Kementrian Lembaga: Pengadilan TIPIKOR Jakarta

  • ICW Mendesak Prabowo Tak Intervensi Penanganan Kasus Korupsi

    ICW Mendesak Prabowo Tak Intervensi Penanganan Kasus Korupsi

    Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Presiden Prabowo Subianto tidak mengintervensi hasil putusan pengadilan tindak pidana korupsi.

    Hal ini buntut dari pemberian rehabilitasi bagi Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry tahun 2017–2024 Ira Puspadewi, Direktur Komersial dan Pelayaran tahun 2019–2024 Muhammad Yusuf Hadi, dan Direktur Perencanaan dan Pengembangan tahun 2020–2024 Harry Muhammad Adhi Caksono. 

    Mereka sebelumnya dinyatakan bersalah korupsi oleh pengadilan Tipikor dalam kasus akuisisi kapal PT Jembatan Nusantara oleh PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyebrangan (ASDP).

    Terlebih, sebelumnya Prabowo juga memberikan abolisi bagi Thomas Trikasih Lembong dan amnesti bagi Hasto Kristiyanto. ICW menilai, intervensi presiden memperlemah putusan pengadilan.

    “Intervensi Presiden terhadap putusan pengadilan merupakan bentuk pelemahan terhadap lembaga yudikatif dan pengabaian terhadap prinsip pemisahan cabang kekuasaan. Terlebih, kasus ini masih belum inkracht atau berkekuatan hukum tetap,” tulis ICW melalui laman resminya, Kamis (27/11/2025).

    Apalagi pemberian rehabilitasi sebelum putusan berstatus tetap atau inkrah. Diketahui, Ira dijatuhi vonis pada 20 November 2025 dan diberikan waktu 7 hari untuk mengajukan banding yang dalam hal ini tenggat waktu sampai 27 November 2025.

    Menurut, ICW lembaga yudikatif harus bersifat transparan dan independen, serta bebas dari intervensi politik. Pemberian rehabilitasi maupun amnesti tanpa pertimbangan yang jelas dapat mencederai prinsip tersebut.

    “Dalam institusi peradilan seharusnya Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung diposisikan sebagai ruang koreksi yuridis untuk menguji ketepatan pertimbangan hukum pengadilan yang berada di bawahnya,” lanjut rilis tersebut.

    ICW khawatir pemberian rehabilitasi maupun amnesti dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana korupsi dengan membangun narasi-narasi belas kasih sehingga memperoleh hak prerogatif presiden.

    Selain itu, mudahnya menggunakan hak prerogatif berpotensi mengacaukan sistem peradilan pidana yang patutnya bersifat objektif.

    Selain menuntut batasan pemberian rehabilitasi hingga amnesti, ICW juga mendesak DPR segera mengatur pemberian hak prerogatif presiden sebagaimana tertuang dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

  • Momen Keluarga Ira Puspadewi Menangis Haru Saat Prabowo Beri Rehabilitasi

    Momen Keluarga Ira Puspadewi Menangis Haru Saat Prabowo Beri Rehabilitasi

    Bisnis.com, JAKARTA – Suasana haru menyelimuti keluarga mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry, Ira Puspadewi, sesaat setelah Presiden RI Prabowo Subianto menandatangani keputusan rehabilitasi atas kasus yang menjeratnya.

    Momen itu diceritakan langsung oleh Wakil Direktur PT Sari Bahari, Agung Pamujo, melalui unggahan di akun Instagram pribadinya, @agungpamujo, Rabu (26/11/2025).

    Agung menyampaikan bahwa pada Selasa (25/11/2025) sore, dia tengah berkunjung ke kediaman keluarga Ira di kawasan Senen, Jakarta.

    Dia datang untuk memenuhi janji bertemu dengan suami Ira, Zaim Uchrowi. Menjelang Magrib, Zaim mengajaknya menunaikan salat berjemaah di musala apartemen, bersama putra sulung mereka, Inu, dan cucu Agung.

    Usai salat, telepon genggam Agung terus berdering dari berbagai pesan masuk.

    “Rupanya, itu kabar dari banyak teman soal rehabilitasi,” tulisnya.

    Dia pun segera menyampaikan kabar itu kepada Zaim yang masih sedang makan.

    “Saya pun segera sampaikan ke Mas Zaim, yang sedang makan, lalu ke Inu. Bapak anak itu sempat terhenyak. Saya tunjukkan link berita di media lewat handphone. Lalu, keluarlah ucapan syukur, berlanjut Mas Zaim dan Inu berpelukan. Bertangisan,” tulis Agung menggambarkan momen haru tersebut.

    Sambil menahan tangis, keluarga segera menyalakan televisi untuk menonton langsung konferensi pers pemerintah. 

    Saat itu, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi, didampingi Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dan Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya, mengumumkan bahwa Presiden Prabowo menggunakan hak prerogatif, yaitu memberikan rehabilitasi kepada Ira beserta dua mantan pejabat ASDP lainnya, yakni Muhammad Yusuf Hadi dan Hari Muhammad Adhi Caksono.

    Agung menuliskan rasa syukurnya menyaksikan kelegaan keluarga sahabatnya setelah lebih dari satu tahun perjuangan mencari keadilan.

    “Alhamdulillah, setelah begitu lama menyaksikan kebaikan dan keunggulan Ira. Lalu sedih bercampur kesal ketika Ira dikasuskan, berlanjut putusan negatif, dan Alhamdulillah. Allah berkehendak, saya menyaksikan rasa syukur dan kebahagiaan keluarga Ira, dengan kabar rehabilitasi ini,” tulisnya.

    Agung juga menggambarkan betapa emosionalnya momen itu piring makan masih tergenggam di tangan Zaim saat dia memeluk putranya, Inu. 

    Keduanya tak kuasa menahan air mata setelah mendengar berita rehabilitasi langsung dari Agung. Menurutnya, rehabilitasi dari Presiden Prabowo menjadi titik balik yang disambut penuh syukur oleh keluarga yang selama ini mendampingi perjuangan Ira.

    Kasus hukum yang menjerat Ira bergulir sejak Juli 2024 dan berujung pada vonis 4 tahun 6 bulan penjara di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 20 November 2025. Dia dan dua rekannya dinyatakan bersalah memperkaya pemilik PT Jembatan Nusantara sebesar Rp1,25 triliun dalam proses akuisisi perusahaan tersebut oleh PT ASDP Indonesia Ferry.

  • MA Sebut Rehabilitasi Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Cs Hak Prerogatif Prabowo: Untuk Kepentingan Besar

    MA Sebut Rehabilitasi Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Cs Hak Prerogatif Prabowo: Untuk Kepentingan Besar

    Mantan Dirut ASDP Ira Puspadewi divonis penjara 4 tahun dan 6 bulan dalam kasus dugaan korupsi kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN). Ira dinilai terbukti bersalah melakukan korupsi.

    “Menyatakan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dakwaan alternatif kedua,” kata Hakim Ketua Sunoto pada sidang pembacaan vonis majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2025).

    Selain Ira, Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP periode 2019–2024 Muhammad Yusuf Hadi serta Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP periode 2020–2024 Harry Muhammad Adhi Caksono juga dijatuhi pidana masing-masing 4 tahun penjara. Majelis hakim juga menjatuhkan hukuman denda.

    Untuk Ira Puspadewi, denda yang dikenakan sebesar Rp 500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama tiga bulan.

    Sementara untuk Yusuf Hadi dan Harry Muhammad dijatuhi pidana denda masing-masing sebesar Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan.

    Ketiga terdakwa dinyatakan telah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Sebelum menjatuhkan putusan, majelis hakim mempertimbangkan perbuatan para terdakwa yang tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih, dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), sebagai hal pemberat.

    Begitu pula dengan perbuatan para terdakwa yang menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan negara sebagai direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta dampak perbuatan para terdakwa yang mengakibatkan ASDP terbebani utang dan kewajiban yang besar, menjadi pertimbangan memberatkan.

    Sementara hakim ketua menyatakan perbuatan para terdakwa yang bukan kesalahan murni untuk melakukan korupsi, tetapi kelalaian berat tanpa kehati-hatian dan iktikad baik dalam prosedur serta tata kelola aksi korporasi ASDP dipertimbangkan sebagai alasan meringankan vonis.

    Selain itu, hal meringankan lainnya yang dipertimbangkan, yakni para terdakwa berhasil memberikan warisan untuk ASDP, tidak terbukti menerima keuntungan finansial, memiliki tanggungan keluarga, serta terdapat beberapa aksi korporasi yang dapat dioperasikan untuk kepentingan publik.

     

  • Kasus Ira Puspadewi, Kriminalisasi atau Korban Pasal Karet Korupsi?

    Kasus Ira Puspadewi, Kriminalisasi atau Korban Pasal Karet Korupsi?

    Bisnis.com, JAKARTA — Putusan hakim terhadap mantan Direktur Utama PT ASDP Ira Puspadewi memantik polemik hukum. Ada isu kriminalisasi dan berbagai macam tetek bengeknya, kendati putusan pengadilan tingkat pertama menyatakan Ira telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

    Adapun vonis terhadap Ira adalah imbas dari keberadaan pasal 2 dan pasal 3 atau ‘pasal karet’ di Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

    Pasal 2 UU Tipikor mengatur bahwa: ‘Setiap orang yang secara sengaja melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda Rp200 juta – Rp1 miliar.”

    Sementara itu, Pasal 3 UU Tipikor menekankan bahwa koruptor adalah setiap orang yang menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 – 20 tahun. 

    Adapun Ira menjadi tersangka kemudian berstatus terdakwa karena diduga melanggar pasal 3 UU Tipikor. Hakim pengadilan tindak pidana korupsi bahkan telah memutus Ira terbukti melakukan tindak pidana korupsi, meskipun tidak ada bukti keuntungan pribadi dalam perkara tersebut.

    Dalam catatan Bisnis, eksistensi kedua pasal itu selain dianggap multitafsir, juga bisa berimplikasi menimbulkan ketidakpastian hukum. Apalagi, kalau merujuk kepada dua pasal itu, korupsi tidak sebatas pada tindakan menguntungkan diri sendiri, tetapi orang lain atau korporasi. 

    Selain itu, korupsi juga didefinisikan sebagai sebuah tindakan penyalahgunaan kewenangan yang dapat menimbulkan kerugian negara.

    Dalam catatan Bisnis, polemik tentang penerapan Pasal 2 atau pasal 3 UU Tipikor pernah terjadi saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tersangka eks Mantan Perdagangan Thomas Lembong dan mantan petinggi BUMN, RJ Lino. Lino bahkan menyandang status tersangka selama hampir 6 tahun. Dia menjadi tersangka pada tahun 2015 dan baru divonis pengadilan pada tahun 2021. 

    Selain RJ Lino, polemik juga sempat terjadi di kasus mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan. Karen pernah bebas dalam kasusnya di Kejaksaan Agung. Namun pada 2024 lalu, Karen divonis penjara selama 9 tahun dalam kasus pembelian gas alam cair alias LNG.

    Karen terbukti bersalah. Dia dinyatakan telah melanggar Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor. Menariknya, dalam vonis yang dijatuhkan, hakim memutuskan bahwa Karen tidak memperoleh hasil dari tindakan korupsi yang dijatuhkan kepadanya. Karen dipenjara karena kebijakannya terkait pembelian LNG terbukti merugikan negara hingga US$113,87 juta.

    Selain RJ Lino dan Karen, tentu masih banyak lagi pejabat atau direksi BUMN yang masuk penjara karena keberadaan ‘pasal karet’ di UU Tipikor. Yang paling baru tentu nama bekas Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong. Sama seperti Karen, Tom terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor.

    Penjelasan KPK

    Adapun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi polemik perhitungan kerugian negara di kasus dugaan korupsi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) yang dianggap janggal karena tidak melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

    Kejanggalan itu disampaikan oleh terdakwa sekaligus mantan Direktur Utama PT ASDP Ira Puspadewi dalam pledoinya beberapa waktu lalu sebelum divonis 4,5 tahun penjara. 

    Menurut Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo perhitungan kerugian negara dilakukan oleh accounting forensik (AF) KPK yang sebelumnya sudah sering terlibat dalam menghitung kerugian negara dan diterima oleh hakim

    “Artinya ini memang sudah firm bahwa AF di KPK ini punya kewenangan dalam menghitung kerugian negara. Dalam proses persidangannya juga KPK sudah menghadirkan ahli dari BPK yang juga menyatakan bahwa hitungan yang dilakukan oleh accounting forensik KPK ini sudah sesuai,” kata Budi kepada jurnalis, Senin (24/11/2025).

    Budi menegaskan proses perhitungan kerugian negara telah melibatkan sejumlah ahli seperti ahli perkapalan. Menurutnya, akuisisi kapal PT JN oleh PT ASDP berisiko terhadap faktor keselamatan karena kapal yang diakuisisi berusia tua sehingga memengaruhi kualitas kapal.

    Pihaknya turut membandingkan kapal milik PT JN dengan PT ASDP mulai dari usia hingga volume kapal. Termasuk valuasi kapal-kapal tersebut. “Ya mungkin ASDP secara keseluruhan itu laba atau untuk tapi kan itu ekosistem besarnya. Sedangkan akuisisi atas PT JN sampai dengan hari ini ekosistem bisnisnya masih merugi,” ujar Budi.

    Budi menyebutkan jika PT ASDP tidak melakukan akuisisi, maka berpeluang untung lebih besar. Sebab, PT JN memiliki permasalahan keuangan yang salah satunya adalah utang. 

    Dalam hal ini, selain mengakuisisi kapal, PT ASDP harus membayar utang yang ditanggung PT JN. Selain itu, Budi menegaskan penetapan tersangka terhadap Ira telah memenuhi kecukupan alat bukti.

    Rehabilitasi dari Prabowo

    Setelah menjadi polemik, Presiden Prabowo Subianto resmi meneken surat rehabilitasi bagi tiga terdakwa kasus korupsi terkait akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry. 

    Tiga terdakwa tersebut, yakni eks Dirut ASDP Ira Puspadewi, mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP, Harry Muhammad Adhi Caksono, dan eks Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP, Muhammad Yusuf Hadi.

    Rehabilitasi dari Prabowo diumumkan oleh Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang didampingi oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya di Istana, Selasa (25/11/2025). 

    “Alhamdulillah pada hari ini Presiden Republik Indonesia Bapak Prabowo Subianto telah menandatangani surat rehabilitasi terhadap 3 nama tersebut,” kata Dasco dalam konferensi pers di Istana, Selasa (25/11/2025).

    Di samping itu, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menegaskan bahwa pemberian rehabilitasi terhadap tiga mantan pejabat PT ASDP Indonesia Ferry pada dasarnya setara dengan pembebasan.

    “Kira-kira begitulah [pembebasan], oke,” tutur Prasetyo.

    Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, pemberian rehabilitasi merupakan kewenangan presiden dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA). “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung,” bunyi Pasal 14.

    Kemudian, penjelasan rehabilitasi secara eksplisit tertera dalam Pasal 1 (23) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 

    Dalam beleid itu, rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang.

    Selain diadili tanpa alasan, rehabilitasi juga merupakan hak pemulihan karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

    Adapun, pada Pasal 95 ayat (1) KUHAP mengatur soal hak penerima rehabilitasi. Dalam hal ini, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

  • Apa Alasan Presiden Prabowo Rehabilitasi Ira Puspadewi?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 November 2025

    Apa Alasan Presiden Prabowo Rehabilitasi Ira Puspadewi? Nasional 26 November 2025

    Apa Alasan Presiden Prabowo Rehabilitasi Ira Puspadewi?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Presiden RI Prabowo Subianto memutuskan untuk memberikan rehabilitasi kepada mantan Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi. Apa alasannya?
    Ira sebelumnya divonis penjara 4,5 tahun dalam kasus korupsi terkait kerja sama usaha (KSU) dan proses akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) pada periode 2019–2022.
    Selain Ira, ada juga mantan Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Ferry, Muhammad Yusuf Hadi, serta mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Ferry, Harry Muhammad Adhi Caksono yang turut mendapatkan rehabilitasi dari Kepala Negara.
    Dengan rehabilitasi dari Prabowo ini, maka hak dan martabat mereka akan dipulihkan.
    Sebab, status terpidana otomatis gugur ketika Ira dan kawan-kawan direhabilitasi.
    “Dari hasil komunikasi dengan pihak pemerintah alhamdullilah pada hari ini Presiden RI
    Prabowo Subianto
    telah menandatangani surat rehabilitasi terhadap tiga nama tersebut,” ujar Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dalam jumpa pers di Istana, Jakarta, Selasa (25/11/2025).
    Lantas, apa alasan Prabowo memberikan rehabilitasi kepada
    Ira Puspadewi
    ?
    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengungkapkan alasan Prabowo memberikan rehabilitasi kepada Ira Puspadewi, Harry Muhammad Adhi Caksono, dan Muhammad Yusuf Hadi.
    Prasetyo menjelaskan, pemberian rehabilitasi ini diawali dari aspirasi masyarakat yang ditampung oleh DPR.
    Selain itu, kata dia, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum (Kemenkum) juga menerima aspirasi terkait kasus-kasus hukum, termasuk apa yang menimpa Ira Puspadewi.
    “Segala sesuatu yang berkenaan dengan kasus-kasus yang terjadi, dan itu ada jumlahnya banyak sekali, yang dalam prosesnya dilakukan pengkajian dilakukan telaah dari berbagai sisi, termasuk pakar hukum yang kemudian atas surat usulan dari permohonan dari DPR yang kemudian ditindaklanjuti dalam satu minggu ini oleh Menteri Hukum,” ujar Prasetyo.
    Selanjutnya, pemerintah bersurat kepada Presiden Prabowo Subianto agar kepala negara menggunakan hak rehabilitasi untuk Ira Puspadewi, serta dua pejabat ASDP lainnya, yakni Harry Muhammad Adhi Caksono dan Muhammad Yusuf Hadi.
    “Dan Bapak Presiden memberikan keputusan untuk menggunakan hak beliau di dalam kasus yang tadi sudah disebutkan kasusnya, sudah berjalan cukup lama kepada menimpa kepada Dirut ASDP beserta beberapa orang jajaran di ASDP,” jelasnya.
    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengungkapkan usulan rehabilitasi terhadap ketiga orang itu sampai dibawa ke rapat terbatas (ratas).
    Walhasil, Prabowo pun memberikan persetujuan untuk menggunakan haknya dalam merehabilitasi ketiga orang tersebut.
    “Dibicarakan dalam rapat terbatas, dan Bapak Presiden memberikan keputusan untuk menggunakan hak beliau di dalam kasus yang tadi sudah disebutkan kasusnya sudah berjalan cukup lama kepada menimpa Dirut ASDP beserta beberapa orang jajaran di ASDP,” ujar Prasetyo.
    Lalu, Prasetyo menjelaskan, Prabowo baru membubuhkan tanda tangan terhadap surat rehabilitasi itu pada Selasa sore kemarin.
    Adapun keputusan rehabilitasi ini selanjutnya akan diproses sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    Ira Puspadewi dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara karena terbukti bersalah dalam kasus korupsi proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) tahun 2019-2022.
    “Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa Ira Puspadewi dengan pidana penjara selama empat tahun dan enam bulan penjara, dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan penjara,” ujar Hakim Ketua Sunoto saat membacakan putusan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta pada Kamis, 20 November 2025.
    Hakim menyatakan, eks Dirut ASDP itu terbukti menguntungkan orang lain atau suatu korporasi, yakni PT JN.
    Terhadap Ira dinyatakan telah melanggar dakwaan alternatif kedua, yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1.
    Namun, dalam putusannya, hakim menyatakan Ira Puspadewi tidak menerima uang hasil perbuatan korupsinya.
    Meskipun demikian, Ira tetap dinyatakan terbukti bersalah karena karena telah memperkaya orang lain atau suatu korporasi, yaitu pemilik PT JN, Adjie sebesar Rp 1,25 triliun dari proses akusisi PT JN oleh ASDP.
    “Perbuatan terdakwa bukan kesalahan murni untuk melakukan korupsi, tapi kelalaian berat tanpa kehati-hatian dan iktikad baik dalam prosedur dan tata kelola aksi korporasi PT ASDP,” ujar Hakim Anggota Nur Sari Baktiana.
    Merespons putusan hakim, Ira Puspadewi menegaskan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi.
    “Kami ingin sedikit mengulang kembali, seperti yang dinyatakan majelis hakim, kami tidak korupsi sama sekali,” ujar Ira usai sidang vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
    Menurut dia, akuisisi PT JN bukanlah hal yang merugikan negara atau menguntungkan pihak tertentu, tetapi strategis untuk mendukung operasional ASDP.
    “Dengan adanya akuisisi ini, maka posisi ASDP yang melayani wilayah-wilayah 3T, terpinggir, terluar, terdepan, itu akan menjadi lebih kuat,” katanya.
    Ira juga mengatakan, ASDP diuntungkan karena mendapatkan 53 kapal yang sudah memiliki izin di trayek komersial, dari akuisisi PT JN.
    “Kami perlu akuisisi di mana akuisisi PT JN ini adalah perusahaan yang memiliki izin 53 kapal berlayar di trayek komersial semua. Ini memperkuat trayek komersial maka kekuatan ASDP untuk mensubsidi silang akan lebih mudah,” katanya.
    Untuk itu, Ira meminta perlindungan hukum kepada Presiden Prabowo Subianto.
    “Kami mohon perlindungan hukum dari Presiden RI bagi profesional, khususnya BUMN yang melakukan proposal besar untuk bangsa, bukan hanya untuk perusahaan tapi untuk bangsa Indonesia,” ujar Ira Puspadewi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Anak Riza Chalid Tulis Surat dari Dalam Sel, Bela Ayah di Kasus Korupsi Minyak

    Anak Riza Chalid Tulis Surat dari Dalam Sel, Bela Ayah di Kasus Korupsi Minyak

    Bisnis.com, JAKARTA — Anak tersangka Mohammad Riza Chalid, Muhamad Kerry Adrianto Riza menyatakan ayahnya tidak terlibat dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah.

    Kerry mengaku kegiatan sewa menyewa antara terminal BBM dengan Pertamina merupakan kegiatan usaha dirinya sendiri tanpa melibatkan Riza Chalid.

    “Jadi kegiatan saya ini, hanya sewa-menyewa terminal BBM antara saya dengan Pertamina. Usaha ini adalah usaha saya sendiri dan tidak ada keterlibatan ayah saya,” ujar Kerry di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (25/11/2025).

    Dia menyatakan kegiatan sewa menyewa terminal BBM ini justru telah menguntungkan PT Pertamina. Sebab, perusahaan plat merah itu bisa melakukan efisiensi Rp145 miliar per bulan.

    Bahkan, berdasarkan klaim Kerry, kegiatan penyewaan terminal BBM masih berlangsung atau digunakan Pertamina.

    “Usaha ini memberikan manfaat yang besar kepada Pertamina, sebagaimana saksi dari Pertamina di persidangan yang menyatakan bahwa dengan menggunakan terminal saya, Pertamina mendapatkan efisiensi sampai Rp 145 miliar per bulan,” Imbuhnya.

    Di samping itu, Kerry mengemukakan telah menumpahkan isi pikirannya terkait dalam perkara ini melalui surat yang telah ditulisnya saat berada di sel tahanan.

    Berikut isi surat lengkap yang ditulis Kerry di tahanan pada Senin  (24/11/2025):

    Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

    Dengan kerendahan hati, izinkan saya menulis surat ini sebagai warga negara, pengusaha, suami, anak dan ayah, yang kini diperlakukan seolah musuh negara.

    Saya bukan pejabat publik, dan tidak pernah mengambil uang negara. Nama saya dicitrakan sebagai penjahat besar, seakan saya adalah sumber masalah negeri. Di mana keadilan? Rumah saya digeledah. Saya dibawa dan diperiksa tanpa didahului panggilan atau prosedur yang benar. Lalu, tiba-tiba ditahan sejak 25 Februari 2025. Hampir delapan bulan saya mendekam, menunggu kepastian hukum.

    Selama penahanan, nama baik saya dihancurkan dan keluarga saya yang menanggung stigma. Mirisnya, tuduhan liar terus bergulir di ruang publik. Bukan hanya saya yang menjadi korban, ayah saya juga dituduh sebagai dalang dan mendanai demonstrasi ‘Bubarkan DPR’ Agustus lalu tanpa ada satupun bukti.

    Ayah saya tidak mungkin melakukan hal tersebut, ayah saya bahkan dijadikan tersangka, dituduh sebagai beneficial owner OTM, padahal namanya tidak tercatat dan tidak pernah terlibat di perusahaan.

    Perlu saya tegaskan, fakta inti yang sering dipelintir. Saya tidak merugikan negara, tidak menjual beli minyak, apalagi mengoplos BBM secara ilegal. Bisnis saya hanyalah menyewakan tangki penyimpanan BBM kepada Pertamina. Tuduhan kerugian negara Rp 285 triliun adalah fitnah keji. Angka ini tanpa dasar audit resmi dan tidak logis, sebab aktivitas saya justru membantu negara mengamankan cadangan energi.

    Faktanya, kegiatan saya membantu negara menghemat dan memperkuat distribusi energi, dengan manfaat hingga Rp145 miliar per bulan, terbukti di persidangan.

    Terminal tangki BBM ini saya beli dengan menggunakan pinjaman bank, bukan warisan, dan sampai kini setelah lebih dari 10 tahun pinjaman bank OTM pun belum lunas. Jika tangki BBM saya bermasalah, mengapa masih digunakan oleh Pertamina? Mengapa saya dikorbankan?

    Saya juga difitnah bermain golf di Thailand dengan uang korupsi Rp 170 miliar. Padahal, saya tidak pernah bermain golf. Ini adalah pembunuhan karakter.

    Saya masih dituduh merugikan negara Rp 285 triliun, padahal di dalam dakwaan saya dituduh merugikan negara atas penyewaan OTM senilai Rp 2,4 triliun dan ini adalah total nilai kontrak sewa nilai selama 10 tahun. Selama 10 tahun periode kontrak ini, tangki BBM OTM dipakai secara maksimal dan memberikan manfaat kepada negara. Bagaimana bisa saya didakwa merugikan negara senilai kontrak sewa sedangkan tangki BBM saya dipakai dengan maksimal oleh Pertamina, bukan sebuah kontrak fiktif melainkan kontrak sah. Menurut berbagai dokumen resmi, yaitu BPKP dan KPK, sama sekali tidak ditemukan pelanggaran dalam kerja sama ini yang melanggar hukum.

    Bahkan saksi Karen Agustiawan mantan dirut Pertamina menyatakan tidak tahu OTM dimiliki siapa. Saksi Hanung juga membantah pernah ditekan oleh ayah saya. Tapi framing tetap berjalan, opini tetap digoreng. Terminal merak yang saya sewakan kepada Pertamina terbukti meningkatkan kapasitas stok BBM nasional, menekan biaya impor, menambah efisiensi distribusi. Ini manfaatnya nyata, bukan korupsi.

    Semoga apa yang saya tulis dalam surat ini, terdengar oleh pemimpin negara kita. Saya tidak minta perlakuan istimewa atau pembebasan tanpa proses. Saya hanya memohon proses hukum yang adil, yang tidak didikte oleh fitnah, opini, atau kepentingan tersembunyi. Biarkan keadilan berdiri di atas fakta, bukan gosip. Izinkan saya dan keluarga mendapatkan kembali hak kami sebagai warga negara yang dilindungi hukum.

  • Soroti Rehabilitasi Presiden Prabowo, Mardani Ali Sera: Berapa Lama Bisa Bertahan Kalau Kayak Gini Terus Sistem Penegakan Hukum Kita?

    Soroti Rehabilitasi Presiden Prabowo, Mardani Ali Sera: Berapa Lama Bisa Bertahan Kalau Kayak Gini Terus Sistem Penegakan Hukum Kita?

    “Tapi hrs ada pelajaran ug diambil. Sesudah Tom Kembong, Mas Hasto dan kini Mba Ira kita perlu bertanya how low can you go?,” kata Mardani Ali Sera.

    Sebelumnya, Presiden RI, Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada Ira Puspadewi dan dua terdakwa lain dalam kasus korupsi yang sama, yakni Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono, juga mendapatkan keputusan rehabilitasi presiden.

    Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan keputusan tersebut dikeluarkan setelah DPR menerima berbagai masukan dari publik.

    “Setelah DPR RI menerima berbagai aspirasi dari masyarakat dan kelompok masyarakat, kami kemudian meminta komisi hukum untuk melakukan kajian terhadap penyelidikan yang dimulai sejak Juli 2024,” ujarnya di Istana Negara, Jakarta, Selasa (25/11).

    Ia menambahkan, “Dari hasil komunikasi dengan pihak pemerintah, alhamdulillah pada hari ini Presiden RI Prabowo Subianto telah menandatangani surat rehabilitasi terhadap tiga nama tersebut.”

    Sebelumnya, Ira Puspadewi dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara dalam kasus korupsi terkait kerja sama usaha dan proses akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) pada 2019–2022.

    Hakim Ketua Sunoto menyatakan Ira terbukti memperkaya pemilik PT JN, Adjie, senilai Rp 1,25 triliun melalui akuisisi tersebut. “Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa Ira Puspadewi dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan serta denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara,” kata Sunoto saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

    Majelis hakim menyebut Ira tidak menerima keuntungan pribadi sehingga tidak dikenakan kewajiban uang pengganti.

  • Tak Hanya Ira Puspadewi, Prabowo Juga Rehabilitasi 2 Mantan Direksi ASDP
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        25 November 2025

    Tak Hanya Ira Puspadewi, Prabowo Juga Rehabilitasi 2 Mantan Direksi ASDP Nasional 25 November 2025

    Tak Hanya Ira Puspadewi, Prabowo Juga Rehabilitasi 2 Mantan Direksi ASDP
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Presiden Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi terhadap mantan Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi.
    Sebelumnya,
    Ira Puspadewi
    divonis 4,5 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dalam kasus korupsi proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) tahun 2019-2022.
    Pemberian rehabilitasi tersebut disampaikan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi dan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (25/11/2025).
    Lantas, bagaimana dengan dua terdakwa lain yang juga divonis bersalah dalam kasus korupsi tersebut?
    Diketahui, mantan Direktur Komersial dan Pelayanan PT
    ASDP
    Ferry, Muhammad Yusuf Hadi, dan mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Ferry, Harry Muhammad Adhi Caksono juga divonis dalam kasus yang sama.
    Keduanya dijatuhi hukuman masing-masing empat tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan.
    Mensesneg Prasetyo Hadi mengatakan, Presiden
    Prabowo
    memberikan rehabilitasi tidak hanya terhadap Ira Puspadewi, tetapi juga kepada dua terdakwa lainnya yakni Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono.
    “Bapak Presiden memberikan keputusan untuk memberikan hak beliau di dalam kasus yang tadi sudah disebutkan. Kasus ini sebenarnya berjalan sudah cukup lama menimpa kepada Dirut ASDP beserta beberapa orang jajaran di ASDP, atas nama saudara Ira Puspa Dewi, saudara Muhammad Yusuf Hadi, dan saudara Harry Muhammad Adhi Caksono,” kata Prasetyo.
    “Berdasarkan permohonan dari Kementerian Hukum, bapak Presiden memberikan persetujuan dan Alhamdullilah baru pada sore hari ini beliau membubuhkan tanda tangan,” ujarnya melanjutkan.
    Menurut Prasetyo, keputusan rehabilitasi ini selanjutnya akan diproses sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    Dalam kesempatan itu, Prasetyo menjelaskan bahwa pemberian rehabilitasi tersebut berawal dari aspirasi masyarakat yang diterima DPR.
    Kemudian, dikaji oleh DPR dan hasilnya disampaikan ke Kementerian Hukum (Kemenkum).
    “Segala sesuatu yang berkenaan dengan kasus-kasus yang terjadi, dan itu ada jumlahnya banyak sekali, yang dalam prosesnya dilakukan pengkajian dilakukan telaah dari berbagai sisi, termasuk pakar hukum yang kemudian atas surat usulan dari permohonan dari DPR yang kemudian ditindaklanjuti dalam satu minggu ini oleh Menteri Hukum,” katanya.
    Selanjutnya, Prasetyo mengatakan, pemerintah bersurat kepada Presiden Prabowo Subianto agar menggunakan hak rehabilitasi untuk Ira Puspadewi, serta dua pejabat ASDP lainnya, yakni Harry Muhammad Adhi Caksono dan Muhammad Yusuf Hadi.
    Setelah itu, permohonan pemberian rehabilitasi kepada Ira Puspadewi ini dibawa ke dalam rapat terbatas (ratas) bersama Prabowo.
    Hingga akhirnya, Presiden Prabowo memberikan rehabilitasi kepada Ira Puspadewi dan dua terdakwa lainnya.
    Sebagaimana diberitakan Ira Puspadewi dijatuhi 4,5 tahun penjara karena terbukti bersalah dalam kasus korupsi proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) tahun 2019-2022.
    “Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa Ira Puspadewi dengan pidana penjara selama empat tahun dan enam bulan penjara, dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan penjara,” ujar Hakim Ketua Sunoto saat membacakan putusan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis, 20 November 2025.
    Eks Dirut ASDP
    disebut telah melanggar dakwaan alternatif kedua, yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1.
    Menariknya, dalam putusannya, hakim menyatakan Ira tidak menerima uang hasil perbuatan korupsinya.
    Namun, dia tetap dinyatakan terbukti bersalah karena karena telah memperkaya orang lain atau suatu korporasi, yaitu pemilik PT JN, Adjie sebesar Rp 1,25 triliun dari proses akusisi PT JN oleh ASDP.
    “Perbuatan terdakwa bukan kesalahan murni untuk melakukan korupsi, tapi kelalaian berat tanpa kehati-hatian dan iktikad baik dalam prosedur dan tata kelola aksi korporasi PT ASDP,” ujar Hakim Anggota Nur Sari Baktiana.
    Dua pejabat ASDP lainnya juga menerima vonis dengan kasus serupa. Mantan Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Ferry, Muhammad Yusuf Hadi, serta mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Ferry, Harry Muhammad Adhi Caksono, masing-masing dijatuhi hukuman penjara empat tahun dan denda Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Divonis 4,5 Tahun Penjara Kini Dapat Rehabilitasi dari Prabowo

    Divonis 4,5 Tahun Penjara Kini Dapat Rehabilitasi dari Prabowo

    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengendus dugaan korupsi dalam kerja sama usaha dan akuisisi PT JN. Lembaga antirasuah itu kemudian mulai menyelidiki pada 11 Juli 2024. Sebulan kemudian, KPK menetapkan empat tersangka. Mereka berinisial IP, MYH, HMAC, dan A.

    Pada Oktober hingga Desember 2024, KPK menyita aset tanah dan bangunan senilai Rp 1,2 triliun. Tanah dan bangunan itu tersebar di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jakarta.

    Pada Februari 2025, KPK menahan tiga tersangka. Mereka adalah Ira Puspadewi, Harry Muhammad Adhi Cakson, dan Muhammad Yusuf Hadi. KPK lalu melimpahkan perkara tersebut ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada 13 Juni 2025, setelah berkas dinyatakan lengkap pada 12 Juni.

    Saat membacakan pleidoi, Ira Puspadewi mengaku dikriminalisasi dalam kasus akuisisi PT JN. Dia juga menyatakan bahwa akuisisi JN senilai Rp 1,272 triliun oleh ASDP bersifat strategis serta menguntungkan negara dan perusahaan, bukan merugikan seperti tuduhan.

    Dia mempertanyakan dasar perhitungan kerugian negara sebesar Rp 1,253 triliun yang dituduhkan kepada dirinya dan dua rekannya, dengan menyebut laporan itu berasal bukan dari BPK atau BPKP, tetapi dari auditor internal dan dosen perkapalan yang tidak bersertifikat penilai publik.

    Pengakuan ini memantik dukungan di media sosial. Tak sedikit warganet yang menilai apa yang dilakukan Ira Puspadewi sudah benar. Gelombang dukungan ini terus mengalir hingga majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta membacakan vonis pada 20 November 2025.

    Dalam putusan itu, Ira Puspadewi dijatuhi hukuman penjara 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Sementara Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono masing‑masing divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 250 juta.

    Putusan itu memicu protes. Sejumlah kelompok masyarakat melayangkan surat ke DPR. Surat tersebut menjadi pintu masuk rehabilitasi yang dikeluarkan Prabowo.

     

  • Kubu Paulus Tannos: KPK Ujug-ujug Terbitkan DPO padahal Tahu Keberadaannya 
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        25 November 2025

    Kubu Paulus Tannos: KPK Ujug-ujug Terbitkan DPO padahal Tahu Keberadaannya Nasional 25 November 2025

    Kubu Paulus Tannos: KPK Ujug-ujug Terbitkan DPO padahal Tahu Keberadaannya
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pengacara tersangka kasus korupsi pengadaan e-KTP, Paulus Tannos, Damian Agata Yuvens, mengatakan, status daftar pencarian orang (DPO) yang diterbitkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada kliennya tidak relevan.
    Sebab, menurut dia,
    KPK
    selalu mengetahui keberadaan
    Paulus Tannos
    .
    “Faktanya pula di bulan November 2021, Pemohon (Paulus Tannos) berkomunikasi dengan penyidik Termohon (KPK) yang bahkan sempat bersurat dengan Termohon, namun ujug-ujug Termohon memasukkan Pemohon dalam
    DPO
    pada tanggal 19 Oktober 2021,” kata Damian, dalam sidang Praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (25/11/2025).
    Damian mengatakan, KPK tidak hanya mengetahui keberadaan Paulus Tannos, melainkan juga pernah memeriksa kliennya sebagai saksi untuk perkara Andi Agustinus alias Andi Narogong sebelum 2017.
    “Yang mana hasil pemeriksaannya dibacakan pada persidangan, yaitu pada Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Nomor 100/2017 tanggal 21 Desember 2017,” ujar dia.
    Oleh karenanya, menurut Damian, jika benar KPK tak mengetahui keberadaan kliennya, tak mungkin Paulus Tannos saat ini ditahan di Singapura.
    “Hal ini menyebabkan status DPO pada Pemohon menjadi tidak relevan karena kedudukan Pemohon jelas ada di mana,” ucap dia.
    Sebelumnya, KPK mengatakan, Paulus Tannos tak bisa mengajukan gugatan praperadilan karena masih berstatus DPO.
    KPK menyoroti aturan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2018.
    Surat edaran tersebut melarang DPO mengajukan peradilan.
    “Berdasarkan uraian tersebut, secara jelas sampai saat ini, permohon dalam status daftar pencarian orang (DPO) sehingga pemohon dilarang mengajukan praperadilan diskualifikasi in person. Dengan demikian, pemohon praperadilan selanjutnya ditolak sejak awal karena diajukan oleh tersangka dalam status DPO yang dilarang mengajukan praperadilan,” kata Tim Biro Hukum KPK, Ariansyah, dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (25/11/2025).
    “Atau setidaknya (praperadilan) dinyatakan tidak dapat diterima,” sambung dia.
    Ariansyah mengatakan bahwa dalam proses penyidikan, KPK beberapa kali memanggil Paulus Tannos sebagai saksi dan tersangka dengan mengirimkan surat panggilan di Indonesia dan Singapura.
    Dia mengatakan bahwa ketidakhadiran Paulus Tannos membuat KPK mengambil langkah berikutnya, yaitu meminta bantuan pencarian dan penangkapan ke Kepolisian RI, sampai akhirnya diterbitkan status daftar pencarian orang (DPO).
    “Meskipun telah diterbitkan Surat Perintah Penangkapan Nomor 8, tanggal 6 November 2024, namun Termohon (KPK) belum berhasil menangkap Pemohon (Paulus Tannos) sehingga sampai saat ini belum ada Berita Acara Penangkapan yang membuktikan Pemohon (Paulus Tannos) telah ditangkap,” ujar dia.
    Diketahui, buronan kasus proyek
    e-KTP
    , Paulus Tannos, mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
    Gugatan ini dilayangkan Paulus Tannos pada Jumat (31/10/2025) dengan nomor perkara 143/Pid.Pra/PN JKT.SEL. “Klasifikasi Perkara: Sah atau tidaknya penangkapan,” demikian dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jaksel, pada Senin (3/11/2025).
    Adapun Paulus Tannos ditangkap oleh Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura pada 17 Januari 2025.
    Penangkapan tersebut berawal dari pengajuan penahanan sementara oleh KPK melalui Divisi Hubungan Internasional Mabes Polri.
    Surat permohonan ini kemudian diteruskan kepada Interpol Singapura hingga sampai ke CPIB.
    Namun, Tannos tidak bisa langsung dibawa ke Indonesia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
    Saat ini, Paulus Tannos menjalani sidang ekstradisi di Pengadilan Singapura.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.