.

    Dalam sidang, Alfian maupun jaksa tidak menyebutkan spesifik berapa harga biosolar yang ditagihkan ke TNI.
    Namun, Alfian menegaskan, PT Pertamina Patra Niaga punya metode dan rumus tersendiri untuk penawaran harga pada setiap kliennya, tidak hanya TNI.
    “Misalnya dengan PLN. Tentu kan kita harus juga jaga-jaga. Jangan sampai nanti… PLN kan punya produk substitusi, artinya dia bisa mengganti solar kita tuh dengan batubara misalnya,” jelas Alfian.
    Adanya produk substitusi yang bisa digunakan PLN juga mempengaruhi penawaran yang diberikan Pertamina.
    Dalam dakwaan kasus ini, tidak disinggung soal kejanggalan terkait BBM untuk TNI atau PLN.
    Namun, para terdakwa diduga telah memperkaya sejumlah perusahaan asing dalam proses impor BBM dan beberapa proyek pengadaan lain.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Menanti ‘Nyanyian’ Nadiem Makarim soal Korupsi Chromebook di Ruang Sidang

    Menanti ‘Nyanyian’ Nadiem Makarim soal Korupsi Chromebook di Ruang Sidang

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemeriksaan kasus korupsi chromebook yang diduga melibatkan Nadiem Makarim terus berlanjut di Kejaksaan Agung (Kejagung). Baru-baru ini, Kejagung melimpahkan tersangka dan barang bukti (tahap II) ke Kejari Jakarta Pusat.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Anang Supriatna mengatakan satu dari empat tersangka yang dilimpahkan itu adalah eks Mendikbudristek Nadiem Makarim. Dia mengatakan bahwa pada hari Senin, Nadiem Makarim dilimpahkan tahap 2 ke Kejari Jakpus.

    “Hari ini [Nadiem dkk] ini dilimpah tahap 2 ke Kejari Jakarta Pusat,” ujar Anang saat dihubungi, Senin (10/11/2025).

    Selain Nadiem, Anang pihaknya melimpahkan juga Sri Wahyuningsih (SW) selaku Direktur SD Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah periode 2020-2021 dan mantan Direktur SMP Kemendikbudristek, Mulyatsyah (MUL).

    Selanjutnya, Konsultan Perorangan Rancangan Perbaikan Infrastruktur Teknologi Manajemen Sumber Daya Sekolah pada Kemendikbudristek, Ibrahim Arief (IBAM) turut dilimpahkan ke Kejari Jakpus.

    Adapun, tim Jaksa Penuntut Umum akan segera mempersiapkan Surat Dakwaan empat tersangka itu untuk nantinya dibacakan di PN Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    Sekadar informasi, kasus ini berkaitan dengan pengadaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), termasuk Chromebook untuk menunjang program digitalisasi pendidikan di Kemendikbudristek periode 2019-2022.

    Dari proyek tersebut, Nadiem Makarim Cs diduga telah memuluskan pengadaan Chromebook yang dinilai tidak efektif jika digunakan di daerah 3 T (terluar, tertinggal dan terdepan).

    Sementara itu, Kejagung juga telah menaksir kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp1,9 triliun. Kerugian negara itu timbul dari perhitungan selisih kontrak dengan harga penyedia dengan metode ilegal gain. Perinciannya, item software Rp480 miliar, dan mark up dari selisih harga kontrak di luar CDM senilai Rp1,5 triliun.

    Pada pertengahan Oktober silam, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah memeriksa mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim dalam kapasitasnya sebagai tersangka selama kurang lebih 10 jam. Usai diperiksa KPK, Nadiem tampak lesu setelah diperiksa di markas Jampidsus Kejagung RI itu.

    Sekadar informasi, Nadiem merupakan salah satu tersangka kasus dugaan korupsi program digitalisasi pendidikan alias pengadaan laptop Chromebook periode 2018-2022.

    Nadiem diduga memiliki peran penting dalam dugaan korupsi pengadaan Chromebook di Kemendikbudristek. Pasalnya, pendiri Go-Jek tersebut diduga memerintahkan pemilihan Chromebook untuk mendukung program digitalisasi pendidikan di Kemendikbudristek.

    Adapun, Nadiem juga telah melakukan upaya hukum untuk melepaskan status tersangkanya melalui gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada Selasa (23/9/2025). Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan untuk menolak permohonan gugatan praperadilan dari mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim.

    4 Tersangka Lain Kasus Chromebook

    Pada Juli 2025, Penyidik Kejaksaan Agung membeberkan peran 4 tersangka kasus korupsi pengadaan Chromebook di Kemendikbudristek. Direktur Penyidikan JAMpidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar membeberkan untuk tersangka eks staf khusus Nadiem Makarim atas nama Jurist Tan, pada Agustus 2019 lalu bersama Fiona Handayani membuat grup Whatsapp bernama Mas Menteri Core Team.

    Qohar menjelaskan bahwa grup tersebut membahas mengenai rencana pengadaan program digitalisasi pendidikan di Kemendikbudristek apabila Nadiem terpilih sebagai menteri.

    Selanjutnya, ketika Nadiem resmi ditunjuk menjadi menteri era Presiden Jokowi, Qohar menjelaskan grup tersebut mulai membahas pengadaan TIK menggunakan Chrome OS antara Jurist Tan dengan Yeti Khim dari Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan. 

    “Kemudian, dilakukan penunjukan jabatan konsultan untuk Ibrahim Arief agar membantu pengadaan TIK ini,” tuturnya di Jakarta, Rabu (16/7/2025).

    Qohar menjelaskan bahwa Jurist Tan juga menindaklanjuti pengadaan TIK tersebut dengan cara mempimpin sejumlah rapat melalui zoom meeting dan meminta agar rencananya itu diberi dukungan.

    “JS selaku Staf Khusus Menteri bersama Fiona memimpin rapat-rapat melalui zoom meeting meminta kepada SW selaku Direktur SD, kemudian MUL selaku Direktur SMP, kemudian IBAM yang hadir pada saat rapat meeting agar mengadakan TIK di Kementerian Kemendikbud Ristek dengan menggunakan Chrome OS,” katanya.

    Setelah mendapatkan dukungan, kemudian Jurist Tan menindaklanjutinya dengan cara menemui Google, di mana sebelumnya Google juga telah bertemu Nadiem Makarim untuk membahas pengadaan TIK tersebut.

    Hasil pertemuan dengan Google itu lalu disampaikan Jurist Tan kepada Ibrahim Arief, Sri Wahyuningsih, Mulatsyah, dan Nadiem Makarim dalam sebuah zoom meeting.

    Sedangkan tersangka Ibrahim Arief, kata Qohar berperan membuat rencana untuk penggunaan Chromebook bersama Nadiem Makarim dalam proyek pengadaan TIK. Dia mengarahkan tim teknis mengeluarkan hasil kajian teknis berupa Chrome OS dengan cara mendemonstrasikan melalui zoom meeting.

    “Tersangka IBAM juga hadir bersama dengan tersangka JT, SW, dan MUL dalam rapat zoom meeting yang dipimpin oleh NAM yang memerintahkan menggunakan ChromeOs dari Google sedangkan saat itu pengadaan belum dilaksanakan,” ujarnya.

    Untuk hasil kajian pertama sendiri, menurut Qohar, tidak ditandatangani Ibrahim Arief karena tidak menyebutkan rekomendasi penggunaan chromebook. Sedangkan pada kajian kedua baru dijadikan acuan karena menyebutkan rekomendasi atas kajian chromebook.

    Sementara itu, untuk peran tersangka Sri Wahyuningsih yaitu selaku Direktur Sekolah Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah pada tahun 2020-2021 sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) di Lingkungan Direktorat Sekolah Dasar. 

    Menurutnya, Sri Wahyuningsih berperan turut serta bersama Mulatsyah, Jurist Tan, Ibrahim Arief, dan Nadiem membahas pengadaan ChromeOs dari Google yang saat itu pengadaan belum dilaksanakan.

    “Tersangka SW melalui temannya berinisial IT (swasta) menyuruh saudara BH selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Direktorat SD tahun 2020) agar menindaklanjuti perintah Mendikbudristek NAM untuk memilih pengadaan TIK dengan operating system ChromeOS dengan metode e-catalog,” tuturnya.

    Sri Wahyuningsih, kata dia, juga mengganti PPK karena tidak mampu melaksanakan perintah Nadiem untuk pengadaan TIK menggunakan Chrome OS. Kemudian, Sri Wahyuningsih menyuruh PPK yang baru memesan chromebook setelah bertemu dengan perwakilan dari PT Bhinneka Mentaridimensi selaku penyedia.

    “Bahwa tersangka SW memerintahkan WH selaku PPK untuk mengubah metode e-katalog menjadi SIPLAH (system Informasi Pengadaan Sekolah) dan membuat petunjuk pelaksanaan bantuan pemerintah pengadaan TIK di Kemendikbudristek,” kata Qohar.

  • Segera Disidang, Kejagung Limpahkan Nadiem Makarim Cs ke Kejari Jakpus

    Segera Disidang, Kejagung Limpahkan Nadiem Makarim Cs ke Kejari Jakpus

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) limpahkan tersangka dan barang bukti (tahap II) kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook ke Kejari Jakarta Pusat.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Anang Supriatna mengatakan satu dari empat tersangka yang dilimpahkan itu adalah eks Mendikbudristek Nadiem Makarim.

    “Hari ini [Nadiem dkk] ini dilimpah tahap 2 ke Kejari Jakarta Pusat,” ujar Anang saat dihubungi, Senin (10/11/2025).

    Selain Nadiem, Anang pihaknya melimpahkan juga Sri Wahyuningsih (SW) selaku Direktur SD Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah periode 2020-2021 dan mantan Direktur SMP Kemendikbudristek, Mulyatsyah (MUL).

    Selanjutnya, Konsultan Perorangan Rancangan Perbaikan Infrastruktur Teknologi Manajemen Sumber Daya Sekolah pada Kemendikbudristek, Ibrahim Arief (IBAM) turut dilimpahkan ke Kejari Jakpus.

    Adapun, tim Jaksa Penuntut Umum akan segera mempersiapkan Surat Dakwaan empat tersangka itu untuk nantinya dibacakan di PN Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    Sekadar informasi, kasus ini berkaitan dengan pengadaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), termasuk Chromebook untuk menunjang program digitalisasi pendidikan di Kemendikbudristek periode 2019-2022.

    Dari proyek tersebut, Nadiem Makarim Cs diduga telah memuluskan pengadaan Chromebook yang dinilai tidak efektif jika digunakan di daerah 3 T (terluar, tertinggal dan terdepan).

    Sementara itu, Kejagung juga telah menaksir kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp1,9 triliun. Kerugian negara itu timbul dari perhitungan selisih kontrak dengan harga penyedia dengan metode ilegal gain. Perinciannya, item software Rp480 miliar, dan mark up dari selisih harga kontrak di luar CDM senilai Rp1,5 triliun.

  • Eggi Sudjana Tuding Ada Keanehan Hukum Usai Ditetapkan Tersangka

    Eggi Sudjana Tuding Ada Keanehan Hukum Usai Ditetapkan Tersangka

    GELORA.CO -Kuasa hukum Bambang Tri Mulyono, Eggi Sudjana baru saja ditetapkan tersangka oleh Polda Metro Jaya bersama tujuh orang lainnya dalam kasus dugaan tindak pidana fitnah terkait tuduhan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).

    Eggi Sudjana angkat bicara terkait penetapan tersebut. Ia menilai dalam perkara ini terdapat keanehan hukum di Indonesia.

    “Ada keanehan hukum, nah itu istilah saya. Aneh dalam perspektif logika yang tidak seharusnya, kenapa seharusnya terjadi,” kata Eggi dikutip dalam kanal YouTube Refly Harun, Minggu 9 November 2025. 

    Ia lantas menjelaskan poin penting dalam proses hukum tersebut. Pertama, terkait pasal 16 UU No.18/2003 yang memberikan hak imunitas hukum kepada advokat.

    “Saya bertindak dalam konteks yang dilaporkan ini sebagai advokat oleh saudara Joko Widodo. Oleh karena itu, sebagai advokat menurut pasal 16 (UU tentang Advokat) tidak bisa digugat perdata dan dituntut pidana, itu undang-undang,” jelasnya.    

    Hal itu terjadi saat Eggi menjadi pengacara dari Bambang Tri dan Gus Nur pada 2022. Usai berjalannya sidang sebanyak tiga kali di PN Jakarta Pusat, Bambang Tri lantas ditangkap.

    “Maka berpindahlah peristiwa hukum perdata ke pidana. Itu logika yang tidak bisa dibantah. Nah, perpindahan hukum itu berkonsekuensi logis secara ilmu hukum,” jelasnya lagi.

    Ia menyebut ada pasal yang tidak digunakan dalam proses hukum kedua kliennya yakni pasal 14 dan 15 UU No. 1/1946 yang mengatur hukum pidana di Indonesia.

    “Jadi tidak ada berita hoax atau berita palsu yang menghebohkan karena pasal itu tidak dipakai di PT (pengadilan tinggi),” pungkasnya

  • Sidang Korupsi BBM Bakal Lanjut ke Pembuktian

    Sidang Korupsi BBM Bakal Lanjut ke Pembuktian

    Sidang Korupsi BBM Bakal Lanjut ke Pembuktian
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Majelis hakim mengatakan, dakwaan dari jaksa penuntut umum (JPU) telah secara jelas menguraikan tindak pidana yang dilakukan oleh Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan; Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya; dan VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne.
    “Majelis mencermati secara saksama justru ada pengakuan penasihat hukum terdakwa bahwa perbuatan pidana telah diuraikan secara cermat, jelas, dan lengkap, paling tidak sudah cukup tergambar dalam surat dakwaan,” ujar Hakim Ketua, Fajar Kusuma Aji, saat membacakan amar putusan sela dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (6/11/2025).
    Hakim berpendapat, uraian dalam dakwaan ini perlu dibuktikan lebih lanjut dalam persidangan.
    “Namun demikian untuk membuktikan, perlu diperiksa saksi-saksi, bukti, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa di dalam persidangan pokok perkara,” lanjut Hakim Fajar.
    Hakim sempat menyinggung sedikit rangkaian tindak pidana yang dilakukan oleh ketiga terdakwa dengan pihak-pihak lainnya.
    Misalnya, dalam proyek pengadaan atau impor bahan bakar minyak (BBM) jenis gasoline RON 90 atau pertalite dan RON 92 atau Pertamax.
    Riva, Edward, dan Maya disebutkan memberikan perlakuan khusus kepada sejumlah rekanan yang merupakan perusahaan asing.
    “Tindak pidana yang dilakukan dalam bentuk kolaborasi atau kerja sama antara penyelenggara negara dengan pihak swasta di dalam pengadaan BBM Pertalite dan Pertamax,” lanjut hakim membacakan pertimbangan hukumnya.

    Para terdakwa dinilai melakukan beberapa perbuatan melawan hukum, seperti membocorkan harga perkiraan sendiri (HPS) dan memberi kelonggaran waktu bagi perusahaan asing untuk menyampaikan penawaran, padahal saat itu periode penyampaian penawaran sudah ditutup.
    Hal-hal ini dinilai bertentangan dengan pedoman dan etika pengadaan dalam menjalankan bisnis impor dan ekspor BBM.
    Perbuatan Riva dkk dalam pengadaan impor BBM ini juga merugikan negara hingga Rp 25,4 triliun sekaligus memperkaya sejumlah perusahaan swasta asing.
    “Majelis hakim mempertimbangkan bahwa telah diuraikan dan telah cukup tergambar dalam melakukan perbuatan terdakwa Riva Siahaan, menyetujui dan mengusulkan kepada dirut rekanan yaitu BP Singapore Pte Ltd dan Sinochem International Oil (Singapore) Pte Ltd yang dipilih melalui pembelian atau lelang yang tidak sebagaimana mestinya,” lanjut hakim.
    Atas pertimbangan-pertimbangan ini, hakim menolak nota keberatan atau eksepsi dari Riva Siahaan, Edward Corne, dan Maya Kusmaya.
    “Mengadili, menyatakan keberatan dari penasihat hukum terdakwa
    Riva Siahaan
    tidak bisa diterima,” kata hakim dalam amarnya.
    Pada kasus ini, para terdakwa maupun tersangka disebutkan telah menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 285,1 triliun.
    Setidaknya, ada sembilan orang yang lebih dahulu dihadirkan di persidangan, antara lain: Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa; Muhamad Kerry Adrianto Riza; Direktur Utama PT
    Pertamina
    International Shipping, Yoki Firnandi; VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono; Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, Dimas Werhaspati; dan Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, Gading Ramadhan Joedo.
    Kemudian, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan; Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin; Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya; dan VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne.
    Sejauh ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan 18 tersangka.
    Namun, berkas 9 tersangka lainnya baru dilimpahkan ke Kejari Jakpus, kecuali berkas Riza Chalid yang saat ini masih buron.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.