Hasto Sebut Sidangnya Bawa Berkah bagi Pedagang di Sekitar Pengadilan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan
Hasto Kristiyanto
menyatakan, sidang kasus suap dan perintangan penyidikan yang menjeratnya memberikan berkah bagi banyak pihak, terutama para pedanga.
Pasalnya, menurut Hasto, pendapatan pedagang di sekitar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) meningkat karena persidangannya selalu ramai pengunjung.
Hal ini disampaikan Hasto lewat secarik kertas yang dibacakan oleh politikus PDI-P
Guntur Romli
di
Pengadilan Tipikor
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (12/6/2025).
“Persidangan ini membawa berkah kepada pedagang UMKM, warung-warung makanan, penjual minuman, para pedagang keliling, hingga kantin di PN Jakarta Pusat yang omzet dan pendapatan penjualannya naik pada saat persidangan Sekjen PDI Perjuangan Mas Hasto Kristiyanto,” kata Guntur, Kamis.
Di sisi lain, Hasto juga menyampaikan apresiasi kepada simpatisan dan pendukung yang hadir dalam persidangan, termasuk pasukan Satgas Cakrabuana dari PDI-P yang dikenal militan.
“Mengingat di dalam persidangan ini dihadiri oleh begitu banyak simpatisan dan pendukung, termasuk Satgas Cakrabuana yang militan, kami mengucapkan terima kasih kepada Satgas yang ikut membantu mengatur lalu lintas,” ujar Guntur membacakan surat tersebut.
Hasto juga menyampaikan permohonan maaf kepada pimpinan dan seluruh jajaran Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas situasi yang menimbulkan keramaian dan ketidaknyamanan di lingkungan pengadilan.
“Kami mohon maaf kepada pimpinan dan seluruh jajaran PN Jakarta Pusat atas berbagai dukungan yang terjadi sehingga merepotkan pihak-pihak di PN Jakarta Pusat,” kata dia.
Dalam perkara ini, Hasto didakwa memberikan suap kepada eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, untuk memuluskan pergantian antar-waktu (PAW) anggota DPR dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Ia juga didakwa melakukan perintangan penyidikan dengan memerintahkan penghancuran alat komunikasi yang berkaitan dengan kasus tersebut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: Pengadilan TIPIKOR Jakarta
-
/data/photo/2025/06/12/684a52393785e.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Hasto Sebut Sidangnya Bawa Berkah bagi Pedagang di Sekitar Pengadilan
-

Ganjar Pranowo Kembali Hadir di Sidang Hasto Kristiyanto
GELORA.CO -Mantan calon presiden (capres), Ganjar Pranowo kembali hadir di persidangan perkara dugaan suap dan perintangan penyidikan dengan terdakwa Hasto Kristiyanto selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Pantauan RMOL, Ganjar hadir di ruang persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sekitar pukul 09.28 WIB, Kamis, 12 Juni 2025.
Selain mantan Gubernur Jawa Tengah itu, hadir juga beberapa tokoh PDIP, seperti Ribka Tjiptaning, Wakil Walikota Surabaya, Armuji, dan lainnya.
Sidang pada hari ini dimulai pada pukul 09.40 WIB. Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan seorang ahli bahasa dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI), Frans Asisi Datang.
“Baik izin majelis, ahli yang kami undang saat ini sudah hadir majelis, dan siap memberikan keterangan di persidangan. Kepada Bapak Dr Frans Asisi Datang dipersilakan,” kata Jaksa Moch Takdir Suhan di ruang persidangan.
Selanjutnya, Majelis Hakim membacakan identitas ahli dimaksud, dan dilanjutkan dengan agenda sumpah kepada ahli.
Sebelumnya pada Kamis, 5 Juni 2025, tim JPU KPK sudah menghadirkan seorang ahli lainnya, yakni ahli pidana dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar.
Pada Senin, 26 Mei 2025, tim JPU KPK sudah menghadirkan dua orang ahli, yakni Bob Hardian Syahbuddin selaku dosen pada Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (UI), dan Hafni Ferdian selaku penyelidik pada Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK.
Dalam perkara ini, Hasto didakwa memberikan uang sejumlah 57.350 Dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan pada rentang waktu 2019-2020. Tindakan ini disebut dilakukan bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah, kader PDI-P, Saeful Bahri, dan Harun Masiku.
Uang ini diduga diberikan dengan tujuan supaya Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui PAW Calon Legislatif Terpilih Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I atas nama Anggota DPR periode 2019-2024 Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Atas perkara suap itu, Hasto didakwa dengan dakwaan Kedua Pertama Pasal 5 Ayat 1 huruf a UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP atau dakwaan Kedua-Kedua Pasal 13 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
Selain itu, Hasto juga didakwa menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun untuk merendam telepon genggam ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh KPK terhadap Wahyu Setiawan.
Atas perbuatannya, Hasto Kristiyanto didakwa dengan dakwaan Kesatu Pasal 21 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP.
-
/data/photo/2025/03/16/67d6972b5b07b.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Penyuap Eks Anggota DPRD dalam Proyek Dinas PUPR OKU Jalani Sidang Perdana Besok
Penyuap Eks Anggota DPRD dalam Proyek Dinas PUPR OKU Jalani Sidang Perdana Besok
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK
) mengatakan, dua terdakwa
kasus suap
pengadaan barang dan jasa di Dinas PUPR Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, M. Fauzi alias Pablo dan Ahmad Sugeng Santoso, akan menjalani
sidang perdana
pada Kamis (12/6/2025).
“Dari penetapan Majelis Hakim yang kami terima, besok (12/6) bertempat di Museum Tekstil Palembang, akan dilaksanakan persidangan perdana untuk pembacaan surat dakwaan Terdakwa M. Fauzi alias Pablo dan Ahmad Sugeng Santoso,” kata Jaksa KPK Rakhmad Irwan dalam keterangannya, Rabu (11/6/2025).
Jaksa Irwan mengatakan, sidang perdana seharusnya dilaksanakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Palembang, namun pengadilan sedang direnovasi sehingga dipindahkan ke Museum Tekstil Palembang.
“Jadwal sidang pukul 10.00 WIB dan para Terdakwa akan dihadirkan langsung,” ujarnya.
Dalam perkara ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan enam orang tersangka dalam kasus suap proyek di Dinas PUPR Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, setelah Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Sabtu (15/3/2025).
Mereka adalah Kepala
Dinas PUPR OKU
Nopriansyah (NOP); Anggota Komisi III DPRD OKU Ferlan Juliansyah (FJ); Ketua Komisi III DPRD OKU M. Fahrudin (MFR); dan Ketua Komisi II DPRD OKU Umi Hartati (UH).
Kemudian, dua orang tersangka dari kalangan swasta yaitu MFZ (M. Fauzi alias Pablo) dan ASS (Ahmad Sugeng Santoso).
Para tersangka penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b dan Pasal 12 huruf f serta Pasal 12B Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara itu, dua tersangka pemberi suap dari pihak swasta, yakni MFZ dan ASS, disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b UU Tipikor.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Kusnadi Ditemukan di Bangkalan, Kondisi Mantan Ketua DPRD Jatim Linglung
Surabaya (beritajatim.com) – Kusnadi (67), mantan Ketua DPRD Jawa Timur periode 2019-2024, yang dilaporkan hilang oleh keluarganya telah ditemukan di Tanah Merah Bangkalan, Madura pada Senin (9/6/2025) pukul 01.00 dini hari.
“Bapak ditemukan orang di kawasan Tanah Merah Madura, Mas. Orang itu melihat foto bapak yang viral hilang di FB. Saat itu, memang saya posting di FB dan saya cantumkan nomor kontak saya. Setelah orang itu kirim foto bapak ke saya yang tergeletak di jalanan, saya langsung Video Call. Bapak saya tanya darimana saja, bapak saya seperti orang linglung mas. Beliau bingung tiba-tiba kok ada di Madura, padahal rumah di Sidoarjo,” kata Teddy Kusdita Kunong, anak kedua Kusnadi kepada beritajatim.com, Senin (9/6/2025).
Setelah mendapat shareloc dari orang yang menemukan Kusnadi, Teddy langsung berangkat menuju titik yang dishare, yakni kawasan Tanah Merah, Bangkalan, Madura.
“Sekarang bapak dalam kondisi istirahat, Mas. Beliau sedang tidur. Nanti kalau sudah bangun, saya akan kirim foto selfie bersama bapak ke Mas Antok (beritajatim.com, red),” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, warga yang beralamat di Pondok Sedati Asri Desa Pepe, Kecamatan Sedati itu, dalam surat laporan ke Polsek Balongbendo Sidoarjo dengan nomor SPTLKO/02/VI/2025/SPKT/JATIM/SDA/BALBEN, dilaporkan hilang oleh keluarganya bernama Teddy Kusdita Kunong, Minggu (8/7/2025).
Foto Kusnadi Saat Dilaporkan Hilang
Hilangnya Kusnadi terhitung sejak 6 Juni 2025 ini membuat kebingungan keluarganya. Laporan keluarga Kusnadi di Polsek Balongbendo tertera ditandatangani oleh Bripka Sumari a/n KEPALA KEPOLISIAN SEKTOR BALONGBENDO.
Sebelum dilaporkan hilang oleh keluarganya, Kusnadi terakhir diperiksa KPK pada Rabu (14/5/2025).
Ini terkait pemeriksaan saksi perkara korupsi pengelolaan dana hibah kelompok masyarakat (pokmas) APBD Pemprov Jatim 2021-2022 yang kembali dilanjutkan oleh KPK. Saksi yang diperiksa saat itu adalah mantan Ketua DPRD Jawa Timur Kusnadi yang sebelumnya disebut dengan inisial K.
Selain Kusnadi, KPK juga memeriksa 2 saksi lainnya. Yakni, Sumatri yang merupakan seorang petani dan seorang notaris bernama Teguh Pambudi. Pemeriksaan terhadap ketiganya dilakukan di Banyuwangi.
“Pemeriksaan dilakukan di Polresta Banyuwangi (Jawa Timur) atas nama K, karyawan swasta, S selaku petani, dan TB notaris PPAT,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangan tertulisnya saat itu.
Selain itu, KPK juga memeriksa dua pihak swasta sebagai saksi dalam kasus itu, yakni Jodi Pradana Putra serta Bagus Wahyudyono. Mereka diperiksa di Kantor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jalan Raya Bandara Juanda, Sidoarjo.
“Pemeriksaan dilakukan di BPKP Perwakilan Provinsi Jatim Jl. Raya Bandara Juanda No. 38 Kab. Sidoarjo, Prov. Jawa Timur, atas nama JPP dan BW,” ucapnya.
Sebelumnya, KPK menetapkan 21 tersangka pengurusan dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) dari APBD Provinsi Jatim tahun 2019-2022. Penetapan tersangka itu adalah pengembangan dari perkara yang sudah menjerat mantan Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Simanjuntak.
“Kami sampaikan bahwa pada 5 Juli 2024 KPK menerbitkan sprindik terkait dugaan adanya TPK dalam pengurusan dana hibah untuk kelompok masyarakat atau Pokmas dari APBD Provinsi Jatim tahun anggaran 2019 sampai dengan 2022,” ujar Jubir KPK saat itu, Tessa Mahardhika di KPK, Jumat 12 Juli 2024.
Tessa mengatakan total ada 21 tersangka yang ditetapkan KPK. 21 tersangka itu terdiri dari empat tersangka penerima dan 17 lainnya sebagai tersangka pemberi.
“Bahwa dalam sprindik tersebut KPK telah menetapkan 21 tersangka yaitu 4 tersangka penerima, 17 lainnya sebagai tersangka pemberi,” katanya.
Dia menjelaskan, bahwa keempat tersangka penerima merupakan penyelenggara negara. Sedangkan dari 17 tersangka pemberi 15 di antaranya pihak swasta dan 2 lainnya penyelenggara negara.
“Mengenai nama tersangka dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan para tersangka akan disampaikan kepada teman teman media pada waktunya bilamana penyidikan dianggap telah cukup,” ucapnya.
Sebagai informasi, mantan Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Simanjuntak divonis 9 tahun penjara. Sahat terbukti bersalah dalam kasus korupsi dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) di Madura.
“Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Sahat Tua Simanjuntak dengan pidana penjara selama 9 tahun,” ujar ketua majelis hakim I Dewa Suardhita saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Sidoarjo, Selasa (26/9/2023).
Vonis tersebut lebih ringan 3 tahun daripada tuntutan jaksa. Jaksa menuntut Sahat dengan hukuman 12 tahun penjara. (tok/ted)
-
/data/photo/2025/06/07/68440b168ddf6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Anggota DPR Desak Hakim yang Vonis Kasus Korupsi APD Covid-19 Diperiksa Nasional 8 Juni 2025
Anggota DPR Desak Hakim yang Vonis Kasus Korupsi APD Covid-19 Diperiksa
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Anggota Komisi III
DPR RI
dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Hasbiallah Ilyas
mendorong agar majelis hakim yang memberikan vonis rendah kepada terdakwa kasus korupsi pengadaan 1,1 juta alat pelindung diri (APD) Covid-19 untuk diperiksa oleh Komisi Yudisial (KY) atau Mahkamah Agung (MA).
Seperti diketahui, eks Pejabat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Budy Sylviana dihukum tiga tahun penjara meski merugikan negara hingga Rp 319 miliar.
“Kalau hanya seperti itu hakimnya juga diperiksa itu,” ujar Hasbiallah, usai acara diskusi publik “Legalisasi Kasino di Indonesia: Antara Kepastian Hukum, Tantangan Sosial, dan Peluang Ekonomi” yang diadakan Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) di Jakarta, Sabtu (7/6/2025).
Hasbi mengatakan, karena kasus korupsi ini terjadi di masa pandemi, maka hukuman yang dijatuhkan kepada para terdakwa seharusnya lebih berat dari kasus korupsi pada umumnya.
“Enggak bisa, itu (terjadi saat) Covid-19 itu,” lanjut dia.
Hasbi menegaskan, koruptor yang memanfaatkan masa Covid-19 untuk melakukan tindakan jahat sudah sepatutnya dihukum seberat-beratnya.
“Korupsi Covid-19 itu menurut saya korupsi yang merusak soal nyawa ini. Bukan hanya soal merugikan keuangan tapi soal nyawa. Itu harus dihukum dengan seberat-beratnya,” kata dia.
Diberitakan sebelumnya, tiga orang terdakwa kasus pengadaan 1,1 juta APD Covid-19 telah menerima vonis dari majelis hakim.
Ketiga terdakwa ini adalah mantan pejabat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Budi Sylvana, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo, dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik.
Mantan pejabat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Budi Sylvana dihukum tiga tahun penjara dalam dugaan korupsi pengadaan 1,1 juta set alat pelindung diri (APD) Covid-19.
Budi merupakan pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan di masa darurat yang menggunakan dana siap pakai Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tersebut.
“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama tiga tahun,” kata Ketua Majelis Hakim Syofia Marlianti Tambunan dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jumat (5/6/2025).
Selain pidana penjara, majelis hakim juga menjatuhkan pidana denda Rp 100 juta, dengan ketentuan penjara subsidair dua bulan kurungan.
Budi tidak dihukum untuk membayar uang pengganti sebagaimana dua terdakwa lainnya, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik.
Kemudian, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo dihukum 11 tahun dan enam bulan penjara dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) Covid-19.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menyebut, Satrio terbukti bersalah menyalahgunakan wewenang, melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara Rp 319.691.374.183,06 (Rp 319,6 miliar).
Selain pidana badan, Satrio juga dihukum membayar denda Rp 1 miliar subsidair empat bulan kurungan.
Satrio juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 59.980.000.000 atau senilai uang korupsi yang dinikmati Satrio dalam perkara rasuah ini.
Lalu, Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik dihukum 11 tahun penjara dalam kasus korupsi pengadaan 1,1 juta set alat pelindung diri (APD) Covid-19.
Tidak hanya kurungan penjara, majelis hakim juga menghukum Taufik membayar denda Rp 1 miliar.
Jika tidak dibayar, maka hukuman pidana badannya akan ditambah empat bulan penjara.
Selain itu, majelis hakim juga menghukum Taufik membayar uang pengganti sebesar Rp 224.186.961.098 (Rp 224,1 miliar).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/05/68412403e8380.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
2 Dicecar Febri Diansyah, Ahli Hukum UGM Sebut Barang Bukti Tanpa Justifikasi Tak Bisa Dipakai Nasional
Dicecar Febri Diansyah, Ahli Hukum UGM Sebut Barang Bukti Tanpa Justifikasi Tak Bisa Dipakai
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar menilai, barang bukti yang didapatkan dengan melanggar hukum acara pidana dan tidak bisa dijustifikasi, tidak bisa digunakan untuk menjerat terdakwa.
Hal ini Fatah sampaikan saat dicecar pengacara Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto, Febri Diansyah dalam sidang lanjutan dugaan suap dan perintangan penyidikan
Harun Masiku
yang menjerat kliennya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (5/6/2025).
Febri awalnya membuat simulasi terkait suatu penanganan perkara yang banyak pelanggaran
due process of law
(keadilan pada proses pidana). Contohnya, penyidik buru-buru melimpahkan perkara ke penuntut umum, meski sebelumnya telah diminta untuk memeriksa ahli.
“Menurut saudara ini sebelum kita bicara konsekuensinya apakah itu melanggar prinsip
due process of law
?” tanya Febri di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).
Menjawab pertanyaan itu, Fatah menilai, persoalan tersebut sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 116 Ayat (4) KUHAP yang menjadi pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65 Tahun 2010.
Ia pun mengakui bahwa penyidik wajib mengakomodir hak tersangka namun mereka juga dihadapkan pada prinsip
crime control
, yakni pengendalian penanganan kasus kejahatan yang cenderung efisien dan cepat untuk mencegah tindak kejahatan.
Sementara, di pengadilan proses yang bergulir lebih bersifat
due process of law
. Baik jaksa maupun terdakwa memiliki hak yang sama di depan hakim.
“Jadi nanti biar majelis hakim untuk menilai apakah saksi-saksi yang tadi dipanggil itu cukup dihadirkan di persidangan atau dalam proses penyidikan,” terang Fatah.
Mendengar ini, Febri lantas mengajukan contoh kasus dengan berbagai pelanggaran prinsip
due process of law
lainnya.
Di antaranya meliputi, penyadapan yang dimulai sebelum proses penyelidikan, bukti penyadapan tanpa izin Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK), alat bukti
call detail record
(CDR) yang rawan disadap.
Kemudian, CDR yang tidak melalui pemeriksaan digital forensik sebelum menjadi alat bukti, penyelidik dan penyidik menjadi saksi fakta di persidangan, perekaman diam-diam hingga penggeledahan yang tidak dilakukan terhadap terdakwa.
Fatah lantas berpendapat, bahwa sah atau tidaknya alat bukti tersebut bergantung pada ada atau tidaknya justifikasi (alasan pembenar). Hal ini nantinya akan dipertimbangkan majelis hakim.
Tanpa justifikasi, maka alat bukti yang dihadirkan jaksa dalam persidangan tidak sah.
“Menurut pendapat saudara ahli, kan tadi sudah jelas kalau itu terbukti tidak bisa terjustifikasi dan melanggar hukum acara, maka menurut pendapat ahli nanti kan pasti diserahkan ke majelis. Itu harusnya digunakan atau tidak digunakan?” tanya Febri lagi.
“Kalau betul-betul tidak ada justifikasinya sesuai pendapat saya tadi tidak bisa digunakan. Makanya dalam hukum acara kita kan ada nilai
crime control
justifikasinya terkadang ada yang prinsipal dan tidak,” ujar Fatah.
Sebagai informasi, dalam penanganan perkara ini kubu Hasto menuding terdapat banyak kecacatan prosedur yang dilakukan penyelidik dan penyidik KPK.
Di antaranya meliputi barang bukti yang diperoleh di proses penyelidikan, penyidikan, hingga penyelidik dan penyidik yang menjadi saksi fakta.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Sidang Hasto, Ahli UGM: Penyidik Boleh Jadi Saksi tetapi Ada Batasan
Jakarta, Beritasatu.com – Ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar, menyatakan seorang penyidik, termasuk dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diperbolehkan menjadi saksi dalam persidangan, asalkan hanya menyampaikan kesaksian atas peristiwa yang secara langsung dialami, dilihat, atau didengar sendiri.
Pernyataan ini disampaikan saat Akbar hadir sebagai ahli dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap terkait pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) Anggota DPR 2019–2024 serta dugaan perintangan penyidikan dalam kasus Harun Masiku, dengan terdakwa Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Sidang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).
Dalam persidangan, kuasa hukum Hasto, Ronny Talapessy, menanyakan legalitas seorang penyidik menjadi saksi yang menyampaikan rangkaian keterangan hasil pemeriksaan saksi lain di persidangan. Ia memberikan ilustrasi terkait penyidik yang menjelaskan hasil pemeriksaan berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
“Di dalam persidangan dia menceritakan hasil pemeriksaan tersebut. Apakah secara hukum itu diperbolehkan?” tanya Ronny.
Akbar menegaskan, penyidik hanya dapat memberikan kesaksian atas hal yang ia alami sendiri.
“Kalau dia hanya menerangkan hal yang dialami sendiri—yang dilihat dan didengar langsung—itu diperbolehkan. Tapi kalau hanya menyampaikan ulang hasil pemeriksaan, cukup saksi yang bersangkutan yang memberikan keterangannya sendiri,” jawab Akbar.
Namun Ronny belum puas dan kembali mendesak Akbar memberikan jawaban konkret terkait penyidik sebagai saksi fakta. Ia bertanya apakah penyidik bisa menjadi saksi yang menjelaskan isi BAP yang dibuatnya.
“Tidak bisa,” tegas Akbar.
Akbar menambahkan, nilai pembuktian kesaksian seorang penyidik yang hadir di pengadilan tetap bergantung pada pertimbangan majelis hakim.
Dalam perkara Hasto Kristiyanto, jaksa KPK telah menghadirkan sekitar 15 saksi dari berbagai latar belakang, termasuk penyidik KPK Rossa Purbo Bekti dan mantan kader PDIP, Saeful Bahri, yang disebut sebagai saksi kunci. Mereka memberikan keterangan terkait dugaan suap dan perintangan penyidikan kasus PAW Harun Masiku.
Selain itu, jaksa juga menghadirkan tiga ahli, yaitu Bob Hardian Syahbuddin (ahli teknologi informasi dari Universitas Indonesia), Hafni Ferdian (ahli forensik KPK), dan Muhammad Fatahillah Akbar (ahli hukum pidana UGM).
Dalam dakwaan, Hasto bersama advokat Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku disebut memberikan suap sebesar SG$ 57.350 (sekitar Rp 600 juta) kepada Komisioner KPU Wahyu Setiawan antara 2019–2020. Uang itu diduga untuk memuluskan PAW Caleg Dapil Sumatera Selatan I dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Hasto juga didakwa menghalangi penyidikan dengan memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam ponsel ke dalam air pasca operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wahyu Setiawan. Ia juga disebut menyuruh ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan ponsel sebagai antisipasi penyitaan oleh penyidik KPK.
Atas perbuatannya, Hasto didakwa melanggar Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1), Pasal 55 ayat (1) ke-1, dan Pasal 64 ayat (1) KUHP.
-

Sidang Hasto, Ahli UGM: Suap Tak Perlu Timbulkan Akibat untuk Dipidana
Jakarta, Beritasatu.com – Ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar, menegaskan pembuktian dalam kasus suap tidak memerlukan akibat nyata dari perbuatan tersebut. Menurutnya, tindak pidana suap merupakan delik formal sehingga tidak perlu dibuktikan adanya hubungan kausal antara pemberi dan penerima suap.
“Delik formil berarti tindak pidana telah dianggap selesai ketika seseorang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang, seperti dalam hal suap,” ujar Akbar dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan terkait PAW Anggota DPR 2019–2024 yang menjerat Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).
Akbar menjelaskan dalam konteks suap, unsur niat jahat atau mens rea sudah cukup untuk memenuhi unsur tindak pidana, tanpa perlu menunggu akibat atau hasil dari perbuatan tersebut (actus reus).
“Sebagai contoh Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor, menyatakan adanya maksud agar pegawai negeri atau penyelenggara negara melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, sudah cukup untuk dikenakan pidana,” tambahnya.
Dalam perkara ini, jaksa telah menghadirkan sekitar 15 orang saksi dari berbagai latar belakang, termasuk penyidik KPK Rossa Purbo Bekti dan eks kader PDIP Saeful Bahri yang menjadi saksi kunci. Keterangan para saksi ini berkaitan dengan dugaan suap dan perintangan penyidikan dalam kasus PAW Harun Masiku.
Selain itu, jaksa KPK juga sudah menghadirkan tiga ahli, yakni ahli teknologi informasi dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (UI) Bob Hardian Syahbuddin, ahli forensik Hafni Ferdian, serta ahli pidana Muhammad Fatahillah Akbar.
Hasto Kristiyanto didakwa bersama advokat Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku telah memberikan uang sebesar SG$ 57.350 atau sekitar Rp 600 juta kepada Komisioner KPU saat itu, Wahyu Setiawan, dalam rentang waktu 2019–2020. Tujuannya adalah agar KPU menyetujui permohonan PAW caleg Dapil Sumatera Selatan I dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Selain itu, Hasto juga didakwa melakukan perintangan penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui Nur Hasan (penjaga Rumah Aspirasi), untuk merendam ponsel milik Harun ke dalam air seusai OTT KPK terhadap Wahyu Setiawan. Ia juga disebut menyuruh ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan ponsel guna menghindari penyitaan oleh penyidik.
Atas perbuatannya, Hasto dijerat dengan Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) Ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
-
/data/photo/2025/06/05/68412403e8380.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
4 Ahli UGM di Sidang Hasto: Orang yang Namanya Dijual untuk Tindak Pidana Tak Dibebani Tanggung Jawab Nasional
Ahli UGM di Sidang Hasto: Orang yang Namanya Dijual untuk Tindak Pidana Tak Dibebani Tanggung Jawab
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Ahli pidana Universitas Gadjah Mada (UGM)
Muhammad Fatahillah Akbar
menyebut, seseorang yang namanya dijual untuk melakukan tindak pidana tidak dibebani tanggung jawab atas suatu kesalahan.
Keterangan ini disampaikan Fatah saat dihadirkan sebagai ahli dalam sidang dugaan
suap Harun Masiku
dan perontangan penyidikan yang menjerat Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P, Hasto Kristiyanto.
Pada persidangan tersebut, pengacara Hasto, Patra M. Zen, menggali pandangan Fatah terkait beban kesalahan dan tanggung jawab seseorang yang namanya dijual untuk melakukan suap.
“Kesalahan itu adalah yang wajib ada untuk memberikan
responsibility
atau pertanggungjawabannya,” kata Fatah di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).
Menurut Fatah, tanggung jawab harus dibebankan ketika terdapat kesalahan.
Mendengar ini, Patra kemudian bertanya apakah dalam kasus orang yang namanya dijual untuk melakukan tindak pidana juga dibebani tanggung jawab.
Adapun Hasto dan kuasa hukumnya dalam banyak kesempatan menyatakan namanya dijual oleh eks kader PDI-P, Saeful Bahri, agar Harun Masiku lolos menjadi anggota DPR RI 2019-2024.
Akademisi itu kemudian menjelaskan, pihak yang namanya dijual atau dikutip untuk melakukan tindak pidana tidak dibebani tanggung jawab.
Meski demikian, ia menekankan bahwa dalil bahwa nama seseorang itu dijual harus dibuktikan.
“Ya harus dibuktikan kalau hanya membawa nama saja,” ujar Fatah.
“Memang kalau dalam konteks itu harus dibuktikan, maka saya tekankan berkali-kali harus ada pengetahuan yang dibuktikan,” tambahnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
