Saksi Sebut Laba Operasi Gula Tom Lembong Dipakai untuk Kesejahteraan Prajurit TNI-Polri
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Eks Kepala Bidang Hukum dan Pengamanan (Kumpam) Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopad), Letkol CHK Sipayung mengatakan, keuntungan
operasi pasar gula
digunakan untuk mensejahterakan anggota
TNI
.
Saat bersaksi dalam sidang kasus dugaan korupsi importasi gula yang menjerat eks Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias
Tom Lembong
, Sipayung sempat ditanya pengacara Lembong, Ari Yusuf Amir, apakah operasi pasar itu berhasil atau tidak.
“Berhasil Pak,” jawab Sipayung di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (6/5/2025).
Ari kemudian ditanya tujuan pembentukan Inkopad yang pada saat itu masih bernama Induk Koperasi Kartika (Inkopkar).
“Apakah keuntungan yang didapatkan juga digunakan dalam mensejahterakan prajurit, Pak?” tanya Ari.
“Digunakan, Pak,” jawab Sipayung lagi.
Setelah itu, Ari beralih menanyakan hal yang sama kepada mantan Kepala Divisi Perdagangan Induk Koperasi
Polri
(Inkoppol) Irjen Pol (Purn) Muji Waluyo.
Pensiunan jenderal polisi bintang tiga itupun menyebut, operasi Inkoppol pada 2016 yang mendapat tugas dari Tom Lembong berhasil.
“hasil yang diuntungkan, didapatkan pihak Bapak, apakah digunakan untuk kesejahteraan anggota Polri Pak?” tanya Ari.
“Digunakan, terbukti dengan meningkatnya SHU (sisa hasil usaha),” jawab Waluyo.
Dalam perkara ini, Tom didakwa melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Perbuatannya dinilai melanggar hukum, memperkaya orang lain maupun korporasi yang menimbulkan kerugian negara Rp 578 miliar.
Jaksa dalam surat dakwaannya mempersoalkan tindakan Tom Lembong menunjuk sejumlah koperasi TNI-Polri untuk mengendalikan harga gula, alih-alih perusahaan BUMN.
“Terdakwa Thomas Trikasih Lembong tidak menunjuk Perusahaan BUMN untuk pengendalian ketersediaan dan stabilisasi harga gula, melainkan Inkopkar, Inkoppol, Puskopol, SKKP TNI-Polri,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (6/3/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: Pengadilan TIPIKOR Jakarta
-
/data/photo/2025/05/06/6819ccc55c128.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
8 Saksi Sebut Laba Operasi Gula Tom Lembong Dipakai untuk Kesejahteraan Prajurit TNI-Polri Nasional
-
/data/photo/2025/05/06/6819eaebc79b1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Alasan Inkoppol Ikut Operasi Gula Tom Lembong: Pasar Dikuasai Preman
Alasan Inkoppol Ikut Operasi Gula Tom Lembong: Pasar Dikuasai Preman
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Induk Koperasi Polri (
Inkoppol
) disebut terlibat dalam
operasi pasar
pengendalian harga gula pada 2016 karena terdapat pedagang-pedagang dengan beking
preman
.
Informasi ini terungkap ketika kuasa hukum Menteri Perdagangan (Mendag) 2015-2016 Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong mencecar Irjen Pol (Purn) Muji Waluyo.
Ia merupakan mantan Kepala Divisi Perdagangan Inkoppol yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang dugaan korupsi importasi gula yang menjerat Tom Lembong.
“Coba saudara saksi jelaskan, dalam BAP nomor 10 saksi menerangkan bahwa pertimbangan Inkoppol mengajukan operasi pasar dikarenakan di lapangan terdapat penolakan keras operasi pasar penjual gula yang mendapat beking preman. Mohon saksi jelaskan,” kata pengacara di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (6/5/2025).
Waluyo mengatakan, harga gula yang melambung tinggi pada 2016 meresahkan masyarakat. Fenomena itu dinilai menjadi salah satu indikator terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).
Ia lantas menceritakan pengalamannya sendiri ketika melakukan operasi pasar di Cipinang. Saat itu, ia dan petugas Inkoppol membawa dua truk berisi tulisan “operasi pasar gula”.
“Ditolak oleh kelompok
kartel
di situ. Akhirnya kita panggil Kapolsek, kita dudukkan bersama, ini perintah negara. Baru kita bisa masuk. Itu salah satu bukti,” ujar Waluyo.
Selain di Cipinang, hal serupa juga terjadi ketika Inkoppol melakukan operasi pasar di Pasar Beringharjo, Yogyakarta.
Saat itu, pihaknya memanggil Kapolrestabes setempat untuk mengawal operasi pasar.
“Karena Inkoppol memiliki jaringan kesamaan dari Mabes, Polda, dan Polres itulah salah satu indikator bahwa pimpinan memerintahkan Inkoppol, bukan Polri-nya untuk bekerja karena ini di bidang usaha pastinya koperasi,” tutur Waluyo.
Dalam perkara ini, Tom didakwa melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Perbuatannya dinilai melanggar hukum, memperkaya orang lain maupun korporasi yang menimbulkan kerugian negara Rp 578 miliar.
Jaksa dalam surat dakwaannya mempersoalkan tindakan Tom Lembong menunjuk sejumlah koperasi TNI-Polri untuk mengendalikan harga gula, alih-alih perusahaan BUMN.
“Terdakwa Thomas Trikasih Lembong tidak menunjuk Perusahaan BUMN untuk pengendalian ketersediaan dan stabilisasi harga gula, melainkan Inkopkar, Inkoppol, Puskopol, SKKP TNI-Polri,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (6/3/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/05/06/6819ccc55c128.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Koperasi TNI Ikut Kendalikan Gula: Barang dari Pabrik Tommy Winata, Distributornya Swasta
Koperasi TNI Ikut Kendalikan Gula: Barang dari Pabrik Tommy Winata, Distributornya Swasta
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Induk Koperasi TNI Angkatan Darat (
Inkopad
) ikut serta dalam mengendalikan
harga gula
pasir pada masa Menteri Perdagangan (Mendag) 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, meski tidak memiliki pabrik.
Keterlibatan Inkopad yang saat itu bernama Induk Koperasi Kartika (Inkopar) ini terungkap saat jaksa memeriksa Kepala Bagian Hukum dan Pengamanan (Kabag Kumpam), Letkol CHK Sipayung.
Kepada majelis hakim, prajurit TNI itu mengungkapkan bahwa pada saat itu pihaknya mendapat tugas dari Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) untuk membantu pengendalian harga gula.
“Dalam pelaksanaannya Pak, apakah penugasan ini dilakukan sendiri oleh Inkopar atau bekerja sama dengan perusahaan lain?” tanya jaksa, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (6/5/2025).
“Dengan PT Angels,” jawab Sipayung.
Perusahaan yang dimaksud adalah PT Angels Products yang, menurut Sipayung, dimiliki pengusaha ternama Tomy Winata.
Jaksa lantas meminta Sipayung menjelaskan bagaimana Inkopad mendapatkan stok gula.
Menurut Sipayung, Inkopad (saat itu Inkopar) mengajukan permohonan kuota impor gula ke Kementerian Perdagangan (Kemendag).
“Karena gulanya enggak ada untuk menurunkan harga itu. Jadi, kita mengajukan permohonan untuk impor gula,” ujar Sipayung.
Salah satu syarat untuk mendapatkan kuota impor adalah badan hukum terkait harus memiliki pabrik.
Sementara, Inkopad tidak memiliki pabrik pengolahan gula.
Inkopad kemudian menjalin kerja sama dengan PT Angels Products.
Biaya impor gula kristal mentah (GKM) yang diimpor berasal dari PT Angels Products.
Kemudian, perusahaan itu mengolah GKM tersebut menjadi gula kristal putih (GKP).
Hasilnya kemudian didistribusikan melalui sejumlah perusahaan swasta yang sudah meneken kontrak dengan Inkopad.
“Nanti (distributor) bayarnya ke Angels, setelah itu ambil gulanya di pabrik Angels, kemudian baru kita distribusikan,” kata Sipayung.
Dalam perkara ini, Tom didakwa melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Perbuatannya dinilai melanggar hukum, memperkaya orang lain maupun korporasi yang menimbulkan kerugian negara Rp 578 miliar.
Jaksa dalam surat dakwaannya mempersoalkan tindakan Tom Lembong yang menunjuk sejumlah koperasi TNI-Polri untuk mengendalikan harga gula, alih-alih perusahaan BUMN.
“Terdakwa Thomas Trikasih Lembong tidak menunjuk perusahaan BUMN untuk pengendalian ketersediaan dan stabilisasi harga gula, melainkan Inkopar, Inkoppol, Puskopol, SKKP TNI-Polri,” kata jaksa, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (6/3/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/05/06/681998a8eaf68.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
7 Hakim Sidang Tom Lembong Sentil Prajurit TNI: Kalau Dana Kurang, Ngapain Ajukan Permohonan ke Kemendag? Nasional
Hakim Sidang Tom Lembong Sentil Prajurit TNI: Kalau Dana Kurang, Ngapain Ajukan Permohonan ke Kemendag?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Alfis Setiawan menyebutkan, Induk Koperasi Angkatan Darat (
Inkopad
) seharusnya tidak mengajukan permohonan ke Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk melakukan operasi pasar pengendalian gula jika memang tidak ada dana.
Pernyataan ini disampaikan Alfis saat mencecar Kepala Bagian Hukum dan Pengamanan (Kabag Kumpam), Letkol CHK Sipayung, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (6/5/2025).
Ia dihadirkan sebagai saksi dugaan
korupsi
importasi gula yang menjerat Menteri Perdagangan (Mendag) 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.
Alfis mempertanyakan mengapa Inkopad menjalin kerja sama dengan 10 distributor swasta, padahal Inkopad memiliki cabang di seluruh Indonesia.
“Kenapa harus dikerjasamakan dengan distributor?” tanya Alfis.
“Ya supaya bisa dijual langsung, Pak,” jawab Sipayung.
“Kenapa enggak koperasi saja yang melakukannya? Tadi Bapak sampaikan koperasi ini punya cabang di seluruh Indonesia?” tanya Alfis lagi.
“Punya, kita punya 1.000 lebih prim, punya 22 pos,” ujar Sipayung.
Alfis merasa pertanyaannya belum terjawab.
Sebab, meski cabang Inkopad begitu banyak dan ada di Batalion atau Kodim, distribusi gula dikerjasamakan dengan distributor.
Hakim
ad hoc
itu mempertanyakan mengapa Inkopad yang mengambil gula kristal putih (GKP) dari PT Angles Product mengirimkannya ke cabang koperasi di seluruh Indonesia dan melakukan operasi pasar.
“Kenapa enggak demikian yang dilakukan?” tanya Alfis.
“Izin, Pak, mungkin menurut saya (Inkopad) enggak mampu, koperasi itu enggak mampu beli gula sekian banyak,” ujar Sipayung.
“Ya kalau enggak mampu, enggak usah ditunjuk Pak koperasi itu oleh Kementerian Perdagangan,” kata Alfis.
Menurut Alfis, Inkopad bisa mengendalikan harga gula karena sebelumnya mengajukan permohonan untuk melakukan operasi pasar.
Setelah itu, mereka mendapat tugas dari Kementerian Perdagangan.
Persoalannya, menurut Alfis, anggaran koperasi tersebut tidak cukup untuk melakukan operasi pasar sehingga dalam proses distribusinya mengalami kendala.
“Bapak tadi jawab anggaran enggak ada, dana kami kurang koperasi. Kan begitu jawabannya. Kalau tahu dana kurang, anggaran minim, ngapain dahulu mengajukan permohonan kepada Kementerian Perdagangan untuk mendapatkan penugasan?” cecar Hakim.
Mendengar hal ini, Sipayung mengatakan, pihaknya mengetahui bahwa Inkopad melakukan operasi pasar atas perintah Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
“Kita kerja sama itu atas perintah, melakukan kerja sama. Tentara itu kalau KSAD memerintah A, pasti dikerjakan,” tutur Sipayung.
Namun, Hakim Alfis tetap berpandangan bahwa idealnya Inkopad, jika secara anggaran tidak sanggup melakukan operasi pasar, tidak mengajukan permohonan ke Kementerian Perdagangan.
Dalam perkara ini, Tom didakwa melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Perbuatannya dinilai melanggar hukum, memperkaya orang lain ataupun korporasi yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 578 miliar.
Jaksa dalam surat dakwaannya mempersoalkan tindakan Tom Lembong yang menunjuk sejumlah koperasi TNI-Polri untuk mengendalikan harga gula, bukan perusahaan BUMN.
“Terdakwa Thomas Trikasih Lembong tidak menunjuk perusahaan BUMN untuk pengendalian ketersediaan dan stabilisasi harga gula, melainkan Inkopkar, Inkoppol, Puskopol, SKKP TNI-Polri,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (6/3/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Korupsi Rp2 M, Mantan Teller Bank BUMN Ditangkap Setelah 8 Tahun Buron, Sempat Sembunyi di Magelang
TRIBUNJATENG.COM – Seorang mantan teller sebuah bank milik negara akhirnya berhasil ditangkap setelah menjadi buron selama delapan tahun.
Namanya Endang Pristiwati (56).
Endang merupakan terpidana kasus korupsi senilai Rp 2 miliar yang sempat menghilang sejak 2017.
Penangkapannya dilakukan pada Minggu (4/5/2025) malam sekitar pukul 19.30 WIB di Perumahan Sakura Land, Kecamatan Kemiling, Bandar Lampung.
BURONAN: Kolase poster buronan eks teller bank BUMN yang ditangkap Kejari Lampung Tengah, Senin (5/5/2025). (KOMPAS.COM/DOK. KEJARI LAMPUNG TENGAH)
Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri (Kejari) Lampung Tengah, Alfa Dera, mengungkapkan bahwa selama masa pelariannya, Endang tidak hanya berpindah-pindah tempat tinggal, tetapi juga mengganti identitasnya.
“Terpidana juga sempat mengganti namanya menjadi Widyastuti saat bersembunyi di Magelang, Jawa Tengah,” kata Alfa saat dihubungi pada Senin (5/5/2025) petang.
Bagaimana Endang Menghindari Kejaran Hukum?
Menurut Alfa, proses pelacakan terhadap Endang cukup sulit karena ia terus berpindah lokasi.
Sejak penyidikan kasus ini kembali dibuka pada 2017, Endang sudah lebih dulu menghilang.
Ia memanfaatkan perubahan identitas dan mobilitas tinggi untuk menghindari aparat penegak hukum.
“Keberadaan terpidana sulit dilacak karena terus berpindah tempat tinggal,” ujar Alfa.
Strategi yang dilakukan Endang, seperti berpindah kota dan mengganti nama, membuat aparat kesulitan melacaknya.
Ia sempat tinggal di beberapa wilayah sebelum akhirnya ditemukan di Bandar Lampung.
Apa Kasus Korupsi yang Menjerat Endang?
Kasus yang menjerat Endang bermula pada tahun 2006, ketika ia masih bekerja sebagai teller di salah satu bank BUMN.
Saat itu, Endang menyalahgunakan kewenangannya dan menilap dana nasabah, yang totalnya mencapai Rp 2 miliar.
Aksi korupsi ini menyebabkan kerugian besar bagi negara dan nasabah.
Penyidikan kasus tersebut sempat terhenti selama satu dekade, namun kembali dilanjutkan pada tahun 2017.
Ketika proses hukum dilanjutkan, Endang sudah menghilang, sehingga Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Tanjung Karang menjatuhkan vonis secara in absentia.
Endang dijatuhi hukuman 10 tahun penjara serta denda sebesar Rp 200 juta.
Karena vonis tersebut dijatuhkan tanpa kehadirannya, aparat kejaksaan terus melakukan pencarian hingga akhirnya berhasil menangkapnya di tahun 2025.
Setelah penangkapan, Endang kini telah diamankan oleh Kejari Lampung Tengah dan akan segera menjalani hukuman sesuai dengan putusan pengadilan.
“Penangkapan terhadap terpidana atas nama Endang Pristiwati dilakukan di Bandar Lampung pada Minggu, 4 Mei 2025 malam,” tegas Alfa. (*)
-
/data/photo/2025/05/05/6818a53b580ff.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
1 Sempat Ganti Nama dan Berpindah Kota, Begini Cara Eks Teller Bank BUMN Buron 8 Tahun Usai Korupsi Rp 2 Miliar Regional
Sempat Ganti Nama dan Berpindah Kota, Begini Cara Eks Teller Bank BUMN Buron 8 Tahun Usai Korupsi Rp 2 Miliar
Tim Redaksi
LAMPUNG, KOMPAS.com
– Terpidana kasus korupsi Rp 2 miliar,
Endang Pristiwati
(56), mantan
teller
bank BUMN, akhirnya ditangkap setelah delapan tahun buron. Selama pelariannya, Endang tak hanya berpindah-pindah tempat tinggal, tetapi juga sempat mengganti identitas.
Kepala Seksi Intelijen (Kastel) Kejaksaan Negeri (Kejari) Lampung Tengah, Alfa Dera, mengatakan bahwa Endang ditangkap pada Minggu (4/5/2025) malam sekitar pukul 19.30 WIB di Perumahan Sakura Land, Kecamatan Kemiling, Bandar Lampung.
“Terpidana juga sempat mengganti namanya menjadi Widyastuti saat bersembunyi di Magelang, Jawa Tengah,” kata Alfa saat dihubungi, Senin (5/5/2025) petang.
Menurut Alfa, proses pelacakan sempat terkendala karena Endang terus berpindah lokasi sejak penyidikan kasusnya kembali dibuka pada 2017. Pergantian identitas dan lokasi tinggal menjadi strategi utama untuk menghindari kejaran aparat.
“Keberadaan terpidana sulit dilacak karena terus berpindah tempat tinggal,” ujarnya.
Kasus korupsi yang menyeret Endang bermula pada 2006, ketika ia menyalahgunakan wewenangnya sebagai teller dan menilap uang nasabah. Kerugian negara akibat tindakannya ditaksir mencapai Rp 2 miliar.
Meski sempat tertunda selama satu dekade, penyidikan kembali dilanjutkan pada 2017. Namun, saat itu Endang sudah menghilang dan divonis secara in absentia oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tanjung Karang. Ia dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 200 juta.
“Penangkapan terhadap terpidana atas nama Endang Pristiwati dilakukan di Bandar Lampung pada Minggu, 4 Mei 2025 malam,” ujar Alfa.
Endang kini telah diamankan dan akan menjalani hukuman sesuai putusan pengadilan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/01/02/67768c13f0493.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Berbeda dengan Hakim Lain, Heru Hanindyo Tegaskan Tak Terlibat Suap Vonis Bebas Ronald Tannur
Berbeda dengan Hakim Lain, Heru Hanindyo Tegaskan Tak Terlibat Suap Vonis Bebas Ronald Tannur
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Surabaya,
Heru Hanindyo
menegaskan bahwa dirinya tidak terlibat dan tidak menerima uang terkait dugaan suap vonis bebas Gregorius
Ronald Tannur
di PN Surabaya.
Pernyataan itu disampaikan Heru dalam duplik dalam kasus suap penanganan perkara yang menjerat tiga hakim PN Surabaya yang membebaskan Ronald Tannur yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (5/5/2025).
Adapun tiga hakim yang menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti itu adalah Erintuah Damanik sebagai ketua majelis serta Mangapul dan Heru Hanindyo selaku anggota.
“Bantahan atau keberatan saya di muka persidangan seharusnya terhadap keterangan Erintuah Damanik dan Mangapul adalah suatu keadaan yang sebenar-benarnya saya alami dan rasakan berdasarkan pancaindra yang saya miliki,” kata Heru dalam sidang, Senin.
Heru tetap membantah keberadaannya di kantor PN Surabaya sebagaimana peristiwa pembagian uang yang disebutkan oleh Erintuah dan Mangapul dalam perkara tersebut.
“Keberadaan saya pada
tempus
yang disebutkan Erintuah Damanik dan Mangapul sejatinya saya tidak berada di tempat sebagaimana dimaksud,
in casu
di ruangan kerja dan area PN Surabaya pada saat hari Senin tanggal 3 Juni 2024 dan Senin 17 Juni 2024,” ucap dia.
Heru bahkan menyebut memiliki bukti bahwa Erintuah memberikan keterangan yang tidak benar terkait keberadaannya pada hari Sabtu, 1 Juni 2024.
Pasalnya, tanggal tersebut, Erintuah berada di Surabaya untuk mengikuti upacaya. Hal ini berbeda dengan keterangan Erintuah yang mengaku bertemu dengan pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat di Semarang.
“Saya dapat membuktikan bahwa keberadaan Erintuah Damanik pada hari Sabtu tanggal 1 Juni 2024 sejatinya Erintuah Damanik tidak berada di Semarang, tetapi berada di Surabaya, sehingga pada hari Sabtu tanggal 1 Juni 2024 tidak mungkin Erintuah Damanik bertemu dengan Lisa Rahmat, termasuk menerima uang SGD 140.000 pecahan SGD 1000 di Dunkin Donnuts Bandara A. Yani Semarang,” katanya.
Heru juga membantah disebut mengetahui atau menerima bagian dari uang sebesar SGD 140.000 sebagaimana keterangan para Erintuah maupun Mangapul.
Ia menegaskan bahwa keberatan atas keterangan dua saksi lainnya merupakan bagian dari hak konstitusional untuk membela diri.
“Bantahan atau keberatan diri saya dalam persidangan ini tidak serta merta tanpa suatu alasan yang rasional, bahkan tidak ada yang kontradiktif sebagaimana disebutkan penuntut umum di dalam replik, melainkan bantahan atau keberatan tersebut didasari argumentasi dan pembuktian bahkan adanya suatu peristiwa notoire feiten,” kata Heru.
“Oleh karenanya, pertahankan hak dan kewajiban di muka hukum,
in casu
, dalam persidangan ini dalam bentuk bantahan atau keberatan dan suatu pernyataan yang tidak mengakui, tidak turut serta, dan tidak menerima sejumlah uang sebagaimana perbuatan-perbuatan tersebut dituduhkan kepada diri saya haruslah jangan dipandang sebagai perbuatan yang bernilai negatif atau buruk bahkan dipertimbangkan sebagai hal memberatkan yaitu tidak kooperatif,” ucapnya.
Heru menekankan pentingnya menjalankan proses hukum secara benar dan menjunjung asas praduga tak bersalah terhadap siapapun yang duduk sebagai terdakwa.
Seyogianya, kata dia, dalam menjustifikasi seorang terdakwa, penuntut umum memahami esensi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan mengedepankan logika.
“Jika terdakwa harus mengakui perbuatan yang dituduhkan kepada dirinya maka apa gunanya hukum acara sebagai hukum prosedur yang menjalankan hukum materiil dan apa gunanya lembaga pengadilan dengan kewenangannya mengadili perkara
a quo
,” kata Heru.
Sebagaimana diketahui, tiga hakim PN Surabaya tersebut didakwa menerima suap senilai Rp 4,6 miliar untuk membebaskan Ronald Tannur dari dakwaan jaksa.
Suap tersebut diberikan dalam pecahan Rp 1 miliar dan 308.000 dollar Singapura oleh pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat.
Jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung menyebutkan bahwa uang suap itu bersumber dari ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja Tannur.
Ketiga hakim itu kemudian menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) terhadap Ronald Tannur.
Ketua majelis hakim yang menyidangkan perkara Ronald Tannur, Erintuah Damanik dituntut sembilan tahun penjara.
Dalam proses persidangan, Erintuah memang mengakui menerima suap untuk membebaskan Ronald Tannur.
Kemudian, hakim anggota yang menyidangkan perkara Ronald Tannur, Mangapul juga dituntut sembilan tahun penjara oleh JPU.
Senada dengan Erintuah, Mangapul dalam proses persidangan juga mengakui bahwa dirinya menerima suap untuk membebaskan Ronald Tannur.
Sementara, hakim Heru Hanindyo yang dijatuhi tuntutan paling berat, yakni 12 tahun penjara setelah dianggap terbukti menerima suap untuk membebaskan pelaku pembunuhan Gregorius Ronald Tannur.
Dalam proses persidangan, Heru Hanindyo memang bersikeras tidak menerima suap dari Lisa Rachmat untuk membebaskan Ronald Tannur.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/03/11/67cfe675b1674.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Eks Direktur PT Timah Alwin Albar Divonis 10 Tahun Penjara
Eks Direktur PT Timah Alwin Albar Divonis 10 Tahun Penjara
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis 10 tahun penjara kepada mantan Direktur Operasi dan Produksi PT Timah Tbk,
Alwin Albar
, dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 tahun,” kata ketua majelis hakim Fajar Kusuma Aji dalam sidang di
Pengadilan Tipikor
Jakarta, Senin (5/5/2025).
Majelis hakim menilai Alwin terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan pihak lain, termasuk suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis.
Hakim menilai, Alwin terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Selain pidana badan, eks petinggi PT Timah itu juga dijatuhi pidana denda sebesar Rp 750 juta subsider enam bulan penjara.
Vonis ini lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menuntut Alwin dengan pidana penjara selama 14 tahun dan denda Rp 1 miliar.
Dalam perkara ini, Alwin dan terdakwa lainnya disebut menyepakati harga sewa pengolahan timah sebesar 4.000 dollar AS per ton untuk PT Refined Bangka Tin (RBT) dan 3.700 dollar AS per ton untuk empat smelter swasta tanpa kajian kelayakan yang memadai.
Kerja sama ini menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 2,2 triliun.
Selain itu, Alwin bersama pihak lain juga disebut terlibat dalam penerbitan surat perintah kerja (SPK) yang digunakan untuk melegalkan pembelian bijih timah dari penambang ilegal di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah.
Tindakan ini disebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 26,6 triliun dan kerusakan lingkungan senilai Rp 271 triliun.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

