Kementrian Lembaga: Pengadilan TIPIKOR Jakarta

  • Vonis Crazy Rich PIK Helena Lim Diperberat Jadi 10 Tahun Penjara

    Vonis Crazy Rich PIK Helena Lim Diperberat Jadi 10 Tahun Penjara

    loading…

    Crazy rich PIK Helena Lim saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (30/12/2024). Kini Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonisnya menjadi 10 tahun penjara. Foto/Arif Julianto

    JAKARTA – Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menerima banding yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK) Helena Lim. Vonis 5 tahun penjara yang sebelumnya diterima Helena Lim, kini dalam tingkat banding diperberat menjadi 10 tahun penjara.

    “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 10 tahun dan denda 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” kata Hakim Ketua PT DKI Jakarta dalam ruang sidang, Kamis (13/2/2025).

    Majelis juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp 900 juta. Serta beberapa barang bukti yang disita.

    Dalam perkara ini diadili oleh majelis hakim di antaranya, H. Budi Susilo, Teguh Harianto, Subachran Hardi Mulyono, Anthon R. Saragih dan Hotma Maya Marbun.

    Diketahui Helena Lim divonis 5 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat atas perkara korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022.

    Dalam putusannya majelis hakim juga menjatuhkan hukuman terhadap Helena untuk membayar uang pengganti Rp900 juta paling lama satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap.

    Namun, jaksa menuntut Helena dipidana selama delapan tahun, pidana denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan serta pembayaran uang pengganti Rp210 miliar subsider 4 tahun penjara.

    Adapun dalam putusan hari ini, majelis hakim juga menambah hukum penjara Harvey Moeis, yang semula putusan pengadilan 6,5 tahun kini menjadi 20 tahun.

    (shf)

  • PT DKI Jakarta Perberat Vonis Harvey Moeis dari 6,5 Tahun Jadi 20 Tahun Penjara

    PT DKI Jakarta Perberat Vonis Harvey Moeis dari 6,5 Tahun Jadi 20 Tahun Penjara

    GELORA.CO  – Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat vonis terhadap terdakwa kasus korupsi tata niaga komoditas timah, Harvey Moeis dengan pidana penjara 20 tahun.

    Dalam amar putusannya, Ketua Majelis Hakim Teguh Harianto menyatakan Harvey terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) secara bersama-sama sebagaimana dakwaan pertama dan kedua primer jaksa penuntut umum.

    “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Harvey Moeis dengan pidana penjara selama 20 tahun,” kata Hakim Teguh di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Kamis (13/2/2025).

    Selain pidana badan, Harvey juga dijatuhi pidana denda sebesar Rp 1 miliar subsider 8 bulan kurungan apabila tidak membayar uang pengganti.

    Tak hanya itu dalam amar putusannya, Majelis hakim PT DKI Jakarta juga memperberat beban uang pengganti terhadap Harvey Moeis yakni sebesar Rp 420 miliar.

    Dengan ketentuan apabila Harvey tidak membayar uang pengganti selama 1 bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa untuk dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

    “Dan apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka diganti dengan pidana penjara selama 10 tahun,” jelas Hakim.

    Adapun vonis yang dijatuhkan oleh PT DKI Jakarta ini jauh lebih berat ketimbang vonis yang dijatuhkan oleh Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta beberapa waktu lalu.

    Dalam sidang vonis di Pengadilan tingkat pertama, Harvey Moeis divonis 6,5 tahun penjara dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah.

    Dalam putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Eko Aryanto, Harvey terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primer jaksa penuntut umum.

    Harvey terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHAP.

    Selain itu Harvey juga dianggap Hakim Eko terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    “Menjatuhkan terhadap terdakwa Harvey Moeis oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 tahun dan 6 bulan,” ucap Hakim Eko di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/12/2024).

    Selain pidana badan, Harvey Moeis juga divonis pidana denda sebesar Rp 1 miliar dimana apabila tidak mampu membayar maka diganti dengan kurungan selama 6 bulan.

    Tak hanya itu Harvey Moeis juga dikenakan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar.

    Namun apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap maka harta benda Harvey dapat disita oleh Jaksa untuk dilelang guna menutupi uang pengganti.

    “Dalam hal terdakwa tidak memiliki harta benda lagi yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 6 tahun,” jelas Hakim.

    Lebih Rendah Ketimbang Tuntutan

    Putusan terhadap Harvey oleh Majelis Hakim ini lebih rendah dibandingkan tuntutan yang dijatuhkan oleh Jaksa Penuntut Umum yakni selama 12 tahun penjara.

    Dalam tuntutannya, Jaksa penuntut umum (JPU) menilai Harvey terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.

    Hal itu diatur dan diancam dengan pasal Pasal 2 ayat 1 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHAP sebagaimana dalam dakwaan kesatu.

    Selain itu Jaksa juga menilai bahwa Harvey terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dan diancam pidana dengan Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 56 ke-1 KUHP.

    “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Harvey Moeis dengan pidana penjara selama 12 tahun,” ujar jaksa saat membacakan amar tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (9/12/2024).

    Selain dituntut pidana badan, Harvey juga dituntut untuk membayar denda sebesar Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan.

    Tak hanya itu, ia juga dituntut pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

    “Jika dalam waktu tersebut terdakwa tidak membayar uang pengganti, maka harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dipidana penjara selama 6 tahun,” ujar jaksa.

    Dalam dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Rabu (14/8/2024) lalu, Harvey Moeis berperan mengkoordinir pengumpulan uang pengamanan dari para perusahan smelter swasta di Bangka Belitung.

    Perusahaan smelter yang dimaksud ialah: CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa.

    “Terdawa Harvey Moeis dengan sepengetahuan Suparta selaku Direktur Utama PT Refined Bangka Tin dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT Refined Bangka Tin meminta kepada CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa untuk melakukan pembayaran biaya pengamanan kepada terdakwa Harvey Moeis sebesar USD 500 sampai dengan USD 750 per ton,” ujar jaksa penuntut umum di persidangan.

    Uang pengamanan tersebut diserahkan para pemilik smelter dengan cara transfer ke PT Quantum Skyline Exchage milik Crazy Rich Pantai Indah Kapuk (PIK), Helena Lim.

    Selain itu, uang pengamanan juga ada yang diserahkan secara tunai kepada Harvey Moeis.

    Seluruh uang yang terkumpul, sebagian diserahkan Harvey Moeis kepada Direktur Utama PT Refined Bangka Tin, Suparta. Sedangkan sebagian lainnya, digunakan untuk kepentingan pribadi Harvey Moeis.

    “Bahwa uang yang sudah diterima oleh terdakwa Harvey Moeis dari rekening PT Quantum Skyline Exchange dan dari penyerahan langsung, selanjutnya oleh terdakwa Harvey Moeis sebagian diserahkan ke Suparta untuk operasional Refined Bangka Tin dan sebagian lainnya digunakan oleh terdakwa Harvey Moeis untuk kepentingan terdakwa,” kata jaksa penuntut umum.

    Selain itu, dia juga didakwa tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait perbuatannya menyamarkan hasil tindak pidana korupsi, yakni Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

  • Tok! Vonis Harvey Moeis Ditambah Jadi 20 Tahun di Pengadilan Tinggi Jakarta

    Tok! Vonis Harvey Moeis Ditambah Jadi 20 Tahun di Pengadilan Tinggi Jakarta

    loading…

    Pengadilan Tinggi Jakarta menjatuhkan vonis 20 tahun penjara kepada Harvey Moeis dalam kasus korupsi komoditas timah. Foto Harvey Moeis (kiri) mengikuti sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (10/10/2024). Foto/Arif Julianto

    JAKARTA – Pengadilan Tinggi Jakarta menerima permohonan banding yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus korupsi komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk Tahun 2015-2022, yang menjerat Harvey Moeis.

    Pengadilan Tinggi Jakarta menjatuhkan vonis 20 tahun untuk Harvey Moeis.

    “Menjatuhkan pidana kepada Harvey Moeis selama 20 tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar subsider 8 bulan kurungan menghukum uang pengganti Rp 420 miliar subsider 10 tahun penjara,” kata Hakim Ketua Teguh Harianto, Kamis (13/2/2025).

    Adapun susunan majelis dalam perkara 1/PID.SUS-TPK/2025/PT DK di antaranya Teguh Harianto, H. Budi Susilo, Dr. Catur Iriantoro, Anthon R. Saragih, Hotma Maya Marbun.

    Harvey Moeis yang merupakan suami aktris Sandra Dewi ini sebelumnya hanya divonis 6,5 tahun penjara, uang pengganti Rp210 miliar subsider 2 tahun, dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan, oleh majelis hakim majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam sidang pembacaan putusan, Senin (23/12/2024).

    Padahal JPU menuntut Harvey Moeis 12 tahun penjara, dengan uang pengganti Rp210 miliar subsider 6 tahun, dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun.

    Harvey terbukti menerima uang Rp420 miliar bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) antara lain dengan membeli barang-barang mewah seperti mobil dan rumah.

    Atas perbuatannya dengan para terdakwa lain, Harvey menyebabkan kerugian negara sebesar Rp300 triliun.

    (shf)

  • VIDEO Zarof Beri Rp75 Juta ke Eks Ketua PN Surabaya Dadi Rachmadi untuk Sewa Rumah – Halaman all

    VIDEO Zarof Beri Rp75 Juta ke Eks Ketua PN Surabaya Dadi Rachmadi untuk Sewa Rumah – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (11/2/2025).

    Dalam sidang ini, tiga Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, yakni Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, duduk sebagai terdakwa. 

    Zarof mengaku telah memberikan uang sebesar Rp75 juta kepada Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Dadi Rachmadi.

    Dadi Rachmadi merupakan Ketua PN Surabaya yang menggantikan Rudi Suparmono. Sebelumnya, pada 17 April 2024, Rudi dimutasi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    Kini, Rudi juga berstatus sebagai tersangka dalam kasus suap vonis bebas Ronald Tannur.

    Zarof mengungkapkan uang tersebut berasal dari pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat.

    Asal-Usul Uang Rp 75 Juta

    Zarof menjelaskan peristiwa ini bermula pada 16 April 2024, sehari sebelum pelantikan Dadi Rachmadi sebagai Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.

    Dalam pertemuan itu, Dadi sempat mengeluhkan kesulitannya dalam membayar biaya sewa rumah.

    “Waktu itu di mobil, Pak Dadi bilang, ‘Bang, aku mau sewa rumah tapi enggak punya uang,’” kata Zarof menirukan ucapan Dadi dalam persidangan.

    Ketika Zarof menanyakan jumlah yang dibutuhkan, Dadi menyebut angka Rp 75 juta.

    Keesokan harinya, saat sarapan di sebuah hotel di Surabaya, Zarof bertemu dengan Lisa Rachmat, pengacara Ronald Tannur.

    Dalam pertemuan tersebut, Lisa sempat menawarkan buah tangan kepada Zarof, namun ia menolak dan menyarankan bantuan dalam bentuk lain.

    “Saya bilang, ‘Saya enggak mau, berat. Kasih aja mentahnya,’” ujar Zarof di hadapan Jaksa Penuntut Umum.

    Tak lama setelah percakapan itu, Lisa menyerahkan uang tunai sebesar Rp 100 juta kepada Zarof.

    “Langsung ya?” tanya Jaksa.

    “Iya,” jawab Zarof.

    Setelah menerima uang tersebut, Zarof menghubungi Dadi dan memberitahukan bahwa ia telah mendapatkan dana untuk sewa rumah.

    Namun, dari Rp 100 juta yang diterima, ia mengambil Rp 25 juta untuk dirinya sendiri.

    “Saya bilang, ‘Nih, gua udah dapet. Lu mau sewa rumah, nih gua kasih, tapi gua potong ya Rp 25 juta,’” ungkap Zarof.

    Dadi sempat menanyakan asal-usul uang itu, namun Zarof tidak menyebutkan nama Lisa dan justru menyamarkannya dengan istilah lain.

    “Dari mana?” tanya Dadi.

    “Udah, dari ‘ibu tiri’,” jawab Zarof.

    Sebelumnya, tiga hakim PN Surabaya yang memberikan vonis bebas kepada Ronald Tannur menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (24/12/2024).

    Ketiga hakim tersebut—Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo—dakwa telah menerima suap sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000 (sekitar Rp 3,6 miliar) terkait kepengurusan perkara Ronald Tannur.

    Menurut dakwaan Jaksa Penuntut Umum, uang tersebut diberikan oleh pengacara Lisa Rahmat dan Meirizka Wijaja, ibu dari Ronald Tannur, dengan tujuan agar para hakim menjatuhkan vonis bebas bagi klien mereka.

    Dalam pembagian suap, uang SGD 308.000 diberikan secara tunai kepada para hakim dengan rincian Erintuah Damanik: SGD 48.000,  Mangapul SGD 36.000,  Heru Hanindyo SGD 36.000 dan sisanya sebesar SGD 30.000 disimpan oleh Erintuah Damanik.

    Selain itu, Lisa dan Meirizka juga memberikan uang tambahan sebesar Rp 1 miliar dan SGD 120.000 kepada Heru Hanindyo.

    Atas perbuatannya, ketiga terdakwa didakwa melanggar Pasal 12 huruf c jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(Tribunnews/Fahmi/Apfia Tioconny Billy/Malau)

     

  • Zarof Ricar Sering Lihat Lisa Rachmat Mondar-mandir di MA, Tapi Baru Dihubungi Setelah Pensiun – Halaman all

    Zarof Ricar Sering Lihat Lisa Rachmat Mondar-mandir di MA, Tapi Baru Dihubungi Setelah Pensiun – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar mengaku sering melihat pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat mondar-mandir di Gedung Mahkamah Agung ketika ia masih menjabat sebagai Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan (Kapusdiklat) periode 2012-2022.

    Adapun hal itu diungkapkan Zarof saat hadir sebagai saksi dalam sidang kasus suap vonis bebas Ronald Tannur yang menjerat tiga Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (11/2/2025).

    Kesaksian itu Zarof sampaikan bermula ketika ditanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) perihal perkenalannya dengan Lisa Rachmat.

    Zarof menyatakan, bahwa dirinya pernah melihat Lisa di MA hanya saja pada saat itu belum mengenal secara pribadi.

    Barulah setelah dirinya pensiun dari MA, Lisa kata Zarof mulai menghubunginya.

    “Waktu itu dia pernah sering saya lihat mondar-mandir di MA. Tapi saya nggak pernah tegur, enggak tahu tiba-tiba setelah saya pensiun dia telpon saya,” kata Zarof.

    Namun ketika ditelusuri lebih jauh oleh Jaksa soal latarbelakang Lisa saat itu, Zarof mengaku tidak begitu tahu.

    Ia juga mengatakan tidak tahu secara pasti mengenai pekerjaan dari Lisa yang juga merupakan terdakwa dalam kasus Ronald Tannur tersebut.

    “Enggak tahu, saya pikir apa ini pengacara atau apa saya juga engga jelas,” pungkasnya.

    3 Hakim PN Surabaya Didakwa Terima Suap Rp 1 M dan 308 Ribu Dollar Singapura

    Sebelumnya, Tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang vonis bebas terpidana Ronald Tannur menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (24/12/2024).

    Dalam sidang perdana tersebut ketiga Hakim PN Surabaya yakni Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo didakwa telah menerima suap sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000 atau Rp 3,6 miliar terkait kepengurusan perkara Ronald Tannur.

    Uang miliaran tersebut diterima ketiga hakim dari pengacara Lisa Rahmat dan Meirizka Wijaja yang merupakan ibu dari Ronald Tannur.

    “Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan yang menerima hadiah atau janji, berupa uang tunai sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000,” ucap Jaksa Penuntut Umum saat bacakan dakwaan.

    Pada dakwaannya, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menyebut bahwa uang miliaran itu diterima para terdakwa untuk menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur.

    “Kemudian terdakwa Erintuah Damanik, Heru Hanindyo dan Mangapul menjatuhkan putusan bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur dari seluruh dakwaan Penuntut Umum,” ucapnya.

    Lebih lanjut Jaksa menuturkan, bahwa uang-uang tersebut dibagi kepada ketiga dalam jumlah yang berbeda.

    Adapun Lisa dan Meirizka memberikan uang secara tunai kepada Erintuah Damanik sejumlah 48 Ribu Dollar Singapura.

    Selain itu keduanya juga memberikan uang tunai senilai 48 Ribu Dollar Singapura yang dibagi kepada ketiga hakim dengan rincian untuk Erintuah sebesar 38 Ribu Dollar Singapura serta untuk Mangapul dan Heru masing-masing sebesar 36 Ribu Dollar Singapura.

    “Dan sisanya sebesar SGD30.000 disimpan oleh Terdakwa Erintuah Damanik,” jelas Jaksa.

    Tak hanya uang diatas, Lisa dan Meirizka diketahui kembali memberikan uang tunai kepada terdakwa Heru Hanindyo sebesar Rp 1 miliar dan 120 Ribu Dollar Singapura.

    “Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili,” kata dia.

    Akibat perbuatannya itu ketiga terdakwa pun didakwa dengan dan diancam dalam Pasal 12 huruf c jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

     

     

  • Ibu Ronald Tannur Suap Hakim PN Surabaya, Gelontorkan Miliaran Rupiah demi Anaknya Bebas

    Ibu Ronald Tannur Suap Hakim PN Surabaya, Gelontorkan Miliaran Rupiah demi Anaknya Bebas

    PIKIRAN RAKYAT – Jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung (Kejagung) mendakwa ibu Gregorius Ronald Tannur, Meirizka Widjaja memberikan suap kepada tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Suap diberikan agar Ronald Tannur divonis bebas dalam kasus penghilangan nyawa, Dini Sera Afrianti.

    Jaksa menyebut Meirizka Widjaja menggelontorkan uang suap sebesar Rp1 miliar dan 308 ribu dollar Singapura. Suap diterima oleh Hakim Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo. Meirizka melakukan tindak pidana suap bersama Lisa Rachmat selaku pengacara Ronald Tannur.

    “Telah melakukan atau turut serta melakukan dengan Lisa Rachmat, memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim yaitu memberi uang tunai keseluruhan sebesar Rp1 miliar dan SGD308 ribu,” kata jaksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin 10 Februari 2025.

    Jaksa menjelaskan uang suap diberikan

    Meirizka melalui perantara Lisa Rachmat dengan tiga kali pemberian. Pertama, Lisa memberi suap sebesar Rp1 miliar dan SGD120 ribu untuk Heru Hanindyo. Kedua, Lisa Rachmat memberikan uang suap secara tunai kepada tiga hakim dengan perincian Erintuah Damanik senilai 38 ribu dollar Singapura, Mangapul 36 ribu dollar Singapura, dan Heru sebesar 36 ribu dollar Singapura.

    Sisa uang 30.000 dollar Singapura disimpan oleh Erintuah Damanik. Ketiga, Lisa kembali menyerahkan uang tunai 48 ribu dollar Singapura kepada Erintuah. Jaksa kembali menegaskan uang suap itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara Ronald Tannur.

    “Untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan padanya untuk diadili yaitu supaya majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang memeriksa dan memutus perkara pidana Gregorius Ronald Tannur menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) terhadap Gregorius Ronald Tannur dari seluruh Dakwaan Penuntut Umum,” ucap jaksa.

    Jaksa menyatakan Meirizka melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Zarof Ricar Didakwa Terima Rp915 Miliar dan 51 Kilogram Emas

    Dalam kasus ini, jaksa mendakwa mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar menerima gratifikasi senilai total Rp915 miliar dan 51 kilogram emas. Jaksa menjelaskan Zarof Ricar menerima uang ratusan miliar tersebut secara tunai dalam bentuk mata uang rupiah dan mata uang asing (valas).

    Jumlah gratifikasi tersebut adalah nilai total suap yang diterima Zarof Ricar dalam pengurusan perkara Gergorius Ronald Tannur di tingkat pengadilan pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK).

    “Terdakwa memfasilitasi pihak yang sedang berperkara dengan maksud supaya mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan sesuai dengan permintaan para pihak berperkara,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Senin 10 Februari 2025.

    “Sehingga terdakwa menerima pemberian suap berupa uang tunai dalam bentuk uang rupiah dan mata uang asing (valuta asing) yang dikonversikan ke dalam mata uang rupiah dengan nilai total keseluruhan kurang lebih sebesar Rp915.000.000.000,00 (sembilan ratus lima belas miliar rupiah) dan emas logam mulia sebanyak kurang lebih 51 Kilogram,” ucap jaksa melanjutkan.

    Adapun mata uang asing yang diterima Zarof Ricar di antaranya dolar Singapura, Amerika Serikat hingga dolar Hongkong. Jaksa menyebut Zarof tidak melaporkan penerimaan uang dan emas tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tenggang waktu 30 hari setelah penerimaan. Dia juga tidak pernah melaporkan kepemilikan uang ratusan miliar rupiah dan emas itu ke dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

    “Perbuatan terdakwa menerima uang tunai dalam bentuk uang rupiah dan mata uang asing yang dikonversikan ke dalam mata uang rupiah dengan nilai total keseluruhan kurang lebih sebesar Rp915 miliar dan emas logam mulia sebanyak kurang lebih 51 Kilogram haruslah dianggap suap karena berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugas,” ujar jaksa.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Terungkap di Sidang, Percakapan Zarof Ricar dan Lisa Rachmat Hingga Swafoto dengan Hakim Soesilo – Halaman all

    Terungkap di Sidang, Percakapan Zarof Ricar dan Lisa Rachmat Hingga Swafoto dengan Hakim Soesilo – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum (Jpu) mengungkap percakapan yang dilakukan eks pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar dengan pengacara Lisa Rachmat.

    Percakapan ini terkait kepengurusan perkara Ronald Tannur pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

    Selain percakapan dengan Lisa, Jaksa juga mengungkapkan bahwa Zarof juga sempat melakukan swafoto dengan Ketua Majelis Hakim yang menangani kasasi Ronald yakni Hakim Soesilo.

    Adapun swafoto itu dilakukan Zarof sebagai bukti bahwa dirinya telah melaksanakan permintaan Lisa untuk mengurus perkara kliennya.

    Hal itu Jaksa ungkapkan saat membacakan surat dakwaan Zarof Ricar terkait kasus pemufakatan jahat dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (10/2/2025).

    Jaksa menyatakan, peristiwa itu ketika Lisa Rachmat melakukan pertemuan dengan Zarof usai mengetahui susunan majelis Hakim kasasi.

    Adapun majelis hakim kasasi yang dimaksud yakni Soesilo selaku Ketua Majelis dan Sutarjo serta Ainal Mardhiah selaku anggota majelis hakim.

    Dalam pertemuan itu Lisa menyampaikan pada Zarof bahwa salah satu Hakim yang menangani perkara Ronald di tingkat kasasi adalah Hakim Soesilo.

    “Dan terdakwa menyampaikan kepada Lisa Rachmat bahwa terdakwa (Zarof) mengenal hakim Susilo,” kata Jaksa di ruang sidang.

    Lisa kemudian meminta agar Zarof untuk mempengaruhi hakim kasasi agar memperkuat vonis bebas Ronald yang telah diputus di Pengadilan Negeri Surabaya.

    Untuk memuluskan niatnya, Lisa pun menyodorkan total Rp 6 miliar kepada Zarof yang dimana Rp 5 miliar diperuntukkan bagi tiga Hakim kasasi dan Rp 1 miliar sebagai jatah untuk eks Pejabat MA tersebut.

    Zarof yang menyetujui hal tersebut lantas menindaklanjutinya dengan melakukan pertemuan dengan Hakim Soesilo dalam acara pengukuhan guru besar di Universitas Negeri Makassar pada 27 September 2024.

    Pertemuan itu dilakukan untuk memastikan apakah Soesilo merupakan hakim yang menangani kasasi Ronald Tannur.

    Setelah dibenarkan oleh Hakim Soesilo, Zarof pun menyampaikan pada hakim agung itu bahwa ada permintaan untuk membantu menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur seperti yang dijatuhkan PN Surabaya.

    “Selanjutnya Susilo menanggapi dengan menyampaikan akan melihat perkaranya
    terlebih dahulu,” jelas Jaksa.

    Tak hanya itu bahkan kata Jaksa dalam pertemuan itu, Zarof diketahui juga melakukan swafoto dengan Hakim Soesilo.

    “Kemudian terdakwa mengirim foto tersebut melalui Whatsapp yang diterima oleh Lisa Rachmat dengan membalas pesan “siap pak terima kasih”,” ungkap Jaksa.

    Setelah itu pada 1 Oktober 2024, Lisa kembali menghubungi Zarof untuk memastikan tindaklanjut pertemuan dengan Hakim Soesilo tersebut.

    Adapun saat itu Lisa menjalin komunikasi dengan Zarof melalui pesan WhatsApp.

    “Dengan menyampaikan “selamat siang pak, tentang Pak Soesilo Note ya pak” yang diterima oleh terdakwa dengan membalas pesan “oke saya tinggal dtg ke Agung” dan dijawab kembali oleh Lisa Rachmat “Siap Pak terima kasih”,” beber Jaksa.

    Kemudian keesokan harinya yakni 2 Oktober 2024, Lisa kembali berkomunikasi dengan Zarof kali ini menindaklanjuti perihal penyerahan uang untun pengurusan kasasi.

    Saat itu Lisa menghubungi Zarof untuk mendatangkan ke kediaman Zarof di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

    “Lisa Rachmat menyampaikan pesan Whatsapp kepada terdakwa dengan kalimat “Selamat malam pak saya malam ini bisa mampir kah” kemudian terdakwa membalas pesan dengan kalimat “bisa”, selanjutnya Lisa Rachmat membalas dengan kalimat “siap otw pak”,” kata Jaksa.

    Dalam pertemuan itu Lisa pun menyerahkan uang dalam bentuk pecahan Dollar Singapura dengan nilai sebesar Rp 2,5 miliar untuk biaya pengurusan perkara kasasi Ronald Tannur.

    Tak berhenti disitu, setelah penyerahan uang pertama, Zarof aktif memberikan informasi kepada Lisa perihal kepengurusan perkara Ronald Tannur itu.

    Dalam komunikasinya dengan Lisa, Zarof menyampaikan bahwa dirinya telah melaksanakan tugasnya dengan menemui sejumlah pihak yang akan menangani kasasi Ronald.

    ““tugas sdh dilaksanakan, semua sdh saya datangi, terima kasih.” Kemudian Lisa Rachmat membalas “Siap mampir Jumat ya pak”,” ujar Jaksa membeberkan percakapan Zarof dan Lisa.

    Selanjutnya pada tanggal 12 Oktober 2024 Lisa Rachmat menyerahkan uang dalam bentuk pecahan mata uang Dollar Singapura dengan nilai sebesar Rp2.500.000.000,00.

    Sehingga terdakwa telah menerima total keseluruhan uang untuk pemberian kepada hakim sebagai upaya mempengaruhi putusan Kasasi Gregorius Ronald Tannur dari Lisa Rachmat berupa pecahan mata uang Dollar Singapura dengan nilai sebesar Rp5.000.000.000,00 (Rp 5 miliar) yang terdakwa simpan di rumah terdakwa.

    “Bahwa pada tanggal 22 Oktober 2024 Majelis Hakim Kasasi yang terdiri dari Susilo (Ketua), Ainal Mardhiah (anggota I) dan Sutarjo (anggota II) menjatuhkan putusan Kasasi GREGORIUS RONALD TANNUR dimana terhadap putusan tersebut terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) oleh hakim Susilo yang pada pokoknya menyatakan GREGORIUS RONALD TANNUR tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh penuntut umum,” pungkas Jaksa.

     

  • Skandal Gratifikasi Eks Pejabat MA, Zarof Ricar Didakwa Terima Rp915 Miliar dan 51 Kg Emas

    Skandal Gratifikasi Eks Pejabat MA, Zarof Ricar Didakwa Terima Rp915 Miliar dan 51 Kg Emas

    PIKIRAN RAKYAT – Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Agung (Kejagung) mendakwa mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar menerima gratifikasi senilai total Rp915 miliar dan 51 kilogram emas. Jaksa menjelaskan Zarof Ricar menerima uang ratusan miliar tersebut secara tunai dalam bentuk mata uang rupiah dan mata uang asing (valas).

    Jumlah gratifikasi tersebut adalah jumlah total yang diterima Zarof Ricar dalam pengurusan perkara Gergorius Ronald Tannur di tingkat pengadilan pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK). Ronald Tannur adalah terdakwa kasus penghilangan nyawa, Dini Sera Afrianti.

    “Terdakwa memfasilitasi pihak yang sedang berperkara dengan maksud supaya mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan sesuai dengan permintaan para pihak berperkara,” kata jaksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin 10 Februari 2025.

    “Sehingga terdakwa menerima pemberian suap berupa uang tunai dalam bentuk uang rupiah dan mata uang asing (valuta asing) yang dikonversikan ke dalam mata uang rupiah dengan nilai total keseluruhan kurang lebih sebesar Rp915.000.000.000,00 (sembilan ratus lima belas miliar rupiah) dan emas logam mulia sebanyak kurang lebih 51 Kilogram,” ucap jaksa melanjutkan.

    Adapun mata uang asing yang diterima Zarof Ricar di antaranya dolar Singapura, Amerika Serikat hingga dolar Hongkong. Jaksa menyebut Zarof tidak melaporkan penerimaan uang dan emas tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tenggang waktu 30 hari setelah penerimaan. Dia juga tidak pernah melaporkan kepemilikan uang ratusan miliar rupiah dan emas itu ke dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

    “Perbuatan terdakwa menerima uang tunai dalam bentuk uang rupiah dan mata uang asing yang dikonversikan ke dalam mata uang rupiah dengan nilai total keseluruhan kurang lebih sebesar Rp915 miliar dan emas logam mulia sebanyak kurang lebih 51 Kilogram haruslah dianggap suap karena berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugas,” ujar jaksa.

    Selain Zarof Ricar, jaksa hari ini juga membacakan dakwaan untuk terdakwa Lisa Rachmat dan Ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja. Susunan majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini adalah ketua majelis hakim Rosihan Juhriah Rangkuti, hakim Purwanto dan Sigit Herman Binaji duduk sebagai hakim anggota.

    “Sidang perdana. Senin 10 Februari 2025,” demikian dikutip dari laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Pusat, Senin 10 Februari.

    Kejagung Tetapkan Ibu Ronald Tannur Tersangka

    Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Ibu Gregorius Ronald Tannur, Meirizka Widjaja (MW) sebagai tersangka kasus suap terkait vonis bebas anaknya dalam perkara penghilangan nyawa Dini Sera Afriyanti. Dia menjadi tersangka usai diperiksa penyidik di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur pada Senin, 4 November 2024.

    “Setelah dilakukan pemeriksaan sebagai saksi terhadap MW, penyidik telah menemukan bukti yang cukup adanya tidak pidana korupsi yaitu suap atau gratifikasi yang dilakukan oleh MB sehingga penyidik meningkatkan status MB (ibu terpidana Ronald Tannur) dari status semula yaitu saksi menjadi tersangka,” ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar dalam keterangan pers, Senin, 4 November 2024

    Abdul Qohar mengatakan, tim penyidik Jampidsus telah melakukan pemeriksaan secara maraton terhadap Meirizka Widjaja (MW). Setelah pemeriksaan ditemukan kecukupan bukti bahwa ibu Ronnald Tannur tersebut terlibat kasus dugaan suap.

    “Tim penyidik Jampidsus telah melajukan pemeriksaan secara maraton terhadap saksi MW yaitu orang tua atau ibu Ronald Tannur di Kejati Jatim,” tuturnya.

    Abdul Qohar menyebut, Meirizka Widjaja telah mengenal Lisa Rahmat yang kemudian menjadi pengacara Ronald Tannur. Adapun Lisa Rahmat juga telah berstatus tersangka.

    “Tersangka MW Ibu Ronald Tannur awalnya menghubungi LR untuk minta yang bersangkutan menjadi penasehat hukum RT, kita ketahui ibunda RT berteman akrab dengan LR karena anak LR dan RT pernah satu sekolah,” ucap Abdul Qohar.

    Tangkap Hakim PN Surabaya

    Kejagung sebelumnya menangkap dan menetapkan tiga hakim PN Surabaya sebagai tersangka dugaan suap. Mereka adalah, Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul. Selain itu, pengacara Ronald Tannur, Lisa Rahmat juga turut menyandang status sebagai tersangka pemberi suap.

    Kejagung menetapkan tersangka lainnya yakni mantan Kepala Balitbang Diklat Kumdil MA Zarof Ricar. Dia berperan menjembatani Lisa untuk memberikan uang suap ke hakim agung yang menangani perkara kasasi Ronald Tannur.

    Zarof dan Lisa diduga bersekongkol akan menyuap hakim kasasi agar Ronald Tannur tetap divonis bebas sebagaimana putusangan PN Surabaya. Pengacara Ronald Tannur menyiapkan Rp5 miliar untuk hakim kasasi dan Rp1 miliar untuk Zarof.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Zarof Ricar Didakwa Terima Gratifikasi Rp915 Miliar dan 51 Kg Emas

    Zarof Ricar Didakwa Terima Gratifikasi Rp915 Miliar dan 51 Kg Emas

    loading…

    Mantan pejabat MA Zarof Ricar didakwa menerima gratifikasi Rp915 miliar dan 51 kg emas saat persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (10/2/2025). Foto: SINDOnews/Nur Khabibi

    JAKARTA – Mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp915 miliar dan 51 kg emas. Jumlah tersebut diterima dari pihak-pihak yang berperkara baik pada tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.

    Hal itu sebagaimana disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat membacakan surat dakwaan Zarof di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (10/2/2025).

    “Menerima gratifikasi uang tunai dalam bentuk uang rupiah dan mata uang asing yang dikonversikan ke dalam mata uang rupiah dengan nilai total keseluruhan Rp915 miliar dan emas logam mulia sebanyak 51 kg dari para pihak yang memiliki perkara di lingkungan pengadilan,” ujar Jaksa.

    Adapun penerimaan Rp915 miliar itu terdiri dari berbagai mata uang, mulai dari rupiah, dolar Singapura, dolar Amerika Serikat, serta dolar Hongkong.

    Kemudian, untuk emas mayoritas berupa emas logam mulia PT Antam dengan berat 50 gram dan 100 gram.

    Atas perbuatannya, Zarof didakwa Pasal 12B Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahaan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    (jon)

  • Pengacara Ronald Tannur Gelontorkan Rp 5 M untuk Kondisikan Majelis Kasasi
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        10 Februari 2025

    Pengacara Ronald Tannur Gelontorkan Rp 5 M untuk Kondisikan Majelis Kasasi Nasional 10 Februari 2025

    Pengacara Ronald Tannur Gelontorkan Rp 5 M untuk Kondisikan Majelis Kasasi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Pengacara terdakwa pelaku pembunuhan Gregorius
    Ronald Tannur
    ,
    Lisa Rachmat
    , disebut menyediakan uang Rp 5 miliar untuk mengurus putusan kasasi perkara kliennya di
    Mahkamah Agung
    (MA).
    Hal ini diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung saat membacakan surat dakwaan eks pejabat MA,
    Zarof Ricar
    , yang ditengarai membantu pengurusan suap tersebut.
    Jaksa mengatakan, setelah Ronald Tannur divonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Lisa menemui Zarof di kediamannya di Jakarta Selatan.
    Ia meminta bantuan agar Zarof mengkondisikan putusan kasasi kliennya di MA.
    “Sebagai upaya untuk mempengaruhi hakim yang mengadili perkara kasasi sesuai keinginan Lisa Rachmat, maka Lisa Rachmat akan memberikan uang sebesar Rp 6.000.000.000,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (10/2/2025).
    Jaksa menyebut, selain menyediakan Rp 5 miliar untuk majelis kasasi, Lisa juga menjanjikan Rp 1 miliar untuk Zarof Ricar.
    Zarof pun menyanggupi permintaan Lisa dan kemudian menemui Hakim Agung Soesilo pada 27 September 2024 di Universitas Negeri Makassar dalam acara pengukuhan guru besar Herri Swantoro.
    Ketika menemui Zarof di kediamannya, Lisa sudah mengetahui bahwa Soesilo merupakan hakim agung yang memimpin majelis kasasi.
    Dalam pertemuan di universitas itu, Zarof menyampaikan permintaan Lisa agar putusan kasasi menguatkan putusan PN Surabaya.
    “Soesilo menanggapi dengan menyampaikan akan melihat perkaranya terlebih dahulu,” ujar jaksa.
    Sesuai janjinya, Lisa kemudian menyerahkan uang untuk mengkondisikan majelis kasasi sebesar Rp 5 miliar dalam dua tahap.
    Pada 22 Oktober 2024, majelis kasasi MA menyatakan Ronald Tannur terbukti bersalah dan membatalkan putusan PN Surabaya.
    Majelis kasasi pun menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara terhadap Ronald Tannur.
    Namun, dalam putusan itu, Soesilo menyatakan
    dissenting opinion
    atau perbedaan pendapat, menilai Ronald Tannur tidak terbukti bersalah.
    “Hakim Soesilo yang pada pokoknya menyatakan Gregorius Ronald Tannur tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh penuntut umum,” tutur jaksa.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.