KPK Panggil Eks Dirut Pertamina Dwi Soetjipto Terkait Kasus Korupsi LNG
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK
) memanggil mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero)
Dwi Soetjipto
terkait kasus korupsi pengadaan gas cair alam atau Liquefied Natural Gas (LNG) di PT Pertamina Tahun 2011-2014.
“Pemeriksaan dilakukan di Gedung KPK Merah Putih,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto dalam keterangannya, Senin (7/1/2024).
Selain Dwi Soetjipto, KPK juga memeriksa enam orang lainnya sebagai saksi untuk kasus yang sama.
Mereka adalah Aji Saputra selaku Analyst Direktorat Perencanaan Investasi dan Manajemen Resiko (PIMR); Luhut Budi Djatmika selaku mantan Direktur Umum PT Pertamina periode 2012-2014; dan Amir Harahap selaku Manager LNG Transportasion–Direktorat Gas (PT Pertamina).
Kemudian, Tanudji Darmasakti selaku mantan SVP Gas & LNG Management PT Pertamina; Hari Karyuliarto selaku mantan Direktur Gas PT Pertamina (Persero); dan Ali Mundakir selaku mantan VP Corporate Communication PT Pertamina.
Sebelumnya, KPK diketahui mengembangkan kasus korupsi pengadaan gas cair alam atau LNG di PT Pertamina.
Pada 2 Juli 2024, KPK menetapkan dua pejabat PT Pertamina lainnya sebagai tersangka dalam kasus tersebut yaitu, Senior Vice President (SVP) Gas & Power PT Pertamina tahun 2013-2014 Yenni Andayani dan Direktur Gas PT Pertamina Periode 2012-2014 Hari Karyuliarto.
Adapun Eks Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan telah divonis sembilan tahun penjara dalam kasus korupsi tersebut.
Karen dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut.
Majelis Hakim menilai perbuatan Karen melanggar Pasal Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama sembilan tahun dan denda sebesar Rp 500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan,” ujar Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat pada 24 Juni 2024.
Vonis tersebut lebih ringan dua tahun dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang meminta agar Karen dibui selama 11 tahun.
Atas vonis itu, Karen mengajukan banding. Kemudian, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menguatkan hukuman sembilan tahun penjara terhadap Karen Agustiawan dalam kasus dugaan korupsi pengadaan gas alam cair atau LNG di PT Pertamina.
Dalam putusan perkara nomor 41/PID.SUS-TPK/2024/PT DKI ini, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi menguatkan putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
“Menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 12/Pid.Sus-TPK/2024/PN.JKT. PST, tanggal 24 Juni 2024,” demikian bunyi amar putusan banding yang dikutip di situs Mahkamah Agung (MA) pada 2 September 2024.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: Pengadilan TIPIKOR Jakarta
-
/data/photo/2016/03/31/135302520160330HER251780x390.JPG?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Panggil Eks Dirut Pertamina Dwi Soetjipto Terkait Kasus Korupsi LNG
-

Nasib Istri Hakim yang Vonis Bebas Ronald Tannur, Ngaku Syok Hingga Tak Bisa Tidur Berhari-hari – Halaman all
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Rita Sidauruk, istri Erintuah Damanik yang merupakan hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang vonis bebas Ronald Tannur, mengaku syok hingga tak bisa tidur berhari-hari usai jaksa penyidik menggeledah kamar apartemennya di Surabaya.
Adapun hal itu diungkapkan Rita pada saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi dalam sidang kasus suap vonis bebas Ronald Tannur yang membelit suaminya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (7/1/2025).
Rita menceritakan awalnya penyidik Kejaksaan Agung menggeledah apartemen yang dihuninya bersama sujami, Erintuah Damanik, pada pagi buta, 23 Oktober 2024 lalu.
Kata Rita pada saat itu penyidik datang ke kamar apartemennya sekitar pukul 06.30 WIB ketika dirinya tengah bersiap memasak.
“Belum saya memasak, pintu sudah diketuk,” kata Rita pada Jaksa.
Ia pun menerangkan, pada saat penyidik datang, Erintuah juga masih berada di lokasi dan baru saja bangun tidur.
Kemudian Erintuah pun, ucap Rita, meminta agar dirinya membuka pintu dan mengaku kaget ketika mengetahui yang ada datang adalah penyidik dari Kejaksaan.
“Saya buka nah terus mereka masuk semua. Katanya dari Kejaksaan Agung, kita buka pintu masuk semua. Saya terus terang pak shock disitu, kaget saya, ada apa kan gitu, saya gak bisa ngomong, saya diam,” ucap Rita.
Rita menuturkan bahwa pada saat itu penyidik langsung melakukan penggeledahan di berbagai ruangan yang ada di apartemennya, termasuk ruang kamar.
“Sampai selesainya itu hampir sore kayaknya jam 3n kalau gak salah itu pak,” jelasnya.
Setelah proses penggeledahan yang cukup panjang, Rita pun mengaku kepada Penuntut Umum bahwa suaminya langsung dibawa ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) oleh jaska penyidik.
Saat itu sejatinya hanya Erintuah yang hendak diboyong jaksa penyidik ke Kejati Jatim, namun Rita kala itu meminta agar turut serta mendampingi suaminya.
“Saya mohon sama Jaksa waktu itu ‘pak saya ikut, saya mau lihat suami saya mau dibawa kemana’. Jadi saya minta ikut waktu itu,” tuturnya.
Pada saat Erintuah dibawa ke kantor Kejati Jatim, Rita mengaku bertambah stres lantaran harus berpisah dengan suaminya.
Sebab, saat itu sekitar pukul 22.00 WIB Rita diminta oleh penyidik untuk pulang terlebih dahulu sedangkan Erintuah tidak diizinkan pulang.
Setelah dirinya kembali ke apartemen, Rita kembali syok ketika melihat jaksa penyidik masuk ke ruang apartemen yang bersebelahan dengan kamar yang ia huni bersama Erintuah
“Karena waktu penggeledahan itu ternyata karena (Jaksa penyidik) ada beberapa yang duduk, saya bilang ‘pak berbaring aja pak disini saya kasih alas tidur’ saya lihat Jaksa masuk ke sebelah, ke sebelah apartemen saya,” ucapnya.
“Itu yang buat saya, saya enggak berani melihat orang lagi pak, ketakutan yang sangat mencekam sampai beberapa minggu. Terus kadang abis itu juga ada ketuk-ketuk, saya gak bisa tidur berhari-hari,” pungkasnya.
Didakwa Terima Suap Rp 1 M dan 308 Ribu Dollar Singapura
Proses pelimpahan tersangka dan barang bukti (tahap II) perkara dugaan korupsi berupa suap yang menjerat tiga tersangka hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dalam vonis bebas Gregorius Ronald Tannur di Kantor Kejari Jakarta Pusat, Jumat (13/12/2024). (Dok. Istimewa)
Tiga hakim PN Surabaya yang memvonis bebas terdakwa kasus penganiayaan Ronald Tannur, menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (24/12/2024).
Dalam sidang perdana tersebut ketiga Hakim PN Surabaya yakni Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo didakwa telah menerima suap sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000 atau Rp 3,6 miliar terkait kepengurusan perkara Ronald Tannur.
Uang miliaran tersebut diterima ketiga hakim dari pengacara Lisa Rahmat dan Meirizka Wijaja yang merupakan ibu dari Ronald Tannur.
“Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan yang menerima hadiah atau janji, berupa uang tunai sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000,” ucap Jaksa Penuntut Umum saat bacakan dakwaan.
Pada dakwaannya, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menyebut bahwa uang miliaran itu diterima para terdakwa untuk menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur.
“Kemudian terdakwa Erintuah Damanik, Heru Hanindyo dan Mangapul menjatuhkan putusan bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur dari seluruh dakwaan Penuntut Umum,” ucapnya.
Lebih lanjut jaksa menuturkan, bahwa uang-uang tersebut dibagi kepada ketiga dalam jumlah yang berbeda.
Adapun Lisa dan Meirizka memberikan uang secara tunai kepada Erintuah Damanik sejumlah 48 Ribu Dollar Singapura.
Selain itu, keduanya juga memberikan uang tunai senilai 48 Ribu Dollar Singapura yang dibagi kepada ketiga hakim dengan rincian untuk Erintuah sebesar 38 Ribu Dollar Singapura serta untuk Mangapul dan Heru masing-masing sebesar 36 Ribu Dollar Singapura.
“Dan sisanya sebesar SGD30.000 disimpan oleh Terdakwa Erintuah Damanik,” jelas Jaksa.
Tak hanya uang diatas, Lisa dan Meirizka diketahui kembali memberikan uang tunai kepada terdakwa Heru Hanindyo sebesar Rp 1 miliar dan 120 Ribu Dollar Singapura.
“Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili,” kata dia.
Akibat perbuatannya itu ketiga terdakwa pun didakwa dengan dan diancam dalam Pasal 12 huruf c jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
-

Komjak RI Dorong Jaksa Kejar Otak Kasus Timah
Jakarta (beritajatim.com) – Komisi Kejaksaan (Komjak) RI jaksa penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus untuk menuntaskan perkara dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dalam kasus Pengelolaan Tata Niaga Komoditas Timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Timah Tbk Tahun 2015-2022.
Menurut anggota Komjak RI Nurokhman, pihaknya secara aktif telah melakukan pemantauan dan pengawasan kasus yang menarik perhatian publik tersebut. Dia menjelaskan, dalam kasus tersebut ada 17 terdakwa yang telah divonis bersalah pada sidang tingkat pertama.
Nurokhman menjelaskan, hasil putusan pengadilan di tingkat pertama tersebut, JPU telah berhasil membuktikan kerugian negara dalam kasus itu mencapai Rp 300 triliun. Namun, denda dan pengembalian kerugian negara dari hasil putusan pengadilan terhadap 17 terdakwa hanya Rp 12,2 triliun.
“180an triliun rupiah sisanya ke mana dan siapa yang menikmatinya,” ujar Nurokhman pada saat pers konference capaian kinerja Komjak tahun 2024 di kantor Komjak RI, Jakarta Selatan, Senin (6/1/2024).
Nurokhman yakin, Kejaksaan akan mengembangkan perkara tersebut dengan menjerat tersangka lainnya berdasarkan dari fakta-fakta yang telah terungkap dalam persidangan baik korporasi maupun aktor intelektualnya.
“Kita yakin jaksa penyidik akan menjadikan fakta persidangan dan putusan majelis hakim menjadi petunjuk untuk mengejar tersangka lainnya, di antaranya perkara korporasinya,” ujarnya.
Dia mengatakan, jaksa penyidik perlu bekerja keras untuk mengejar siapa yang bertanggungjawab dan siapa saja yang menikmati hasil kejahatan yang telah terbukti mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun tersebut.
“Publik tengah menunggu siapa mereka. Kita optimis jaksa penyidik mampu memburu aset-aset hasil kejahatan tersebut untuk pemulihan kerugian negara,” katanya.
Dia menyebut, tim Komjak RI secara langsung juga melakukan pemantauan terhadap persidangan para Terdakwa yang disidangkan di PN Tipikor Jakarta Pusat. Dakwaan-dakwaan dan tuntutan pidana yang diajukan oleh tim Jaksa Penuntut Umum terhadap para terdakwa sejumlah 17 orang di PN Tipikor Jakarta Pusat telah sampai pada tahap putusan. Putusan Majelis Hakim menyampaikan pertimbangan unsur kerugian negara.
Kerugian negara yang mencapai 300T sebagaimana tuntutan JPU, umumnya Hakim mengatakan masing-masing Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan melakukan tindak pidana pencucian uang secara bersama-sama sebagaimana dakwaan yang diajukan JPU.
“Kami sangat mendukung agar JPU menggunakan upaya hukum banding untuk melakukan penegakan hukum yang maksimal dan upaya consistent dalam rangka pemberantasan korupsi dan tindak pidana pencucian uang,” tegasnya. [hen/ian]
-

Pengamat: Vonis Ringan Koruptor Timah Nodai Semangat Pemerintahan Prabowo dalam Berantas Korupsi – Halaman all
Pengamat sebut Vonis Ringan Koruptor Timah Nodai Semangat Pemerintahan Prabowo Berantas Korupsi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengamat hukum dan politik Pieter C Zulkifli menyebut, vonis ringan koruptor timah, Harvey Moeis, telah menodai semangat pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam memberantas korupsi di Tanah Air.
Ada pun Harvey hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara meskipun negara dirugikan hingga Rp 300 triliun.
“Hukuman yang tak sebanding dengan nilai kerugian negara Rp 300 triliun itu telah menodai semangat pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam memberantas korupsi,” kata dia dalam keterangannya Jumat (3/1/2025).
Mantan Ketua Komisi III DPR RI itu mengungkapkan vonis ringan, baik dari segi hukuman penjara maupun denda menjadi pertanyaan publik.
Masyarakat bahkan mempertanyakan siapa sebenarnya aktor utama di balik kasus tambang timah ilegal tersebut.
“Dan mengapa penerapan hukumnya terasa begitu lunak? Integritas para penegak hukum pun kembali dipertanyakan,” ucapnya.
Di sisi lain, Pieter Zulkifli menyebut tidak adil jika tanggung jawab atas kerusakan dan kerugian negara akibat rasuah timah itu hanya dibebankan pada seorang Harvey, sementara sejauh ini sudah ada 22 tersangka dalam kasus itu.
“Jaksa penuntut dan pengadilan tampaknya mengabaikan penerapan hukum yang benar untuk mendalami akar masalah perkara korupsi tata niaga timah, yaitu aktor-aktor besar di balik operasi tambang ilegal,” ucap dia.
Pieter Zulkifli juga menyinggung beberapa pelaku kasus korupsi timah yang mendapat vonis ringan selain Harvey tapi luput dari sorotan publik.
Mereka antara lain Suparta selaku Direktur Utama PT Refined Bangka Tin yang mendapat hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, vonis itu jauh dari tuntutan jaksa yang menginginkan 14 tahun penjara.
Lalu, ada Reza Andriansyah sebagai Direktur Pengembangan Usaha perusahaan yang sama hanya divonis 5 tahun penjara dengan denda Rp750 juta.
Begitu pula dengan Tamron Tamsil, Suwito Gunawan, dan Robert Indarto yang juga mendapat hukuman ringan dan jauh lebih ringan dibandingkan kerugian negara.
“Fenomena ini mencerminkan lemahnya penerapan prinsip efek jera dalam penegakan hukum di Indonesia,” ucap dia.
Pieter Zulkifli mengatakan ketidaksesuaian antara tuntutan dan vonis itu menimbulkan spekulasi adanya kesepakatan tidak transparan antara jaksa, hakim, dan para terdakwa.
Lebih jauh, kritik juga mengarah pada proses awal penyidikan yang diduga tidak berjalan dengan maksimal.
“Jika proses hukum sejak penyidikan sudah bermasalah maka hasil akhirnya, termasuk vonis, sulit diharapkan mencerminkan keadilan,” ujarnya.
Atas vonis ringan terhadap para pelaku korupsi timah itu, dia menekankan perlunya reformasi sistem hukum di Indonesia, khususnya dalam penerapan TPPU. Pieter Zulkifli menyatakan dalam konteks korupsi besar seperti itu, aset terdakwa harus ditelusuri, disita, dan digunakan untuk memulihkan kerugian negara.
“Pembuktian terbalik harus menjadi instrumen utama untuk memastikan bahwa setiap aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana dapat dikembalikan kepada negara,” ujarnya.
Selain itu, dia menegaskan untuk memberikan efek jera bagi koruptor, negara harus memiliki regulasi, peraturan perundang-undangan yang tegas, bukan vonis lamanya terdakwa harus dihukum, tetapi aset-aset terdakwa harus bisa ditelusuri dan disita Negara.
Oleh sebab itu, kata Pieter Zulkifli, negara dan pemimpin partai politik harus jujur dan serius menciptakan sistem pemberantasan korupsi yang tegas dan membuat efek jera.
Sebagai perbandingan, Singapura berhasil menciptakan sistem pemberantasan korupsi yang efektif meskipun hukuman penjaranya relatif ringan.
“Di sana, hukuman maksimal bagi koruptor hanya 6 bulan penjara, tapi semua aset-aset terdakwa disita oleh negara. Tak hanya itu, setelah terdakwa menjalani hukuman penjara, selamanya mereka tidak boleh lagi memiliki rekening bank, SIM dan paspor mantan terdakwa korupsi dicabut, kegiatan sehari-hari harus menggunakan transportasi umum, dan bahkan KTP diberi tanda khusus. Keluarga mantan terdakwa korupsi juga di bawah pengawasan negara. Pendekatan seperti ini menciptakan efek jera yang nyata,” ujar dia.
Pieter Zulkifli mengingatkan jika penilaian baik kepemimpinan Prabowo tidak hanya dari kebijakan ekonominya saja, tetapi juga dari keberhasilannya mereformasi sistem hukum dan memberantas korupsi.
Di samping dari itu, Prabowo juga harus sadar bahwa kritik terhadap pemerintahannya kali ini memiliki agenda tersembunyi, seperti upaya delegitimasi oleh pihak-pihak tertentu yang menggunakan isu ini untuk melemahkan kredibilitasnya.
Dia berpandangan Prabowo perlu memastikan bahwa gaya kepemimpinannya bisa menciptakan suasana yang nyaman bagi kabinetnya.
Kepemimpinan yang terlalu kaku dan militeristik hanya akan menciptakan ketakutan di kalangan menteri, sehingga laporan dan aspirasi bisa terhambat.
“Sebagai presiden, Prabowo harus menjadi seorang negarawan yang mampu memimpin dengan pendekatan yang humanis dan inklusif,” kata dia.
Pieter kembali menegaskan bahwa untuk memberantas korupsi dengan efektif, Indonesia membutuhkan sistem hukum yang lebih transparan dan tegas.
Penegakan hukum tidak boleh hanya fokus pada individu tertentu seperti Harvey, tetapi harus menyentuh seluruh aktor utama dan sistem yang mendukung praktik korupsi.
Selanjutnya, penyelidikan, penyidikan, dan penerapan pasal harus dilakukan dengan cermat dan konsisten agar keadilan tidak hanya menjadi slogan.
Tak hanya itu, Presiden dan pemimpin politik harus bersikap sebagai negarawan yang mampu menciptakan sistem yang adil, transparan, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Namun, diakui Pieter Zulkifli jika langkah itu membutuhkan keberanian, kejujuran, dan komitmen yang tak tergoyahkan. Jangan sampai hukum hanya menjadi alat permainan elite, sementara keadilan bagi rakyat tetap menjadi angan-angan belaka.
“Tanpa langkah nyata, korupsi besar seperti kasus timah ini hanya akan menjadi episode berikutnya dalam drama panjang ketidakadilan di Indonesia,” pungkasnya.
Harvey Moeis dijatuhi vonis 6,5 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Selain itu, Harvey diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar atau subsider 6 tahun penjara jika tidak melunasi.
Ia terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Harvey juga dijerat dengan Pasal 3 dan Pasal 4 UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
-

Anggota DPR Desak KPK dan Kejaksaan Agung Selidiki Hakim yang Vonis Rendah Harvey Moeis – Halaman all
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan untuk menyelidiki kemungkinan pelanggaran oleh hakim yang memvonis ringan terdakwa Harvey Moeis.
Harvey hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara meskipun negara dirugikan hingga Rp 300 triliun dalam kasus yang melibatkan sektor timah.
“Ya saya selaku anggota DPR RI mendorong agar Kejaksaan dan KPK sesuai kewenangannya melakukan penyelidikan dalam perkara ini,” kata Umbu saat dihubungi Tribunnews.com pada Jumat (3/1/2025).
Umbu menilai, vonis 6,5 tahun untuk Harvey Moeis sangat menciderai rasa keadilan di masyarakat.
Dia mengaitkan kasus Harvey Moeis dengan vonis bebas terhadap Ronald Tanur di Surabaya dalam dugaan pembunuhan.
Kasus tersebut kemudian terungkap melibatkan tindak pidana suap, di mana hakim, pengacara, dan pihak lain menjadi tersangka.
“Nah, hal ini yang kita khawatirkan. Bukan tidak mungkin atau patut diduga perkara-perkara sejenis ini akan terjadi seperti ini. Maka kita minta mendorong Kejaksaan, KPK untuk menjalankan tugas dan kewenangannya membuka tabir perkara ini,” ujar Umbu.
Umbu juga mengapresiasi langkah Kejaksaan yang telah mengajukan banding atas putusan Harvey Moeis.
Umbu berharap putusan di tingkat banding dapat mencerminkan keadilan dan memberikan efek jera, terutama dalam upaya menyelamatkan aset negara.
“Rp 300 triliun ini sangat besar, orang mencuri ayam saja ancamannya 5 tahun kan begitu. Jadi itu yang kami dorong agar adanya rasa keadilan di masyarakat tumbuh kembali,” ungkapnya.
Harvey Moeis dijatuhi vonis 6,5 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Selain itu, Harvey diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar atau subsider 6 tahun penjara jika tidak melunasi.
Ia terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Harvey juga dijerat dengan Pasal 3 dan Pasal 4 UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
-
Imbauan Presiden, Bukan Bentuk Intervensi
GELORA.CO – Mahkamah Agung RI (MA) merespons pernyataan Presiden RI Prabowo Subianto yang meminta sejatinya ada penegakan hukum yang tegas terhadap koruptor yang merugikan negara dalam jumlah besar.
Prabowo menyatakan, sejatinya para koruptor bisa divonis 50 tahun penjara oleh hakim pengadilan.
Menanggapi hal itu, Juru Bicara MA RI Yanto mengatakan, apa yang disampaikan oleh merupakan suatu imbauan kepada para pejabat negara untuk tidak korupsi.
“Maka kalau sudah terbukti kalau nggak salah begitu. Sudah terbukti itu kan imbauannya begitu,” kata Yanto saat jumpa pers di MA RI, Kamis (2/1/2025).
Dengan begitu, Yanto beranggapan kalau pernyataan dari Prabowo bukanlah sebuah bentuk intervensi dari eksekusi kepada yudikatif.
Kata dia, apa yang disampaikan oleh Prabowo merupakan suatu permintaan penjatuhan vonis apabila dalam persidangan sudah didapatkan bukti yang kuat terhadap koruptor.
“Kalau sudah jelas-jelas terbukti korupsi dan korupsinya besar begitu, mbok yo di (penjara) 50 tahun itu. Nah itu nggak intervensi. Ya kan penegasan aja,” kata dia.
“Kalau sudah jelas-jelas artinya sudah terbukti evidennya lengkap ya. Sesuai dengan alat bukti yang tertera dalam pasal 1 sampai 4 kuhap terpenuhi semua gitu. Sehingga 2 alat bukti dan keyakinan hakim,” sambung Yanto.
Menurut dia, lembaga eksekutif dapat dikatakan melakukan intervensi apabila dalam suatu persidangan terdapat permintaan untuk mengubah hasil putusan.
Sementara, apa yang disampaikan oleh Prabowo dipahami Yanto, merupakan bentuk wanti-wanti dari seorang Presiden kepada para koruptor.
“Tidak intervensi kepada yudikatif. Jadi intervensi itu kalau merah kau bikin hijau. Nah itu intervensi. Beliau kan nggak begitu dong. Jadi kita tidak merasa diintervensi,” tandas Yanto.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto meminta majelis hakim yang menangani kasus korupsi untuk memberi hukuman yang tidak terlalu ringan kepada para koruptor.
Menurut Prabowo, jika ada kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara ratusan triliun rupiah, maka seharusnya pelaku diganjar dengan hukuman berat, bahkan kalau perlu diganjar hukuman 50 tahun penjara.
Hal itu disampaikan Prabowo saat memberikan arahan di acara musyawarah rencana pembangunan nasional tahun 2025-2029 Bappenas pada Senin, (30/12/2024).
Prabowo menilai koruptor yang menyebabkan kerugian negara secara besar, sangat pantas untuk dihukum secara berat. “Terutama juga hakim-hakim, vonisnya jangan terlalu ringan lah,” kata Prabowo.
Prabowo mengaku heran kasus yang menyebabkan kerugian negara hingga ratusan triliun, namun terdakwanya hanya dihukum ringan.
Menurut Prabowo, rakyat Indonesia kini tidak bodoh. Publik mengerti akan hal itu. “Nanti dibilang Prabowo enggak ngerti hukum lagi. Tapi rakyat ngerti, rakyat di pinggir jalan ngerti, rampok ratusan triliun vonisnya sekian tahun. Ada yang curi ayam dihukum berat dipukuli. Ini bisa menyakiti rasa keadilan,” tegas Prabowo.
“Nanti jangan-jangan di penjara pakai AC, punya kulkas, pakai TV,” katanya.
Maka itu, ia meminta Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto memperhatikan soal ini.
“Tolong menteri pemasyarakatan, ya,” ujarnya.
Prabowo mengatakan dirinya tidak menyalahkan siapapun.
Dirinya hanya ingin semua unsur pemerintah termasuk aparat penegak hukum memperbaiki diri. Pasalnya kata dia rakyat Indonesia sekarang ini tidak bodoh.
“Ini kesalahan kolektif kita, mari kita bersihkan, makanya saya katakan aparat pemerintahan kita gunakan ini untuk membersihkan diri untuk membenahi diri sebelum nanti rakyat yang membersihkan kita lebih baik kita membersihkan diri kita sendiri. Rakyat Indonesia sekarang tidak bodoh mereka pintar-pintar semua orang punya gadget sudah lain ini bukan 30 tahun yang lalu ini bukan 20 tahun yang lalu,” ujarnya.
Meski tidak disampaikan secara eksplisit, ucapan Prabowo mengacu pada putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat yang memvonis Harvey Moeis bersalah atas tindak pidana korupsi pada penyalahgunaan izin usaha pengelolaan area PT Timah (Persero) Tbk. (TINS).
Harvey dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara dan membayar denda Rp 1 miliar. Jika tak dibayar, maka diganti dengan kurungan 6 bulan
Prabowo kemudian meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk naik banding atas kasus tersebut.
Baca juga: Prabowo Ingin Vonis Harvey Moeis Kira-kira 50 Tahun Penjara, Kejaksaan Agung Serius Ajukan Banding
“Tolong menteri pemasyarakatan ya, Jaksa Agung, naik banding enggak? Naik banding. Vonisnya ya 50 tahun kira-kira begitu,” ucapnya
-

Mahfud MD Tegur Etika Sidang Vonis Harvey: Ini Aneh
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Mantan Menkopolhukam, Prof Mahfud MD, menyampaikan kritik tajam terhadap jalannya sidang vonis Harvey Moeis.
Dikatakan Mahfud, ada pelanggaran tata tertib (tatib) dalam prosedur persidangan yang seharusnya dijalankan dengan penuh disiplin.
“Tatibnya, saat hakim masuk dan keluar ruang sidang pengunjung bersikap sempurna,” ujar Mahfud dalam keterangannya di aplikasi X @mohmahfudmd (3/12/2024).
Namun, ia menyebut bahwa dalam sidang vonis Harvey Moeis, situasinya berjalan di luar kebiasaan.
“Tapi sidang pengucapan vonis Harvey ini aneh,” cetusnya.
Setelah mengetukkan palu, hakim tetap duduk di tempatnya dan membiarkan Harvey merayakan putusan di depan majelis hakim.
“Setelah mengetukkan palu vonisnya hakim malah tetap duduk dan membiarkan Harvey bersukaria di depan majelis,” Mahfud menuturkan.
Mahfud bilang, dalam prosedur sidang yang benar, hakim seharusnya meninggalkan ruangan terlebih dahulu sebelum pengunjung atau pihak lain berdiri dan beraktivitas.
“Harusnya hakim keluar dulu, baru yang lain boleh berdiri,” kuncinya.
Untuk diketahui, nama Hakim Eko Aryanto mendadak ramai diperbincangkan publik setelah memimpin sidang kasus korupsi timah dengan kerugian negara mencapai Rp271 triliun.
Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tersebut menjatuhkan vonis 6,5 tahun penjara, denda Rp1 miliar.
Bukan hanya itu, Ketua Majelis Hakim juga hanya menjatuhkan kewajiban mengganti kerugian negara sebesar Rp210 miliar kepada terdakwa Harvey Moeis, suami selebritis Sandra Dewi.
-

MA Tak Mau Tanggapi Vonis Harvey Moeis, Sebut Kerugian Negara di Kasus Korupsi Harus Bersifat Nyata – Halaman all
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) menyampaikan kerugian negara yang menyangkut perkara korupsi harus bersifat nyata atau actual loss. Hal ini dijelaskan Hakim Agung yang juga Juru Bicara MA, Yanto saat ditanya perihal putusan sidang korupsi tata niaga timah yang merugikan negara mencapai Rp300 triliun.
Mulanya Yanto ditanya perihal vonis Harvey Moeis yang belakangan ramai dibicarakan hingga dan disindir publik media sosial. Namun ia enggan menanggapi karena sudah masuk pokok perkara dan setiap hakim terikat kode etik untuk tidak boleh menilai putusan hakim lainnya.
“Karena sudah menyangkut materi pokok perkara, hakim itu terikat kode etik untuk tidak boleh menilai putusan lain,” kata Yanto di Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
Namun saat ditanya perihal kerugian negara dalam kasus korupsi, Yanto menyatakan acuannya adalah Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Kerugian yang dialami negara harus berbentuk nyata atau actual loss, bukan lagi potensi kerugian atau potential loss.
Hal tersebut juga sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25 Tahun 2016. Selain itu lanjut Yanto, pihak yang berwenang mengumumkan kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Ya kalau korupsi itu kan kerugian negara kan kita mengacunya kan di pasal 2, pasal 3. Jadi tidak lagi potensial loss tapi harus actual loss, kerugiannya harus nyata. Itu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, kalau tidak salah 25, dan declare dari BPK, bahwa korupsi itu harus kerugian nyata,” jelas Yanto.
“Tapi kalau di lingkungan hidup kan potensi. Itu tapi saya tidak menyinggung pokok perkaranya ya, tapi kalau secara yang saudara tanyakan tadi kan seperti itu batasannya,” pungkas dia.
Sebagai informasi, Harvey Moeis dijatuhi vonis 6,5 tahun pidana penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Harvey juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar, subsider 6 tahun penjara jika tidak mampu melunasinya.
Harvey dinilai terbukti membuat negara merugi Rp300 triliun.
Harvey terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHAP, serta terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPU juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (*)

