Kementrian Lembaga: Pengadilan TIPIKOR Jakarta

  • 4
                    
                        Tangis Hakim Pecah Saat Bacakan Vonis Zarof Ricar, Keserakahan Bikin Nama Baik MA Tercoreng
                        Nasional

    4 Tangis Hakim Pecah Saat Bacakan Vonis Zarof Ricar, Keserakahan Bikin Nama Baik MA Tercoreng Nasional

    Tangis Hakim Pecah Saat Bacakan Vonis Zarof Ricar, Keserakahan Bikin Nama Baik MA Tercoreng
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rosihan Juhriah Rangkuti, menangis saat menyebut perbuatan
    Zarof Ricar
    menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada Mahkamah Agung (MA) dan peradilan di bawahnya.
    Suara Hakim Rosihan bergetar dan tak lagi kuasa menahan tangisnya saat membacakan alasan memberatkan pada pembacaan putusan perkara Zarof.
    Adapun Zarof merupakan eks pejabat Mahkamah Agung (MA) yang didakwa bermufakat jahat dan menerima gratifikasi senilai Rp 1 triliun lebih.
    “Perbuatan terdakwa menciderai nama baik serta menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga Mahkamah Agung,” kata Hakim Rosihan dengan terisak di ruang sidang Hatta Ali, Rabu (18/6/2025).
    Suara Rosihan terdengar tercekat.
    Ia tak bisa melanjutkan pertimbangan ketika membacakan perihal kondisi MA.
    “Dan badan peradilan di bawahnya,” lanjut Hakim Rosihan kembali terisak.
    Dengan suara yang masih berat, Hakim Rosihan melanjutkan.
    Menurutnya, perbuatan Zarof juga menunjukkan sikap serakah.
    Padahal, hidupnya sudah berkecukupan.
    Selain itu, Zarof juga dinilai tidak mendukung program pemerintah yang sedang gencar-gencarnya memberantas korupsi.
    “Masih melakukan tindakan pidana padahal telah memiliki banyak harta benda,” tutur Hakim Rosihan.
    Selain hal-hal memberatkan, majelis hakim juga mempertimbangkan alasan meringankan, yakni Zarof menyesali perbuatannya dan belum pernah dihukum.
    “Terdakwa masih mempunyai tanggungan keluarga,” ujar Hakim Rosihan.
    Majelis hakim lalu menjatuhkan hukuman 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair 6 bulan kurungan kepada Zarof.
    Ia dinilai terbukti bermufakat dengan pengacara pelaku pembunuhan Gregorius Ronald Tannur, Lisa Rachmat, untuk menyuap Hakim Agung Soesilo.
    Ia juga dinilai terbukti menerima gratifikasi lebih dari Rp 1 triliun.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 4
                    
                        Tangis Hakim Pecah Saat Bacakan Vonis Zarof Ricar, Keserakahan Bikin Nama Baik MA Tercoreng
                        Nasional

    Rincian Gratifikasi Rp 1 Triliun yang Buat Zarof Ricar Divonis 16 Tahun Penjara

    Rincian Gratifikasi Rp 1 Triliun yang Buat Zarof Ricar Divonis 16 Tahun Penjara
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (MA),
    Zarof Ricar
    , divonis 16 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, dalam sidang yang digelar Rabu (18/6/2025).
    Majelis hakim menilai, Zarof terbukti melanggar Pasal 6 Ayat (1) juncto Pasal 15 dan Pasal 12 B jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
    Zarof Ricar dinyatakan terbukti bersalah melakukan pemufakatan jahat percobaan suap hakim agung dan menerima gratifikasi dengan nilai Rp 1 triliun lebih.
    “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 16 tahun,” kata Ketua Majelis Hakim Rosihan Juhriah Rangkuti dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu.
    Mantan pejabat MA ini juga dinilai terbukti bermufakat dengan pengacara pelaku pembunuhan Gregorius
    Ronald Tannur
    , Lisa Rachmat, untuk menyuap Hakim Agung Soesilo.
    Selain pidana badan, Zarof juga dihukum membayar denda Rp 1 miliar. Dengan kententuan, jika tidak dibayar, maka hukumannya akan ditambah enam bulan kurungan.
    Lantas, apa saja gratifikasi senilai lebih dari Rp 1 triliun yang diterima Zarof Ricar?
    Zarof Ricar disebut menerima gratifikasi berbentuk valuta asing (Valas) yakni, 74.494.427 dollar Singapura, 1.897.362 dollar Amerika Serikat (AS), 71.200 euro, 483.320 dollar Hong Kong, dan Rp 5.725.075.000. Selain itu, ada 51 kilogram emas Antam.
    Berikut rincian uang dan emas yang diterima Zarof Ricar:
    Sebelumnya, dalam dakwaan, Jaksa menyebut bahwa uang dan emas itu disimpan di rumah Zarof Ricar di Kelurahan Rawa Barat, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Uang Disita Rp11 Triliun, Perkara Wilmar Cs Bukan Pidana?

    Uang Disita Rp11 Triliun, Perkara Wilmar Cs Bukan Pidana?

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mengejar pengembalian kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi fasilitas ekspor crude palm oil alias CPO. Kasus ini menyeret tiga perusahaan, Wilmar Group, Musim Mas Group dan Permata Hijau. 

    Menariknya kasus penyitaan itu berlangsung ketika perkara belum berkekuatan hukum tetap. Selain itu, di pengadilan tingkat pertama, hakim telah memutuskan bahwa tindakan Wilmar Cs bukan suatu tindak pidana. 

    Seperti diketahui, pada selasa (18/6/2025) kemarin, penyidik gedung bundar telah menyita uang Rp11,8 triliiun. Sebagian uang yang disita tersebut dipamerkan dalam konferensi pers kemarin. 

    Direktur Penuntutan (Dirtut) Kejagung RI, Sutikno menyampaikan bahwa penyitaan ini baru diperoleh dari salah satu terdakwa korporasi yakni, Wilmar Group. Wilmar Group ini terdiri dari lima korporasi, mereka yakni PT Multimas Nabati Asahan; PT Multi Nabati Sulawesi; PT Sinar Alam Permai; PT Wilmar Bioenergi Indonesia; dan PT Wilmar Nabati Indonesia.

    “Seluruhnya sebesar Rp11.880.351.802.619,” ujarnya di Kejagung, Selasa (17/6/2025).

    Sutikno menambahkan, uang tersebut bakal disimpan dalam rekening penampungan milik Direktorat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) di Bank Mandiri.

    Berdasarkan pantauan Bisnis di ruangan Gedung Bundar Kejagung RI, sebagian uang tersebut tampak disusun rapi mengelilingi meja konferensi pers. Adapun, uang itu ditumpuk hingga 2 meter lebih.

    Uang dengan pecahan Rp100.000 ribu itu dibungkus dengan plastik. Tercatat, satu paket uang tersebut bernilai satu miliar. Total, uang yang ditampilkan pada konferensi pers kali ini mencapai Rp2 triliun.

    “Jadi, kenapa tidak kita rilis secara bersama senilai jumlah tersebut? Ini karena faktor tempat dan faktor keamanan tentunya, sehingga kami berpikir jumlah ini cukup untuk mewakili jumlah kerugian negara yang timbul,” imbuhnya.

    Adapun, uang tersebut juga akan dimasukkan dalam memori kasasi yang saat ini bergulir di Mahkamah Agung (MA). 

    Dengan demikian, penambahan uang sitaan ini diharapkan dapat dipertimbangkan oleh hakim dalam memvonis perkara yang sebelumnya telah diputus bebas atau ontslag di PN Tipikor Jakarta Pusat. “Uang sita tersebut enjadi bagian yang tidak terpisahkan dari memori kasasi sehingga keberadaannya dapat dipertimbangkan oleh Hakim Agung,” pungkasnya.

    Musim Mas dan Permata Hijau Menyusul?

    Di sisi lain, Kejagung meminta Musim Mas Group dan Permata Hijau Group menyerahkan uang terkait kerugian negara perkara pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) korporasi.

    Sutikno mengatakan langkah penyerahan kembali uang terkait kerugian negara itu telah dilakukan oleh Wilmar Group. “Saat ini yang telah mengembalikan kerugian keuangan negara akibat perbuatan korupsi yang dilakukan oleh lima grup Wilmar telah utuh dikembalikan,” ujarnya di Kejagung, Selasa (17/6/2025).

    Dia menambahkan, total uang yang telah diserahkan kembali dan disita Kejagung dari Wilmar Group mencapai Rp11,8 triliun. Uang belasan triliun itu berasal dari lima korporasi yang tergabung di Wilmar Group.

    Lima korporasi itu yakni PT Multimas Nabati Asahan; PT Multi Nabati Sulawesi; PT Sinar Alam Permai; PT Wilmar Bioenergi Indonesia; dan PT Wilmar Nabati Indonesia.

    Dalam hal ini, Sutikno berharap dua grup korporasi yang telah menjadi terdakwa lainnya agar bisa segera mengambil langkah serupa dengan Wilmar Group.

    “Untuk Permata Hijau dan Musim Mas Grup, kita berharap ke depan mereka juga membayar seperti yang dilakukan oleh Wilmar. Nanti akan kita rilis juga seperti kalau ada pengembalian yang dilakukan oleh kedua grup tersebut,” pungkasnya.

    Dalam catatan Bisnis, jaksa penuntut umum (JPU) sebelumnya telah menuntut uang pengganti kepada Permata Hijau Group mencapai Rp937.558.181.691,26. Sementara itu, Musim Mas Group Rp4.890.938.943.794,1. Keduanya juga dibebankan denda Rp1 miliar.

    Adapun, perkara CPO korporasi ini telah divonis ontslag atau bebas oleh hakim PN Tipikor Jakarta Pusat. Namun, Kejagung telah mengajukan kasasi terkait dengan vonis itu. Alhasil, saat ini perkara tersebut tengah bergulir di Mahkamah Agung (MA).

    Kronologi Kasus

    Dalam catatan Bisnis, kasus Wilmar, Musim Mas, dan Permata Hijau bermula dari perkara korupsi mafia minyak goreng. Dalam kasus itu tiga orang petinggi korporasi tersebut telah menjadi terpidana saat ini. Ketiga korporasi itupun kemudian telah ditetapkan sebagai tersangka korporasi. 

    “Jadi penyidik Kejaksaan Agung, pada hari ini juga menetapkan 3 korporasi sebagai tersangka,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung saat kasus itu terungkap, Ketut Sumedana di Kejagung, Kamis (15/6/2023).

    Ketut menjelaskan sesuai dengan putusan kasasi Mahkamah Agung, ketiga korporasi itu ditengarai sebagai pemicu kerugian negara dalam kasus mafia minyak goreng yang nilainya mencapai Rp6,47 triliun. 

    “Terbukti bahwa perkara yang sudah inkrah ini adalah merupakan aksi daripada 3 korporasi ini, sehingga pada hari ini juga kami tetapkan 3 korporasi ini sebagai tersangka,” ucap Ketut.

    Adapun kasus ini sejatinya belum memperoleh keputusan hukum tetap. Di laman resmi Mahkamah Agung, Kejagung masih mengajukan kasasi dan baru masuk pada tanggal 30 April 2025. 

    Menariknya di pengadilan tingkat pertama, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat alias PN Jakpus, telah memutuskan bahwa tindakan Wilmar dan para terdakwa korporasi telah terbukti sebagaimana dakwaan jaksa. Namun demikian, hakim menetapkan bahwa tindak Wilmar Cs itu bukanlah suatu tindak pidana. Alhasil, PN Jakpus telah meminta penuntut umum untuk melepaskan dan memulihkan hak-hak Wilmar Cs. 

    Bisnis masih berupaya mencari kontak pihak Wilmar, Musim Mas dan Permata Hijau, guna mengklarifikasi ihwal penyitaan dan kronologi kasus tersebut. 

  • Eks Pejabat MA Zarof Ricar Jalani Sidang Vonis Kasus Ronald Tannur – Page 3

    Eks Pejabat MA Zarof Ricar Jalani Sidang Vonis Kasus Ronald Tannur – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Mantan Pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar menjalani sidang putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, terkait kasus vonis bebas Gregorius Ronald Tannur di PN Surabaya.

    “Rabu, 18 Juni 2025 untuk putusan,” tulis keterangan dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, dikutip Rabu (18/6/2025).

    Selain itu, hakim juga dijadwalkan membacakan vonis terhadap Meirizka Widjaja selaku ibu dari Ronald Tannur dan Lisa Rachmat selaku pengacara.

    Pada persidangan sebelumnya, Zarof Ricar dituntut 20 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan pidana kurungan dalam kasus dugaan suap penanganan perkara terpidana kasus pembunuhan, Ronald Tannur, pada tahun 2024 di tingkat kasasi, serta dugaan gratifikasi pada tahun 2012-2022.

    Selain itu, Zarof juga dituntut pidana tambahan berupa perampasan atas barang yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, antara lain uang pecahan rupiah, dolar Singapura, hingga dolar Hong Kong.

    JPU Kejaksaan Agung Nurachman Adikusumo menyebut Zarof terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi berupa permufakatan jahat untuk memberikan suap dan menerima gratifikasi, sebagaimana dakwaan kumulatif pertama alternatif kesatu dan kumulatif kedua.

    “Ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 12 B juncto Pasal 15 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001,” kata JPU dalam sidang pembacaan surat tuntutan, Rabu (28/5/2025).

    Zarof didakwa melakukan pemufakatan jahat berupa pembantuan untuk memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, yakni uang senilai Rp5 miliar.

    Pemufakatan jahat diduga dilakukan bersama penasihat hukum Ronald Tannur, Lisa Rachmat, dengan tujuan menyuap Hakim Agung Soesilo yang merupakan ketua majelis dalam kelanjutan perkara Ronald Tannur di tingkat kasasi pada tahun 2024.

    Selain itu, Zarof juga didakwa menerima gratifikasi senilai Rp915 miliar dan emas seberat 51 kilogram selama menjabat di MA untuk membantu pengurusan perkara pada tahun 2012-2022.

  • Asal Usul Uang Rp11,8 Triliun yang Disita Kejagung dari Perkara Korupsi Minyak Goreng

    Asal Usul Uang Rp11,8 Triliun yang Disita Kejagung dari Perkara Korupsi Minyak Goreng

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menyita Rp11,8 triliun dalam perkara pemberian fasilitas ekspor crude palm oil alias minyak goreng korporasi.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar mengatakan belasan triliun yang disita itu bersumber dari lima korporasi yang tergabung di Wilmar Group.

    “Tim Penuntut Umum dari direktorat penuntutan pada Jampidsus telah melakukan penyitaan pada tingkat penuntutan terhadap uang senilai Rp11.880.351.802.619,” ujar Harli di Kejagung, dikutip Rabu (18/6/2025).

    Harli menjelaskan, penyitaan ini berdasarkan perhitungan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan laporan kajian analisis keuntungan ilegal hingga ahli.

    Kajian itu mengungkap adanya kerugian negara, ilegal gain dan kerugian perekonomian negara dari lima korporasi Wilmar Group. Misalnya, dari PT Multimas Nabati Asahan sebesar Rp3,9 triliun.

    Selanjutnya, PT Multi Nabati Sulawesi sebesar Rp39,7 miliar; PT Sinar Alam Permai sebesar Rp483,9 miliar; PT Wilmar Bioenergi Indonesia sebesar Rp57,3 miliar; dan PT Wilmar Nabati Indonesia Rp7,3 miliar.

    “Bahwa dalam perkembangannya, kelima Terdakwa Korporasi tersebut pada tanggal 23 dan 26 Mei 2025 mengembalikan uang sejumlah kerugian negara yang ditimbulkan sebesar Rp11.880.351.802.619 pada Rekening Penampungan Lainnya (RPL) Jampidsus,” imbuhnya.

    Selanjutnya, atas pengembalian itu, JPU mengajukan penyitaan ke PN Jakarta Pusat dan diizinkan melalui ketetapan Nomor 40/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst tanggal 04 Juni 2025.

    Setelah penyitaan itu, uang belasan triliun tersebut sudah ditambahkan dalam memori kasasi JPU, sehingga hal tersebut bisa menjadi pertimbangan hakim pada Mahkamah Agung.

    “Uang yang telah disita menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari memori kasasi, guna menjadi bahan pertimbangan oleh Hakim Agung yang memeriksa Kasasi, khususnya terkait sejumlah uang tersebut “dikompensasikan” untuk membayar seluruh kerugian negara,” pungkas Harli.

    Minta Dua Korporasi Serahkan Uang

    Direktur Penuntutan (Dirtut) Jampidsus Kejagung RI, Sutikno meminta agar Musim Mas Group dan Permata Hijau Group melakukan langkah yang serupa dengan Wilmar group.

    Dalam catatan Bisnis, jaksa penuntut umum (JPU) sebelumnya telah menuntut uang pengganti kepada Permata Hijau Group mencapai Rp937.558.181.691,26. Sementara itu, Musim Mas Group Rp4.890.938.943.794,1. Keduanya juga dibebania denda Rp1 miliar.

    “Untuk Permata Hijau dan Musim Mas Grup, kita berharap kedepan mereka juga membayar seperti yang dilakukan oleh Wilmar. Nanti akan kita rilis juga seperti kalau ada pengembalian yang dilakukan oleh kedua grup tersebut,” ujar Sutikno di Kejagung, Selasa (18/6/2025).

    Sekadar informasi, perkara CPO korporasi ini telah divonis ontslag atau bebas oleh hakim PN Tipikor Jakarta Pusat. Namun, Kejagung telah mengajukan kasasi terkait dengan vonis itu.

    Alhasil, saat ini perkara tersebut tengah bergulir di Mahkamah Agung (MA) alias belum berkekuatan hukum tetap atau inkrah.

  • Panas Tegang Sidang Tom Lembong: Rini Soemarno Tak Hadir, Pengacara Walk Out

    Panas Tegang Sidang Tom Lembong: Rini Soemarno Tak Hadir, Pengacara Walk Out

    Panas Tegang Sidang Tom Lembong: Rini Soemarno Tak Hadir, Pengacara Walk Out
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Sorot mata
    Ari Yusuf Amir
    kecewa saat tak mendapati batang hidung mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Mariani Soemarno muncul di persidangan.
    Ari adalah mantan pengacara pasangan calon presiden dan wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar pada pemilihan presiden 2024.
    Kali ini, ia duduk membela Menteri Perdagangan (Mendag) 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, koleganya pada tim pemenangan Anies-Muhaimin.
    Bagi pihaknya, Rini adalah saksi kunci. Keterangannya dinilai turut menentukan nasib
    Tom Lembong
    yang dijerat korupsi importasi gula.
    Kekecewaan Ari terus berlipat ketika mendengar jaksa penuntut umum menyatakan hendak membacakan keterangan Rini yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) ke penyidik.
    Ari protes. Keterangan saksi yang sah menjadi alat bukti, menurutnya, adalah kesaksian yang disampaikan di muka sidang.
    “Demikian keterangan saksi dalam BAP hanya dapat menjadi alat bukti keterangan apabila saksi tersebut hadir dan memberikan keterangan di persidangan ini,” ujar Ari di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (17/6/2025).
    Ari juga menyebut, banyak keterangan saksi yang berubah ketika diperiksa di muka persidangan.
    Menurutnya, hal itu terjadi lantaran mereka menjalani proses pemeriksaan di penyidikan sendirian.
    Pihaknya pun menolak jaksa membacakan keterangan Rini. Sebab, pengacara tidak memiliki kesempatan menggali keterangan dari Rini.
    “Kenapa yang lain bisa dihadirkan, kenapa saksi ini tidak bisa dihadirkan? Kenapa saksi lain disumpah yang ini tidak disumpah waktu pemeriksaan?” tanya Ari.
    Menyadari amarah pengacara Tom Lembong beranjak naik, Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika mencoba tetap tenang.
    Ia memahami kubu Tom Lembong menolak sikap jaksa yang tidak menghadirkan Rini dan memilih hanya membacakan keterangannya di penyidikan.
    Namun, Dennie merasa majelis hakim perlu mendengarkan keterangan Rini di dalam BAP untuk dibacakan.
    Persoalan keberatan pengacara Tom Lembong menurutnya bisa dituangkan dalam pleidoi.
    “Kami juga sudah mendengar tadi tentunya nilainya adalah lain dengan saksi yang langsung dihadirkan di persidangan,” ujar Dennie.
    Mendengar ini, Ari semakin kecewa. Ia bahkan mempertanyakan fungsi kehadiran kuasa hukum di persidangan.
    “Kalau majelis hakim berpendapat bahwa itu tetap dibacakan lalu untuk apa kami hadir di sini?” ujar Ari.
    Sementara itu, jaksa berdalih Pasal 162 KUHAP menyatakan bahwa saksi yang sudah diperiksa di penyidikan meninggal dunia atau berhalangan secara sah tidak dapat hadir di sidang, maka keterangannya bisa dibacakan.
    Selain itu, jika keterangan itu diberikan di bawah sumpah, maka nilainya juga disamakan dengan keterangan yang disumpah.
    “Keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi yang di bawah sumpah,” tutur jaksa.
    Mendengar ini, Ari semakin berang.
    Hakim Dennie pun mencoba menengahi dan meminta jaksa menjelaskan lebih gamblang alasan Rini dipanggil empat kali tidak hadir.
    Menurut jaksa, Rini kali ini kembali tidak hadir karena tengah mengikuti acara keluarga di Jawa Tengah.
    “Dari surat tersebut saksi, ada acara di Jawa Tengah. Di surat-surat sebelumnya pun saksi sedang berada di luar negeri,” kata jaksa.
    Mendengar ini, pengunjung sidang, beberapa merupakan simpatisan Tom Lembong yang ikut gusar seiring kekecewaan Ari, tak lagi bisa menahan diri.
    Mereka menyoraki jaksa karena mendengar Rini hanya tengah mengikuti acara keluarga di Jawa dan tidak menghadiri sidang Tom Lembong.
    “Wuuu!” teriak pengunjung sidang.
    Sementara itu, Ari masih melihat ketidakhadiran Rini dan keterangannya yang hanya dibacakan, ganjil.
    Menurutnya, Rini bisa saja diperiksa di waktu lain.
    Ari mencoba bersikukuh pada pendapatnya bahwa batang hidung Rini harus hadir di muka sidang.
    Situasi lalu menjadi semakin tegang saat jaksa memotong pertanyaan Ari.
    “Saya belum selesai,” kata Ari berang.
    “Kenapa tadi saya ngomong saya disetop kenapa begitu mereka ngomong mereka tidak disetop. Kita gantian ngomongnya. Kita sudah capek dengan keadilan di negara ini!” kata Ari marah.
    Menghadapi ketegangan itu, Hakim Dennie tampak beberapa kali mencoba berunding dengan dua anggotanya.
    Akhirnya, ia tetap memutuskan untuk mendengar keterangan Rini di tahap penyidikan.
    Sikap majelis hakim pun membuat Ari kecewa dan memutuskan untuk meninggalkan ruang sidang.
    “Kalau begitu kami izin keluar, silakan nikmati keadilan yang kalian miliki,” ujar Ari.
    Kecuali Ari, tim pengacaranya mulai berdiri dan meninggalkan sidang.
    Sementara Tom Lembong yang duduk di kursi terdakwa tampak memahami kemarahan kuasa hukumnya.
    Pengacara senior itu akhirnya memuntahkan seluruh keluh kesah yang selama ini ditahan.
    Menurutnya, persidangan tidak mendudukkan pengacara terdakwa dan jaksa dengan setara, sejak awal.
    Hal ini di antaranya terlihat dari kursi jaksa yang lebih mewah dari pengacara.
    Kursi penuntut itu terbuat dari kayu dengan busa empuk pada tempat duduk dan punggung.
    Ukurannya lebih besar dan elegan dengan ukiran di bagian atas.
    Sementara, kursi pengacara tampak lebih mirip seperti kursi hajatan.
    “Sebelum ini dimulai saya mau mengingatkan ya, seringkali dalam persidangan ini tidak ada kesetaraan. Contoh kecil saja bagaimana anda lihat kursi-kursi jaksa penuntut umum seperti itu, kursi-kursi kami seperti ini?” protes Ari kecewa.
    Tidak hanya itu, pihaknya juga harus menyiapkan sendiri screen proyektor di persidangan.
    Menurutnya, pengacara tidak mendapat bantuan teknis di persidangan.
    “Ketika ingin menghadirkan ini (screen) harus kami kerjakan sendiri,” kata Ari.
    Setelah itu Ari bersama rombongan pengacara Tom Lembong meninggalkan ruang sidang.
    Langkahnya meninggalkan arena sidang diiringi ungkapan kecewa para pendukung Tom Lembong kepada majelis hakim.
    Adapun majelis hakim menjelaskan kursi pengacara berbeda karena kursi kayu seperti yang diduduki jaksa terbatas.
    Selain itu, pengacara juga meminta kursi dalam jumlah banyak.
    “Kami adakan kursi seperti itu karena kursi yang seperti ini (kursi jaksa) jumlahnya sangat terbatas. Kalau pun ini nanti dibagi, nanti mungkin jumlahnya tidak bisa sebanyak yang sekarang ini,” ujar Hakim Dennie.
    Setelah tim kuasa hukum keluar, persidangan tetap berjalan.
    Tom Lembong diminta duduk di muka sidang seorang diri, tanpa didampingi pengacara.
    “Saya ikut penilaian dan keputusan Yang Mulia bapak-bapak majelis hakim,” ujar Tom.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Eks Pejabat MA Zarof Ricar Jalani Sidang Vonis Kasus Ronald Tannur Hari Ini

    Eks Pejabat MA Zarof Ricar Jalani Sidang Vonis Kasus Ronald Tannur Hari Ini

    Jakarta

    Mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) yang juga dikenal makelar perkara, Zarof Ricar, menghadapi sidang vonis kasus dugaan suap vonis bebas Ronald Tannur terkait kematian Dini Sera hari ini. Sidang akan digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta.

    “Agenda untuk putusan,” demikian tertulis dalam laman resmi Sistem Informasi Pelayanan Publik (SIPP) PN Jakarta Pusat seperti dilihat detikcom, Rabu (18/6/2025).

    Selain Zarof, hakim juga akan membacakan vonis terhadap ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja dan pengacara Ronald, Lisa Rachmat. Sidang ketiganya rencananya akan digelar di ruang Prof Dr. H Muhammad Hatta Ali PN Tipikor pada PN Jakpus.

    Dalam kasus ini, jaksa penuntut umum mendakwa Ibu Ronald Tannur, Meirizka memberi suap agar anaknya divonis bebas dalam kasus tewasnya Dini Sera. Suap itu diberikan kepada tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang mengadili Ronald.

    “Telah melakukan atau turut serta melakukan dengan Lisa Rachmat, memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, yaitu memberi uang tunai keseluruhan sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308 ribu (Rp 3,6 miliar),” kata jaksa dalam sidang dakwaan Meirizka di PN Tipikor Jakarta, Senin (10/2).

    Suap itu diberikan melalui pengacara bernama Lisa Rachmat yang juga jadi terdakwa. Uang suap tersebut lalu diserahkan kepada tiga hakim majelis kasus Ronald Tannur di PN Surabaya, mulai Erintuah Damanik, Mangapul, sampai Heru Hanindyo. Tiga hakim itu juga telah menjadi terdakwa.

    Ronald sendiri telah dihukum 5 tahun penjara dalam tingkat kasasi. Dia sedang menjalani hukuman penjara.

    (mib/whn)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Sidang Tom Lembong, Rini Soemarno Sebut Koperasi Tak Bisa Disamakan dengan BUMN

    Sidang Tom Lembong, Rini Soemarno Sebut Koperasi Tak Bisa Disamakan dengan BUMN

    Sidang Tom Lembong, Rini Soemarno Sebut Koperasi Tak Bisa Disamakan dengan BUMN
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 2015-2019 Rini Mariani Soemarno menyebutkan, koperasi tidak bisa disamakan dengan perusahaan pelat merah.
    Pernyataan Rini itu tertuang dalam berita acara pemeriksaan yang dibacakan jaksa dalam sidang dugaan korupsi importasi gula yang menjerat Menteri Perdagangan (Mendag) 2015-2016 Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.
    “Bahwa koperasi tidak dapat dipersamakan dengan BUMN kecuali ada pengecualian dari rapat koordinasi antar kementerian oleh Menteri Koordinator Perekonomian terkait pelaksanaan stabilisasi harga dan operasi pasar,” kata jaksa membacakan keterangan Rini di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (17/6/2025).
    Dalam perkara ini, salah satu kebijakan
    Tom Lembong
    yang dinilai melawan hukum adalah penunjukan sejumlah koperasi TNI-Polri dalam operasi pasar pengendalian harga gula.
    Tidak hanya itu, Tom Lembong bahkan menerbitkan persetujuan impor (PI) gula sebanyak ratusan ribu ton ke koperasi TNI-Polri.
    Menurut Rini, selama lima tahun menjabat sebagai Menteri BUMN, tidak pernah ada pembahasan koperasi menjadi pelaksana tugas pengendalian harga gula.
    “Selama saya menjabat Menteri BUMN, saya tidak pernah mendengar atau membahas koperasi-koperasi ditugaskan sebagai pelaksanaan stabilisasi harga pemenuhan stok dan operasi pasar,” ujar jaksa membacakan keterangan Rini.
    Dalam perkara ini, Tom didakwa melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Perbuatannya dinilai melanggar hukum, memperkaya orang lain maupun korporasi yang menimbulkan kerugian negara Rp 578 miliar.
    Jaksa dalam surat dakwaannya mempersoalkan tindakan Tom Lembong yang menunjuk sejumlah koperasi TNI-Polri untuk mengendalikan harga gula, alih-alih perusahaan BUMN.
    “Terdakwa Thomas Trikasih Lembong tidak menunjuk Perusahaan BUMN untuk pengendalian ketersediaan dan stabilisasi harga gula, melainkan Inkopkar, Inkoppol, Puskopol, SKKP TNI-Polri,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (6/3/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jaksa yang Tilap Uang Korban Investasi Bodong Rp 11,7 M Dituntut 4 Tahun Penjara

    Jaksa yang Tilap Uang Korban Investasi Bodong Rp 11,7 M Dituntut 4 Tahun Penjara

    Jaksa yang Tilap Uang Korban Investasi Bodong Rp 11,7 M Dituntut 4 Tahun Penjara
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Jaksa nonaktif Kejaksaan Negeri Jakarta Barat (Kejari Jakbar) Azam Akhmad Aksya dituntut 4 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi terkait penipuan
    investasi bodong

    Robot Trading Fahrenheit
    .
    Jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta menilai, Azam terbukti bersalah menerima suap dari kuasa hukum terkait pengembalian uang korban investasi bodong tersebut.
    “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Azam Akhmad Aksya dengan hukuman penjara 4 tahun dikurangkan sepenuhnya dengan lamanya terdakwa ditahan,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (17/6/2025).
    Selain pidana badan, jaksa juga menuntut Azam dihukum membayar denda Rp 250 juta subsidair 3 bulan kurungan.
    Pada persidangan yang sama, jaksa juga menuntut dua terdakwa lain yang diketahui merupakan kuasa hukum korban investasi bodong.
    Mereka adalah Bonifasius Gunung dan Oktavianus Setiawan.
    Keduanya dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsidair 3 bulan kurungan.
    Dalam perkara ini, Azam didakwa menilap uang pengembalian kasus investasi bodong tersebut sebesar Rp 11,7 miliar.
    Menurut jaksa, Azam menggunakan kedudukannya untuk mengambil uang itu secara paksa dari barang bukti kasus investasi bodong Robot Trading Fahrenheit yang seharusnya dikembalikan kepada korban.
    Azam yang menjadi jaksa dalam kasus investasi bodong itu justru menyalahgunakan wewenang (memeras) untuk menguntungkan diri sendiri.
    Ia diduga berkongsi dengan pengacara korban investasi bodong guna mengambil barang bukti berupa uang yang seharusnya dikembalikan, termasuk di antaranya adalah membuat paguyuban palsu yang seolah-olah mewakili 137 korban Robot Trading Fahrenheit di Bali.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ke mana Uang Triliunan yang Disita dalam Kasus Ekspor CPO Wilmar Group? Ini Penjelasan Kejagung

    Ke mana Uang Triliunan yang Disita dalam Kasus Ekspor CPO Wilmar Group? Ini Penjelasan Kejagung

    Ke mana Uang Triliunan yang Disita dalam Kasus Ekspor CPO Wilmar Group? Ini Penjelasan Kejagung

    GELORA.CO  – Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menyita uang tunai senilai Rp11.800.351.802.619 dari pengembangan kasus korupsi koorporasi bergerak bidang sawit Wilmar Group.
    Uang triliun rupiah tersebut, ditampilkan saat konferensi pers di Gedung Bundar Kejaksaan Agung RI, Jakarta Selatan, Selasa (17/6/2025).
    Tumpukan uang pecahan 100 ribuan pun terlihat di antara para pejabat Kejagung. 
    Uang tunai yang disita itu, merupakan pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya.
    Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung, Sutikno, menerangkan tumpukan yang yang ditampilkan dalam konferensi pers hanya Rp2 triliun.
    Menurutnya, tidak seluruh uang bisa dibawa ke tempat konferensi pers.
    “Karena keterbatasan tempat dan alasan keamanan kami kira uang Rp2 triliun ini bisa mewakili uang yang disita,” jelasnya.
    Ketika ditanya awak media terkait mau dikemanakan uang sitaan Kejagung tersebut, Sutikno memberikan penjelasan. 
    Sutikno menerangkan, uang sitaan Kejagung itu, akan disesuaikan dengan perkara pidananya. 
    “Uang yang disita ini mau diapakan? apakah untuk pembangunan tata kelola sawit atau bagaimana? terkait uang penyitaan ini hubungannya dengan perkara tindak pidana.”
    “Maka uang ini nantinya akan dikemanakan? akan disesuaikan perkara pidana itu sendiri. Jadi tidak ada kaitannya dengan kegiatan Satgas Penanganan Kawasan Hutan (PKH),” katanya. 
    “Jadi ini murni penanganan perkara tindak pidana korupsi, yang nantinya ke mana uang larinya akan dilaksanakan sesuai putusan Mahkamah Agung setelah diputus,” imbuhnya. 
    Hal senada juga disampaikan Kepala Pusat penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar.
    “Artinya bahwa saya sampaikan tadi, perlu adanya tata kelola di industri kelapa sawit kita. Karena pengembalian kerugian keuangan negara ini menjadi salah satu contoh, bahwa ada sesuatu yang missing karena ada masalah, bahwa nanti terkait putusannya seperti apa, tentu nanti akan disampaikan jaksa selaku eksekutor,” ungkapnya. 
    Dalam kesempatan yang sama, Harli juga menyebut, uang sitaan Kejagung senilai Rp11,8 triliun kasus suap ekspor CPO itu, menjadi yang terbesar.
    “Penyitaan uang ini dalam sejarah yang paling nanti akan disampaikan secara substansi oleh Pak Direktur Penuntutan,” ungkapnya. 

    Uang yang disita ini, kata Harli, sebagai bentuk pengembalian kerugian keuangan negara yang dilakukan dalam tahap penuntutan.
    “Karena kasus ini belum berkekuatan hukum tetap maka uang ini kami sita,” jelasnya. 
    Delapan Tersangka Korupsi Vonis Lepas CPODiketahui, dalam perkara ini, Kejagung telah menetapkan delapan tersangka. Mereka diduga terlibat dalam rekayasa vonis bebas terhadap terdakwa kasus korupsi CPO di Pengadilan Tipikor.
    Para tersangka ini, terdiri dari unsur hakim, advokat, dan pejabat pengadilan.
    Empat hakim itu, bersama tiga orang lain, menjadi tersangka terkait vonis lepas pengurusan perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) periode Januari-April 2022 dengan terdakwa tiga korporasi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat
    Berikut delapan tersangka kasus dugaan suap vonis lepas perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO, dengan terdakwa tiga korporasi:
    Muhammad Arif Nuryanta (MAN), Ketua Pengadilan Negeri Jakarta SelatanWahyu Gunawan, panitera muda PN Jakarta UtaraMarcella Santoso, advokatAriyanto Bakrie, advokatDjuyamto, hakim Pengadilan Tipikor Jakarta PusatAli Muhtarom, hakim Pengadilan Tipikor Jakarta PusatAgam Syarif Baharudin, hakim Pengadilan Tipikor Jakarta PusatMuhammad Syafei, Head of Social Security Legal PT Wilmar Group
    Sumber : Tribunnews 

    ‘;if(c’};urls.splice(0,urls.length);titles.splice(0,titles.length);document.getElementById(‘related-posts’).innerHTML=dw};
    //]]>